“Selamat sore, Pak. Barang kali Bapak mau memesan minuman? ”
Bagai hamparan salju saat suara lembut itu menyebut Mas. Terdengar renyah diteligaku. dan juga senyum manis bersahaja yang terpampang di bibir tipisnya. Wanita itu. Usianya mungkin empat puluhan, tapi wajahnya begitu menyenangkan dan terlihat awet muda. Siapa pria yang tidak terkesima dibuatnya.
“Woi, Men! Diajak ngomong sama mbok-nya tuh. Lo kok diam saja.” Aku terkesiap saat Gede menepuk lenganku. Segera aku mengambil posisi duduk. Buru- buru mengusap wajahku. Lantas menampilkan senyum selebar mungkin.
Wanita itu tampak menutupi senyumnya melihat gelagatku. Menggemaskan sekali.
“Sorry Mbok, saya enggak konsen, Boleh lihat menunya Mbok?”Aku ikut-ikutan memanggil Mbok. Panggilan untuk wanita Bali yang usianya lebih dewasa.
“Silakan, Pak.” Wanita itu menyodorkan buku menunya kepadaku.
“Pak? Berasa tua saya, Mbok.” Aku mulai melempar candaan.
“Maaf. Mas saja ya.” Wanita itu tampak tidak enak hati. Sebagai hotelier, dia tentu hafal dengan tipikal tamu lokal dan kata-kata panggilan yang pas.
“Iya, boleh, Dek.”
Wajah putihnya memerah. Hahaha…kena kau Mbok!
“Adek suka minum apa?” Aku balik menyodorkan menu yang sudah aku buka di hadapannya. Memintanya untuk memilih.
“Kalau saya sukanya Jus….” Belum sempat dia menyelesaikan kata-katanya, aku langsung menyambar.
“Just I wanna say I love you bukan?”
Wanita itu tidak mampu menyembunyikan senyum malu-malunya. Dari perangainya, jelas dia adalah orang yang open minded, supel, dan easy going. Namun di sisi lain, dia juga terlihat menjaga batasan untuk lawan jenis. Membuatku penasaran ingin kenal lebih dekat.
“Mas, ini temannya kok suka gombal sih? Bukannya pesan minuman.” Dia yang tidak kuat digoda. Melempar pertanyaan ke Gede yang terlihat bengong dengan sikapku tadi.
“Kasih saja jus yang ada sianidanya Mbok, biar kapok.” Gede menyahut.
“Enggak perlu sianida, Melihat senyum Mbok saja, aku serasa mau mati.” Aku menyeloroh. Tak henti-hentinya aku melempar rayuan. Suka atau enggak bodo amat. Salah sendiri cantik.
“Jangan gitu dong, Mas. Nanti kalau aku baper gimana?” Wanita itu membalas dengan santai. Tidak ingin terlihat baper beneran di depanku.
“Kalau Mbok bersedia, kita nikah saja.” Kalimat itu begitu mudah meluncur dari mulutku. Refleks dari hati.
“Mas, becanda saja. Jadi pesan minumnya?” Sekuat mungkin wanita itu bersikap biasa. Padahal, aku tahu kalau hatinya sedang bergemuruh.
“Latte vanilla saja Mbok dua. Jangan dengerin temen saya ini. Lagi teler dia.”
Begitu wanita itu berlalu, Gede langsung mencecariku habis-habisan.
“Sarap Lo ya! Kalau dia sudah punya suami bagaimana?”
“Aku berani bertaruh kalau dia single, Men.”
“Darimana Lo tahu?”
“Well, Kita kan juga bekerja sebagai hotelier, Men. Wanita yang sudah cukup matang seperti dia dengan penampilan seperti itu, mana mungkin diizinkan suaminya untuk bekerja di hotel internasional seperti ini? Apalagi berhadapan dengan tamu yang notabene bisa melakukan hal yang tidak-tidak.”
“Tapi, bisa saja itu keinginannya sendiri, Men. Dan suaminya mengizinkan. Jangan cari masalah kamu dengan menganggu istri orang. Tujuan kita berlibur di sini.”
“Gua tetap yakin kalau dia single. Sebagai buktinya, kita tungguin dia sampai selesai kerja dan ikuti dia ke rumahnya. Sekalian gua mau mampir. Silaturrahmi.”
“Gila Lo ya! Ini Bali Men, bukan Jakarta. Jangan seenaknya gitu. Lagian gimana nasib Agni kenalan Lo itu?”
“Sampai detik ini, dia belum muncul juga. Biar kan saja. Sekarang gua lagi kesensem sama janda itu.”
