Share

Bab 2

Author: Mami ice bear
last update Last Updated: 2024-05-12 15:08:00

Lagi, datang satu manusia yang akan membuat pagi ini semakin bermakna. Ku langkahkan kaki menuju ke ruang tamu dan membuka pintu. 

"Dimana Yogi?" tanyanya saat baru saja pintu utama rumah kami terbuka. Namun aku memilih berbalik tanpa menanggapi pertanyaannya. 

"Apa kau tuli, hah?!"

Kini kalimat tanya itu kembali terdengar, namun dengan nada yang lebih tinggi. Membuatku menghentikan langkah. 

"Maaf Nyonya, saya tidak tahu jika ada manusia disini. Sebab sejak tadi saya hanya mendengar suara namun tanpa wujud," jawabku dengan nada sindiran. Manusia mana yang masuk rumah tanpa mengucapkan salam? 

Ku abaikan Mas Yogi yang mungkin nanti akan kembali berteriak minta kopi, lebih baik aku lanjutkan satu hal yang sejak tadi tertunda. Sambil duduk di bangku kecil milik anak-anak, tanganku kini kembali bergerak menyemir sepatu Mas Yogi. Sebelum laki-laki itu kembali berubah wujud menjadi tarzan. 

"Devi, dimana Yogi?" pertanyaan yang sama kembali terdengar, namun kali ini aku mencoba menjawabnya, "Ada di dalem, Bu. Masuk saja!"

Ya, dia adalah Bu Jubaedah, mertuaku, ibu dari Mas Yogi. Setiap pagi, ibu mertua pasti akan datang ke rumah hanya sekedar untuk meminta sarapan. Aku bahkan sangat hafal pola kedatangannya, lucu bukan? 

"Devi.."

Teriakan Mas Yogi kembali terdengar, untungnya sepasang sepatu miliknya sudah selesai disemir. 

Ku ayunkan kaki, melangkah menuju arah asal suara yang sudah bisa ku tebak, pasti dari arah dapur. 

"Mana sarapannya?" tanya Mas Yogi. 

Alisku seketika bertaut, padahal saat ini bahkan dirinya tengah menyantap nasi goreng ayam. Dengan santai aku menjawab, "Yang sedang kau makan itu apa, Mas?"

Ibu mertua yang duduk di samping kiri Mas Yogi seketika mendelik sempurna. Baru saja ibu mertua membuka mulut, suara Mas Yogi kembali terdengar, "Aku tau ini menu sarapan kita. Tapi, masa iya cuma ini sih!"

"Nggak ada, Mas. Cuma itu!" jawabku singkat. Aku menarik kursi dan memakan pisang goreng yang tadi sempat aku goreng, tentunya setelah mencuci tangan terlebih dahulu. 

Suara kres kriuk pisang goreng itu mampu menggugah selera siapa pun yang mendengar. 

"Ibu mau?" tawarku pada ibu mertua yang tampak melihat ku makan dengan mulut terbuka. Tampak sekali jika wanita tua itu menginginkan pisang goreng yang ada di tangan ku. 

Hap! 

Ibu mertua bahkan belum sempat bersuara, pisang goreng terakhir sudah masuk ke dalam mulutku. 

"Hei! Tadi kau menawari ku, kenapa malah kau makan?" pekik Bu Jubaedah. 

Hati ku tergelitik geli, ingin rasanya aku tertawa. Namun, semua itu urung ku lakukan. "Bukankah hal itu juga yang Ibu lakukan pada Rayyan?"

"Apa maksudnya, Dev?" tanya Mas Yogi dengan mulut penuh makanan. Aku dengan santai mengunyah pisang goreng itu tanpa dosa, tak mengindahkan ibu mertua ku yang menatap sinis. 

"Ya, Rayyan pernah melihat Ibu dan anak Mba Yesi makan pisang goreng. Mereka melihat Rayyan, tapi alih-alih menawarinya. Mereka justru dengan sengaja menghabiskannya dengan cepat-"

"Bohong! Jangan fitnah kamu, Devi!" sergah Bu Jubaedah cepat.

Urat di wajahnya menegang, ditambah dengan mata melotot dan telunjuk teracung ke arah ku. 

"Jangan membuat cerita yang akan menimbulkan masalah, Devi. Mas mohon.." ujar Mas Yogi lirih. Ia sangat tahu, karakter ibunya itu. 

"Terserah Mas kalo gak percaya!" cetusku pada akhirnya. 

Aku beranjak dari tempat duduk dan berlalu pergi dari dapur, ini sudah jam setengah tujuh pagi. Saatnya aku kembali menjadi tukang ojek langganan kedua anakku. 

