Share

Bab 8

Author: Mami ice bear
last update Last Updated: 2024-05-21 09:00:26

"Kamu yakin tak ingin pulang sama Bapak, Dev?" 

Sekali lagi, pertanyaan itu meluncur dari mulut ayah. Pria tua itu menatap ku sendu, seolah menyiratkan rasa sedih yang teramat dalam. Ku balas tatapan mata itu dengan lekat dan ku raih tangan keriputnya. 

"Bapak tenang aja ya, Devi baik-baik aja kok. Devi minta, jangan ceritakan apapun sama Ibu. Devi gak mau Ibu mikir terlalu berat dan bikin kesehatan Ibu malah drop," ucapku dengan masih menggenggam erat tangan laki-laki cinta pertama ku. 

"Tapi, apa kamu pikir, Bapak bisa pulang dengan tenang begitu?" Manik mata itu menatap ku teduh, bahkan kini sudah mulai berkaca. 

"Tolong percayalah sama Devi. Devi pasti bisa melalui ini semua. Ada Rayyan dan Reno yang menjadi tiang kekuatan Devi." Aku terus menenangkan ayah, agar ayah tak lagi merasa berat hati meninggalkan kami disini. 

Helaan nafas ayah terasa berat, "Baiklah, bapak percaya padamu. Tapi ingat ini, kamu masih punya orang tua. Kamu bukan anak yatim piatu dan kamu masih punya rumah untuk pulang.

***

"Baiklah, Mas Arya. Secepatnya nanti saya kasih kabar, terima kasih sebelumnya," ucapku seraya menekan tombol merah pada layar ponselku. 

"Siapa Mas Arya?" Sebuah suara tiba-tiba masuk, dan cukup membuatku terkejut. "Astaghfirullah!"

"Kenapa kamu kaget begitu? Memang aku ini setan?" sungut sosok tersebut yang ternyata ibu mas Yogi. 

Kedatangan ibu yang tiba-tiba. Langsung masuk dan tanpa mengucapkan salam, tentu tak aneh bukan jika aku merasa kaget. Tapi, hal tersebut malah seolah aneh di mata ibu mertuaku itu. 

"I-ibu, kapan dateng?" tanyaku terbata karna masuh merasa gugup. 

"Kamu habis telpon selingkuhanmu?" cecar ibu mertua tanpa mengindahkan pertanyaan ku. 

Keningku mengernyit, tak mengerti akan tuduhan yang baru saja dilayangkan Bu Jubaedah. "Selingkuhan?"

"Iya! Aku sudah dari tadi datang, saat kamu masih telponan sama selingkuhanmu itu!" bentak ibu mertua dengan suara meninggi. 

Aku tersentak, saat ibu mengatakan dengan jelas dan berulang kali tentang selingkuhan. Apa serendah itu pandangan ibu padaku. Padahal aku bahkan membatasi aktivitas di luar rumah. Aku lebih senang di dalam rumah, mengurus rumah dan anak-anak. Kalaupun keluar rumah, hanya untuk anter jemput dan belanja ke warung. Itu pun aku memakai daster lusuh tanpa riasan di wajah sama sekali. Tapi, bisa-bisanya ibu malah menuduh ku seperti itu. 

"Selingkuhan? Apa Ibu sedang bermimpi? Kalo ngantuk tidur di rumah, Bu! Bukan malah keluyuran dan bikin sensasi," ketusku. 

Selama ini aku selalu menjaga perilaku dan tutur kata pada ibu mertuaku itu. Meski setiap kata yang ia lontarkan padaku adalah sebuah penyakit dan seperti sebuah sembilu yang sengaja ditancapkan dalam hati, namun aku memilih tak pernah menghiraukannya. 

Tapi kini tidak lagi, sekarang sudah waktunya aku bangkit. Ini semua ku lakukan demi keutuhan rumah tanggaku. Aku tak ingin kalah dengan keadaan, setidaknya aku harus bisa memutar balikkan segalanya. 

"Jangan ngelak kamu, Devi. Aku tau selama ini kamu diam-diam selingkuh di belakang Yogi kan? Mengaku kamu!" sungut ibu mertua sambil menjatuhkan dirinya di atas sofa ruang televisi kami. 

Tangan ibu mertua terulur mengambil puding yang ada di atas meja. Dasar nenek lampir, marah sama tuan rumah tapi masih sanggup menelan makanan buatan sang tuan rumah. Aku hanya tersenyum sinis, melihat kelakuan ibu mertua yang semakin hari kian menjadi-jadi. 

Ku lipat tanganku di depan dada, kemudian menatap datar ibu mertuaku itu. Namun, itu ku lakukan tanpa berpindah posisi sama sekali. Masih dengan duduk di sofa yang berbeda dengan lampir Jubaedah. "Atas dasar apa Ibu menuduhku selingkuh?"

