Share

Bab 2

Pukul sepuluh pagi, Rumah Bahagia, penuh kesibukan. Tampak beberapa orang wanita, sedang menunggu antrian. Menunggu giliran, untuk bertemu dengan konsultan-nya masing-masing.

Rumah Bahagia, sebuah kantor konsultan pernikahan. Diberi nama Rumah Bahagia, karena tujuan mereka, hanya ingin menciptakan kebahagiaan. 

Sejak berdiri selama sepuluh tahun yang lalu, Rumah Bahagia, telah memecahkan rekor tersendiri. Telah menyelesaikan ribuan kasus rumah tangga, tanpa perceraian. Dan itu menjadi motto mereka, Menciptakan Bahagia, dan Tetap Bersama.

“Selamat Pagi, Camelia Zenia.” Camelia terkesiap. Dia tanpa sadar, berdiri dan menutup jalan. “Selamat Pagi, Mas Will,” jawab Camelia, kaget. “Bagaimana kabarnya Lia?”

“Alhamdulillah hari ini, luar biasa, Mas.” Camelia memberi senyuman hangat. “Aku masuk dulu, ya.”

“Silahkan, Mas.” Camelia tampak ramah, dan memberikan jalan, untuk Willy, menuju ruangannya. “Mbak Lia, kenapa?”  Kembali, tersentak. “Kikan? Aku kaget!”

“Mbak kenapa? Kok dari tadi, bengong di situ?”

“Itu, kamu lihat!” sahut Camelia, menunjuk ke ruangan konseling. “Ibu Mayang dan suaminya?”

“Iya! Enggak selesai ya, urusan mereka?”

“Masalah mereka, lumayan berat Mbak. Mbak Viona sampai jadi stres hadapi mereka berdua. Setiap dipertemukan, pasti, selalu berantem. Jadinya, titik temu, sulit. Wong, ngobrol santai saja, mereka enggak bisa.”

Camelia masuk ke dalam ruangannya, diikuti Kikan. “Di Ruang Dengar, aku pikir, masalah Ibu Mayang, bisa diselesaikan dengan cepat. Karena, dari semua yang beliau sampaikan, permasalahan mereka itu, ya klasik. Masalah umumnya pernikahan, jenuh,” lanjut Camelia.

“Kayaknya sih, masalah ini, menjadi ujian berat untuk Rumah Bahagia. Mbak Viona sempat cerita, dia seperti kehilangan harapan, untuk pasangan ini.”

Camelia tampak tersenyum. Dia seperti larut dalam pikirannya sendiri. Menjauh dari pembahasan Kikan.

“Mbak, baik-baik saja?” tanya Kikan, heran. Camelia tiba-tiba tersenyum sendiri.

“Aku cuma merasa, Rumah Bahagia ini, amazing. Keajaiban dari Tuhan. Aku, kamu, dan Mas Willy, Mbak Meta, Mas Oskar, Via, semua belum punya pengalaman berumah tangga. Hanya Mbak Viona, yang ada di antara kita, dan punya pengalaman. Tapi, buktinya, kita bisa bertahan selama sepuluh tahun. Dengan ribuan klien, beserta permasalahan rumah tangga mereka, yang sungguh tidak mudah.”

“Mbak, aku penasaran satu hal.”

“Tentang apa?”

“Mbak, kenapa, belum mau ke bagian Konseling. Tetap bertahan di Ruang Dengar, hampir sepuluh tahun.”

Camelia, menjawab disertai senyuman. “Kikan, aku mengerti posisi terbaik, yang bisa aku persembahkan untuk Rumah Bahagia. Konseling, membutuhkan seseorang yang punya track record sempurna. Dapatkah kamu menerima saran, dari seseorang, yang hidupnya saja gagal?”

Kikan terpaku.

“Sepuluh tahun di Rumah Bahagia, satu hal penting yang aku simpulkan. Bahwa semua orang yang memiliki masalah, hal pertama yang mereka butuhkan adalah didengarkan. Dan, aku merasa, sudah berada di tempat paling tepat, menjadi pendengar terbaik untuk mereka yang membutuhkan kita.”

