Dia speechless. Tentu saja. Mana mungkin ada wanita yang percaya dengan pria yang bahkan hanya sekali bertemu saja, sudah langsung melamar.
Namun memang begitu adanya, Tidak butuh waktu lama untuk bisa yakin kalau aku bisa menemukan orang yang tepat untuk dinikahi. Lama tidaknya hubungan tidak menjamin bakal ke pelaminan. Justru dengan sekali melihat Agni, jiwa ini meronta hebat. Menginginkan Agni menjadi pengisi ruang hati ini sepenuhnya. Selamanya. Tidak ada wanita lain lagi. Terlebih aroma kewanitaannya yang semakin lama semakin semerbak. Aku sungguh dibuat gila oleh aroma kewanitaan itu. Ingin membauinya lebih dekat. Menjilat. Mencumbu. Merasakan diri ini mabuk gara-gara aroma itu.
“Jangan mengada-ada, Mas. Saya sudah tidak muda lagi. Sementara, anda masih bisa mencari yang lebih cantik. Sesuai dengan kriteria Mas.”
“Kalau saya maunya sama Mbok, bagaimana?” Aku bersikukuh.
Wanita itu tidak menjawab. Sepertinya ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan atau kehabisan kata-kata karena meladeniku yang keras pendirian ini. Apapun itu, Aku enggak peduli. Selama, dia tidak menjawab keinginanku. Selamanya aku akan mengejar dia.
“Saya kasih waktu sampai besok sore. Mbok harus memberi jawaban, atau terpaksa saya seret Mbok ke kantor polisi.”
Agni seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi diurungkannya. Agak ragu tampaknya. Biarlah. Mungkin dengan jeda waktu sehari bisa membuatnya memantapkan pikiran. Tugasku hanya menunggu saja.
“Saya permisi.”
Aku beranjak keluar dari rumah itu. Beberapa langkah, aku kembali. Teringat Gede yang masih ketinggalan di toilet.
Rupanya, temanku yang satu itu sedang bercengkrama hangat dengan Devi di Gazebo samping rumah. Dasar kunyuk! Bisa-bisanya memanfaatkan kesempatan.
“Eh, Mas Dani. Sudah selesai ngobrol sama meme?” Devi berkata sesaat setelah aku mendekat. Dia tahu namaku padahal kita belum berkenalan. Pasti si kunyuk itu yang memberitahu. Aku penasaran apa saja yang diceritakannya kepada Devi.
“Sudah, Devi. Kami pamit pulang dulu ya. Sudah malam ini.” Aku berujar sambil menarik tangan Gede. Memang harus ditarik paksa supaya tidak kebiasaan. Kalau sudah ngobrol sama cewek, si kunyuk ini sering lupa waktu. Aku juga gitu sih, tapi enggak sering-sering amat, hehe….
“Cepet amat, Men. Enggak dilama-lamain gitu. Kamu kan yang ngebet datang ke sini buat bertemu Mbok Agni tercinta.” Gede meledekku setelah agak menjauh dari rumah itu.
“Niatnya sih begitu, tapi ini sudah malam. Kita harus tahu waktu.” Aku berdalih. Padahal sengaja aku meringkas pembicaraan supaya Agni mau memberikan jawaban yang sebenernya besok.
Gede terkekeh, “Ternyata Lo tahu aturan juga, Tadinya gua berpikir Lo mau menginap di rumah Mbok Agni. Biar gua juga ikutan bisa berduaan lebih lama dengan Devi yang manis.”
“Emang boleh nginep?” tanyaku. Jujur, aku masih belum tahu banyak tentang kultur Bali dan ingin sekali mempelajarinya. Efek menyukai Agni mungkin.
“Ini Bali, Men. Tidak seketat di Jawa kalau ada lawan jenis yang belum menikah satu rumah menjadi omongan orang. Kalau berbuat macam-macam, digrebek. Diarak keliling kampung. Di Bali enggak ada kayak begituan, Men.”
Bener juga apa yang dikatakan si kunyuk ini. Di televisi, hampir tidak ada berita yang gimana-gimana tentang Bali. Semuanya aman terkendali dengan kultur yang ada. Tapi, soal yang satu itu, tidak bisa dijadikan alasan untuk bisa berbuat melampaui batas. Harus bisa mengendalikan diri.