"Yogi sudah cerita semuanya! Dia bilang sekarang kamu mulai berubah. Bukan lagi Devi yang penurut dan patuh!" Masih dengan mulut penuh makanan, ibu mertua menceramahi ku panjang lebar. "Lihat saja sekarang, kau bahkan berani bersikap sombong padaku. Dasar Mantu durhaka!"

"Durhaka? Sama Mertua?" tanyaku dengan ekspresi terkejut, "liat dulu dong, mertuanya kaya apa. Kalo mertuanya model dajjal sih, kayanya itu malah bagus! Sah-sah aja."

Mata ibu mertua mendelik sempurna, aku yakin puding di tenggorokannya itu ikut berhenti di tengah kerongkongannya. "Lagian, Mas Yogi ngadu sama Ibu?"

Pertanyaan ku sontak dihadiahi anggukan kepala oleh ibu mas Yogi. Dengan senyum miring aku menimpali, "Sambil nangis nggak, Bu? Atau, sambil minta permen?"

Mendengar kalimat yang baru saja ku layangkan, sukses membuat ibu mertua semakin berang. Diletakkannnya dengan keras, piring kecil berserta sendok bekas puding ke atas meja. Hingga menimbulkan bunyi berdenting yang cukup nyaring. 

"Jangan kurang ajar kamu, Devi!" tunjuk ibu mertua tepat di depan wajahku. 

Ku singkirkan pelan telunjuk ibu mas Yogi, dan menatapnya dingin. "Jangan pernah lagi melakukan hal semacam itu, Bu! Atau-"

"Atau apa hah?!" Ibu mertua berdiri dan berkacak pinggang. 

"Atau Ibu akan menemui sisi lain dari menantumu ini," jawabku yang kini sudah berdiri berhadapan dengan Bu Jubaedah. 

"Kamu!" 

Ku lirik tangan Bu Jubaedah yang sudah terangkat tinggi dan bersiap mendarat di wajahku. Tapi dengan cepat aku menepis tangan tersebut, hingga membuat ibu semakin berang. 

"Dengar, Bu! Aku sudah capek bersiteru dengan Ibu, jadi lebih baik Ibu pulang sekarang." Aku yang sudah jengah dengan sikap mertua memilih untuk mengusir wanita itu sambil menunjuk ke arah pintu. 

"Heh, Wanita Udik!" Telunjuk ibu mertua mendorong tubuhku dengan kuat hingga membuatku mundur selangkah. "Ini rumah anakku, jadi jangan pernah berani mengusir ku dari sini! Kau hanya benalu, jadi cukup sadar diri dan jangan bertingkah!"

"Ahh, sekarang aku tau kenapa Mas Yogi berubah jadi pelit. Itu semua karna hasutan Ibu, kan?!" sinisku, menatap remeh pada wanita paruh baya itu. 

Seumur hidup, aku bahkan tak pernah terlibat perdebatan apalagi bertengkar dengan siapapun. Dan hal ini cukup membuat tubuhku gemetar karenanya. 

"Ha ha ha.. Akhirnya kau sadar diri juga!" Gelak tawa ibu mertua menggema di seluruh penjuru rumah. 

"Tapi kenapa, Bu? Apa salah Devi sama Ibu?" tanyaku dengan bodoh. Padahal, aku bahkan sudah bisa menebak apa jawabannya. 

"Itu karna aku tak pernah suka dengan mu, Devi! Kehadiran mu di keluargaku, bak sebuah kesialan yang malah justru dibawa pulang dengan sengaja oleh Yogi!" teriak ibu mertua. Riak suaranya yang bergetar, serta wajah yang merah padam, seolah menyiratkan betapa besar rasa benci yang ada di hatinya. 

"Lalu, kenapa Ibu merestui pernikahan kami dulu? Kenapa, Bu?!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 97

    “Jadi, Tante Yessi sakit apa?”Roni, bocah delapan tahun itu, akhirnya tak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya. Sejak tadi, ia mendengar percakapan yang tak sepenuhnya ia pahami, namun bocah polos tersebut menangkap ada sesuatu yang besar sedang dibahas oleh orang-orang dewasa di ruangan itu.“Ibu... Tante Yessi sakit?” Roni mengulang pertanyaannya, kali ini menatap ibunya, Devi, dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu.Devi menelan ludah, rasanya kering, seperti ada duri menyangkut di tenggorokannya. Sejujurnya, ia sendiri belum melihat Yessi sejak terakhir kali mereka menemukan wanita itu dalam kondisi memprihatinkan di rumah sakit. Sejak itu, ia lebih memilih menjaga jarak, takut jika keterlibatan emosionalnya kembali menguak luka lama.“Roni, mau nggak nengokin ibuku?” Suara Rossi memotong keheningan, membuat semua perhatian tertuju padanya. Wajah gadis itu terlihat lebih segar, meski tubuhnya masih kurus, membawa sisa-sisa dari beban b

