“Ini meme Saya, Bli.”
Suasana canggung langsung menyergap. Wanita yang sekarang aku ketahui bernama Agni itu tampak resah sendiri. Mungkin kebingungan untuk menjelaskan semua penyamarannya.
“Eh, Mas. Silakan masuk.”
Kami dipersilakan masuk dan duduk di kursi kayu panjang.
“Sebentar, saya tinggal dulu ke belakang, Bli.” Devi berkata.
“Bli ikut ke belakang, Devi. Kebelet pengen ke toilet.” Gede menyahut. Aku tahu Gede sengaja ke toilet karena ingin membiarkanku berdua dengan Agni.
Sekarang tinggal kami berdua. Duduk saling berhadapan. Aku menatap lurus ubun-ubun Agni yang sedang menunduk. Namun, pandanganku kacau saat melihat area dadanya yang putih mulus. Menyembul bulatan sintal menggelora yang terlihat di balik kebayanya. Bulatan indah yang berukuran cukup besar. Montok. Tanganku mungkin tidak cukup untuk menggenggamnya. Ah, kenapa pikiran bujang yang ngebet menikah selalu mesum begini?
“Jadi Mbok yang bernama Agni?”
Dia mengangguk pelan. Tampak tidak enak hati.
“Lantas, kenapa menggunakan profil Devi?” Aku sengaja menaikan nada bicaraku. Menunjukan taring. Sehingga wanita pujaanku itu semakin tunduk kepadaku. Iya, kapan lagi aku bisa menaklukan wanita setengah baya yang cantik dan tubuh bahenol begini. Kapan lagi. aku bisa memiliki kesempatan untuk menjeratnya pelan-pelan, sehingga dia menjadi milikku sepenuhnya?
Dan terlihat sekarang, dia tidak berkutik. Menunduk takut. Aku antara kasihan dan ingin tertawa dibuatnya. Namun, aku tetap menjaga kegaranganku.
“Kalau Mbok tidak mau berbicara. Saya pergi.”
Aku pura-pura hendak beranjak dari sana. Dan benar saja, tindakanku itu langsung mendapatkan reaksi dari wanita itu yang langsung mencegahku.
“Jangan, Mas. Beri saya kesempatan untuk menjelaskannya pelan-pelan.” Suaranya yang memohon itu begitu syahdu. Merdu sampai menyeruak di dada. Kalau sudah begini, ingin rasanya, aku membuatnya terus merasa bersalah, supaya aku bisa mendengar suara merdunya yang memelas itu setiap waktu. Terlebih kalau memelasnya di atas ranjang. Wanita kalem dengan tubuh proporsional. Mulus tanpa cela luar dalam. Pasti akan menciptakan sensasi sendiri kalau merintih dengan wajah yang sayu. Memancing gairah lelaki yang memang sudah waktunya untuk menikah sepertiku.
“Baik, saya dengarkan.” Aku kembali duduk. Masih dengan pembawaanku yang tegas berwibawa. Apalagi, dengan tubuhku yang cukup besar agak condong ke arahnya. Berbanding terbalik dengan dia yang memiliki tubuh yang lumayan pas jika aku menggendongnya dari depan. Cukup ringan kalau diangkat. Apalagi kalau sambil bercumbu.
“Sebelumnya saya minta maaf, Mas. Saya lancang menipu Mas dengan menggunakan profil anak saya, tapi percayalah saya tidak bermaksud macam-macam. Saya hanya ingin kenal Mas lebih dekat.”
Agni sedikit mendongakkan kepala. Memberanikan diri menatapku. Matanya yang indah itu masih takut-takut. Kasihan juga sebenernya. Namun, di sisi lain, aku sangat menikmati momen di mana wanita montok ini takut denganku.
“Terus, meminta saya datang jauh-jauh ke sini dan pada akhirnya saya bertemu dengan orang yang berbeda begitu?” Lagi-lagi aku menyerangnya dengan pertanyaan menohok. Ingin tahu seberapa jauh dia bisa memberikan alasan.
“M-maafkan saya, Mas. Saya tidak bermaksud begitu. Rencananya saya mau jujur saat bertemu di hotel itu, tapi saya kurang pede.” Agni menatapku serius. Pancaran matanya yang indah itu mengisyaratkan kesungguhan. Iya, tidak mungkin wanita yang memang aslinya sudah menarik sengaja menipuku dengan profil lain. Justru, aku merasa yang asli justru sangat menarik. Agni jauh lebih menarik. Sesuai dengan kriteriaku, dibandingkan dengan profil yang dipakainya. Wanita matang dengan postur aduhai. Perangainya juga lembut dan santun. Siapa coba lelaki yang tidak dibuat mabuk karenanya?
