Pagi harinya, aku merasakan hal aneh ketika terbangun. Rasanya begitu segar dan bugar badan tatkala merasakan celanaku yang basah. Ketika aku melepas celanaku untuk memeriksanya. Benar adanya kalau di bawah sana sudah dipenuhi benih-benih yang sudah lama terbendung. Aku jadi malu sendiri karena semalaman, membayangkan Agni sampai terbawa mimpi.
Aku segera bangkit dari ranjang. Menoleh ke arah ponsel sejenak. Sudah merasa bodo amat ada pesan masuk. Sudah bodo amat dengan Raka dan Disha semalam yang sepertinya mau menjelaskan sesuatu. Bodo amat dengan perselingkuhan mereka juga. Hari ini, aku memutuskan untuk melupakan. Kehidupan yang baru sudah menunggu.
Pandanganku beralih ke Gede yang masih tertidur. Lelap sekali tidurnya seperti kerbau. Memang si kunyuk satu ini sulit bangun pagi. Makanya, hampir mustahil membangunkannya jam segini.
Dengan tubuh bugil, aku melangkah menuju kamar mandi. Sempat berhenti di depan cermin rias. Melihat ukiran berotot ditubuhku. Otot pundak yang kokoh menjuntai dengan besar serta kepalan tangan yang kuat, mengingat diriku ini sering olahraga boxing. Aku berdiri tegak. Berpose layaknya binaraga. Memamerkan dua bongkahan dada yang membusung kekar. Ada sedikit bulu di sekitarnya, turun ke perut yang agak sedikit menonjol oleh otot-otot yang sixthpack. Cukup bangga dengan tubuhku. Proporsional dan terlihat padat. Bangga mempertontonkannya kalau berjalan di pantai dengan hanya menggunakan celana pendek. Yang mungkin saja sebagian dari mereka akan berpikiran yang enggak-enggak.
Terus bagaimana dengan si Joni?
Dia sudah lama tidak terpakai. Tidak ada lubang yang bisa dia temui. Karena aku yang memang lebih sering menyibukan diri. Bekerja, olahraga, Tidak ada hal lain. Apalagi sampai affair dengan wanita lain. Makanya tidak heran, begitu terbayang Agni, dia langsung mengalami mimpi yang kebanjiran. Menunjukan ukurannya yang menegak juga sampai dua puluh satu senti.
Aku geli sendiri dengan tingkah narsisku itu. Body kekar pria di usiaku yang sudah sangat matang. Yang di mana nantinya akan bertemu dengan janda cantik yang sudah lama kekeringan. Mendadak aku kembali mencium aroma kewanitaan yang begitu segar. Begitu menggairahkanku pagi itu.
Aku tenggelam di balik pintu kamar mandi. Langsung memutar kran shower dengan komposisi 60 hot - 40 cool. Komposisi yang pas untuk suhu tubuh besar. Yang entah kenapa mendadak lebih hangat pagi ini.
Setelah cukup basah, aku melumuri tubuhku dengan sabun. Aku senyum-senyum sendiri saat membayangkan tubuhku dipenuhi keringat Agni. Begitupun Agni yang bermandikan keringatku. Ah, andai mimpi semalam beneran. Alangkah bahagianya aku.
Tidak butuh waktu lama, aku sudah berbalut handuk di depan kaca wastafel. Masih dengan sikap narsisku tatkala melihat diriku sendiri di cermin. Tidak lupa menggosok gigi supaya bersih dan wangi. Supaya lebih percaya diri kalau bertemu dengan Agni nanti.
Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Agni.
Jam sudah menunjukan pukul tujuh pagi. Masih tersisa dua jam lagi untuk breakfast. Tanpa membangunkan Gede, aku yang sudah rapi langsung turun ke restoran. Untuk sarapan Gede, aku akan meminta waiter untuk mengantarkannya ke kamar. Biarlah dia sarapan ketika sudah bangun nanti.