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 96

    "Kenapa kamu takut? Nenek nggak gigit, kok!"Selorohan Jubaedah terdengar canggung di telinga kedua anak Devi. Kata-kata yang seharusnya ringan justru menciptakan suasana yang makin tegang. Ruang tamu kafe yang mereka tempati mendadak sunyi, seolah udara terasa lebih berat.Rayyan meringis, melirik adiknya, Roni, yang mulai beringsut mundur, ekspresi wajahnya menyiratkan rasa cemas yang berusaha ia sembunyikan. Yogi, yang duduk di samping Jubaedah, ikut merasa kikuk. Tatapannya bergantian tertuju pada Jubaedah dan kedua anak laki-lakinya, mencoba mencari celah untuk mencairkan suasana.“Roni, santai aja, Ayah sama Nenek nggak jahat, kok,” Yogi mencoba tersenyum, berusaha meyakinkan.Roni hanya mengerjap, tetap diam, ekspresinya sulit diterjemahkan. Bayang-bayang masa lalu seakan menekan hatinya, menahan mulutnya untuk sekedar menyapa. Dibenaknya masih terlintas kenangan pahit—perkataan kasar, tatapan dingin, dan perlakuan tidak adil yang pernah di

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 95

    “Tapi, Bu…” Roni mengeluh pelan, wajahnya tampak enggan. Kedua matanya menghindari tatapan ibunya, Devi, yang baru saja menyampaikan pesan dari ayah mereka. Devi mendesah panjang, memandang kedua putranya yang masih duduk di hadapannya dengan ekspresi serba salah. Beberapa hari yang lalu, mantan suaminya, Yogi, meminta waktu untuk bertemu dengan anak-anak mereka, yakni Roni dan Rayyan. Namun, ia tahu bahwa membujuk anak-anak, khususnya Roni, bukanlah perkara mudah. “Nak, bagaimanapun juga, dia tetap ayah kandung kalian,” ucap Devi berusaha lembut, meski nada suaranya mulai terasa putus asa. Ada perasaan bersalah yang selalu muncul setiap kali dia mengangkat topik ini. Hatinya teriris melihat bagaimana Roni, putra bungsunya, menunjukkan ekspresi menolak yang begitu kuat. Rayyan, putra sulungnya yang kini berusia sebelas tahun, menghela nafas panjang dan mengangguk pelan. Dia mengerti perasaan ibunya dan tampak lebih tenang darip

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 94

    "Entah kenapa aku malah curiga sama keluarga mantan suamimu itu, Dev..."Suara Siska yang tegas memecah keheningan di ruangan toko bakery yang baru saja dibuka. Devi, yang sejak tadi terlihat melamun, tersentak mendengar kalimat itu. Ia menarik nafas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya yang seolah melayang-layang entah ke mana. Sudah beberapa hari sejak pertemuannya dengan Yogi, mantan suaminya, namun kata-katanya masih terngiang di kepala. Seperti duri yang tertinggal di luka lama, pertemuan itu membuka kembali ingatan tentang masa lalu yang tak ingin ia ingat.Devi menatap jalanan dari balik kaca toko bakery-nya, memandang kosong pada lalu lalang orang yang tak dikenalnya. Ia tampak letih, seolah banyak beban yang ia pendam sendiri. Pembukaan cabang baru toko roti miliknya dan tanggung jawab mengurus dua anak seorang diri. Hari ini adalah hari besar bagi Devi, namun bayangan masalah keluarga mantan suaminya seolah membayangi setiap langkahnya.

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 93

    Suasana yang masih tenang di toko roti milik Devi seketika berubah menjadi penuh kecanggungan. Ruangan itu terasa lebih sesak meskipun hanya ada beberapa pengunjung yang tampak sibuk memilih kue di sudut ruangan. Devi sedang membantu Siska, sahabatnya, menyusun kue ke dalam etalase. Seolah Siska adalah pemilik toko tersebut, padahal justru sebaliknya. Mereka berbagi percakapan ringan tentang jenis kue yang baru tiba pagi itu.“Aku lebih baik membicarakan roti yang wangi ini, daripada membicarakan orang-orang yang masih ada hubungannya dengan keluarga mantan suamimu itu,” ucap Siska ditengah perbincangan. Namun, ketenangan itu mendadak pudar ketika pintu toko bakery berderit pelan, diikuti oleh langkah kaki seseorang yang masuk ke dalam. Devi berhenti bergerak, menatap sosok yang tidak asing itu. Berdiri di depan pintu dengan ekspresi ragu namun mantap, dia adalah Yogi, mantan suaminya. Untuk sesaat, Devi tertegun, seperti sedang berusaha memastikan apakah dirinya