Sekadar info, kedatanganku ke Bali ini atas arahan dari Agni. Dia yang merekomendasikan hotel di mana tempatku dan Gede menginap, yang ternyata adalah tempatnya bekerja. Dia juga yang mengatur pertemuan sore itu di pinggir kolam. Namun, wanita itu tidak menunjukan dirinya secara langsung. Malah terlihat malu-malu ketika bertemu di kolam renang. Memang bukan tipe wanita yang agresif, tetapi lebih ke menjaga diri. Hal yang menambah daya pikat wanita itu. Yang sudah jarang aku temui.
Wanita itu tertunduk. Terlihat sekali dia merasa bersalah. Terang saja, karena dialah yang sudah berbohong dari awal. Mungkin kalau dia menggunakan profil dirinya seniri. Pasti ceritanya akan lain. Tidak perlu ada drama begini.
“Saya enggak terima dengan semua ini, Mbok. Ini adalah kasus penipuan dan juga pelanggaran ITE. Saya bisa pergi ke kantor polisi sekarang untuk melaporkannya.” Aku semakin gencar mengancam. Menebar jala. Menjeratnya secara perlahan.
Wanita itu mendongak. Mata indahnya membulat. Pasti dia tidak menduga kalau hal sekecil itu bisa berdampak besar.
“Jangan begitu, Mas. Sekali lagi, Maafkan atas kesalahan saya. Kasihan anak saya kalau saya sampai dipenjara.” Agni memohon. Matanya berkaca-kaca. Mengira bahwa aku sungguhan akan menjebloskannya ke penjara. Padahal, menjebloskannya ke penjara hatiku.
“Terus, anda tidak kasihan dengan saya yang sudah terlanjur percaya dengan profil rekayasa itu? Jelas-jelas anda telah mempermainkan saya.” Aku masih terus bermanuver. Sialan kamu, Dani. Mana belas kasihanmu. Kamu tidak lihat apa wanita cantik itu semakin tersudut. Tega benar kamu mengerjainya. Aku terkekeh dalam hati.
“Aduh Mas, bukan maksud saya begitu. Begini saja. kalau memang Mas suka sesuai dengan profil itu. Saya bisa meminta anak saya untuk dekat dengan Mas. Saya restui, Mas.”
“Kok jadi bawa-bawa anak Mbok. Jelas-jelas ini kesalahan Mbok?”
“Terus saya harus bagaimana Mas? Apa yang seharusnya saya lakukan supaya, Mas bisa memaafkan saya dan mengurungkan niat melapor ke polisi?” Hampir putus asa dia mengatakanya. Seolah pasrah dengan apa yang aku mau.
“Sederhana saja. Saya hanya meminta jawaban Mbok soal perkataan saya tadi di pinggir kolam renang.”
“Perkataan yang mana ya Mas?” Dia menyentuh alisnya sambil mengernyit. Berusaha mengingat-ingat.
“Soal menikah dengan saya.”
