"Sudahlah, Pak! Jangan bahas ini sekarang, Devi gak mau anak-anak ikut mendengar apa yang tak seharusnya mereka dengar," ucapku sesaat sebelum aku melanjutkan untuk membuka handle pintu kamar anak-anak.
Aku sadar betul, jika masalah ini akan berpengaruh pada mental kedua anakku. Tapi, aku pun manusia yang masih mempunyai batas kesabaran. Jika saja, Mas Yogi berlaku adil dan tak selalu berat sebelah. Mungkin masalah ini tak akan sampai berlarut-larut. Malam ini, ayah tidur di kamar anak-anak. Seperti biasa. Aku akan menyelesaikan tugas rumah tangga saat semua orang sudah terlelap. Barulah kemudian beranjak untuk mengistirahatkan diri sendiri. "Kamu belum tidur, Mas?" tanyaku yang terperanjat kaget, saat melihat Mas Yogi masih duduk dengan ponsel di tangannya. "Aku sengaja menunggumu masuk, Sayang." Suara berat Mas Yogi seolah menggambarkan betapa banyak beban pikiran yang ada di pikirannya. Dengan perlahan ku buka lemari dan mengeluarkan baju tidur, kemudian berlalu ke kamar mandi. "Tunggu sebentar, Mas. Jika lelah, tidurlah lebih dahulu," ucapku seraya berlalu. Beberapa saat kemudian, Aku fikir Mas Yogi sudah terlelap, seperti biasanya. Namun, kala aku keluar kamar mandi, rupanya laki-laki itu masih setia duduk dengan tatapan kosong. "Ada apa, Mas?" tanyaku seraya naik ke tempat tidur kami. Mataku memicing, menelisik pada suamiku itu. Mas Yogi menoleh menatap padaku, tatapan matanya sayu bahkan cenderung kosong. Aku tau, jika ia masih memikirkan perdebatan beberapa saat lalu. "Apa kau tak bisa berdamai dengan Ibu, Sayang?" "Damai?" Alisku bertaut kala mendengar kata yang seolah menyudutkan ku, "apa selama ini yang ku lakukan bukanlah sebuah upaya perdamaian, Mas?" "Coba kau ingat-ingat. Sejak awal pernikahan kita, Ibu dan Mba Yessi sangat tak menyukaiku. Kamu sendiri kan yang bilang sama aku, sabar Sayang nanti ada masanya mereka tau kebaikan dan ketulusan mu. Bersabarlah sebentar lagi." "Karna aku percaya padamu, makanya aku memilih diam. Apapun yang terjadi, selama kau ada dipihakku, maka aku akan terus berjuang dan bertahan." "Tapi, sekarang setelah sebelas tahun berlalu. Mana Mas, mana? Tak ada yang berubah, sebelas tahun itu bukanlah waktu yang sebentar. Bahkan setelah ada Rayyan dan Reno, sikap mereka masih sama dan justru semakin berani menunjukkan ketidaksukaannya terhadap ku. Lalu aku harus bagaimana lagi, Mas?" "Awalnya, aku masih diam, karena ada kamu yang selalu bersikap baik serta memihak pada kami. Sampai akhirnya satu masa itu datang, hal yang sama itu semakin membuatmu terasa jauh dari aku dan kedua anak kita." Rentetan kalimat, ku layangkan pada Mas Yogi. Aku bukanlah tipe orang yang suka mengadu dan berkeluh kesah. Memendam segalanya seorang diri adalah jurus ninjaku. Prinsipku, aku ingin orang-orang cukup melihat kebahagiaan dan kesenangan ku. Tidak untuk kesedihan dan kesusahan ku. Sebab, tak semua orang itu benar-benar peduli. Terkadang beberapa dari mereka bertanya tentang kabar dan kondisi kita, bukan karna mereka peduli, tapi murni karna mereka hanya sekedar kepo dan ingin tahu saja. "Kenapa diem, Mas?" tanyaku saat melihat mas Yogi malah masih asik dalam diamnya. "Apa yang harus ku katakan, Sayang? Aku baru mengatakan satu kalimat dan kamu sudah menjawab dengan tiga paragraf sekaligus," tukas Mas Yogi mencibir. Aku menghela nafas sejenak, mengurai sesak akan kelakuan suamiku yang terkadang membuatku gemas sendiri, "Lalu? Apa yang kamu mau, dengan menungguku hingga selarut ini?" "Aku hanya ingin rumah tangga kita damai seperti sebelumnya, Devi. Akhir-akhir