"Berikan aku bukti yang Ibu punya, atas tuduhan perselingkuhan yang sama sekali tak ku lakukan!"
Aku menatap ibu mertua dengan tatapan nanar. Makhluk yang sehari-hari selalu merecoki apapun yang ku lakukan. Selama ini, aku berusaha tetap sabar untuk mencari tahu mengapa ibu mertua bisa betah membenci diriku. Hingga semua yang ku lakukan akan terlihat salah di matanya. Sebuah pertanyaan yang kuajukan karena aku merasa heran setelah 11 tahun, rasa benci ibu mertua terasa masih tetap sama, seolah memang sengaja dipupuk. Kenapa harus memberkan restu, jika memang- "Kamu pengen tau, Devi? Boleh saja!" jawab Bu Jubaedah dengan suara tinggi dan berisik. "Aku merestui pernikahanmu karena waktu itu aku dipaksa oleh Yogi. Dan tau apa alasannya? Karena dia bilang kamu hamil!" Kupalingkan wajahku ke arah ibu mertua dengan ekspresi yang terkejut. Sejak kapan aku hamil? Aku benar-benar bingung dengan alasannya. Ketika itu aku dan Mas Yogi sudah menikah karena saling cinta, seperti pasangan kebanyakan. "Apa maksudnya dengan hamil? Aku tak mengerti, Bu." Sejak kapan? Bahkan Rayyan lahir setelah setahun aku menikah dengan Mas Yogi, itupun lahir dengan proses prematur. Karena kelelahan mengerjakan pekerjaan di dua rumah sekaligus. Membuat kehamilanku mengalami masalah dan harus melahirkan prematur. "Ya, hamil, Devi. Karena itulah aku membencimu, sebab kamu menjadi penghambat kebahagiaanku!" Dengan tatapan nyalang dan tangan bertengger di pinggang, ibu mertua kembali melanjutkan kalimatnya, "andai Yogi tidak menikah denganmu. Sekarang aku pasti sudah memiliki menantu yang bisa ku banggakan. Bukan benalu sepertimu!" "Apa semua hal yang Ibu lakukan, bertujuan untuk merusak pernikahan kami? Apa sejak awal memang kau ingin merusak pernikahan kami?" Pertanyaan menyelidik ku layangkan pada Bu Jubaedah. Aku ingin dengar sendiri, apa yang ada dalam pikiran ibu dari Mas Yogi. "Tentu saja!" jawabnya singkat tanpa ragu, "akan ku buat kau dan Yogi bercerai, lalu ku jodohkan dia dengan mantan pacarnya dulu!" "Heh! Jika begitu, katakan saja pada Mas Yogi secara gamblang, Ibu Mertuaku Sayang. Katakan padanya agar menceraikan aku secepatnya," tantangku dengan tersenyum manis. Aku tahu sekali bagaimana sifat mertuaku, beliau tak akan pernah berani mengatakan itu secara langsung pada Mas Yogi. "Selama ini, Ibu membanggakan Mas Yogi sebagai anak laki-laki yang patuh pada orang tua. Jadi sekarang, coba buktikan," tantangku sekali lagi. Mata ibu mertua memicing, ia mungkin tak akan menyangka, jika menantunya yang ia bodohi selama bertahun-tahun bisa mengatakan hal seperti ini. "Apa kau sengaja menantangku, agar Yogi benar-benar menceraikanmu, begitu?" tanyanya diiringi tatapan menyelidik. Dengan santai, ku jawab pertanyaan ibu dari Mas Yogi, "Untuk apa? Apa untungnya buatku? Wanita mana yang ingin menjadi janda?" "Ya tentu saja ada untungnya!" kelit ibu mertua tersenyum kecut, menjawab rentetan pertanyaan yang ku layangkan. Membuatku tersenyum sinis dan kembali menyahut, "Kalo begitu, coba katakan!" "Itu karna kau mempunyai selingkuhan. Dengan Yogi menggugat cerai. Maka kau akan mendapat keuntungan bertubi-tubi!" Jawaban ibu mertua semakin membuatku