Share

Kemantapan Hati

Dia speechless. Tentu saja. Mana mungkin ada wanita yang percaya dengan pria yang bahkan hanya sekali bertemu saja, sudah langsung melamar.

Namun memang begitu adanya, Tidak butuh waktu lama untuk bisa yakin kalau aku bisa menemukan orang yang tepat untuk dinikahi. Lama tidaknya hubungan tidak menjamin bakal ke pelaminan. Justru dengan sekali melihat Agni, jiwa ini meronta hebat. Menginginkan Agni menjadi pengisi ruang hati ini sepenuhnya. Selamanya. Tidak ada wanita lain lagi. Terlebih aroma kewanitaannya yang semakin lama semakin semerbak. Aku sungguh dibuat gila oleh aroma kewanitaan itu. Ingin membauinya lebih dekat. Menjilat. Mencumbu. Merasakan diri ini mabuk gara-gara aroma itu.

“Jangan mengada-ada, Mas. Saya sudah tidak muda lagi. Sementara, anda masih bisa mencari yang lebih cantik. Sesuai dengan kriteria Mas.”

“Kalau saya maunya sama Mbok, bagaimana?” Aku bersikukuh.

Wanita itu tidak menjawab. Sepertinya ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan atau  kehabisan kata-kata karena  meladeniku yang keras pendirian ini. Apapun itu,  Aku enggak peduli. Selama, dia tidak menjawab keinginanku. Selamanya aku akan mengejar dia.

“Saya kasih waktu sampai besok sore. Mbok harus memberi jawaban, atau terpaksa saya seret Mbok ke kantor polisi.”

Agni seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi diurungkannya. Agak ragu tampaknya. Biarlah. Mungkin dengan jeda waktu sehari bisa membuatnya memantapkan pikiran. Tugasku hanya menunggu saja.

“Saya permisi.”

Aku beranjak keluar dari rumah itu. Beberapa langkah, aku kembali. Teringat Gede yang masih ketinggalan di toilet.

Rupanya, temanku yang satu itu sedang bercengkrama hangat dengan Devi di Gazebo samping rumah. Dasar kunyuk! Bisa-bisanya memanfaatkan kesempatan.

“Eh, Mas Dani. Sudah selesai ngobrol sama meme?” Devi berkata sesaat setelah aku mendekat. Dia tahu namaku padahal kita belum berkenalan. Pasti si kunyuk itu yang memberitahu. Aku penasaran apa saja yang diceritakannya kepada Devi.

“Sudah, Devi. Kami pamit pulang dulu ya. Sudah malam ini.” Aku berujar sambil menarik tangan Gede. Memang harus ditarik paksa supaya tidak kebiasaan. Kalau sudah ngobrol sama cewek, si kunyuk ini sering lupa waktu. Aku juga gitu sih, tapi enggak sering-sering amat, hehe….

“Cepet amat, Men. Enggak dilama-lamain gitu. Kamu kan yang ngebet datang ke sini buat bertemu Mbok Agni tercinta.” Gede meledekku setelah agak menjauh dari rumah itu.

“Niatnya sih begitu, tapi ini sudah malam. Kita harus tahu waktu.” Aku berdalih. Padahal sengaja aku meringkas pembicaraan supaya Agni mau memberikan jawaban yang sebenernya besok.

Gede terkekeh, “Ternyata Lo tahu aturan juga, Tadinya gua berpikir Lo mau menginap di rumah Mbok Agni. Biar gua juga ikutan bisa berduaan lebih lama dengan Devi yang manis.”

“Emang boleh nginep?” tanyaku. Jujur, aku masih belum tahu banyak tentang kultur Bali dan ingin sekali mempelajarinya. Efek menyukai Agni mungkin.

“Ini Bali, Men. Tidak seketat di Jawa kalau ada lawan jenis yang belum menikah satu rumah menjadi omongan orang. Kalau berbuat macam-macam, digrebek. Diarak keliling kampung. Di Bali enggak ada kayak begituan, Men.”