Aku mengecek ponsel. Hampir jam sembilan pagi. Waktu breakfast masih tersisa sejam lagi. Selain itu, ada panggilan dari nomer asing sebanyak dua puluh kali. Kalau dilihat dari kode negaranya, sepertinya dari Negara US. Pasti itu Gisha yang sedang menghubungiku menggunakan nomer itu.
Di restoran, aku membuat kopi yang sudah disediakan di buffet, Sebelumnya, aku meminta cook membuatkan dua omlet. Yah, cukup itu saja menu sarapanku pagi itu.
Sambil sarapan, aku celingukan mencari sosok bidadariku di antara para pelayan. Namun, bidadariku itu tidak keliatan.
“Seharusnya Kak Agni masuk subuh tadi, Pak. Ikut mempersiapkan sarapan. Tapi sampai jam segini beliau belum datang juga, Pak.” Seorang pelayan wanita menjelaskan saat aku bertanya.
Pikiranku langsung tidak karuan. Apa yang terjadi dengan Tante bohay idamanku itu?
Tanpa membuang waktu, aku langsung ke kamar. Meraih kuncil mobil. Terlihat Gede yang mengerjap-erjapkan mata. Mungkin dia terbangun karena kaget dengan suara pintu dan langkah kakiku.
“Mau kemana Lo? Buru-buru amat.”
Gede mengucek mata dengan sangat enggan. Tandanya dia akan kembali tidur.
“Agni enggak masuk kerja, Men. Ayo samperin ke rumahnya.”
“Idih perhatian banget nih. Mentang-mentang gebetan baru.”
“Sialan malah ngledek. Ikut enggak!”
“Ikutlah, tapi aku ngumpulin nyawa dulu. Masih ngantuk.”
“Devi lho ini! Masih males-malesan?”
Seketika, Gede langsung beranjak dari ranjangnya. Giliran cewek semangatnya empat lima. Buru-buru, dia mencuci wajah alakadarnya. Lantas mengikutiku menuju mobil.
*
“Berikan saya uang! Atau kalian saya usir dari rumah ini!”
Suara itu menggelegar terdengar sampai pinggir jalan, sewaktu aku dan Gede sampai di rumah itu. Ternyata bukan kami saja yang menyaksikan. Para tetangga tampak bermunculan. Menyaksikannya bagai tontonan. Hanya saja mereka tidak berani ikut campur.
“Ampura Bli, Maafkan kami, kami sudah tidak punya uang lagi.” Terdengar suara Agni terisak. Mengiris hati.
Aku hendak bergerak ke sana, tapi langsung dicegah Gede.
“Men, jangan dulu. Kita tidak tahu akar permasalahannya.”
Aku mendecak, “Tapi kasihan mereka, Bro.”
“Iya, gua tahu. Setidaknya Lo harus pandai melihat situasi. Sebelum masalahnya menjadi lebih runyam.
Aku mendengus pelan. Benar apa yang dikatakan Gede. Kami baru saja datang. Tidak tahu duduk perkaranya seperti apa.
Namun, siapa yang tega membiarkan kedua wanita itu dimarahi habis-habisan oleh pria itu. Kalau diamati, pria itu lagaknya sudah kayak preman. Tubuhnya bongsor besar. Penuh tattoo seluruh badan. Lengan besarnya menjuntai dengan kepalan bogem yang mantap kalau menghajar lawan. Dan lagi, sepertinya pria itu agak mabok.
“Itu akibatnya kalau kamu berani meminta cerai sama Tiyang (Aku)! Kamu tidak kebagian apa-apa termasuk rumah ini!”
“Tolong, jangan usir kami, Bli. Kami tidak tahu lagi mau pindah ke mana?”
“Itu urusanmu! Pokoknya saya enggak mau tahu, kalau kamu tidak memberikan saya uang. Kamu harus hengkang dari rumah ini! karena saya akan menempati rumah ini dengan istri baru saya.”
“Bapa Jahat! Tega sama kami! Tiyang benci Bapa!”
Plak!
