Share

Bab 3

Camelia, sejak tiga tahun ini, tinggal di Apartemen Jakarta Residence. Sebuah hunian, hadiah dari adiknya, Melati, tak lama, setelah dia menikah.

Akhir pekan, Camelia selalu menghabiskan waktu, membaca di balkon apartemennya. Suasana santai, seraya menatap kesibukan sekitar apartemen, menjadi hiburan-nya.

Bel apartemen berbunyi.

Camelia sontak berdiri menuju pintu. Senyumannya terurai saat membuka pintu. Menyaksikan sosok yang memang sangat dirindukannya.

“Tante cantik.” Panggilan Yumna, anak dari Melati. Camelia langsung memeluk gadis kecil itu. “Tante rindu banget, sama Yumna cerewet.”

Melati dan Hanan, suaminya, tersenyum, melihat keakraban Yumna dan Camelia. Mereka lantas masuk ke dalam Apartemen Camelia.

“Kak, pasti belum makan, kan? Ini kami bawakan, makanan kesukaan Kak Lia.” Melati meletakkan makanan, di atas meja. Camelia tampak serius bermain bersama Yumna, dia tidak menggubris ucapan Melati.

“Yumna, udah makan siang?”

“Udah dong, Tante Cantik.”

“Kalau begitu, Tante makan dulu. Lanjut main sama Ayah, ya.”

“Oke Tante.” Yumna berlari ke arah Ayahnya, di balkon. Camelia bergabung dengan Melati di meja makan.

“Bagaimana kabar Kak Lia? Baik-baik saja, kan?”

“Alhamdulillah, seperti biasa, Dik.” Camelia menjawab, disertai senyuman hangat.

“Kak Lia, gak kesepian?”

Camelia tersenyum. “Tumben, kamu bertanya tentang kesepian? Ada apa? Bisa langsung to the point aja.”

Melati tersenyum. “Memang ya, kalau bicara dengan psikolog, gak boleh basa-basi. Jadinya aku yang kecele.”

Camelia, terkekeh.

“Kak, sejak ibu pergi, Melati selalu memikirkan kondisi Kak Lia. Melati merasa bersalah, meninggalkan Kak Lia sendiri, seperti ini.”

Kembali, Camelia tersenyum. Dia fokus mengunyah makanan, yang sedang memenuhi mulutnya.

“Kak?” Melati kembali menuntut jawaban. “Gimana? Kamu maunya, Kakak jawabnya gimana?”

“Kok malah bertanya balik?”

“Mel. Perjalanan hidup, itu bukan pilihan. Tapi suatu kepastian yang harus dijalani. Kesepian, sudah bagian dari kehidupan Kak Lia. Kamu jangan khawatir. Semua ada masanya. Kamu fokus pada kehidupan-mu bersama Hanan dan Yumna, ya.”

“Tapi Kak? Melati selalu khawatir keadaan Kak Lia, jika terus sendiri.”

“InsyaaAllah, semua akan baik-baik saja.”

Melati mengangguk. Ribuan bahasa, pun, tidak akan bisa mengalahkan keras hatinya, sang kakak. Persoalan orang tuanya di masa lalu, yang juga, menghancurkan cintanya, semakin menenggelamkannya dalam kesendirian.

“Kak Meylani nitip salam.”

“Kak Meylani ada di Indonesia?” Melati tersentak mendengar keberadaan sahabat kakaknya.

“Iya. Dia dan Kak Leo, memutuskan kembali ke Indonesia.”

“Alhamdulillah.” Melati tersenyum lebar. Suasana hatinya, yang sempat suram, berganti cerah.

“Kok, kamu bahagia banget?”

“Kak, kalau Kak Mey ada di Indonesia, Melati tidak akan khawatir lagi. Karena Kak Lia sudah punya Kak Mey.”

“Iya. Kak Lia juga sangat senang, Kak Mey balik lagi ke sini.”

“Kak?”

“Iya. Ada apa? Kok sedari tadi, Kakak lihat, kamu ingin mengatakan sesuatu. Kenapa gak disampaikan saja? Kamu kan, kenal sama Kak Lia. Gak usah ragu, langsung saja.”

“Kak, Mas Willy.”