Gede mengusap wajahnya kasar. Tidak habis pikir dengan sikapku yang bisa dibilang ekstrim. Sebaliknya aku yang masih keukeuh menganggap wanita itu single atau janda. Instingku kuat menginginkannya menjadi istriku, menggantikan Disha di pelaminan nanti. Apapun resikonya akan kutanggung nanti.
Dengan menggunakan mobil yang kami charter selama di Bali, aku dan Gede mengikuti kemana wanita itu pulang.
Jalanan Seminyak malam itu sangat ramai, nyaris saja aku kehilangan jejak wanita itu yang pulang dengan menggunakan ojek online.
“Cepet dikit, Men! Jangan sampai hilang dia!” Seruku kepada Gede yang menyetir. Jelas karena dia lebih hafal jalanan Bali. Makanya lebih sering dia pegang kemudi dibandingkan aku.
“Iya, iya.” Dia menyahut sekadarnya. Mungkin jengah dengan sikapku yang keras. Watakku yang sangat dimaklumi oleh dia. Ketika aku sudah menginginkan sesuatu. Maka harus langsung terpenuhi saat itu juga. Dasar aku.
Sampailah di khawasan perkampungan. Sialnya, Mobil harus terhenti karena wanita itu memasuki gang sempit.
“Kayaknya harus jalan kaki ini, Men.” Gede berkata.
Apa boleh buat. Aku dan Gede turun setelah memarkirkan mobil di tepi jalan. Lalu berjalan menuju gang itu. Secara tidak diduga, beberapa langkah di depan kami, terlihat sesosok gadis yang berjalan. Aku pun mendapatkan ide untuk bertanya alamat wanita itu kepadanya.
“Permisi, Mbok.”
Sosok itu menoleh. Betapa terkejutnya aku tatkala melihat wajah dari gadis itu. Dia adalah Agni, kenalan f******k yang janji akan bertemu denganku.
“Agni?”
Gadis itu memandangku aneh. Dia seperti menatapku lamat-lamat. Berusaha mengenali aku.
“Bli siapa ya?”
“Ini aku Dani. Temen f******k kamu.”
Dia mengernyit lagi. Bingung dengan perkataanku. Segera aku merogoh ponsel. Menggeser layar dan menunjukan profil dia di f******k.
“I Kadek Agni Saraswati itu kamu kan?”
Dia memperhatikan sejenak, baru kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Nama saya Devi, Bli. Bukan Agni.”
Aku menggaruk-garuk alisku sambil memandang Gede yang juga memandangku. Pertanyaan yang sama bersembul di benak kami. Kalau dia bukan Agni? Terus siapa Agni yang asli?
“Kamu serius?” Gede menyeloroh.
“Iya, Bli. Buat apa Tiyang berbohong.” Devi berkata dengan logat Bali yang khas.
Aku diam sejenak. Gadis ini tidak berbohong karena dia tidak excited ketika bertemu denganku. Pertanda dia tidak mengenaliku. Seketika dadaku bergemuruh, Apa Agni sengaja menipuku dengan menggunakan profil palsu?
“Tapi, kalau dilihat dari namanya seperti nama meme (Ibu) ku.”
“Ibu kamu?” Gede langsung menyanggah kata meme, yang sudah jorok di pikiranku.
“Iya, Mungkin Bli berdua mau mampir buat bertemu ibu?”
Aku memandang Gede. Meminta pertimbangan. Dia terlihat mengangguk. Lantas, kami berdua mengikuti langkah gadis itu. Aku sudah tidak karuan pada saat itu.
Di depan sebuah rumah yang tampak sederhana dengan ornament Bali yang khas, Devi memanggil meme-nya. Tidak berapa lama, muncullah wanita anggun dari balik pintu. Yups, tepat apa yang kalian pikirkan, wanita bernama Agni yang menjadi meme Devi itu adalah wanita yang aku goda di pinggir kolam renang tadi.
