Share

Bab 7

Jalan Di Belakangku

"Dasar nenek lampir," umpat Lika mengataiku yang masih bisa kudengar sebelum ia berlalu ke dapur. Wanita itu berjalan dengan menghentakkan kaki, tapi bodo amat, aku gak peduli. Berani menggangguku maka siap-siap dengan pembalasan seorang Dewi.

Kelakuannya benar-benar serba minim. Entah apa yang di lihat mas Bagas, sehingga menduakanku dengan wanita seperti Lika. Bukannya sombong, tapi wanita yang merusak kebahagian orang lain itu memang bukanlah wanita baik.

   Sikapku tergantung bagaimana kamu. Jangan berharap kebaikan dariku, jika kamu saja masuk ke istanaku sebagai pencuri. Kau bisa mengambil Mas Bagas, suamiku, tapi jangan berharap bisa menjadi ratu. Karena level seorang ratu berbeda dengan selir. Bak langit dan bumi.

   "Itu madu kamu?" tanya Sandra setelah menghempaskan bokongnya di sofa ruang tamu. Dari raut wajah, sahabatku itu sepertinya sangat penasaran tentang sosok Lika, si pelakor busuk. Aku yakin wanita berlesung pipi itu juga kurang suka dengan tingkah Alika.

   "Ho–oh," balasku singkat, seiring kepala yang mengangguk. Mata ini sesekali melirik ke arah dapur, di mana pelakor suamiku itu sedang menyediakan minum untukku dan Sandra. Entah apa yang akan di lakukan perempuan busuk itu. Semoga aja dia tidak menaruh sianida di minumanku dan Sandra.

   "Dapat di manalah Bagas pelakor itu. Cantik juga  dibawah standar, menang body aja," ucap Sandra menilai istri kedua suamiku. Sahabatku itu mengeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak percaya.

   Aku hanya mengedikkan  bahu, tak tahu. Karna memang aku tak tahu dimana Mas Bagas mengenal Lika, tau-tau mereka sudah menikah aja.

"Ya, begitulah, Ra. Menjadi pelakor itu tidak perlu cantik. Asalkan pandai menggoda, apalagi lakinya cicak buntung, semua di sapu rata."

   "Eh, tapi kok kamu perlakukan dia seperti pembantu? Ya ... biasanya 'kan madu itu selalu mau berkuasa. Meskipun hanya istri siri. Seperti yang  ada di sinetron-sinetron gitu," ucap Sandra, ternyata sahabatku ini korban sinetron rupanya. Aku hanya menggelengkan gelengkan kepala.  Sejak kapan Sandra ada waktu nonton  TV. Diakan  wanita super sibuk, pemburu dolar sama kayak suaminya.

   Baru saja ingin menjawab Sandra, madu busuk itu sudah muncul di balik pintu penghubung antara ruang nonton dan ruang tamu. Ragu-ragu ia mendekatiku dan Sandra.

   Dengan kasar dia meletakkan dua cangkir berisi teh dan setoples cemilan ke atas meja depan kami duduk. Dasar! Ku amati tingkahnya dengan lirikan mata samping. Wajahnya cemberut, mungkin tidak terima dengan caraku memperlakukannya, tapi apa peduliku. Siapa yang suruh mengaku pembantu. Nikmatilah peranmu.

   "Fuih..." Sandra membuang ludahnya. Untungnya hanya angin yang keluar dari mulut Sahabatku itu, jika tidak pasti Lika akan merasakan jigong. "Minuman apa ini, manis betul! kamu masukkan gula satu kilo ya, sengaja biar kita kena diabetes,"  ucap Sandra ketus, sengaja ingin membuat suasana menjadi semakin panas. Aku hanya menyaksikan saja.

   "Masih untung gak kumasukin sianida" Lika membalas ucapan Sandra dengan pelan, tapi bisa terdengar jelas olehku begitupun Sandra. Cukup berani juga pelakor busuk ini. Aku memperhatikan adegan di depan ku. Biarlah Sandra mau ngapain dulu. Nekat juga ni anak, gak tau aja dia, bagaimana judesnya Sandra.

   "Kamu bilang apa? Berani sekali kamu pembantu! Dasar minim akhlak, mau kusiram, hah!" Berang Sandra dengan mata melotot. Aku tertawa jahat melihat wajah Lika kena semprotan Sandra. Sahabatku itu kalau marah sudah seperti singa.

   "Daripada situ, tamu aja belagu," ucap Alika, menantang sorot mata Sandra. Wow patut ku acungi jempol ni madu busuk. Jempol empat, tapi terbalik. Salut benar-benar berani dia.

   Sandra naik pitam, wajahnya memerah dengan asap yang keluar dari kedua daun telinga. Begitulah kira kira jika wajah Sandra digambarkan, marah penuh emosi. Lantas sahabatku itu berdiri dengan cangkir teh yang sengaja ia pegang.