Camelia, kembali tersenyum. “Kamu belum selesai dengan beliau?”

“Kak, bukan Melati. Kak Lia, kan?”

“Mel, hubungan Kakak dengan Mas Willy, murni hubungan kerja. Bagi Kakak, pantang, mencampur-adukan urusan pribadi dan urusan pekerjaan.”

“Jadi?”

“Ya, itu. Kakak tidak akan pernah menjalin hubungan, dengan siapapun, di kantor yang sama.”

“Jadi, jika Mas Willy serius, dia harus meninggalkan Rumah Bahagia?”

“Iya, seperti itu. Tapi, itu gak akan terjadi, Mel. Mas Willy sangat mencintai Rumah Bahagia. Itu adalah obsesinya, mimpinya, lebih dari apapun. Beliau pernah ngomong sama Kak Lia. Bahwa dia belum menikah, karena dia ingin fokus, di Rumah Bahagia.”

“Aduh, Kak Lia. Kok jadi ribet banget. Ada yang suka, malah dicuekin begitu. Mas Willy kan baik banget. Dia juga sudah tahu betul, semua tentang keluarga kita. Masalah, yang selalu Kak Lia khawatirkan. Tapi, kenapa malah sulit begini, Kak?”

“Mel, semua orang punya jalan kehidupan masing-masing. Kak Lia pun, punya alasan, untuk setiap keputusan yang Kak Lia ambil. Kamu mengerti, kan?”

“Baik, Kak. Intinya, Melati sangat menyayangi Kak Lia. Melati cuma ingin Kak Lia bahagia.”

“Iya. Makasih ya.”

Pelukan Melati, mendarat di tubuh Camelia. Harapan itu sangat besar. Melihat kakaknya, juga mengakhiri kesendiriannya.

***

Hari ini, Meylani dan Leo, pindah ke rumah baru mereka. Setelah menunggu beberapa bulan, akhirnya rumah impian itu, siap menerima penghuninya.

“Mas, Ayah dan Ibu, semuanya, udah balik?”

Meylani keluar dari kamar. Dia mencari orang tua dan mertuanya, yang tidak terlihat lagi di ruang keluarga. Rumah mereka, seketika sepi.

“Udah sayang. Mama Papa, Ayah dan Ibu, tadi lihat kamu kecapaian. Mereka gak mau ganggu. Jadi, Mas, gak bangunin kamu, saat mereka pamit pulang.” 

Leo berjalan menuju istrinya. Dia memeluk Meylani dari belakang. Tangannya melingkar di pinggang sang istri. Mendekatkan dagunya, di pundak kekasih hatinya.

"Akhirnya bisa berdua juga ya?" Leo terus saja menganggu belahan jiwanya. “Mas, mandi dulu! Keringatnya, asem!”

“Asem tapi ngangenin?” Meylani mendengus, dongkol, dengan kepercayaan diri suaminya. Dia berusaha melepaskan diri dari pelukan Leo. Tapi, tidak berhasil. 

“Mau ke mana sih?”

“Mas, Mey mau ke dapur. Haus.”

“Mas ambilkan, ya.” Tanpa jawaban Meylani, Leo sudah melangkah menuju dapur.

Meylani duduk tepat di depan TV. Tak lama, Leo sudah kembali dengan segelas air.

“Suami Mey, sweet banget ya. Makasih Sayang.”

Leo malah menunjuk pipinya. Dan Meylani tahu betul, maksud sang suami. Meylani memberikan kecupan, di pipi, kekasihnya itu.

“Makasih.” Leo membalas dengan senyuman paling manis. “Sayang, kamu gak apa-apa?”

“Cuma kelelahan saja, Mas.” Meylani menjatuhkan kepalanya, di pundak Leo, yang duduk tepat di sampingnya. “Ini sudah jam empat. Bukannya Lia, janji datang sore ini?”

“Iya, Mas. Tadi dia kasih kabar, udah di jalan.”

“Mas, jadi ngundang Bilal dan Linda?” Meylani tiba-tiba ingat, tentang kehadiran Bilal dan istrinya.

“Iya.”

“Mas, gimana sih? Duh, bisa jadi apa pertemuan itu nanti?”