menautkan alis, heran. Lagi-lagi perkara perselingkuhan yang kembali dibahas. "Bertubi-tubi?" tanyaku singkat. Dan mendapat balasan anggukan kepala darinya. "Jika Yogi yang menggugat cerai, maka akan ada perkara harta gono gini. Setelah mendapatkan harta milik Yogi, kau pun bisa dengan bebas hidup dengan selingkuhanmu itu. Jangan fikir, aku tak bisa mencium gelagatmu itu, Jalang!" Apa yang dia bilang? Jalang? Berani sekali nenek lampir ompong ini mengatakan hal seperti itu, lihat saja pembalasanku nanti, Nenek Peyot! "Selingkuh? Mana buktinya?" ucapku, kembali melayangkan tantangan yang sudah pasti tak akan bisa ia buktikan. Hening! Tak ada lagi jawaban dari ibu mertua, aku tahu pasti, jika wanita paruh baya itu memang tak akan bisa memberikan bukti tentang tuduhannya. "Kenapa tiba-tiba ibu mengatakan jika aku selingkuh? Ibu tak bisa jawab. Baiklah, akan ku ganti pertanyaannya," ucapku setelah menjeda beberapa waktu. Agar ibu mertua bisa memikirkan alasan menuduhku selingkuh. "Hei! Kata siapa? Aku tau kok!" protesnya, sebelum aku kembali mengajukan pertanyaan, "orang yang baru saja kau telpon. Pasti dia selingkuhanmu, 'kan?" Sok tahu sekali nenek lampir satu ini. Ku pastikan kau akan menyesal, saat tahu, siapa orang yang baru saja ku telpon. "Apa ibu merasa terancam dengan keberadaanku?" tanyaku lagi, tak memperdulikan kata-kata ibu mertua. "Tentu saja!" jawabnya angkuh. Hah? Ibu mana yang merasa terancam saat anak laki-lakinya menikah? Sedangkan setiap hari bahkan dia bisa memantau apa yang dilakukan anaknya itu. "Karna kamu, aku dan Yessi selalu menjadi nomor dua. Yogi hanya mementingkan kamu dan dua anakmu yang menyebalkan itu!" imbuhnya kemudian. Anak menyebalkan katanya? Berani sekali ibu mertua menyebutkan hal picik macam itu pada anak yang sama sekali tak pernah mendapat pelukan darinya. Jika seorang nenek akan bahagia akan kelahiran cucu laki-laki. Maka berbeda dengan ibu Mas Yogi. Sejak kelahiran Rayyan, ibu tak pernah sekalipun menggendong Rayyan kecil. Saat itu aku fikir karena ibu takut menggendong bayi kecil sebab umurnya yang tak lagi muda. Tapi kini aku tahu apa alasannya. "Apa sebenci itu Ibu pada Rayyan dan Roni?" tanyaku memastikan. Aku tak ingin terjebak pada spekulasi tak berdasar. "Ya! Aku membenci kedua anakmu, sebesar aku membenci ibu mereka, yaitu kamu, Devi!" Jawaban menohok dari ibu mertua menyadarkan aku, betapa bodoh diri ini. "Karna Mas Yogi memilih aku menjadi istrinya dan karna Mas Yogi lebih mementingkan aku dan anak-anakku, begitu?" tanyaku lagi. Ku remas pelan ponsel yang masih berada dalam genggaman tanganku. Sebagai upaya untuk menyalurkan emosi yang sudah mulai naik ke ubun-ubun. Ibu mertua menatapku sengit, seolah melihat sesuatu yang benar-benar tak patut untuk dilihat. "Kau masih menanyakan hal itu, Devi? Apa otakmu memang sebodoh itu?" "Baiklah akan ku jawab. Karna kalian adalah benalu yang selalu dibela Yogi. Membuat Yogi akhirnya menomor duakan aku, Yessi dan Rossa yang harusnya menjadi prioritasnya. Ku tegaskan sekali lagi padamu. Aku sangat membenci kalian bertiga!" ungkap ibu mertua seraya menekan nada pada kalimat terakhir. "Aku dan kedua anakku memang sudah seharusnya