Pagi menjemput. Melati tampak lelah. Dia kelihatan tidak tidur dengan baik semalam. Tepat pukul tujuh pagi, Meylani sudah ada di apartemen. Keduanya jelas panik, akan reaksi Lia atas apa yang mereka sembunyikan.
“Silahkan kalian ceritakan, apa yang seharusnya sejak dulu aku dengarkan!” Melati dan Meylani saling bertatapan. Mereka bingung memulai segalanya. Kemarahan Lia, sudah jelas hadir di matanya.
“Kok malah diam?! Apa bagian kalian, aku tidak lagi penting?!”
“Tidak begitu Li—“
“Silahkan Mey!” sambung Lia, sinis.
Meylani menarik napas panjang. Dia memberi isyarat pada Melati, bahwa dia yang akan menceritakan segalanya.
“Sebulan lalu saat aku dan Mas Leo ke Bandung, aku singgah di rumah Melati. etelah beberapa jam di sana, kami kedatangan tamu, istri Bilal.”
Meylani terdiam.
Lidahnya seperti terikat, begitu berat melanjutkan kalimatnya. Lia mengangkat wajahnya, menatap tajam.
Meylani sadar tatapan itu. Dia ber
Dua hari berlalu, Lia sudah kembali ke apartemen. Namun, belum sejam, sebuah kabar buruk tiba-tiba menciptakan duka yang begitu dalam. Kabar kematian Baba, membuat Lia langsung mengganti pakaian dan bersama Leo dan Meylani menuju pemakaman. Tidak ada kalimat yang tercipta. Hanya tatapan kesedihan yang mengantarkan ketiganya ke lokasi pemakaman. Suasana pemakaman Baba menyiratkan duka yang begitu besar. Dia sosok yang sangat dikenal oleh seluruh mahasiswa. Terlihat banyak hati yang patah dengan kematian pria yang ramah dan baik hati itu. Di antara keramaian para pelayat, tampak Bilal dan Camelia yang berdiri sedikit berjarak, di antara Leo dan Meylani. Ke empat sahabat ini, tidak bisa melupakan kehadiran Baba dalam perjalanan mereka, saat masih di kampus. Pria tua itu, sudah seperti orang tua bagi mereka. Sesaat setelah pemakaman selesai, Mey dan Leo pamit pulang lebih awal. Tinggallah Lia dan Bilal yang masih berdiri di samping pusara Baba. Mereka ber
Di meja saat makan malam. Hanan mencoba mencari waktu terbaik untuk memulai berbicara dengan Lia. Setelah makan malam, Hanan akhirnya memberanikan diri. “Kak, boleh Hanan bicara?” “Iya silakan.” “Kak, ini tentang Mas Willy.” “Iya Nan? Apa yang kamu ingin jelaskan? Aku sudah dengar semuanya!” “Apakah Kak Lia, merasa, semua kebaikan Mas Willy selama ini adalah kepalsuan?” Lia membisu. Dia seperti terpengaruh ucapan Hanan. Dia merenung. “Apakah pantas, kita menilai seseorang dari masa lalunya Kak? Apakah itu adil?” sambung Hanan. Lia masih diam. “Iya memang Kak, Mas Willy punya masa lalu kelam. Saya pun sama, Kak. Kami sama-sama tumbuh dari keluarga yang jauh dari agama. Tapi semakin dewasa, kami belajar banyak hal. Seperti saya banyak belajar dari Melati saat kuliah. Itupun terjadi pada Mas Willy selama mengenal Kak Lia di Rumah Bahagia. Saya menjadi saksi bagaimana Mas Willy belajar salat, belajar ngaji Kak. Saya
Suasana hening kembali tercipta. Di tempat itu, Lia dan Meylani sudah duduk berhadapan dengan Bilal. Pertemuan yang kembali menyiratkan kesedihan dari tatapan Lia, pun dengan Bilal. Sendu yang terus bergema menuruti perjalanan waktu tanpa suara. “Bi,” ucap Lia memulai disertai senyum. Lia memegang dadanya, dan berucap, “Di sini, adanya cinta. Adanya ketulusan. Bagaimanapun dia tersampaikan, dia akan tetap akan sampai ke tempat yang sama. Aku melihat kesempurnaan cinta ada di mata Mbak Linda. Sosok asisten dosen, yang lebih dulu kamu cintai. Aku benar kan, Bi?” Bilal menghela napas. Dia tidak menjawab pertanyaan Lia. “Jika aku bisa menyimpulkan, sebenarnya cintamu yang sebenarnya itu, untuk Mbak Linda, bukan aku!” “Li—“ “Mbak Linda sangat mencintaimu Bi. Aku tidak mungkin merenggut itu hanya karena alasan masa lalu. Dia mendampingimu selama dua belas tahun ini. Itu sudah cukup membuktikan bahwa dia adalah takdirmu. Tolong, jangan sakiti
Definisi keluarga, selalu saja bergolak, dalam jiwa siapa pun, yang tidak sempat merasakan kasih yang sempurna. Keluarga? Apakah mereka, yang tersenyum bahagia saat melihatmu pertama kali hadir di dunia? Apakah mereka yang disebut sedarah? Ataukah, siapa saja bisa disebut Keluarga? Ya, siapa pun bisa kamu sebut keluarga. Karena keluarga itu tentang ketulusan. Tentang kehadiran. Tentang kasih yang tak terbatas, oleh jarak dan waktu. *** Suara kendaraan terdengar memenuhi seluruh pendengarannya. Tak kalah, suara wanita-wanita dengan tawa lebar, menyambutnya saat memasuki tempat itu. Siang ini, dia akan bertemu sahabatnya. Tempat itu, seperti kembali mengajaknya melangkah mundur. Semua bayangan memenuhi ingatannya. "Apa?!" suara Mey membuat semua mata, tertuju padanya. "Suara kamu!" Camelia menegur Meylani, untuk merendahkan suara. "Lia, kamu gila!" "Mey, bagiku, cinta itu harus diperjuangkan. Aku gak mau seperti kamu. Terus saja berharap Leo, bisa paham isi hati kam