“Menarik, Men. Tapi masa-masa seperti itu udah lewat. Apalagi usia kita sudah tidak dikatakan muda lagi. Mau sampai kapan meniduri anak orang tanpa tanggung jawab?”
Gede nyengir. Cengiran khas buaya yang tersindir. Memang harus sering dibegitukan, supaya dia sadar dan mau berpikir menuju jenjang yang lebih serius.
“Lo kalau ngomong suka bener, Men. Jleb di hati.”
“Ngerti kan Lo? Makanya nikah Men.”
“Iya, gua bakal nyusul Lo setelah Lo nikah. Kayaknya Devi cocok buat gua.”
“Awas kalau Lo berani ngapa-ngapain calon anak tiri gua!”
“Idih, Bapak mertua marah. Eh, sebentar, Lo serius mau menikahi Mbok Agni?”
Aku tidak menjawab setelah sampai di mobil. Kali ini, gantian aku yang mengemudi. Arah menuju hotel tidaklah sulit.
“Men, Lo belum jawab pertanyaan gua tadi. Lo serius mau menikahi Agni?”
Aku melihatnya sekilas. Lantas, kembali fokus menyetir.
“Memangnya kenapa, Bro? Ada masalah?”
“Enggak gitu, Men. Gua enggak mempermasalahkan Lo mau menikah sama siapa. Sebagai sahabat gua pasti mendukung Lo, tapi bagaimana dengan kedua orang tua Lo? Dan lagi Lo belum resmi menyatakan akan membatalkan pernikahan Lo dengan Disha di hadapan semua keluarga besarnya.” Gede berubah dalam mode seriusnya.
Beuh! Aku sendiri belum berpikiran sejauh itu. Niat awal ke Bali adalah healing sampai aku benar-benar bisa melupakan Gisha. Namun siapa yang menduga, Tuhan menyediakan pengganti dengan begitu cepatnya.
“Gua akan mengatakan semuanya, Bro. Gua akan membawa serta Agni di samping gua dan memperkenalkannya sebagai pengganti Disha. Gua enggak peduli apa reaksi mereka nantinya. Disha sudah sangat keterlaluan menyepelekan kepercayaan Gua. Dan Gua berhak memilih mana yang terbaik buat gua.”
Gede menatapku dengan seksama. Can related what I feel now!
“Bener banget, Bro. Lo pantes mendapatkan yang terbaik. Stop bertahan dengan orang toxic. Lagipula, Lo beruntung seandainya Lo menikah dengan Mbok Agni. Wanita yang pernah mengalami kegagalan dalam berumah tangga, kalau sudah menemukan orang yang tepat. Tidak akan berpaling apalagi menyakiti Lo. Gua lihat Mbok Agni juga sangat keibuan dan bijak. Dia bisa membimbing Lo ke arah yang lebih baik.”
“Wait, maksud Lo Mbok Agni Janda gitu?”
Gede terkekeh melihat ekpresi gua yang mirip orang bego. Antara takjub dan tidak percaya.
“Bukannya Lo yang keukeuh bilang
kalau beliau single? Dan memang sudah gua tanyakan langsung sama Devi. Dia bilang kalau ibunya memang janda. Lebih tepatnya dua bulan yang lalu, setelah diceraikan sama suaminya.”“Demi apa? Gua seneng banget dengernya, Bro.” Aku berbinar. Padahal, aku antara yakin tidak yakin kalau dia janda. Was-was juga kalau sudah punya suami. Namun kenyataanya, kita sama-sama dipertemukan dalam keadaan hampa. Dan mungkin ditakdirkan untuk saling mengisi. Gimana? Sudah so sweet belum gua?
“Makanya, Men. Dan lagi kayaknya Devi tidak keberatan tuh meme-nya nikah lagi. Gua udah ceritain semuanya tentang perkenalan kalian di f******k, ketemuan di Bali, sampai ketika kamu menggoda Mbok Agni di pinggir kolam. Devi malah senyum-senyum.”
“Sial! Ember juga Lo!” Wajahku memerah karena Gede membeberkan rahasia yang tidak seharusnya diketahui orang lain. Terlebih Devi. Caraku mendekati meme-nya pasti selalu dia ingat. Duh, Malunya aku.
“Tapi, suka kan?” Gede terkekeh. Puas membuatku salting seperti ini.
“Enggak juga, gua baru suka kalau Agni sudah jadi istri gua, Devi jadi anak gua.”
