Share

Bab 6 Dasar Madu Busuk

Sudah sebulan Lika tinggal di rumahku, tentu sebagai pembantu. Selama itu pula semua pergerakannya dan Mas Bagas berada dalam pantauanku. Aku sudah seperti CCTV, yang selalu aktif. Tak sekalipun kubiarkan mereka memiliki waktu berdua. Meskipun sedikit lelah, karena harus siaga 24 jam, menjaga Mas Bagas, tapi tak apalah, asalkan bisa mencegah hubungan mereka, akan aku lakukan. Bukan karena  cemburu ...  tidak sama sekali. Sejak aku tau Mas Bagas telah menduakanku, perlahan rasaku padanya terkikis, sedikit demi sedikit memudar.

Meski ku akui sulit untuk menghapus semua rasa yang ada, karena walau bagaimanapun, dua tahun bukanlah waktu yang singkat, meskipun juga tidak terlalu lama, tapi aku tidak  bodoh. Kewarasanku masih mendominasi.  Aku hanya tidak mau mereka bersenang-senang, sebelum urusan Mas Bagas denganku selesai. Setelah kami berakhir, barulah akan kuikhlaskan mereka berdua untuk bersama.

   Sejak Lika menjadi pembantu di rumahku, waktuku banyak untuk bersantai. Enak ternyata, semua pekerjaan sudah di ambil alih olehnya. Waktuku banyak untuk mempercantik diri. Gaji Mas Bagas pun aku yang mengatur. Kalau dulu aku cuek, berapapun yang pria itu berikan akan kusyukuri, tapi tidak untuk saat ini, dan kedepannya. Akan kuambil semua yang menjadi hakku, sebelum aku benar-benar pergi meninggalkan suamiku itu.

Ting nong!  Ting nong!

   Sedang santai menonton TV, terdengar suara bel dari luar.

   "Lika ... Lika …." Dengan suara nyaring aku memanggilnya. Sengaja, biar kayak di tipi-tipi, kala majikan memanggil pembantunya. 

   Tapi sudah berapa kali panggilan, tetap tidak mendapat sahutan dari yang dipanggil. Entah kemana madu busuk itu. Suara melengking kayak gini, masih nggak didengarnya. Dasar budak.

   "Kemana sih, ini siLika. Pagi-pagi sudah hilang." Aku ngomel sendiri. Dengan malas kuangkat badan berdiri dan melangkah menuju pintu. Entah apa yang pembantu palsu itu lakukan di dalam sana. 

   "Hai, cinta ...." Suara yang sangat ku kenal menggema ke seluruh sudut rumah. Ternyata sandra yang datang. Pas memang Sahabatku ini datang, jadi aku punya teman ngerjain Alika, si madu busuk. Apalagi Sandara juga sepertinya memang kesal dengan maduku itu. 

   "Assalamu'alaikum," ucapku menyindirnya. "Kebiasaan, kalau masuk rumah tuh ucap salam, bukan can cin can cin, sudah kayak bule aja," ujarku lagi, menasehati sahabatku itu, tapi ia itu malah nyengir, nggak jelas.

   "Assalamu'alaikum ustadzah," balasnya tersenyum jahil, lalu mencolek dagu. Dasar Sandra.

   "Ayo masuk … tumben kemari? Kamu gak kerja?" tanyaku pada wanita cantik itu. Semenjak aku menikah, Sandra jarang sekali ke rumahku. Mungkin karena sejak awal dia tidak menyukai Mas Bagas. Apalagi sekarang, bertambah lagi rasa tidak sukanya pada suamiku itu.

   "Libur aku," ucapnya, diiringi langkah kakinya menuju sofa ruang tamu.

   Aku mengikuti langkah Sandra dari belakang. Sahabatku itu menghentikan langkahnya, hingga otomatis kakiku juga menghentikan langkah.

Perempuan bergamis marun, dipadukan dengan pasmina putih, yang hanya dikait peniti dibawah dagu, lalu satu hujung pasminanya diletakkan diatas bahu itu, celingak-celinguk. Seperti mencari sesuatu.

  "Madumu mana?" tanyanya sambari menaik turunkan alis antusias. Mungkin di otaknya sudah terbayang seribu macam rencana.

   "Lika ... Alika ...." teriakku nyaring. Sedari tadi aku memanggil, tapi madu busuk itu tak kunjung datang. 

   "Likaaaaaaa."  Sekali lagi aku berteriak. Wanita busuk itu memang memancing emosi.

   Dari arah dapur Bibik muncul. Wanita paruh baya itu berlari tergopoh-gopoh, menghampiriku dan Sandra di ruang tamu.

   "Iya, Bu," ucapnya, masih ngos-ngosan.

   "Lika mana, Bik? Dari tadi dipanggil nggak datang-datang." 