"Devi, jangan pergi!" cegah Mas Yogi kala kaki ku baru saja melangkah. "Apa lagi sih, Mas?"

"Mana sarapannya?" tanya Mas Yogi lagi. Aku bukan tak tahu apa maksudnya, tapi aku memang sengaja melakukannya. 

Aku memutar langkah, kembali ke arah meja dapur. Ku ulurkan tangan dan meraih sepiring nasi goreng yang ada di hadapan Mas Yogi. "Yang kau makan ini apa, Mas? Makanan 'kan?"

Mas Yogi melirik pada nasi goreng yang tengah ku angkat dan mengangguk. Kemudian aku kembali bersuara, "Lalu, sarapan apa lagi yang kau cari? Bahkan wadah nasi gorengnya aja udah kosong mlompong. Dan aku tau itu pasti ulahmu, 'kan?"

"Kamu ini, Dev! Orang buta juga tau kalo itu nasi goreng. Tapi Dev, apa iya cuma ini?" sangkal Mas Yogi lembut. Meski bernada lembut, tetap saja membuatku kesal. 

Aku tahu persis jika itu adalah akal-akalan dari Mas Yogi. "Ya, cuma itu, Mas!"

Tak ada jawaban lain yang ku berikan, sebab memang begitulah kenyataannya. 

"Tapi kan biasanya ada jatah untuk delapan orang, Dev." Dengan lugu, Mas Yogi mengatakan hal yang selama ini ku sesali. 

Perih, sakit, namun tak bisa ku ungkap lagi. Dulu, aku pasti akan memasak menu yang sama, jika Mas Yogi sudah mode seperti ini. Tapi tidak untuk kali ini. 

"Gak ada! Aku cuma bikin untuk empat porsi!" ketusku singkat. Ku yakin Mas Yogi tak akan percaya dengan perkataan ku ini. 

Benar saja, suara sendok yang di letakkan dengan kuat di atas piring, hingga menimbulkan bunyi riuh. "Jangan bercanda kamu, Dev!"

"Terserah!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 97

    “Jadi, Tante Yessi sakit apa?”Roni, bocah delapan tahun itu, akhirnya tak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya. Sejak tadi, ia mendengar percakapan yang tak sepenuhnya ia pahami, namun bocah polos tersebut menangkap ada sesuatu yang besar sedang dibahas oleh orang-orang dewasa di ruangan itu.“Ibu... Tante Yessi sakit?” Roni mengulang pertanyaannya, kali ini menatap ibunya, Devi, dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu.Devi menelan ludah, rasanya kering, seperti ada duri menyangkut di tenggorokannya. Sejujurnya, ia sendiri belum melihat Yessi sejak terakhir kali mereka menemukan wanita itu dalam kondisi memprihatinkan di rumah sakit. Sejak itu, ia lebih memilih menjaga jarak, takut jika keterlibatan emosionalnya kembali menguak luka lama.“Roni, mau nggak nengokin ibuku?” Suara Rossi memotong keheningan, membuat semua perhatian tertuju padanya. Wajah gadis itu terlihat lebih segar, meski tubuhnya masih kurus, membawa sisa-sisa dari beban b

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 96

    "Kenapa kamu takut? Nenek nggak gigit, kok!"Selorohan Jubaedah terdengar canggung di telinga kedua anak Devi. Kata-kata yang seharusnya ringan justru menciptakan suasana yang makin tegang. Ruang tamu kafe yang mereka tempati mendadak sunyi, seolah udara terasa lebih berat.Rayyan meringis, melirik adiknya, Roni, yang mulai beringsut mundur, ekspresi wajahnya menyiratkan rasa cemas yang berusaha ia sembunyikan. Yogi, yang duduk di samping Jubaedah, ikut merasa kikuk. Tatapannya bergantian tertuju pada Jubaedah dan kedua anak laki-lakinya, mencoba mencari celah untuk mencairkan suasana.“Roni, santai aja, Ayah sama Nenek nggak jahat, kok,” Yogi mencoba tersenyum, berusaha meyakinkan.Roni hanya mengerjap, tetap diam, ekspresinya sulit diterjemahkan. Bayang-bayang masa lalu seakan menekan hatinya, menahan mulutnya untuk sekedar menyapa. Dibenaknya masih terlintas kenangan pahit—perkataan kasar, tatapan dingin, dan perlakuan tidak adil yang pernah di