“Diam kamu anak durhaka! Sejak kapan kamu berani melawan Bapa hah!” tuding pria itu kepada Devi yang tersungkur. Agni segera berhamburan menolong Devi yang kesakitan dengan lelehan air mata membanjiri wajahnya. Kedua perempuan itu saling berpelukan. Sama-sama meratap.
“Kamu sama meme kamu memang tidak berguna! Cepat pergi dari sini! Atau ku hajar kalian!”
“Jangan ganggu mereka!”
Aku menerobos masuk. Sudah cukup aku melihat mereka teraniaya.
“Siapa kamu hah! Berani sekali kamu mencampuri urusan saya.” Pria itu menatap nyalang ke arahku yang sedang berjalan tenang dan berdiri menjadi tameng Agni dan Devi.
“Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya kebetulan lewat saja. dan melihat kelakukan pengecut seorang pria yang beraninya sama perempuan. Saran saya, mending anda pakai rok saja.”
Spontan saja kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Sekilas aku melihat ekspresi wajah para tetangga, dan Gede yang terbelalak dengan kenekatanku menghadapi pria bertampang sangar itu.
“Apa kamu bilang!”Pria itu mengeratkan rahangnya. Matanya yang besar mendelik. Bogem besarnya mengepal. Siap untuk menerjangku membabi buta.
Namun, tiba-tiba pria itu memejamkan mata. Menghela nafasnya yang menderu. Terlihat sekali pria itu berusaha untuk menahan amarahnya. Seringai muncul di wajahnya.
“Kamu tidak tahu siapa saya anak muda, saya adalah anggota dari preman terkuat di daerah sini.”
“Preman terkuat tapi berani main tangan dengan wanita. Apa itu yang diajarkan sama pemimpin-mu!”
“Cicing cai! Keparat! Mati kau anak muda!”
Dia mengerang sambil melayangkan tinju besarnya ke wajahku. Aku berhasil berkelit. Hal itu membuatnya kesal. Semakin gencar untuk menyerangku. Aku masih dengan lihainya menghindar.
Karena tidak berhasil mencelakaiku, dia pun mengeluarkan pisau kecil dari sakunya. Situasi menegang. aku masih berusaha tenang. Berkali-kali, dia berusaha menikamku. Namun sekali lagi, aku berhasil menghindar sampai disuatu titik pisau itu mengarah ke perutku.
“Argh!” Dia terpelanting setelah aku mencekal tangannya dan melakukan gerakan uppercut. Sikutku dengan sangat keras mengenai dagunya. Beralih dengan cepat ke dadanya juga, sehingga pria itu terhuyung ambruk. Pria itu terbatuk-batuk sambil memegang dadanya yang kesakitan. Dia pun seperti terburu-buru hendak beranjak dari sana sambil tatapannya yang tajam mengarah ke arahku, seolah tidak terima kalau yang katanya preman terkuat bisa dengan mudah dikalahkan, dipermalukan dihadapan orang-orang. “Liat saja nanti! Kamu akan menyesal!” Pria itu berkata lantang sambil terburu-buru meninggalkan pelataran rumah Agni. Entah apa yang akan dia lakukan nanti, Mungkin dia akan mengadu ke pimpinannya maupun anggotanya. Aku sama sekali tidak perduli. Aku pun beralih ke Agni yang sedang memeluk Devi. Terlihat tubuh Devi yang gemetar setelah ditampar oleh si bedebah tadi. Masih ada tanda merah di pipinya. “Enggak usah takut, Devi. Sekarang sudah aman.” Aku menghampirinya. Memandang Devi yang masih m