Bener juga apa yang dikatakan si kunyuk ini. Di televisi, hampir tidak ada berita yang gimana-gimana tentang Bali. Semuanya aman terkendali dengan kultur yang ada. Tapi, soal yang satu itu, tidak bisa dijadikan alasan untuk bisa berbuat melampaui batas. Harus bisa mengendalikan diri.

“Menarik, Men. Tapi masa-masa seperti itu udah lewat. Apalagi usia kita sudah tidak dikatakan muda lagi. Mau sampai kapan meniduri anak orang tanpa tanggung jawab?”

Gede nyengir. Cengiran khas buaya yang tersindir. Memang harus sering dibegitukan, supaya dia sadar dan mau berpikir menuju jenjang yang lebih serius.

“Lo kalau ngomong suka bener, Men. Jleb di hati.”

“Ngerti kan Lo? Makanya nikah Men.”

“Iya, gua bakal nyusul Lo setelah Lo nikah. Kayaknya Devi cocok buat gua.”

“Awas kalau Lo berani ngapa-ngapain calon anak tiri gua!”

“Idih, Bapak mertua marah. Eh, sebentar, Lo serius mau menikahi Mbok Agni?”

Aku tidak menjawab setelah sampai di mobil. Kali ini, gantian aku yang mengemudi. Arah menuju hotel tidaklah sulit.

“Men, Lo belum jawab pertanyaan gua tadi. Lo serius mau menikahi Agni?”

Aku melihatnya sekilas. Lantas, kembali fokus menyetir.

“Memangnya kenapa, Bro? Ada masalah?”

“Enggak gitu, Men. Gua enggak mempermasalahkan Lo mau menikah sama siapa. Sebagai sahabat gua pasti mendukung Lo, tapi bagaimana dengan kedua orang tua Lo? Dan lagi Lo belum resmi menyatakan akan membatalkan pernikahan Lo dengan Disha di hadapan semua keluarga besarnya.” Gede berubah dalam mode seriusnya.

Beuh! Aku sendiri belum berpikiran sejauh itu. Niat awal ke Bali adalah healing sampai aku benar-benar bisa melupakan Gisha. Namun siapa yang menduga, Tuhan menyediakan pengganti dengan begitu cepatnya.

“Gua akan mengatakan semuanya, Bro. Gua akan membawa serta Agni di samping gua dan memperkenalkannya sebagai pengganti Disha. Gua enggak peduli apa reaksi mereka nantinya. Disha sudah sangat keterlaluan menyepelekan kepercayaan Gua. Dan Gua berhak memilih mana yang terbaik buat gua.”

Gede menatapku dengan seksama. Can related what I feel now!

“Bener banget, Bro. Lo pantes mendapatkan yang terbaik. Stop bertahan dengan orang toxic. Lagipula, Lo beruntung seandainya Lo menikah dengan Mbok Agni. Wanita yang pernah mengalami kegagalan dalam berumah tangga, kalau sudah menemukan orang yang tepat. Tidak akan berpaling apalagi menyakiti Lo. Gua lihat Mbok Agni juga sangat keibuan dan bijak. Dia bisa membimbing Lo ke arah yang lebih baik.”

“Wait, maksud Lo Mbok Agni Janda gitu?”

Gede terkekeh melihat ekpresi gua yang mirip orang bego. Antara takjub dan tidak percaya.

“Bukannya Lo yang keukeuh bilang

kalau beliau single? Dan memang sudah gua tanyakan  langsung sama Devi. Dia bilang kalau ibunya memang janda. Lebih tepatnya dua bulan yang lalu, setelah diceraikan sama suaminya.”

“Demi apa? Gua seneng banget dengernya, Bro.” Aku berbinar. Padahal, aku antara yakin tidak yakin kalau dia janda. Was-was juga kalau sudah punya suami. Namun kenyataanya, kita sama-sama dipertemukan dalam keadaan hampa. Dan mungkin ditakdirkan untuk saling mengisi. Gimana? Sudah so sweet belum gua?