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 95

    “Tapi, Bu…” Roni mengeluh pelan, wajahnya tampak enggan. Kedua matanya menghindari tatapan ibunya, Devi, yang baru saja menyampaikan pesan dari ayah mereka. Devi mendesah panjang, memandang kedua putranya yang masih duduk di hadapannya dengan ekspresi serba salah. Beberapa hari yang lalu, mantan suaminya, Yogi, meminta waktu untuk bertemu dengan anak-anak mereka, yakni Roni dan Rayyan. Namun, ia tahu bahwa membujuk anak-anak, khususnya Roni, bukanlah perkara mudah. “Nak, bagaimanapun juga, dia tetap ayah kandung kalian,” ucap Devi berusaha lembut, meski nada suaranya mulai terasa putus asa. Ada perasaan bersalah yang selalu muncul setiap kali dia mengangkat topik ini. Hatinya teriris melihat bagaimana Roni, putra bungsunya, menunjukkan ekspresi menolak yang begitu kuat. Rayyan, putra sulungnya yang kini berusia sebelas tahun, menghela nafas panjang dan mengangguk pelan. Dia mengerti perasaan ibunya dan tampak lebih tenang darip

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 94

    "Entah kenapa aku malah curiga sama keluarga mantan suamimu itu, Dev..."Suara Siska yang tegas memecah keheningan di ruangan toko bakery yang baru saja dibuka. Devi, yang sejak tadi terlihat melamun, tersentak mendengar kalimat itu. Ia menarik nafas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya yang seolah melayang-layang entah ke mana. Sudah beberapa hari sejak pertemuannya dengan Yogi, mantan suaminya, namun kata-katanya masih terngiang di kepala. Seperti duri yang tertinggal di luka lama, pertemuan itu membuka kembali ingatan tentang masa lalu yang tak ingin ia ingat.Devi menatap jalanan dari balik kaca toko bakery-nya, memandang kosong pada lalu lalang orang yang tak dikenalnya. Ia tampak letih, seolah banyak beban yang ia pendam sendiri. Pembukaan cabang baru toko roti miliknya dan tanggung jawab mengurus dua anak seorang diri. Hari ini adalah hari besar bagi Devi, namun bayangan masalah keluarga mantan suaminya seolah membayangi setiap langkahnya.

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 93

    Suasana yang masih tenang di toko roti milik Devi seketika berubah menjadi penuh kecanggungan. Ruangan itu terasa lebih sesak meskipun hanya ada beberapa pengunjung yang tampak sibuk memilih kue di sudut ruangan. Devi sedang membantu Siska, sahabatnya, menyusun kue ke dalam etalase. Seolah Siska adalah pemilik toko tersebut, padahal justru sebaliknya. Mereka berbagi percakapan ringan tentang jenis kue yang baru tiba pagi itu.“Aku lebih baik membicarakan roti yang wangi ini, daripada membicarakan orang-orang yang masih ada hubungannya dengan keluarga mantan suamimu itu,” ucap Siska ditengah perbincangan. Namun, ketenangan itu mendadak pudar ketika pintu toko bakery berderit pelan, diikuti oleh langkah kaki seseorang yang masuk ke dalam. Devi berhenti bergerak, menatap sosok yang tidak asing itu. Berdiri di depan pintu dengan ekspresi ragu namun mantap, dia adalah Yogi, mantan suaminya. Untuk sesaat, Devi tertegun, seperti sedang berusaha memastikan apakah dirinya

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 92

    “Bu Lilis, tolong, saya butuh penjelasan!” Devi menatap Lilis dengan pandangan memohon, sementara jemarinya tetap menggenggam lengan wanita itu erat.Lilis mengalihkan pandangan, wajahnya tampak resah. “Aku… aku sudah katakan, bukan. Kukatakan sekali lagi, Lisa meninggal karena overdosis!”“Jika hanya karena alasan kematian Lisa. Itu bukan alasan cukup untuk lari seperti pecundang, Bu!” Devi membalas, nada suaranya mulai meninggi. “Kalau memang Ibu tidak bersalah, kenapa harus takut? Apa ada hal lain yang Ibu sembunyikan?”“Devi, tolong jangan paksa aku…” Lilis mencoba menarik diri, tapi tangan Devi lebih kuat.“Tidak, Bu Lilis! Ibu tidak boleh lari dari semua ini. Lisa meninggal dengan kondisi yang… aneh. Semua orang membicarakan dia, dan jangan sampai mereka justru menuduh Ibu kalau Ibu lari seperti ini. Jika Ibu benar-benar peduli pada mendiang Lisa, jelaskan semuanya!” Devi menatap tajam, mencoba menahan rasa frustasi.Lilis

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status