“Kamu tahu gak Dik. Kenapa, Rumah Bahagia, semakin ke sini, semakin dibutuhkan banyak orang?”

“Karena Rumah Bahagia tidak pernah gagal, Mbak?” jawab Kikan. “Bukan! Karena, Rumah Bahagia, berhasil menjadi teman, bagi mereka yang merasa jauh dari kehidupan mereka sendiri. Anak yang kehilangan kasih sayang orang tua. Anak yang merasa, tidak diinginkan. Istri yang jenuh dengan sikap suaminya. Suami yang tidak betah di rumah. Sebenarnya persoalan mereka sama.”

“Hilangnya kebersamaan, ya, Mbak?’

“Ya, kamu benar!”

“Dan inilah yang bertahun-tahun, Rumah Bahagia, mampu ciptakan. Menumbuhkan kembali kerinduan, akan kebersamaan itu. Dan akhirnya, itu menjadi obat, dari seluruh persoalan mereka.”

“Mbak, sebenarnya aku masih harus banyak belajar. Aku ingin sekali menjadi salah satu konsultan di sini. Bukan hanya di belakang meja, mengurus administrasi.”

“Pasti, hari itu akan tiba. Kamu terus belajar saja. Amati dan pelajari, apa yang setiap hari terjadi. Kan, semua tamu, pasti bertemu kamu dulu, kan?”

“Iya, Mbak.”

“Di situ, kamu sudah bisa membaca, persoalan apa, yang sedang mereka alami.”

“Baik, Mbak. Aku pasti belajar.” Setelah percakapan yang cukup panjang, Kikan kembali ke tempatnya.

***

Aktivitas Rumah Bahagia berjalan seperti biasanya. Antrian sampai pukul satu siang sudah mencapai tiga puluh antrian. Lelah terlihat jelas, di wajah seluruh personil Rumah Bahagia.

Di tengak kesibukan yang tiada henti, Camelia dan Kikan tersentak. Mereka keluar dari ruangan.

“Kikan, ada apa? Itu suara Mas Will!”

“Iya, Mbak. Tampaknya Mas Willy lagi marah besar!”

“Marah? Pada siapa?”

“Itu, Mbak.” Kikan menunjuk ke arah Pak Husen, yang baru keluar dari ruangan Willy.

Via, sekretaris Willy, berjalan ke arah Kikan dan Camelia. Dia tampak terburu-buru.

“Vi, ada apa? Kok siang ini, semua pada tegang banget?”

“Mbak, Mas Will, mau rapat, sekarang!”

“Ada apa?” Camelia masih bingung. “Ayo, Mbak.” Via berjalan menuju ruangan rapat, diikuti Camelia. Tampak Viona, juga berjalan ke arah yang sama.

“Mbak?” Camelia mencoba bertanya, tapi Viona hanya menjawab dengan isyarat, bahwa dia tidak paham yang terjadi.

Di ruang rapat, tampak Willy, duduk serius di kursinya. Wajahnya, menyiratkan persoalan besar. Dia pria yang emosional, namun, sekian lama, dia jauh lebih sabar. Entah mengapa, siang ini, sikap kerasnya itu hadir lagi.

Viona dan Camelia, mengambil tempat. Mereka saling menatap.

“Will, ada apa? Kok tiba-tiba, kita rapat?” Viona membuka pembicaraan, setelah Willy masih membisu, dengan tatapan serius.

“Aku ingin membicarakan pemberhentian Pak Husen!”

Viona dan Camelia, kembali, tercenung.

“Ada masalah apa, Mas?” Camelia, pun, penasaran. “Ini ketiga kalinya, beliau membuat kesalahan! Dan aku merasa, sudah cukup!”

“Kesalahan apa Mas?” Viona menggerakkan matanya, tampak memberi instruksi pada Camelia untuk lebih tenang. Viona sangat paham karakter Willy.

“Ayo, kita bicarakan, dengan tenang. Kamu bisa ceritakan yang terjadi, Will, sehingga keputusan apapun yang diambil, adil untuk semua pihak.” Kalimat Viona, menunjukkan kedewasaannya, sebagai yang tertua di antara kedua rekannya itu. Dia lebih bijak dan sangat tenang.