manjadi prioritas Mas Yogi, Bu! Karna Mas Yogi memang bertanggung-jawab atas kehidupan kami bertiga!" "Jika itu untuk Ibu, maka aku mengerti jika Mas Yogi memang masih harus bertanggung-jawab atas Ibu kandungnya. Tapi jika itu Mba Yessi.. Apa dia adalah seorang janda? Yang kehidupannya harus ditanggung oleh saudara laki-lakinya?" Aku meluapkan semua kekesalanku dengan rentetan kalimat yang tak bisa lagi ku tahan. Kalimat tanya yang selalu menghantui pikiranku selama ini. Ya Tuhan, mengapa kau kirim aku pada takdir sekejam ini? "Jaga ucapanmu, Devi!"“Jadi, Tante Yessi sakit apa?”Roni, bocah delapan tahun itu, akhirnya tak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya. Sejak tadi, ia mendengar percakapan yang tak sepenuhnya ia pahami, namun bocah polos tersebut menangkap ada sesuatu yang besar sedang dibahas oleh orang-orang dewasa di ruangan itu.“Ibu... Tante Yessi sakit?” Roni mengulang pertanyaannya, kali ini menatap ibunya, Devi, dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu.Devi menelan ludah, rasanya kering, seperti ada duri menyangkut di tenggorokannya. Sejujurnya, ia sendiri belum melihat Yessi sejak terakhir kali mereka menemukan wanita itu dalam kondisi memprihatinkan di rumah sakit. Sejak itu, ia lebih memilih menjaga jarak, takut jika keterlibatan emosionalnya kembali menguak luka lama.“Roni, mau nggak nengokin ibuku?” Suara Rossi memotong keheningan, membuat semua perhatian tertuju padanya. Wajah gadis itu terlihat lebih segar, meski tubuhnya masih kurus, membawa sisa-sisa dari beban b
"Kenapa kamu takut? Nenek nggak gigit, kok!"Selorohan Jubaedah terdengar canggung di telinga kedua anak Devi. Kata-kata yang seharusnya ringan justru menciptakan suasana yang makin tegang. Ruang tamu kafe yang mereka tempati mendadak sunyi, seolah udara terasa lebih berat.Rayyan meringis, melirik adiknya, Roni, yang mulai beringsut mundur, ekspresi wajahnya menyiratkan rasa cemas yang berusaha ia sembunyikan. Yogi, yang duduk di samping Jubaedah, ikut merasa kikuk. Tatapannya bergantian tertuju pada Jubaedah dan kedua anak laki-lakinya, mencoba mencari celah untuk mencairkan suasana.“Roni, santai aja, Ayah sama Nenek nggak jahat, kok,” Yogi mencoba tersenyum, berusaha meyakinkan.Roni hanya mengerjap, tetap diam, ekspresinya sulit diterjemahkan. Bayang-bayang masa lalu seakan menekan hatinya, menahan mulutnya untuk sekedar menyapa. Dibenaknya masih terlintas kenangan pahit—perkataan kasar, tatapan dingin, dan perlakuan tidak adil yang pernah di
“Tapi, Bu…” Roni mengeluh pelan, wajahnya tampak enggan. Kedua matanya menghindari tatapan ibunya, Devi, yang baru saja menyampaikan pesan dari ayah mereka. Devi mendesah panjang, memandang kedua putranya yang masih duduk di hadapannya dengan ekspresi serba salah. Beberapa hari yang lalu, mantan suaminya, Yogi, meminta waktu untuk bertemu dengan anak-anak mereka, yakni Roni dan Rayyan. Namun, ia tahu bahwa membujuk anak-anak, khususnya Roni, bukanlah perkara mudah. “Nak, bagaimanapun juga, dia tetap ayah kandung kalian,” ucap Devi berusaha lembut, meski nada suaranya mulai terasa putus asa. Ada perasaan bersalah yang selalu muncul setiap kali dia mengangkat topik ini. Hatinya teriris melihat bagaimana Roni, putra bungsunya, menunjukkan ekspresi menolak yang begitu kuat. Rayyan, putra sulungnya yang kini berusia sebelas tahun, menghela nafas panjang dan mengangguk pelan. Dia mengerti perasaan ibunya dan tampak lebih tenang darip