“Ini meme Saya, Bli.” Suasana canggung langsung menyergap. Wanita yang sekarang aku ketahui bernama Agni itu tampak resah sendiri. Mungkin kebingungan untuk menjelaskan semua penyamarannya. “Eh, Mas. Silakan masuk.” Kami dipersilakan masuk dan duduk di kursi kayu panjang. “Sebentar, saya tinggal dulu ke belakang, Bli.” Devi berkata. “Bli ikut ke belakang, Devi. Kebelet pengen ke toilet.” Gede menyahut. Aku tahu Gede sengaja ke toilet karena ingin membiarkanku berdua dengan Agni. Sekarang tinggal kami berdua. Duduk saling berhadapan. Aku menatap lurus ubun-ubun Agni yang sedang menunduk. Namun, pandanganku kacau saat melihat area dadanya yang putih mulus. Menyembul bulatan sintal menggelora yang terlihat di balik kebayanya. Bulatan indah yang berukuran cukup besar. Montok. Tanganku mungkin tidak cukup untuk menggenggamnya. Ah, kenapa pikiran bujang yang ngebet menikah selalu mesum begini? “Jadi Mbok yang bernama Agni?” Dia mengangguk pelan. Tampak tidak enak hati. “Lantas, ke
Dia speechless. Tentu saja. Mana mungkin ada wanita yang percaya dengan pria yang bahkan hanya sekali bertemu saja, sudah langsung melamar. Namun memang begitu adanya, Tidak butuh waktu lama untuk bisa yakin kalau aku bisa menemukan orang yang tepat untuk dinikahi. Lama tidaknya hubungan tidak menjamin bakal ke pelaminan. Justru dengan sekali melihat Agni, jiwa ini meronta hebat. Menginginkan Agni menjadi pengisi ruang hati ini sepenuhnya. Selamanya. Tidak ada wanita lain lagi. Terlebih aroma kewanitaannya yang semakin lama semakin semerbak. Aku sungguh dibuat gila oleh aroma kewanitaan itu. Ingin membauinya lebih dekat. Menjilat. Mencumbu. Merasakan diri ini mabuk gara-gara aroma itu. “Jangan mengada-ada, Mas. Saya sudah tidak muda lagi. Sementara, anda masih bisa mencari yang lebih cantik. Sesuai dengan kriteria Mas.” “Kalau saya maunya sama Mbok, bagaimana?” Aku bersikukuh. Wanita itu tidak menjawab. Sepertinya ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan atau kehabisan kata-kata
Pagi harinya, aku merasakan hal aneh ketika terbangun. Rasanya begitu segar dan bugar badan tatkala merasakan celanaku yang basah. Ketika aku melepas celanaku untuk memeriksanya. Benar adanya kalau di bawah sana sudah dipenuhi benih-benih yang sudah lama terbendung. Aku jadi malu sendiri karena semalaman, membayangkan Agni sampai terbawa mimpi. Aku segera bangkit dari ranjang. Menoleh ke arah ponsel sejenak. Sudah merasa bodo amat ada pesan masuk. Sudah bodo amat dengan Raka dan Disha semalam yang sepertinya mau menjelaskan sesuatu. Bodo amat dengan perselingkuhan mereka juga. Hari ini, aku memutuskan untuk melupakan. Kehidupan yang baru sudah menunggu. Pandanganku beralih ke Gede yang masih tertidur. Lelap sekali tidurnya seperti kerbau. Memang si kunyuk satu ini sulit bangun pagi. Makanya, hampir mustahil membangunkannya jam segini. Dengan tubuh bugil, aku melangkah menuju kamar mandi. Sempat berhenti di depan cermin rias. Melihat ukiran berotot ditubuhku. Otot pundak yang kokoh m
“Argh!” Dia terpelanting setelah aku mencekal tangannya dan melakukan gerakan uppercut. Sikutku dengan sangat keras mengenai dagunya. Beralih dengan cepat ke dadanya juga, sehingga pria itu terhuyung ambruk. Pria itu terbatuk-batuk sambil memegang dadanya yang kesakitan. Dia pun seperti terburu-buru hendak beranjak dari sana sambil tatapannya yang tajam mengarah ke arahku, seolah tidak terima kalau yang katanya preman terkuat bisa dengan mudah dikalahkan, dipermalukan dihadapan orang-orang. “Liat saja nanti! Kamu akan menyesal!” Pria itu berkata lantang sambil terburu-buru meninggalkan pelataran rumah Agni. Entah apa yang akan dia lakukan nanti, Mungkin dia akan mengadu ke pimpinannya maupun anggotanya. Aku sama sekali tidak perduli. Aku pun beralih ke Agni yang sedang memeluk Devi. Terlihat tubuh Devi yang gemetar setelah ditampar oleh si bedebah tadi. Masih ada tanda merah di pipinya. “Enggak usah takut, Devi. Sekarang sudah aman.” Aku menghampirinya. Memandang Devi yang masih m