“Gak usah khawatir Sayang. Kita semua sudah dewasa. Mas yakin, Camelia dan Bilal, sangat memahami posisi mereka saat ini.”

“Ini makan malam pertama kita, setelah kita pindah ke Jepang. Sudah lama banget, kita gak semeja berempat. Jika saja, musibah itu tidak terjadi, mungkin Camelia dan Bilal—“

“Sayang, gak boleh bicara begitu. Semua sudah ketetapan Tuhan.” Meylani mengambil tangan suaminya, dan mengecup punggungnya. Leo pun melakukan hal yang sama.

Sesaat hening.

Suara bel berbunyi, menyingkap kebisuan. “Mas aja yang buka.” Leo berjalan menuju pintu.

“Assalamu’alaykum.” Senyum Bilal, membuka pertemuan malam ini.

“Wa’alaykumussalam. Akhirnya yang ditunggu sudah tiba.” Leo mengajak Bilal masuk ke dalam rumah. Mereka langsung bergabung dengan Meylani di ruang keluarga.

“Bilal!” Meylani sedikit kaget melihat sosok, yang kini ada di hadapannya.

“Kok, kaget banget?” Bilal heran dengan tingkah Meylani, tidak biasanya. “Kamu sendiri?”

“Iya, sendiri.”

“Bukannya, kami mengundang kamu dengan istri dan anak kamu? Jangan sampai, kamu lupa, kamu punya istri dan anak.” Leo tertawa puas.

“Kamu ya. Aku baru nyampe, sudah diledekin begitu. Anak-anak bersama ibunya, lagi nginap di rumah neneknya. Mereka sudah rencanakan, sejak bulan lalu. Makanya, aku sendiri, Abang Leo!” Bilal, menatap Leo, tajam. 

"Bercanda, Bang. Kok serius banget sih?" Leo sadar, kalimatnya menyinggung perasaan Bilal. Entah mengapa, sahabatnya itu, semakin hari, semakin sensitif saja.

Meylani tertegun. Dia seperti memikirkan sesuatu, yang menguras energinya.

Bilal memberi kode kepada Leo, menunjuk sikap Meylani, yang terdiam. Tidak seperti biasanya. “Sayang, kamu kenapa?” Leo sedikit khawatir dengan sikap istrinya. “Mas, bisa temani aku dulu, ke kamar?”

“Oke.”

“Lal, kamu di sini dulu ya. Aku antar Mey dulu, ke kamar. Kayaknya dia kurang sehat.”

“Silahkan.”

Leo dan Meylani berjalan menuju kamar. Setelah menutup pintu, Mey mendaratkan tubuhnya di pinggir tempat tidur. Leo berjongkok di depan istrinya. Dia tahu betul, istrinya ingin menceritakan kegundahan hatinya.

“Mas! Aku khawatir, sebentar lagi Lia akan datang.”

“Semua akan baik-baik saja, Sayang.” Suara Leo begitu lembut. Dia mengambil tangan Meylani, dan menggenggamnya erat. Berusaha menenangkan.

“Mas, aku yang paling tahu, kondisi hati Lia, selama sepuluh tahun ini. Lukanya, tangisnya, tidak bisa terhapus dari ingatanku, Mas. Aku takut, apa yang kita lakukan malam ini, kembali menghidupkan luka itu.”

Leo mengecup tangan istrinya. “Tapi, Bilal sudah datang? Mas suruh dia balik saja?”

“Aduh Mas. Gak bisa begitu juga. Gak enak! Kita yang ngundang, kok malah kita usir.”

“Jadi, gimana? Mas, juga tidak tahu. Mas pikirnya, semua akan baik-baik saja. Lia sudah sangat dewasa. Bukan lagi remaja dua puluh tahun yang patah hati, Sayang. Percaya sama Mas.”

“Mey, cuma takut, Mas.”

“Semua akan baik-baik saja, Sayang.” Leo memeluk istrinya. Saat keduanya terpaku, suara bel kembali berbunyi. Meylani tersentak, kaget.

"Mas!"

Leo seketika berdiri, keluar dari kamar dan melihat Bilal, sudah menuju arah pintu. Dia lantas menatap gugup pada istrinya, yang sudah berdiri di sampingnya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status