“Mbak, aku benar-benar sangat marah! Dokumen pentingku, ditumpahi kopi panas. Dokumen yang harus kubawa ke rapat pemegang saham! Aku tidak bisa lagi memaafkan keteledoran seperti itu. Tidak bisa!” Willy meluapkan amarahnya, di setiap kalimat yang dia ucapkan.

“Mulai detik ini, Pak Husen, aku pecat!”

Viona menatap Camelia.

“Mas—“

Belum selesai, kalimat Camelia dipotong oleh Willy. “Ini sudah keputusan final, tidak ada pertimbangan!”

Please, Mas. Boleh aku bicara sedikit?” Camelia berusaha menembus tembok keras hati Willy. Namun, Willy tidak menjawab.

“Will, kita di sini tim. Baiknya, kita bisa saling mendengarkan, ya?” Viona membujuk Willy.

Willy menarik napas panjang, dan membuang muka ke arah jendela. Dia begitu berat menatap Camelia, yang duduk di hadapannya.

Sejenak, hening.

“Oke!” Akhirnya, tembok keras itu, terbuka. “Terkadang, kita harus menggunakan sisi kemanusiaan dalam sebuah persoalan, Mas. Lia tidak bermaksud mengajari Mas Willy tentang ini. Tapi, sebagai seorang partner, Lia hanya mengingatkan.”

“Kamu langsung saja, Lia!”

“Baik, Mas. Aku mohon, Mas. Pak Husen, jangan dipecat. Masih dengan alasan yang sama.”

“Lia, Lia. Kita harus profesional. Kalau selalu pakai perasaan, kantor ini bisa hancur! Untuk masalah ini, maaf, aku sama sekali tidak bisa lagi kompromi! Ini ketiga kalinya, Lia! Tiga kali!”

Willy menekan kata tiga kali. Pak Husen sudah melakukan kesalahan berulang kali. Yang berarti, kali ini, Willy tidak akan lagi, memberi maaf.

”Baik, Mas. Jika itu keputusan Mas Will, sebelum Pak Husen menerima surat pemecatan, aku mengundurkan diri, Mas!”

“Lia?! Apa-apaan ini?” Viona, pun, tersentak. “Iya, Mbak. Ini keputusanku.”

Willy justru semakin emosi, dengan ucapan Camelia. Dia benar-benar berusaha menahan emosinya, yang semakin menguasai dirinya.

“Apakah itu kalimat ancaman?”

“Ini serius, Mas!” Willy menatap Viona. Dan Viona menggelengkan kepalanya.

“Oh my god!!!” teriak Willy. Dia akhirnya tidak mampu menahan emosinya yang tertahan.

Beberapa detik, ruangan menyepi. Willy menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Semakin tidak percaya, dengan apa yang terjadi, siang ini.

Willy menarik napas, sangat panjang. Dan berkata, “Baiklah, Pak Husen, aku maafkan!” Suaranya tampak melemah.

“Terima kasih, Mas.” Senyum bahagia Camelia merekah, dan dia sekejap menghilang dari hadapan Willy dan Viona.

“Mbaakkk!!!” Willy begitu gregetan. Dia tidak percaya dengan apa yang dilakukannya. Dia bukan dirinya.

Viona tersenyum. “Untuk ketiga kalinya, Willy Samudera, dikalahkan oleh Camelia Zenia. Hattrick, ya.”

“Mbak, bahagia banget ya, melihat penderitaanku? Aku bisa jadi gila, kalau seperti ini, Mbak!”

“Gila karena Lia?”

“Mbak, cukup!”

“Mbak paham kok, Will. Mbak sangat kenal kamu.”

“Tapi aku benci sikap seperti ini. Ini sangat tidak profesional, Mbak. Aku merasa, lama-lama aku bukan lagi diriku, jika terus di sini!”

Viona, lagi, tersenyum. “Ya, memang susah, kalau hati sudah masuk ranah profesional. Jadinya, ya begini.”

Willy, terpaku.

“Ada yang takut banget ya, kalau Camelia pergi dari Rumah Bahagia?”

“Mbak, please!”

Masih dengan senyumannya, Viona berdiri dan meninggalkan Willy di ruang rapat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status