“Makanya, Men. Dan lagi kayaknya Devi tidak keberatan tuh meme-nya nikah lagi. Gua udah ceritain semuanya tentang perkenalan kalian di f******k, ketemuan di Bali, sampai ketika kamu menggoda Mbok Agni di pinggir kolam. Devi malah senyum-senyum.”

“Sial! Ember juga Lo!” Wajahku memerah karena Gede membeberkan rahasia yang tidak seharusnya diketahui orang lain. Terlebih Devi. Caraku mendekati meme-nya pasti selalu dia ingat. Duh, Malunya aku.

“Tapi, suka kan?” Gede terkekeh. Puas membuatku salting seperti ini.

“Enggak juga, gua baru suka kalau Agni sudah jadi istri gua, Devi jadi anak gua.”

“Dan gua jadi menantu Lo. Salam hormat dulu buat Bapak mertua.” Gede menyambar diiringi suara tawa yang membahana.

“Gua enggak restuin.”

“Bangke.”

Sampai di hotel, kami langsung menuju kamar. Kamar yang terdiri dari dua single bed untukku dan Gede. Begitu menempel di kasur, Gede langsung terlelap. Well, ini anak seperti tidak ada beban hidup. Tidurnya begitu pulas. Berbeda denganku yang masih tergolek sambil melihat ke plafon. Sudut bibirku naik saat membayangkan wajah ayu Agni. Jadi tidak sabar menunggu hari esok.

Suara ponsel membuyarkan lamunanku. Lenganku langsung meraih ponsel yang ada di atas nakas kecil di samping. Senyumku langsung memudar tatkala melihat siapa yang melakukan panggilan video.

“Apa kabar, Bro? Dua hari lagi kita pulang ini.”

Aku tersenyum kecut begitu melihat Raka. Dan yang berdiri di sampingnya adalah Disha. Mereka terlihat jalan-jalan keluar kapal. Terlihat siang, karena di sana jam sebelas siang, berbeda dua belas jam dengan di Indonesia.

Aku masih terdiam saat mereka mengernyit dahi. Melihat reaksiku yang dingin.

“Sayang, kamu sakit ya. kok enggak bersemangat gitu.” Kini Disha yang mengambil alih ponsel. Suaranya begitu merdu terngiang di telingaku. Suara yang selalu kutunggu kabarnya. Suara yang selalu kunanti kata-kata penyemangatnya. Sekarang terasa hambar. Bahkan, aku seperti jijik mendengarnya.

“Harusnya semangat dong, Dani. Masa calon pengantin baru lemas begitu. Hargai dong perasaan Disha!” Mulut Raka menyambar. Rasanya ingin kutonjok saja bibirnya itu.

“Iya, Sayang. kamu kenapa? Jangan bikin aku kepikiran dong. Aku enggak mau kamu kenapa-napa menjelang pernikahan kita.”

“Maksudnya pernikahan kalian?” Aku menyahut sinis.

Disha dan Raka terhenyak di seberang sana. Tidak mengira dengan perkataanku tadi.

“Maksud Lo apa ngomong kayak gitu! Lo jangan main-main ya. Aku sudah susah-susah jaga Disha supaya kalian bisa menikah.”

“Dengan tidur satu kamar begitu?”

Mereka terlihat gelagapan. Wajah Raka terlihat menegang penuh amarah.

“Sudah malam di sini, aku sudah sangat mengantuk. Malas berdebat. Kalau kamu mau sama Disha ambil saja, Bro. Kamu saja yang menikah dengan dia.” 

Terlihat Raka seperti mau berbicaraa sesuatu, aku juga melihat Disha yang syok dengan matanya yang berair. Namun, aku sudah tidak peduli lagi. Tidak ada gunanya lagi berbicara lama-lama. Semuanya sudah jelas. Langsung saja kumatikan ponsel. Kuletakan ponsel begitu saja di atas nakas dan berusaha memejamkan mata. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Putra BatuWangi
lanjut lagi seru"bya ini
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status