"Entah kenapa aku malah curiga sama keluarga mantan suamimu itu, Dev..."Suara Siska yang tegas memecah keheningan di ruangan toko bakery yang baru saja dibuka. Devi, yang sejak tadi terlihat melamun, tersentak mendengar kalimat itu. Ia menarik nafas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya yang seolah melayang-layang entah ke mana. Sudah beberapa hari sejak pertemuannya dengan Yogi, mantan suaminya, namun kata-katanya masih terngiang di kepala. Seperti duri yang tertinggal di luka lama, pertemuan itu membuka kembali ingatan tentang masa lalu yang tak ingin ia ingat.Devi menatap jalanan dari balik kaca toko bakery-nya, memandang kosong pada lalu lalang orang yang tak dikenalnya. Ia tampak letih, seolah banyak beban yang ia pendam sendiri. Pembukaan cabang baru toko roti miliknya dan tanggung jawab mengurus dua anak seorang diri. Hari ini adalah hari besar bagi Devi, namun bayangan masalah keluarga mantan suaminya seolah membayangi setiap langkahnya.
Suasana yang masih tenang di toko roti milik Devi seketika berubah menjadi penuh kecanggungan. Ruangan itu terasa lebih sesak meskipun hanya ada beberapa pengunjung yang tampak sibuk memilih kue di sudut ruangan. Devi sedang membantu Siska, sahabatnya, menyusun kue ke dalam etalase. Seolah Siska adalah pemilik toko tersebut, padahal justru sebaliknya. Mereka berbagi percakapan ringan tentang jenis kue yang baru tiba pagi itu.“Aku lebih baik membicarakan roti yang wangi ini, daripada membicarakan orang-orang yang masih ada hubungannya dengan keluarga mantan suamimu itu,” ucap Siska ditengah perbincangan. Namun, ketenangan itu mendadak pudar ketika pintu toko bakery berderit pelan, diikuti oleh langkah kaki seseorang yang masuk ke dalam. Devi berhenti bergerak, menatap sosok yang tidak asing itu. Berdiri di depan pintu dengan ekspresi ragu namun mantap, dia adalah Yogi, mantan suaminya. Untuk sesaat, Devi tertegun, seperti sedang berusaha memastikan apakah dirinya
“Bu Lilis, tolong, saya butuh penjelasan!” Devi menatap Lilis dengan pandangan memohon, sementara jemarinya tetap menggenggam lengan wanita itu erat.Lilis mengalihkan pandangan, wajahnya tampak resah. “Aku… aku sudah katakan, bukan. Kukatakan sekali lagi, Lisa meninggal karena overdosis!”“Jika hanya karena alasan kematian Lisa. Itu bukan alasan cukup untuk lari seperti pecundang, Bu!” Devi membalas, nada suaranya mulai meninggi. “Kalau memang Ibu tidak bersalah, kenapa harus takut? Apa ada hal lain yang Ibu sembunyikan?”“Devi, tolong jangan paksa aku…” Lilis mencoba menarik diri, tapi tangan Devi lebih kuat.“Tidak, Bu Lilis! Ibu tidak boleh lari dari semua ini. Lisa meninggal dengan kondisi yang… aneh. Semua orang membicarakan dia, dan jangan sampai mereka justru menuduh Ibu kalau Ibu lari seperti ini. Jika Ibu benar-benar peduli pada mendiang Lisa, jelaskan semuanya!” Devi menatap tajam, mencoba menahan rasa frustasi.Lilis