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 92

    “Bu Lilis, tolong, saya butuh penjelasan!” Devi menatap Lilis dengan pandangan memohon, sementara jemarinya tetap menggenggam lengan wanita itu erat.Lilis mengalihkan pandangan, wajahnya tampak resah. “Aku… aku sudah katakan, bukan. Kukatakan sekali lagi, Lisa meninggal karena overdosis!”“Jika hanya karena alasan kematian Lisa. Itu bukan alasan cukup untuk lari seperti pecundang, Bu!” Devi membalas, nada suaranya mulai meninggi. “Kalau memang Ibu tidak bersalah, kenapa harus takut? Apa ada hal lain yang Ibu sembunyikan?”“Devi, tolong jangan paksa aku…” Lilis mencoba menarik diri, tapi tangan Devi lebih kuat.“Tidak, Bu Lilis! Ibu tidak boleh lari dari semua ini. Lisa meninggal dengan kondisi yang… aneh. Semua orang membicarakan dia, dan jangan sampai mereka justru menuduh Ibu kalau Ibu lari seperti ini. Jika Ibu benar-benar peduli pada mendiang Lisa, jelaskan semuanya!” Devi menatap tajam, mencoba menahan rasa frustasi.Lilis

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 91

    Devi tertegun, matanya membulat tak percaya ketika mendengar penuturan wanita paruh baya yang bertugas memandikan jenazah Lisa.“A-apa? Kenapa bisa sampai separah itu?” tanyanya dengan suara bergetar, mencoba mencerna kenyataan tragis yang disampaikan kepadanya.Wanita paruh baya di depannya, yang mengenakan kerudung lusuh, hanya bisa menggeleng pelan. “Saya juga kurang paham, Mbak Devi. Tapi, saat kami memandikan almarhumah… ya, memang kondisinya sudah begitu.” Suaranya bergetar, seakan-akan kata-kata itu membuatnya ngeri mengingat kembali apa yang ia lihat.Devi menutup mulutnya dengan tangan gemetar, seolah-olah ingin menahan rasa mual yang tiba-tiba menghantam dadanya. Matanya berair, dan ia mencoba membayangkan kondisi Lisa di akhir hidupnya. Bagaimana mungkin mantan adik madunya mengalami akhir yang begitu menyedihkan?“Sa-saya… saya tak bisa berkata-kata…” ucapnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.Di sisi Devi, Bu RT yang ikut mendengar penuturan tersebut terlihat terkejut.

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 90

    “Li-lisa?”Handoko tergagap, tubuhnya kaku. Berita yang baru saja dikatakan oleh Devi membuat dirinya tak bisa berfikir jernih. Hingga beberapa saat kemudian… “Kapan, Devi? Dan.. darimana kamu tau kabar itu?” ucap Handoko lagi. “Mas Handoko… beneran gak tau kabar terakhir Lisa?”Suara Devi lirih namun tegas, menusuk di antara deru langkah mereka di koridor rumah sakit.“Aku bahkan tak tau apa-apa, Devi.”Jawaban Handoko terdengar datar, hampir tak terdengar, namun ia menatap Devi dengan tatapan tajam. “Aku memang meninggalkan dia tadi pagi, tapi.. Saat itu dia masih…”“Soal itu…”Devi berhenti sejenak, menarik napas, seolah-olah menunggu kata-katanya diserap penuh oleh Handoko. “Dia baru saja ditemukan tidak bernyawa, sekitar satu jam lalu.”Handoko membeku. Sorot matanya berubah, seolah kata-kata Devi baru saja menghantamnya dengan kenyataan yang selama ini ia hindari. “Kamu serius?”Devi mengangguk pelan. “Aku

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 89

    “Kapan kejadiannya?” tanya Devi dengan nada khawatir. “Baru tadi sore, Mbak. Kemungkinan kami akan mengurusnya besok…” ucap seseorang dari seberang sana. Devi menganggukkan kepala, meski lawan bicaranya tak akan melihat apa yang ia lakukan. Sebuah ponsel masih menempel di telinga kanan Devi. Mantan istri dari Yogi tersebut tampak serius mendengarkan apa yang diucapkan oleh sosok nan jauh disana. “Kami bingung harus mengabari siapa dan kemana. Jadi, aku memutuskan mengabari Mbak Devi. Meski aku tau, mereka nggak ada sangkut pautnya dengan Mbak…”“Ya sudah tak apa,” ucap Devi, merespon lawan bicaranya. Namun, manik mata wanita itu tampak melirik sekilas ke arah mantan kakak iparnya. “Aku tak bisa menjanjikan apapun, tapi aku akan mengusahakannya. Aku tau apa yang bisa kulakukan.”“Makasih ya, sudah mengabariku,” imbuh Devi yang kemudian langsung dijawab oleh sosok di seberang sana. Berikutnya, wanita berambut panjang itu segera

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status