   Byurrrrr

   Untuk yang kedua kali Lika mendapat guyuran. Satu air putih dan satunya lagi air teh. Untung gak terlalu panas, kalau tidak, bisa belang tuh muka. Salah sendiri Sandra di lawan. Maaf Tuhan ... izinkan aku tertawa jahat.

   "Aww panas," pekik Lika seraya berlari ke kamar mandi. Sebenarnya kasian juga, tapi dia sendiri yang cari masalah. Sudah tau posisinya pembantu, berani melawan tamu majikan, terimalah kemarahan dari Sandra. Si tamu rasa tuan rumah.

   Sepeninggalan Lika, aku menatap Sandra dengan tatapan shock, tapi yang menjadi tatapanku hanya cengar-cengir, terlihat kepuasan di wajahnya.

   "Apa kita gak keterlaluan, Ra? tanyaku merasa sedikit bersalah. Tiba-tiba sisi baikku yang dominan.

   "Halah gak usah lebay. Cuma teh hangat, masih jauh dari nafas.Tadinya malah mau ku gundulin kepala atas bawahnya." Mataku melotot mendengar ucapan Sandra. Gadis ini memang ceplas-ceplos, apa aja isi kepalanya pasti di keluarkan.

   "Tapi kasian juga, Ra."

   "Biarin ... biar tau rasa, di kira enak ngelakor. Kamu jangan terlalu lemah, nanti di injak-injak." Sandra berucap seraya menyambar cangkir di atas meja. Lalu meneguknya dengan sekali teguk. Aku menatapnya dengan bibir monyong. Ya kali ... berani Lika menginjakkan-injakku.

"Gak usah monyong gitu. Jelek! Aku hanya ingatin."

   "Aku bukan monyong karena itu. Tehku kamu minum!" Aku mendelik pada Sandra, tapi wanita itu cuek. "Tapi, iya juga sih, Ra. Orang kayak Alika gak bisa di kasih hati," ujarku lagi seraya memeluk bantal sofa.

"Tepat sekali!"

   "Tadi katanya kemanisan tehnya, kok habis? tanyaku bercanda.

   "Orang kalau selesai marah itu bagusnya minum yang manis-manis. Biar emosinya reda," balasnya asal. Aku hanya bisa menepuk jidad, dapat teori dari mana lagi nih anak.

  Ku ajak Sandra untuk duduk kembali sembari menunggu jam makan siang. Hari ini aku dan Sandra  memang janjian ingin makan siang bareng di luar, biar gak stres di rumah.  Apa lagi sejak kehadiran madu busuk itu dalam kehidupanku. Kebetulan ada kafe yang  beberapa hari ini baru buka dan sedang mengadakan diskon. Ku lirik jam dinding masih jam sebelas kurang, masih ada waktu sekitar satu jaman lebih. Aku dan Sandra duduk bersantai di atas sofa empuk, nikmat sekali bisa leha-leha. semua kerjaan sudah di kerjakan oleh Alika, sang pelakor busuk. Aku dan Sandra, sepakat untuk berangkat habis dzuhur.

   Kubuka ponsel, lalu mengotak atiknya. Sejak ada pembantu alias pelakor di rumah ini, aku mendapatkan banyak sekali waktu luang. Aku punya banyak waktu bergabung di salah satu aplikasi yang menyediakan ruang baca dan menulis. Di sana menyediakan karya-karya dari semua jenis kalangan dan usia. Tak terkecuali emak-emak berdaster pun hadir di sana. Aku mengoleksi banyak cerita dari bermacam genre. Semuanya menarik salah satunya cerita yang berjudul Wanita cadangan, yang menurutku seru. Kulirik Sandra juga sama, sibuk dengan HPnya, tapi gadis itu lebih memilih bermain game.

   Kumandang adzan menghentikan kami dari aktifitas ponsel. Aku memang bukanlah wanita yang alim, jilbab pun masih yang segi empat. Tidak menutup dada dengan sempurna, tapi dari kecil bunda selalu menanamkan betapa pentingnya sholat dalam kehidupan manusia. Kata bunda sholat adalah salah satu rukun islam, dan tidak akan sempurna islam seseorang tanpa sholat. Itulah yang kupegang hingga kini.

   "Yuk sholat, habis tuh cus cari makan, lapar..," ucap Sandra, seraya memegangi perutnya. Kubalas perkataan Sahabatku itu dengan anggukan.

   Kami beranjak dari sofa dan melangkah hendak masuk ke kamarku. Saat melewati ruang tengah, kepalaku celangak-celinguk mengintip ke arah dapur, mencari istri siri suamiku itu, tapi yang di cari tak menampakkan dirinya di sana.

   "Mungkin di kamar," bisik hati kecilku. Meneruskan langkah masuk kamar. Aku dan Sandra menunaikan kewajiban seorang muslim.

*

   Di sinilah kami, di sebuah kafe yang baru dibuka. Meskipun sedikit jauh dari rumah, tapi tak mengapa untuk para pemburu diskon seperti kami ini.

   Baru saja ingin melangkah masuk, keburu tangan ku di cekal oleh Sandra.

   "Loh itu 'kan bagas."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status