Aku tidak berkedip melihatnya. Hal yang tidak pernah aku bayangkan dari seorang Agni yang sopan dan anggun. Nyatanya wanita itu menyimpan gejolak hasrat yang cukup tinggi. Bagaimana wanita itu memuaskan hasratnya seorang diri dengan menggunakan alat. Dan yang lebih tidak masuk akalnya lagi, dia juga mengatakan kalimat-kalimat yang begitu nakal.Butuh beberapa saat bagiku untuk menenangkan diri. Baru kemudian, secara perlahan aku keluar dari sana. Aku tidak ingin menganggunya yang sedang asik. Pastinya dia akan sangat malu sekali kalau aku sampai memergokinya.Aku kembali berjalan ke ruang tamu dengan langkah yang sangat gontai. Pikiranku tidak menentu. Agni ternyata tidak seperti yang aku pikirkan. Dia mempunyai kelainan. Apakah mungkin karena dia sudah lama menjanda makanya dia melakukan hal itu.Ketika aku sampai di ruang tamu, aku berpapasan dengan Gede yang menghampiriku.“Men, aku sudah mendapatkan rumah di dekat polres sesuai dengan budget yang kamu kasih. Sepertinya aman kalau
“Mantan suami Mbok Agni adalah anggota dari Askar Bali!”“Terus?” Aku menjawab santai saja tanpa mengerti gangster besar itu.Gede menepuk jidat. Agaknya dia jengkel dengan sikapku yang santai.“Itu gangster besar di Bali, Men. Cari mati namanya kalau berurusan dengan mereka?”“Memangnya kenapa? Lagian bukan kita yang salah jadi ngapain takut?”“Bukan begitu, Men. Bagaimana kalau nanti tiba-tiba ada orang yang mencegat kita di tengah jalan dari anggota gang mereka.”“Haha, Lo berlebihan, Men. Enggak usah lebay begitu.”“Dibilangin.”Selanjutnya aku tidak menganggap kekhawatiran Gede. Yang aku pikirkan sekarang. Apakah aku terus mengejar Agni atau tidak. Percayalah Hal ini lebih genting dari apapun.“Lo memang batu dibilangin. Lo sudah mabuk akan cinta Lo sama Agni sampai mengabaikan semua resiko.”Aku langsung menatap Gede yang langsung terkejut begitu aku menatapnya. Dia tampak mengernyit dahi.“Ada apa?”“Gua mau tanya sesuatu sama Lo, tapi Lo jangan heboh ya.”“Tanya apaan?” Gede l
Hari berganti. Tidak terasa waktu liburan di Bali sudah habis. Sekarang waktunya aku kembali ke Jakarta. Aku sudah menyiapkan rencana tentang apa yang akan aku lakukan nanti. Bagaimana caraku untuk mempertemukan keluargaku dan keluarga Disha. Mengatakan kepada mereka semua bahwa aku membatalkan pernikahan itu. Tentu dengan semua bukti yang aku dapatkan.Aku dan Gede sudah check out dari hotel dua hari yang lalu dan memutuskan untuk tinggal di rumah baru Agni. Selama dua hari itu, tidak ada gangguan yang berarti. Mulyawan, mantan Agni yang resek itu tidak datang. Mungkin saja dia kebingungan mencari alamat Agni yang baru. Sebelum pergi, aku sudah berpesan kepada tetangga untuk merahasiakan alamat baru Agni.Terlepas dari itu semua, Devi sudah kembali ceria lagi. Gadis berumur dua puluh satu tahun itu sudah tidak terbayang-bayang kejahatan ayahnya lagi. Namun hal yang sedikit mengganjal adalah sikap Devi yang suka manja berlebihan denganku. Dan Agni yang seperti membiarkannya. Duh, kan
Penerbangan memakan waktu dua jam saat sampai di bandara Soekarno-Hatta. Meski sudah sampai di Jakarta, aku masih terbayang-bayang indahnya pulau Dewata. Kalau keadaan memungkinkan aku ingin kembali ke sana. Bahkan kalau bisa tinggal di sana saja. Suasana damai dan sejuknya udara lebih baik daripada di Jakarta.Selesai dari tempat pengambilan koper. Aku dan Gede langsung menuju pintu utama. Kami berdua sama-sama tidak dijemput di bandara. Ya, ini hanya liburan, bukan bekerja di luar negeri, jadi tidak perlu dijemput satu keluarga.Bicara tentang luar negeri, aku langsung teringat dengan Disha yang pulang tepat di hari ini. Aku tidak tahu pasti dia sampai kapan. Yang jelas aku tidak mau bertemu dengan dia dan Raka di Bandara ini.Namun, prakiraanku salah. Ketika sampai di pintu keberangkatan, aku melihat Disha dan Raka“Men, itu Disha dan Raka.”Aku tidak menghiraukan Gede. Pandanganku lekat ke arah Disha. Ada perih yang terasa di hati ini. Apalagi saat kulihat Raka yang terlihat memeg