Dia speechless. Tentu saja. Mana mungkin ada wanita yang percaya dengan pria yang bahkan hanya sekali bertemu saja, sudah langsung melamar. Namun memang begitu adanya, Tidak butuh waktu lama untuk bisa yakin kalau aku bisa menemukan orang yang tepat untuk dinikahi. Lama tidaknya hubungan tidak menjamin bakal ke pelaminan. Justru dengan sekali melihat Agni, jiwa ini meronta hebat. Menginginkan Agni menjadi pengisi ruang hati ini sepenuhnya. Selamanya. Tidak ada wanita lain lagi. Terlebih aroma kewanitaannya yang semakin lama semakin semerbak. Aku sungguh dibuat gila oleh aroma kewanitaan itu. Ingin membauinya lebih dekat. Menjilat. Mencumbu. Merasakan diri ini mabuk gara-gara aroma itu. “Jangan mengada-ada, Mas. Saya sudah tidak muda lagi. Sementara, anda masih bisa mencari yang lebih cantik. Sesuai dengan kriteria Mas.” “Kalau saya maunya sama Mbok, bagaimana?” Aku bersikukuh. Wanita itu tidak menjawab. Sepertinya ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan atau kehabisan kata-kata
Pagi harinya, aku merasakan hal aneh ketika terbangun. Rasanya begitu segar dan bugar badan tatkala merasakan celanaku yang basah. Ketika aku melepas celanaku untuk memeriksanya. Benar adanya kalau di bawah sana sudah dipenuhi benih-benih yang sudah lama terbendung. Aku jadi malu sendiri karena semalaman, membayangkan Agni sampai terbawa mimpi. Aku segera bangkit dari ranjang. Menoleh ke arah ponsel sejenak. Sudah merasa bodo amat ada pesan masuk. Sudah bodo amat dengan Raka dan Disha semalam yang sepertinya mau menjelaskan sesuatu. Bodo amat dengan perselingkuhan mereka juga. Hari ini, aku memutuskan untuk melupakan. Kehidupan yang baru sudah menunggu. Pandanganku beralih ke Gede yang masih tertidur. Lelap sekali tidurnya seperti kerbau. Memang si kunyuk satu ini sulit bangun pagi. Makanya, hampir mustahil membangunkannya jam segini. Dengan tubuh bugil, aku melangkah menuju kamar mandi. Sempat berhenti di depan cermin rias. Melihat ukiran berotot ditubuhku. Otot pundak yang kokoh m
“Argh!” Dia terpelanting setelah aku mencekal tangannya dan melakukan gerakan uppercut. Sikutku dengan sangat keras mengenai dagunya. Beralih dengan cepat ke dadanya juga, sehingga pria itu terhuyung ambruk. Pria itu terbatuk-batuk sambil memegang dadanya yang kesakitan. Dia pun seperti terburu-buru hendak beranjak dari sana sambil tatapannya yang tajam mengarah ke arahku, seolah tidak terima kalau yang katanya preman terkuat bisa dengan mudah dikalahkan, dipermalukan dihadapan orang-orang. “Liat saja nanti! Kamu akan menyesal!” Pria itu berkata lantang sambil terburu-buru meninggalkan pelataran rumah Agni. Entah apa yang akan dia lakukan nanti, Mungkin dia akan mengadu ke pimpinannya maupun anggotanya. Aku sama sekali tidak perduli. Aku pun beralih ke Agni yang sedang memeluk Devi. Terlihat tubuh Devi yang gemetar setelah ditampar oleh si bedebah tadi. Masih ada tanda merah di pipinya. “Enggak usah takut, Devi. Sekarang sudah aman.” Aku menghampirinya. Memandang Devi yang masih m
Aku tidak berkedip melihatnya. Hal yang tidak pernah aku bayangkan dari seorang Agni yang sopan dan anggun. Nyatanya wanita itu menyimpan gejolak hasrat yang cukup tinggi. Bagaimana wanita itu memuaskan hasratnya seorang diri dengan menggunakan alat. Dan yang lebih tidak masuk akalnya lagi, dia juga mengatakan kalimat-kalimat yang begitu nakal.Butuh beberapa saat bagiku untuk menenangkan diri. Baru kemudian, secara perlahan aku keluar dari sana. Aku tidak ingin menganggunya yang sedang asik. Pastinya dia akan sangat malu sekali kalau aku sampai memergokinya.Aku kembali berjalan ke ruang tamu dengan langkah yang sangat gontai. Pikiranku tidak menentu. Agni ternyata tidak seperti yang aku pikirkan. Dia mempunyai kelainan. Apakah mungkin karena dia sudah lama menjanda makanya dia melakukan hal itu.Ketika aku sampai di ruang tamu, aku berpapasan dengan Gede yang menghampiriku.“Men, aku sudah mendapatkan rumah di dekat polres sesuai dengan budget yang kamu kasih. Sepertinya aman kalau