ini, banyak percekcokan yang bikin kepalaku pusing. Belum lagi, entah setan mana yang merasuki mu, sampai istriku yang penurut dan pendiam jadi istri yang-" "Pembangkang! Begitu maksudmu, Mas? Atau lebih tepatnya maksud Ibumu?" Aku dengan cepat menyela perkataan Mas Yogi. Ya! Aku dengar sendiri apa yang dikatakan ibu mertua beberapa saat lalu, kala mereka masih asik mengobrol di teras rumah. Niatku yang ingin ke dapur dan membuat susu untuk Roni, malah dibuat penasaran atas apa yang dilakukan oleh mas Yogi dan keluarganya di teras depan. Dengan langkah berjingkat, aku mencoba menguping dari balik pintu yang memang hanya ditutup separuhnya. Dari sanalah aku akhirnya mengetahui jika selama ini, bahkan mas Yogilah yang membiayai sekolah keponakannya, anak dari mba Yessi. "Kamu! Kamu sudah menikah denganku sebelas tahun, Mas! 24/7 aku berada di rumah. Seharusnya, kamulah yang paling tau seperti apa aku. Bagaimana aku. Perubahan sikapku pun, seharusnya kau sendiri menyadarinya. Ahh.. Tidak-tidak, kau bukan tak menyadarinya tapi lebih tepatnya tak memperdulikannya. Aku benar kan, Mas?" Setelah cukup lama terdiam, kini aku mulai bicara. "Kita ini suami istri, Mas! Jika tak ada asas keterbukaan diantara kita. Maka tak akan ada juga rasa damai dalam rumah tangga kita!" "Aku sudah cukup mengalah dan bersabar selama ini, Mas. Dan aku masihlah manusia biasa yang kesabarannya bisa habis jika terus digempur sikap dan perkataan yang cukup menyakitkan hati." "Sekarang, aku tanya sama, Mas. Kapan kali terakhir kamu melihat aku menangis?" Ku lirik wajah mas Yogi yang tampak berfikir. Namun aku tahu, jika ia tak akan mungkin menemukan jawaban. Benar saja, endikkan bahu mas Yogi membenarkan dugaanku. "Kau tak tau kan, Mas?!" "Jangan main teka-teki, Devi," sinis mas Yogi lirih. "Baiklah-baiklah.. Akan aku jawab!" Helaan nafasku terasa berat, banyak beban yang menghimpit di dalam sana. Meninggalkan rasa sesak berkepanjangan. "Kamu bahkan sampai lupa kapan aku menangis, karna air mataku itu sudah kering, Mas. Aku sudah lelah mengeluh dan menangis karna sikap Ibu dan Mba Yessi yang tak pernah memperlakukan aku dan anak-anak dengan baik." "Ketahuilah, Mas. Jika tak ada lagi air mata yang keluar dari mata seorang wanita. Percayalah, itu bukan hal yang baik. Itu justru awal dari sebuah bencana!" "Air mata yang keluar dari mata seorang wanita, bukan karna dia itu cengeng dan manja. Tapi karna ia masih punya hati. Tapi saat air mata itu sudah enggan keluar. Itu berarti, hatinya sudah mati! Mati, Mas!" Sreettt... Ku tarik selimut hingga menutupi separuh tubuhku. Sambil mencoba menumpuk bantal agar nyaman, aku menoleh pada mas Yogi. "Tidurlah, Mas! Agar besok tak terlambat. Kan sayang kalo besok terlambat, maka bonus yang harusnya kamu terima besok jadi hangus!" "Devi.. Ka-kamu.." "Selamat malam, Mas!" ucapku menyela kalimat mas Yogi yang terbata. Namun, dalam hati ini ada rasa tercubit dan menggelitik. Ku rebahkan tubuh ini membelakangi mas Yogi. Tak lagi ku perdulikan suamiku yang terlihat masih ingin bersuara. Jika keluarga mu saja tak peduli denganku yang masih berstatus istrimu. Tapi, kau ingin memintaku peduli dengan keluargamu itu? Maaf, mas. Itu hanya akan menjadi harapan mu saja! Ceklek! Ceklek!“Jadi, Tante Yessi sakit apa?”Roni, bocah delapan tahun itu, akhirnya tak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya. Sejak tadi, ia mendengar percakapan yang tak sepenuhnya ia pahami, namun bocah polos tersebut menangkap ada sesuatu yang besar sedang dibahas oleh orang-orang dewasa di ruangan itu.