   "Itu, Bu. Nyonya Lika … eh, Lika lagi di kamar," ucap Bibik keceplosan. Ia langsung memegang mulutnya dengan sebelah tangan, lalu menundukkan kepala. Mungkin wanita yang hampir memasuki umur 50 tahun itu, takut karena keceplosan memanggil Lika nyonya. Kutanggapi hanya dengan senyum kecil. Aku tau, ibu palsu ini, mungkin takut pada Alika.

  Sandra mengerutkan keningnya heran. Mungkin sahabatku itu bingung karena Bibik memanggil Lika Nyonya. Sementara denganku hanya  memanggil Ibu. Aku memang belum sempat memberitahu apa status Lika di rumah ini pada Sandra. Makanya wanita itu terlihat bingung.

   "Ngapain jam segini masih di kamar, Bik?" tanyaku dengan nada jengkel. Berani-beraninya wanita itu. Dengan kasar aku mengangkat kaki, menapaki jejeran keramik berwarna putih, melangkah menuju kamar Lika,  yang di ikuti Sandra dari belakang.

   "Lika ... Lika ...." teriakku lantang. Tangan ini dengan kasar menggedor-gedor pintu kamar. Wanita itu benar-benar menguji kesabaranku. Dasar benalu!

   Baru saja tanganku ingin menggapai handle pintu, tapi Lika membukanya duluan dari dalam. Wanita itu muncul dengan rambut yang acak-acakan. Mataku melotot hampir keluar dari tempurungnya, kala melihat penampilan madu busuk suamiku ini, begitupun dengan Sandra.

   "Ini madu kamu, Wi?" tanya Sandra berbisik di telingaku. Kutanggapi pertanyaan sahabatku itu dengan sekali anggukan.

   "Ada apa sih, Dewi," tanyanya dengan nada malas.

   Astaga naga .…

Benar- benar tidak punya sopan santun. Berani sekali perempuan busuk ini. Tanpa banyak kata, aku melangkahkan kaki menuju dapur. Sampai di meja makan, kuisi gelas dengan air putih sampai penuh, dan tergesa-gesa balik ke kamar Lika.

   Byurrrr!

   "Banjir ...." teriak Lika, saat isi gelas di tangan kusiram ke kepalanya. Nyawanya belum sepenuhnya kembali ke alam nyata, dengan kasar wanita itu menyapu wajahnya dengan kedua tangan. 

   Sontak aku dan Sandra tertawa besar melihat madu busuk suamiku itu. Mungkin ini terlihat sedikit kejam, tapi salah sendiri, suruh siapa jam segini masih saja tidur. Bahkan ayam sudah menghambur ke luar kandang sedari subuh.  Lah … dia masih saja tidur. Dasar perempuan busuk!

   " Kamu keterlaluan," teriaknya. Mungkin nyawanya sudah kembali full, hingga bisa mengeluarkan suara dengan lantang.

  "Turunkan suaramu. Saya tidak budek," ucapku santai, sambil memeluk kedua tangan di depan dada.

   Lika seketika terlihat gugup. Wanita itu mungkin menyadari kesalahannya. Ia terlihat menelan air liurnya yang basi, saat matanya melihatku yang sedang menatapnya dengan sorot mata yang membunuh.

   "Saya menggaji kamu bukan untuk bersantai, dan tidur-tiduran. Kamu biarkan ibu kamu mengerjakan semua pekerjaan, sementara kamu hanya berpangku tangan. Dasar anak durhaka, masuk neraka tau rasa kamu!" ucapku panjang lebar. Sandra yang tidak mengerti perkataanku menatap bingung. Sahabatku itu mencolek pinggangku  dengan ujung jari telunjuknya, sebagai kode meminta penjelasan.

   "Iya, maaf," ucap madu busuk itu singkat.

   "Pokoknya, aku gak mau tau, sekarang kerjakan semua pekerjaan, biarkan ibumu istirahat. Bibik  istirahat aja ya, biar Lika yang menggantikan pekerjaan Bibik," ucapku. Sengaja kubuat nada seperti memerintah, biar perempuan busuk ini tau siapa dirinya.

   Antara ragu dan segan, Bibik masuk ke dalam kamar menuruti perintahku.

   "Sekarang, buatkan minum untuk tamu saya." Lagi aku menyuruhnya. Sebelum aku dan Sandra meninggalkan istri siri Mas Bagas itu, kulihat wanita itu tertunduk dengan bibir monyongnya. 

   "Dasar nenek lampir," umpat Lika yang masih bisa kudengar. Wanita itu berjalan dengan menghentakkan kaki, tapi bodo amat, aku gak peduli. Berani menggangguku maka siap-siap dengan pembalasan seorang Dewi.

   Sikapku tergantung bagaimana kamu. Jangan berharap kebaikan dariku, jika kamu saja masuk ke istanaku sebagai pencuri. Kau bisa mengambil Mas Bagas, suamiku, tapi jangan berharap bisa menjadi ratu. Karena level seorang ratu berbeda dengan selir. Bak langit dan bumi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status