Aku tidak berkedip melihatnya. Hal yang tidak pernah aku bayangkan dari seorang Agni yang sopan dan anggun. Nyatanya wanita itu menyimpan gejolak hasrat yang cukup tinggi. Bagaimana wanita itu memuaskan hasratnya seorang diri dengan menggunakan alat. Dan yang lebih tidak masuk akalnya lagi, dia juga mengatakan kalimat-kalimat yang begitu nakal.Butuh beberapa saat bagiku untuk menenangkan diri. Baru kemudian, secara perlahan aku keluar dari sana. Aku tidak ingin menganggunya yang sedang asik. Pastinya dia akan sangat malu sekali kalau aku sampai memergokinya.Aku kembali berjalan ke ruang tamu dengan langkah yang sangat gontai. Pikiranku tidak menentu. Agni ternyata tidak seperti yang aku pikirkan. Dia mempunyai kelainan. Apakah mungkin karena dia sudah lama menjanda makanya dia melakukan hal itu.Ketika aku sampai di ruang tamu, aku berpapasan dengan Gede yang menghampiriku.“Men, aku sudah mendapatkan rumah di dekat polres sesuai dengan budget yang kamu kasih. Sepertinya aman kalau
“Mantan suami Mbok Agni adalah anggota dari Askar Bali!”“Terus?” Aku menjawab santai saja tanpa mengerti gangster besar itu.Gede menepuk jidat. Agaknya dia jengkel dengan sikapku yang santai.“Itu gangster besar di Bali, Men. Cari mati namanya kalau berurusan dengan mereka?”“Memangnya kenapa? Lagian bukan kita yang salah jadi ngapain takut?”“Bukan begitu, Men. Bagaimana kalau nanti tiba-tiba ada orang yang mencegat kita di tengah jalan dari anggota gang mereka.”“Haha, Lo berlebihan, Men. Enggak usah lebay begitu.”“Dibilangin.”Selanjutnya aku tidak menganggap kekhawatiran Gede. Yang aku pikirkan sekarang. Apakah aku terus mengejar Agni atau tidak. Percayalah Hal ini lebih genting dari apapun.“Lo memang batu dibilangin. Lo sudah mabuk akan cinta Lo sama Agni sampai mengabaikan semua resiko.”Aku langsung menatap Gede yang langsung terkejut begitu aku menatapnya. Dia tampak mengernyit dahi.“Ada apa?”“Gua mau tanya sesuatu sama Lo, tapi Lo jangan heboh ya.”“Tanya apaan?” Gede l
Hari berganti. Tidak terasa waktu liburan di Bali sudah habis. Sekarang waktunya aku kembali ke Jakarta. Aku sudah menyiapkan rencana tentang apa yang akan aku lakukan nanti. Bagaimana caraku untuk mempertemukan keluargaku dan keluarga Disha. Mengatakan kepada mereka semua bahwa aku membatalkan pernikahan itu. Tentu dengan semua bukti yang aku dapatkan.Aku dan Gede sudah check out dari hotel dua hari yang lalu dan memutuskan untuk tinggal di rumah baru Agni. Selama dua hari itu, tidak ada gangguan yang berarti. Mulyawan, mantan Agni yang resek itu tidak datang. Mungkin saja dia kebingungan mencari alamat Agni yang baru. Sebelum pergi, aku sudah berpesan kepada tetangga untuk merahasiakan alamat baru Agni.Terlepas dari itu semua, Devi sudah kembali ceria lagi. Gadis berumur dua puluh satu tahun itu sudah tidak terbayang-bayang kejahatan ayahnya lagi. Namun hal yang sedikit mengganjal adalah sikap Devi yang suka manja berlebihan denganku. Dan Agni yang seperti membiarkannya. Duh, kan
Penerbangan memakan waktu dua jam saat sampai di bandara Soekarno-Hatta. Meski sudah sampai di Jakarta, aku masih terbayang-bayang indahnya pulau Dewata. Kalau keadaan memungkinkan aku ingin kembali ke sana. Bahkan kalau bisa tinggal di sana saja. Suasana damai dan sejuknya udara lebih baik daripada di Jakarta.Selesai dari tempat pengambilan koper. Aku dan Gede langsung menuju pintu utama. Kami berdua sama-sama tidak dijemput di bandara. Ya, ini hanya liburan, bukan bekerja di luar negeri, jadi tidak perlu dijemput satu keluarga.Bicara tentang luar negeri, aku langsung teringat dengan Disha yang pulang tepat di hari ini. Aku tidak tahu pasti dia sampai kapan. Yang jelas aku tidak mau bertemu dengan dia dan Raka di Bandara ini.Namun, prakiraanku salah. Ketika sampai di pintu keberangkatan, aku melihat Disha dan Raka“Men, itu Disha dan Raka.”Aku tidak menghiraukan Gede. Pandanganku lekat ke arah Disha. Ada perih yang terasa di hati ini. Apalagi saat kulihat Raka yang terlihat memeg