“Ibu... Tante Yessi sakit?” Roni mengulang pertanyaannya, kali ini menatap ibunya, Devi, dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu.Devi menelan ludah, rasanya kering, seperti ada duri menyangkut di tenggorokannya. Sejujurnya, ia sendiri belum melihat Yessi sejak terakhir kali mereka menemukan wanita itu dalam kondisi memprihatinkan di rumah sakit. Sejak itu, ia lebih memilih menjaga jarak, takut jika keterlibatan emosionalnya kembali menguak luka lama.“Roni, mau nggak nengokin ibuku?” Suara Rossi memotong keheningan, membuat semua perhatian tertuju padanya. Wajah gadis itu terlihat lebih segar, meski tubuhnya masih kurus, membawa sisa-sisa dari beban b
"Kenapa kamu takut? Nenek nggak gigit, kok!"Selorohan Jubaedah terdengar canggung di telinga kedua anak Devi. Kata-kata yang seharusnya ringan justru menciptakan suasana yang makin tegang. Ruang tamu kafe yang mereka tempati mendadak sunyi, seolah udara terasa lebih berat.Rayyan meringis, melirik adiknya, Roni, yang mulai beringsut mundur, ekspresi wajahnya menyiratkan rasa cemas yang berusaha ia sembunyikan. Yogi, yang duduk di samping Jubaedah, ikut merasa kikuk. Tatapannya bergantian tertuju pada Jubaedah dan kedua anak laki-lakinya, mencoba mencari celah untuk mencairkan suasana.“Roni, santai aja, Ayah sama Nenek nggak jahat, kok,” Yogi mencoba tersenyum, berusaha meyakinkan.Roni hanya mengerjap, tetap diam, ekspresinya sulit diterjemahkan. Bayang-bayang masa lalu seakan menekan hatinya, menahan mulutnya untuk sekedar menyapa. Dibenaknya masih terlintas kenangan pahit—perkataan kasar, tatapan dingin, dan perlakuan tidak adil yang pernah di
“Tapi, Bu…” Roni mengeluh pelan, wajahnya tampak enggan. Kedua matanya menghindari tatapan ibunya, Devi, yang baru saja menyampaikan pesan dari ayah mereka. Devi mendesah panjang, memandang kedua putranya yang masih duduk di hadapannya dengan ekspresi serba salah. Beberapa hari yang lalu, mantan suaminya, Yogi, meminta waktu untuk bertemu dengan anak-anak mereka, yakni Roni dan Rayyan. Namun, ia tahu bahwa membujuk anak-anak, khususnya Roni, bukanlah perkara mudah. “Nak, bagaimanapun juga, dia tetap ayah kandung kalian,” ucap Devi berusaha lembut, meski nada suaranya mulai terasa putus asa. Ada perasaan bersalah yang selalu muncul setiap kali dia mengangkat topik ini. Hatinya teriris melihat bagaimana Roni, putra bungsunya, menunjukkan ekspresi menolak yang begitu kuat. Rayyan, putra sulungnya yang kini berusia sebelas tahun, menghela nafas panjang dan mengangguk pelan. Dia mengerti perasaan ibunya dan tampak lebih tenang darip
"Entah kenapa aku malah curiga sama keluarga mantan suamimu itu, Dev..."Suara Siska yang tegas memecah keheningan di ruangan toko bakery yang baru saja dibuka. Devi, yang sejak tadi terlihat melamun, tersentak mendengar kalimat itu. Ia menarik nafas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya yang seolah melayang-layang entah ke mana. Sudah beberapa hari sejak pertemuannya dengan Yogi, mantan suaminya, namun kata-katanya masih terngiang di kepala. Seperti duri yang tertinggal di luka lama, pertemuan itu membuka kembali ingatan tentang masa lalu yang tak ingin ia ingat.Devi menatap jalanan dari balik kaca toko bakery-nya, memandang kosong pada lalu lalang orang yang tak dikenalnya. Ia tampak letih, seolah banyak beban yang ia pendam sendiri. Pembukaan cabang baru toko roti miliknya dan tanggung jawab mengurus dua anak seorang diri. Hari ini adalah hari besar bagi Devi, namun bayangan masalah keluarga mantan suaminya seolah membayangi setiap langkahnya.