“Dan gua jadi menantu Lo. Salam hormat dulu buat Bapak mertua.” Gede menyambar diiringi suara tawa yang membahana.
“Gua enggak restuin.”
“Bangke.”
Sampai di hotel, kami langsung menuju kamar. Kamar yang terdiri dari dua single bed untukku dan Gede. Begitu menempel di kasur, Gede langsung terlelap. Well, ini anak seperti tidak ada beban hidup. Tidurnya begitu pulas. Berbeda denganku yang masih tergolek sambil melihat ke plafon. Sudut bibirku naik saat membayangkan wajah ayu Agni. Jadi tidak sabar menunggu hari esok.
Suara ponsel membuyarkan lamunanku. Lenganku langsung meraih ponsel yang ada di atas nakas kecil di samping. Senyumku langsung memudar tatkala melihat siapa yang melakukan panggilan video.
“Apa kabar, Bro? Dua hari lagi kita pulang ini.”
Aku tersenyum kecut begitu melihat Raka. Dan yang berdiri di sampingnya adalah Disha. Mereka terlihat jalan-jalan keluar kapal. Terlihat siang, karena di sana jam sebelas siang, berbeda dua belas jam dengan di Indonesia.
Aku masih terdiam saat mereka mengernyit dahi. Melihat reaksiku yang dingin.
“Sayang, kamu sakit ya. kok enggak bersemangat gitu.” Kini Disha yang mengambil alih ponsel. Suaranya begitu merdu terngiang di telingaku. Suara yang selalu kutunggu kabarnya. Suara yang selalu kunanti kata-kata penyemangatnya. Sekarang terasa hambar. Bahkan, aku seperti jijik mendengarnya.
“Harusnya semangat dong, Dani. Masa calon pengantin baru lemas begitu. Hargai dong perasaan Disha!” Mulut Raka menyambar. Rasanya ingin kutonjok saja bibirnya itu.
“Iya, Sayang. kamu kenapa? Jangan bikin aku kepikiran dong. Aku enggak mau kamu kenapa-napa menjelang pernikahan kita.”
“Maksudnya pernikahan kalian?” Aku menyahut sinis.
Disha dan Raka terhenyak di seberang sana. Tidak mengira dengan perkataanku tadi.
“Maksud Lo apa ngomong kayak gitu! Lo jangan main-main ya. Aku sudah susah-susah jaga Disha supaya kalian bisa menikah.”
“Dengan tidur satu kamar begitu?”
Mereka terlihat gelagapan. Wajah Raka terlihat menegang penuh amarah.
“Sudah malam di sini, aku sudah sangat mengantuk. Malas berdebat. Kalau kamu mau sama Disha ambil saja, Bro. Kamu saja yang menikah dengan dia.”
Terlihat Raka seperti mau berbicaraa sesuatu, aku juga melihat Disha yang syok dengan matanya yang berair. Namun, aku sudah tidak peduli lagi. Tidak ada gunanya lagi berbicara lama-lama. Semuanya sudah jelas. Langsung saja kumatikan ponsel. Kuletakan ponsel begitu saja di atas nakas dan berusaha memejamkan mata.