Aku memulai kehidupanku di Bali. Dengan segala keindahan alamnya. Kultur yang berbeda dengan Jakarta. Banyak hal yang perlu aku menyesuaikan. Namun, terlepas dari itu semua. Aku sangat menikmati kehidupan baruku di Bali.Aku lebih memilih menyewa rumah. Mengingat di Bali jarang ada apartemen, atau bahkan mungkin tidak ada. Pilihanku menyewa rumah bukan tanpa alasan. Aku masih belum yakin untuk tinggal sepenuhnya di suatu tempat.Terlebih, aku belum pasti antara hubunganku dengan Agni. Dia saja belum tahu kalau aku sekarang ada di Bali. Sengaja aku tidak memberitahunya terlebih dahulu.Hingga pada sore itu ponselku berdering. Nama Agni tertera di sana.“Mas, maaf menganggu waktunya sebentar. Boleh enggak saya bicara serius dengan Mas?”Aku mengernyit dahi mendengarkan Agni berbicara dengan nada panik dan terburu-buru.“Mau bicara apa Mbok? Mbok dan Devi baik-baik saja kan?”“Devi yang enggak baik-baik saja, Mas. Dia habis kecelakaan.”“Hah! Kecelakaan? Sekarang dia dirawat di mana Mbok
Setelah mengurus administrasi, langsung saja aku bergerak menuju PMI. Ingin mendonorkan darahku segera.Aku tidak menanyakan apakah Agni melakukan donor darah atau tidak. Karena menurut penjelasan suster tadi. Baru aku saja yang melakukan donor darah untuk Devi. Mungkin golongan darah Devi sama dengan Mulyawan. Akan menjadi ironi kalau penabraknya benar-benar Mulyawan. Dasar bapak tidak punya hati.Aku mendaftarkan diri. Menuliskan nama Devi sebagai orang yang akan menerima hasil donorku. Dilanjutkan dengan test tekanan darah serta hemoglobin.Tak lama kemudian aku sudah terbaring di atas ranjang kantor PMI. Seorang perawat yang bertugas menyiapkan diriku untuk jadi pendonor darah membantuku sembari tersenyum ramah.Dengan pelan, aku merasakan jarum di tusukkan di lengan kiriku, tak lama kemudian aliran darahku mulai mengalir pelan dalamselang yang menampung gumpalan darahku dalam kantong darah.Sekitar sepuluh menit kurasakan rasa nyeri akibat darah yang berdenyut-denyut keluar dari
Aku mendekatinya. Menunggunya berbicara, tapi tidak ada suara yang keluar dari sana. Aku mengambil gelas yang ada di meja di sebelahnya. Aku taruh sedotan di bibirnya menyuruhnya minum. Tadi dokter mengingatkanku jika memang memungkinkan Devi harus banyak minum jika dia sadar nanti.Secara perlahan, Devi berusaha keras menyedot air dari gelasnya. Aku tahu dia adalah Gadis yang kuat. Dia tidak akan menyerah dengan keadaannya yang sekarang, aku bisa lihat dari semangatnya ketika dia mencoba menghabiskan air minum di gelasnya saat ini.Aku letakkan gelas yang lebih dari separuhdiminumnya. Aku memandangnya. Dia kembali memandangku. Dia tetap tidak mengucapkan apa-apa karena mungkin belum kuat dan mampu untuk melakukannya, tapi pandangan matanya seperti berbicara dan mengucapkan terimakasih padaku saat itu. Aku juga melihat kilat semangatnya atas kehadiranku di sini.Aku meletakkan tanganku di telapak tangannya. Masih dingin juga. Aku genggam pelan.“Devi, kamu harus semangat. Aku yakin ka