Suasana yang masih tenang di toko roti milik Devi seketika berubah menjadi penuh kecanggungan. Ruangan itu terasa lebih sesak meskipun hanya ada beberapa pengunjung yang tampak sibuk memilih kue di sudut ruangan. Devi sedang membantu Siska, sahabatnya, menyusun kue ke dalam etalase. Seolah Siska adalah pemilik toko tersebut, padahal justru sebaliknya. Mereka berbagi percakapan ringan tentang jenis kue yang baru tiba pagi itu.“Aku lebih baik membicarakan roti yang wangi ini, daripada membicarakan orang-orang yang masih ada hubungannya dengan keluarga mantan suamimu itu,” ucap Siska ditengah perbincangan. Namun, ketenangan itu mendadak pudar ketika pintu toko bakery berderit pelan, diikuti oleh langkah kaki seseorang yang masuk ke dalam. Devi berhenti bergerak, menatap sosok yang tidak asing itu. Berdiri di depan pintu dengan ekspresi ragu namun mantap, dia adalah Yogi, mantan suaminya. Untuk sesaat, Devi tertegun, seperti sedang berusaha memastikan apakah dirinya
“Bu Lilis, tolong, saya butuh penjelasan!” Devi menatap Lilis dengan pandangan memohon, sementara jemarinya tetap menggenggam lengan wanita itu erat.Lilis mengalihkan pandangan, wajahnya tampak resah. “Aku… aku sudah katakan, bukan. Kukatakan sekali lagi, Lisa meninggal karena overdosis!”“Jika hanya karena alasan kematian Lisa. Itu bukan alasan cukup untuk lari seperti pecundang, Bu!” Devi membalas, nada suaranya mulai meninggi. “Kalau memang Ibu tidak bersalah, kenapa harus takut? Apa ada hal lain yang Ibu sembunyikan?”“Devi, tolong jangan paksa aku…” Lilis mencoba menarik diri, tapi tangan Devi lebih kuat.“Tidak, Bu Lilis! Ibu tidak boleh lari dari semua ini. Lisa meninggal dengan kondisi yang… aneh. Semua orang membicarakan dia, dan jangan sampai mereka justru menuduh Ibu kalau Ibu lari seperti ini. Jika Ibu benar-benar peduli pada mendiang Lisa, jelaskan semuanya!” Devi menatap tajam, mencoba menahan rasa frustasi.Lilis
Devi tertegun, matanya membulat tak percaya ketika mendengar penuturan wanita paruh baya yang bertugas memandikan jenazah Lisa.“A-apa? Kenapa bisa sampai separah itu?” tanyanya dengan suara bergetar, mencoba mencerna kenyataan tragis yang disampaikan kepadanya.Wanita paruh baya di depannya, yang mengenakan kerudung lusuh, hanya bisa menggeleng pelan. “Saya juga kurang paham, Mbak Devi. Tapi, saat kami memandikan almarhumah… ya, memang kondisinya sudah begitu.” Suaranya bergetar, seakan-akan kata-kata itu membuatnya ngeri mengingat kembali apa yang ia lihat.Devi menutup mulutnya dengan tangan gemetar, seolah-olah ingin menahan rasa mual yang tiba-tiba menghantam dadanya. Matanya berair, dan ia mencoba membayangkan kondisi Lisa di akhir hidupnya. Bagaimana mungkin mantan adik madunya mengalami akhir yang begitu menyedihkan?“Sa-saya… saya tak bisa berkata-kata…” ucapnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.Di sisi Devi, Bu RT yang ikut mendengar penuturan tersebut terlihat terkejut.
“Li-lisa?”Handoko tergagap, tubuhnya kaku. Berita yang baru saja dikatakan oleh Devi membuat dirinya tak bisa berfikir jernih. Hingga beberapa saat kemudian… “Kapan, Devi? Dan.. darimana kamu tau kabar itu?” ucap Handoko lagi. “Mas Handoko… beneran gak tau kabar terakhir Lisa?”Suara Devi lirih namun tegas, menusuk di antara deru langkah mereka di koridor rumah sakit.“Aku bahkan tak tau apa-apa, Devi.”Jawaban Handoko terdengar datar, hampir tak terdengar, namun ia menatap Devi dengan tatapan tajam. “Aku memang meninggalkan dia tadi pagi, tapi.. Saat itu dia masih…”“Soal itu…”Devi berhenti sejenak, menarik napas, seolah-olah menunggu kata-katanya diserap penuh oleh Handoko. “Dia baru saja ditemukan tidak bernyawa, sekitar satu jam lalu.”Handoko membeku. Sorot matanya berubah, seolah kata-kata Devi baru saja menghantamnya dengan kenyataan yang selama ini ia hindari. “Kamu serius?”Devi mengangguk pelan. “Aku
“Kapan kejadiannya?” tanya Devi dengan nada khawatir. “Baru tadi sore, Mbak. Kemungkinan kami akan mengurusnya besok…” ucap seseorang dari seberang sana. Devi menganggukkan kepala, meski lawan bicaranya tak akan melihat apa yang ia lakukan. Sebuah ponsel masih menempel di telinga kanan Devi. Mantan istri dari Yogi tersebut tampak serius mendengarkan apa yang diucapkan oleh sosok nan jauh disana. “Kami bingung harus mengabari siapa dan kemana. Jadi, aku memutuskan mengabari Mbak Devi. Meski aku tau, mereka nggak ada sangkut pautnya dengan Mbak…”“Ya sudah tak apa,” ucap Devi, merespon lawan bicaranya. Namun, manik mata wanita itu tampak melirik sekilas ke arah mantan kakak iparnya. “Aku tak bisa menjanjikan apapun, tapi aku akan mengusahakannya. Aku tau apa yang bisa kulakukan.”“Makasih ya, sudah mengabariku,” imbuh Devi yang kemudian langsung dijawab oleh sosok di seberang sana. Berikutnya, wanita berambut panjang itu segera