Pagi harinya, aku merasakan hal aneh ketika terbangun. Rasanya begitu segar dan bugar badan tatkala merasakan celanaku yang basah. Ketika aku melepas celanaku untuk memeriksanya. Benar adanya kalau di bawah sana sudah dipenuhi benih-benih yang sudah lama terbendung. Aku jadi malu sendiri karena semalaman, membayangkan Agni sampai terbawa mimpi. Aku segera bangkit dari ranjang. Menoleh ke arah ponsel sejenak. Sudah merasa bodo amat ada pesan masuk. Sudah bodo amat dengan Raka dan Disha semalam yang sepertinya mau menjelaskan sesuatu. Bodo amat dengan perselingkuhan mereka juga. Hari ini, aku memutuskan untuk melupakan. Kehidupan yang baru sudah menunggu. Pandanganku beralih ke Gede yang masih tertidur. Lelap sekali tidurnya seperti kerbau. Memang si kunyuk satu ini sulit bangun pagi. Makanya, hampir mustahil membangunkannya jam segini. Dengan tubuh bugil, aku melangkah menuju kamar mandi. Sempat berhenti di depan cermin rias. Melihat ukiran berotot ditubuhku. Otot pundak yang kokoh m
“Argh!” Dia terpelanting setelah aku mencekal tangannya dan melakukan gerakan uppercut. Sikutku dengan sangat keras mengenai dagunya. Beralih dengan cepat ke dadanya juga, sehingga pria itu terhuyung ambruk. Pria itu terbatuk-batuk sambil memegang dadanya yang kesakitan. Dia pun seperti terburu-buru hendak beranjak dari sana sambil tatapannya yang tajam mengarah ke arahku, seolah tidak terima kalau yang katanya preman terkuat bisa dengan mudah dikalahkan, dipermalukan dihadapan orang-orang. “Liat saja nanti! Kamu akan menyesal!” Pria itu berkata lantang sambil terburu-buru meninggalkan pelataran rumah Agni. Entah apa yang akan dia lakukan nanti, Mungkin dia akan mengadu ke pimpinannya maupun anggotanya. Aku sama sekali tidak perduli. Aku pun beralih ke Agni yang sedang memeluk Devi. Terlihat tubuh Devi yang gemetar setelah ditampar oleh si bedebah tadi. Masih ada tanda merah di pipinya. “Enggak usah takut, Devi. Sekarang sudah aman.” Aku menghampirinya. Memandang Devi yang masih m
Aku tidak berkedip melihatnya. Hal yang tidak pernah aku bayangkan dari seorang Agni yang sopan dan anggun. Nyatanya wanita itu menyimpan gejolak hasrat yang cukup tinggi. Bagaimana wanita itu memuaskan hasratnya seorang diri dengan menggunakan alat. Dan yang lebih tidak masuk akalnya lagi, dia juga mengatakan kalimat-kalimat yang begitu nakal.Butuh beberapa saat bagiku untuk menenangkan diri. Baru kemudian, secara perlahan aku keluar dari sana. Aku tidak ingin menganggunya yang sedang asik. Pastinya dia akan sangat malu sekali kalau aku sampai memergokinya.Aku kembali berjalan ke ruang tamu dengan langkah yang sangat gontai. Pikiranku tidak menentu. Agni ternyata tidak seperti yang aku pikirkan. Dia mempunyai kelainan. Apakah mungkin karena dia sudah lama menjanda makanya dia melakukan hal itu.Ketika aku sampai di ruang tamu, aku berpapasan dengan Gede yang menghampiriku.“Men, aku sudah mendapatkan rumah di dekat polres sesuai dengan budget yang kamu kasih. Sepertinya aman kalau
“Mantan suami Mbok Agni adalah anggota dari Askar Bali!”“Terus?” Aku menjawab santai saja tanpa mengerti gangster besar itu.Gede menepuk jidat. Agaknya dia jengkel dengan sikapku yang santai.“Itu gangster besar di Bali, Men. Cari mati namanya kalau berurusan dengan mereka?”“Memangnya kenapa? Lagian bukan kita yang salah jadi ngapain takut?”“Bukan begitu, Men. Bagaimana kalau nanti tiba-tiba ada orang yang mencegat kita di tengah jalan dari anggota gang mereka.”“Haha, Lo berlebihan, Men. Enggak usah lebay begitu.”“Dibilangin.”Selanjutnya aku tidak menganggap kekhawatiran Gede. Yang aku pikirkan sekarang. Apakah aku terus mengejar Agni atau tidak. Percayalah Hal ini lebih genting dari apapun.“Lo memang batu dibilangin. Lo sudah mabuk akan cinta Lo sama Agni sampai mengabaikan semua resiko.”Aku langsung menatap Gede yang langsung terkejut begitu aku menatapnya. Dia tampak mengernyit dahi.“Ada apa?”“Gua mau tanya sesuatu sama Lo, tapi Lo jangan heboh ya.”“Tanya apaan?” Gede l