“Mantan suami Mbok Agni adalah anggota dari Askar Bali!”“Terus?” Aku menjawab santai saja tanpa mengerti gangster besar itu.Gede menepuk jidat. Agaknya dia jengkel dengan sikapku yang santai.“Itu gangster besar di Bali, Men. Cari mati namanya kalau berurusan dengan mereka?”“Memangnya kenapa? Lagian bukan kita yang salah jadi ngapain takut?”“Bukan begitu, Men. Bagaimana kalau nanti tiba-tiba ada orang yang mencegat kita di tengah jalan dari anggota gang mereka.”“Haha, Lo berlebihan, Men. Enggak usah lebay begitu.”“Dibilangin.”Selanjutnya aku tidak menganggap kekhawatiran Gede. Yang aku pikirkan sekarang. Apakah aku terus mengejar Agni atau tidak. Percayalah Hal ini lebih genting dari apapun.“Lo memang batu dibilangin. Lo sudah mabuk akan cinta Lo sama Agni sampai mengabaikan semua resiko.”Aku langsung menatap Gede yang langsung terkejut begitu aku menatapnya. Dia tampak mengernyit dahi.“Ada apa?”“Gua mau tanya sesuatu sama Lo, tapi Lo jangan heboh ya.”“Tanya apaan?” Gede l
Hari berganti. Tidak terasa waktu liburan di Bali sudah habis. Sekarang waktunya aku kembali ke Jakarta. Aku sudah menyiapkan rencana tentang apa yang akan aku lakukan nanti. Bagaimana caraku untuk mempertemukan keluargaku dan keluarga Disha. Mengatakan kepada mereka semua bahwa aku membatalkan pernikahan itu. Tentu dengan semua bukti yang aku dapatkan.Aku dan Gede sudah check out dari hotel dua hari yang lalu dan memutuskan untuk tinggal di rumah baru Agni. Selama dua hari itu, tidak ada gangguan yang berarti. Mulyawan, mantan Agni yang resek itu tidak datang. Mungkin saja dia kebingungan mencari alamat Agni yang baru. Sebelum pergi, aku sudah berpesan kepada tetangga untuk merahasiakan alamat baru Agni.Terlepas dari itu semua, Devi sudah kembali ceria lagi. Gadis berumur dua puluh satu tahun itu sudah tidak terbayang-bayang kejahatan ayahnya lagi. Namun hal yang sedikit mengganjal adalah sikap Devi yang suka manja berlebihan denganku. Dan Agni yang seperti membiarkannya. Duh, kan
Penerbangan memakan waktu dua jam saat sampai di bandara Soekarno-Hatta. Meski sudah sampai di Jakarta, aku masih terbayang-bayang indahnya pulau Dewata. Kalau keadaan memungkinkan aku ingin kembali ke sana. Bahkan kalau bisa tinggal di sana saja. Suasana damai dan sejuknya udara lebih baik daripada di Jakarta.Selesai dari tempat pengambilan koper. Aku dan Gede langsung menuju pintu utama. Kami berdua sama-sama tidak dijemput di bandara. Ya, ini hanya liburan, bukan bekerja di luar negeri, jadi tidak perlu dijemput satu keluarga.Bicara tentang luar negeri, aku langsung teringat dengan Disha yang pulang tepat di hari ini. Aku tidak tahu pasti dia sampai kapan. Yang jelas aku tidak mau bertemu dengan dia dan Raka di Bandara ini.Namun, prakiraanku salah. Ketika sampai di pintu keberangkatan, aku melihat Disha dan Raka“Men, itu Disha dan Raka.”Aku tidak menghiraukan Gede. Pandanganku lekat ke arah Disha. Ada perih yang terasa di hati ini. Apalagi saat kulihat Raka yang terlihat memeg
Aku memulai kehidupanku di Bali. Dengan segala keindahan alamnya. Kultur yang berbeda dengan Jakarta. Banyak hal yang perlu aku menyesuaikan. Namun, terlepas dari itu semua. Aku sangat menikmati kehidupan baruku di Bali.Aku lebih memilih menyewa rumah. Mengingat di Bali jarang ada apartemen, atau bahkan mungkin tidak ada. Pilihanku menyewa rumah bukan tanpa alasan. Aku masih belum yakin untuk tinggal sepenuhnya di suatu tempat.Terlebih, aku belum pasti antara hubunganku dengan Agni. Dia saja belum tahu kalau aku sekarang ada di Bali. Sengaja aku tidak memberitahunya terlebih dahulu.Hingga pada sore itu ponselku berdering. Nama Agni tertera di sana.“Mas, maaf menganggu waktunya sebentar. Boleh enggak saya bicara serius dengan Mas?”Aku mengernyit dahi mendengarkan Agni berbicara dengan nada panik dan terburu-buru.“Mau bicara apa Mbok? Mbok dan Devi baik-baik saja kan?”“Devi yang enggak baik-baik saja, Mas. Dia habis kecelakaan.”“Hah! Kecelakaan? Sekarang dia dirawat di mana Mbok