Camelia, sejak tiga tahun ini, tinggal di Apartemen Jakarta Residence. Sebuah hunian, hadiah dari adiknya, Melati, tak lama, setelah dia menikah. Akhir pekan, Camelia selalu menghabiskan waktu, membaca di balkon apartemennya. Suasana santai, seraya menatap kesibukan sekitar apartemen, menjadi hiburan-nya. Bel apartemen berbunyi. Camelia sontak berdiri menuju pintu. Senyumannya terurai saat membuka pintu. Menyaksikan sosok yang memang sangat dirindukannya. “Tante cantik.” Panggilan Yumna, anak dari Melati. Camelia langsung memeluk gadis kecil itu. “Tante rindu banget, sama Yumna cerewet.” Melati dan Hanan, suaminya, tersenyum, melihat keakraban Yumna dan Camelia. Mereka lantas masuk ke dalam Apartemen Camelia. “Kak, pasti belum makan, kan? Ini kami bawakan, makanan kesukaan Kak Lia.” Melati meletakkan makanan, di atas meja. Camelia tampak serius bermain bersama Yumna, dia tidak menggubris ucapan Melati. “Yumna, udah makan siang?” “Udah dong, Tante Cantik.” “Kalau begitu, Tante
Pukul sepuluh pagi, Rumah Bahagia, penuh kesibukan. Tampak beberapa orang wanita, sedang menunggu antrian. Menunggu giliran, untuk bertemu dengan konsultan-nya masing-masing. Rumah Bahagia, sebuah kantor konsultan pernikahan. Diberi nama Rumah Bahagia, karena tujuan mereka, hanya ingin menciptakan kebahagiaan. Sejak berdiri selama sepuluh tahun yang lalu, Rumah Bahagia, telah memecahkan rekor tersendiri. Telah menyelesaikan ribuan kasus rumah tangga, tanpa perceraian. Dan itu menjadi motto mereka, Menciptakan Bahagia, dan Tetap Bersama. “Selamat Pagi, Camelia Zenia.” Camelia terkesiap. Dia tanpa sadar, berdiri dan menutup jalan. “Selamat Pagi, Mas Will,” jawab Camelia, kaget. “Bagaimana kabarnya Lia?” “Alhamdulillah hari ini, luar biasa, Mas.” Camelia memberi senyuman hangat. “Aku masuk dulu, ya.” “Silahkan, Mas.” Camelia tampak ramah, dan memberikan jalan, untuk Willy, menuju ruangannya. “Mbak Lia, kenapa?” Kembali, tersentak. “Kikan? Aku kaget!” “Mbak kenapa? Kok dari tadi,
Leo dan Meylani, masih terpaku, menatap langkah Bilal menuju pintu. Keduanya terlihat cemas. Meylani, tampak menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Dia seperti, sangat takut, dengan kedatangan, sosok yang ada di balik pintu itu. Ruang keluarga, berada di samping kamar Leo dan Meylani. Dari posisi mereka berdiri, pintu masuk dihalangi oleh ruang tamu yang cukup besar, sehingga mereka tidak bisa melihat tamu yang datang. Tak lama setelah Bilal menuju pintu, langkah kaki yang cukup meriah saling bersahutan. Langkah itu, menuju tempat Leo dan Meylani, yang masih saling menatap satu sama lain. “Mas, kok, kayak ramai ya? Lia datang bersama siapa?” Meylani begitu yakin, akan kedatangan sahabatnya itu. “Kamu tenang dulu, ya. Kita tunggu saja.” Meylani lantas duduk, menenangkan diri. Dia seperti, membawa jejak masa lalu dalam jiwanya. Dia terusik, sehingga kekhawatiran menguasai dirinya. “Sayang.” Tangan Leo memegang pundak istrinya, menunjuk ke arah sosok yang berdiri di hadapannya.
Bilal berlalu. Suasana masih dingin. Semua kembali ke ruang keluarga. Kebersamaan yang tadi penuh kebahagiaan, berubah. Malam semakin larut, Melati dan Hanan pamit pulang. “Astagfirullah.” Tiada hentinya Meylani, mengucap zikir. Kondisi tadi, benar-benar memorak-porandakan, kebersamaan yang hangat, yang seharusnya tercipta malam ini. Meylani dan Leo, kembali duduk di kursi yang sama, saat sore tadi. Tampak, kelelahan di wajah mereka berdua. “Mas, ada apa dengan Bilal? Tidakkah Mas lihat, dia dalam kondisi sangat buruk?” Leo mendekat pada istrinya, duduk di sampingnya. Meylani mendaratkan kepalanya, lagi, di pundak Leo. “Dia kelihatan hancur, sangat hancur, Mas! Beberapa tahun, kita tidak pernah mendengar kabarnya. Hanya kabar tentang pernikahannya, anak-anaknya. Dia tidak pernah lagi bercerita tentang dirinya, kebahagiaannya. Seperti Bilal, yang penuh obsesi dan banyak mimpi, di masa lalu.” “Mas, sudah bertanya berulang kali, Sayang. Tapi, Bilal hanya menjawab, semua baik-baik sa