Hari berganti. Tidak terasa waktu liburan di Bali sudah habis. Sekarang waktunya aku kembali ke Jakarta. Aku sudah menyiapkan rencana tentang apa yang akan aku lakukan nanti. Bagaimana caraku untuk mempertemukan keluargaku dan keluarga Disha. Mengatakan kepada mereka semua bahwa aku membatalkan pernikahan itu. Tentu dengan semua bukti yang aku dapatkan.Aku dan Gede sudah check out dari hotel dua hari yang lalu dan memutuskan untuk tinggal di rumah baru Agni. Selama dua hari itu, tidak ada gangguan yang berarti. Mulyawan, mantan Agni yang resek itu tidak datang. Mungkin saja dia kebingungan mencari alamat Agni yang baru. Sebelum pergi, aku sudah berpesan kepada tetangga untuk merahasiakan alamat baru Agni.Terlepas dari itu semua, Devi sudah kembali ceria lagi. Gadis berumur dua puluh satu tahun itu sudah tidak terbayang-bayang kejahatan ayahnya lagi. Namun hal yang sedikit mengganjal adalah sikap Devi yang suka manja berlebihan denganku. Dan Agni yang seperti membiarkannya. Duh, kan
Penerbangan memakan waktu dua jam saat sampai di bandara Soekarno-Hatta. Meski sudah sampai di Jakarta, aku masih terbayang-bayang indahnya pulau Dewata. Kalau keadaan memungkinkan aku ingin kembali ke sana. Bahkan kalau bisa tinggal di sana saja. Suasana damai dan sejuknya udara lebih baik daripada di Jakarta.Selesai dari tempat pengambilan koper. Aku dan Gede langsung menuju pintu utama. Kami berdua sama-sama tidak dijemput di bandara. Ya, ini hanya liburan, bukan bekerja di luar negeri, jadi tidak perlu dijemput satu keluarga.Bicara tentang luar negeri, aku langsung teringat dengan Disha yang pulang tepat di hari ini. Aku tidak tahu pasti dia sampai kapan. Yang jelas aku tidak mau bertemu dengan dia dan Raka di Bandara ini.Namun, prakiraanku salah. Ketika sampai di pintu keberangkatan, aku melihat Disha dan Raka“Men, itu Disha dan Raka.”Aku tidak menghiraukan Gede. Pandanganku lekat ke arah Disha. Ada perih yang terasa di hati ini. Apalagi saat kulihat Raka yang terlihat memeg
Aku memulai kehidupanku di Bali. Dengan segala keindahan alamnya. Kultur yang berbeda dengan Jakarta. Banyak hal yang perlu aku menyesuaikan. Namun, terlepas dari itu semua. Aku sangat menikmati kehidupan baruku di Bali.Aku lebih memilih menyewa rumah. Mengingat di Bali jarang ada apartemen, atau bahkan mungkin tidak ada. Pilihanku menyewa rumah bukan tanpa alasan. Aku masih belum yakin untuk tinggal sepenuhnya di suatu tempat.Terlebih, aku belum pasti antara hubunganku dengan Agni. Dia saja belum tahu kalau aku sekarang ada di Bali. Sengaja aku tidak memberitahunya terlebih dahulu.Hingga pada sore itu ponselku berdering. Nama Agni tertera di sana.“Mas, maaf menganggu waktunya sebentar. Boleh enggak saya bicara serius dengan Mas?”Aku mengernyit dahi mendengarkan Agni berbicara dengan nada panik dan terburu-buru.“Mau bicara apa Mbok? Mbok dan Devi baik-baik saja kan?”“Devi yang enggak baik-baik saja, Mas. Dia habis kecelakaan.”“Hah! Kecelakaan? Sekarang dia dirawat di mana Mbok
Setelah mengurus administrasi, langsung saja aku bergerak menuju PMI. Ingin mendonorkan darahku segera.Aku tidak menanyakan apakah Agni melakukan donor darah atau tidak. Karena menurut penjelasan suster tadi. Baru aku saja yang melakukan donor darah untuk Devi. Mungkin golongan darah Devi sama dengan Mulyawan. Akan menjadi ironi kalau penabraknya benar-benar Mulyawan. Dasar bapak tidak punya hati.Aku mendaftarkan diri. Menuliskan nama Devi sebagai orang yang akan menerima hasil donorku. Dilanjutkan dengan test tekanan darah serta hemoglobin.Tak lama kemudian aku sudah terbaring di atas ranjang kantor PMI. Seorang perawat yang bertugas menyiapkan diriku untuk jadi pendonor darah membantuku sembari tersenyum ramah.Dengan pelan, aku merasakan jarum di tusukkan di lengan kiriku, tak lama kemudian aliran darahku mulai mengalir pelan dalamselang yang menampung gumpalan darahku dalam kantong darah.Sekitar sepuluh menit kurasakan rasa nyeri akibat darah yang berdenyut-denyut keluar dari