"Ya, lumayan, tapi sudah saya selesaikan satu per satu, Pak. Eh, maksud saya, Papa." Revan tampak sangat tidak nyaman dengan kedatangan Haris kali ini."Hmm ... baguslah. Saya mendengar banyak tentang apa yang kamu lakukan untuk perusahaan ini. Saya salut dengan semangat dan daya juang kamu sebagai pengusaha muda. Sama persis dengan mendiang ayahmu. Kinerja kamu sama sekali tidak diragukan. Saya akan memberikan dana untuk perusahaan ini. Delapan puluh persen saham akan saya bantu, tapi hanya untuk kerja sama saja. Agar tidak collabs dan perusahaan ini pasti akan berkembang." Haris tidak berbasa-basi saat ini.Revan mencerna setiap kata yang keluar dari mulut haris. Besarnya bantuan itu sangat luar biasa. Nominalnya bisa untuk membuat anak cabang perusahaan. Revan ingin menolak, tetapi saat ini perusahaan butuh dana cepat. Revan pun bimbang saat ini."Bagaimana?" tanya Haris dengan nada tegas."Baiklah, Pa. Saya setuju. Semoga setelah ini semua karyawan akan amanah dan tidak ada lagi t
"Bu ... Mayang saat ini depresi. Kami tidak tahu apa penyebabnya. Bisakah Ibu datang ke tempat kos ini? Mungkin dengan kedatangan Ibu bisa membuat Mayang mau bercerita tentang apa yang membuatnya depresi.""Baiklah. Besok pagi saya akan ke Bandung." Darsih memutus sepihak panggilan dari Yani. Hatinya mendadak hancur saat mendengar kabar putrinya itu. Beliau langsung menghubungi Revan saat ini. Siapa tahu bisa membantunya. Hanya terdengar dering saja dan tidak tersambung sama sekali. Anak yang dulu diasuhnya juga sudah sangat lama tidak menghubunginya. Darsih hanya berharap, hubungan mereka baik-baik saja saat ini. Darsih mulai mengemas baju dan hendak pergi ke Bandung besok pagi.Sebuah fakta menunjukkan jika tidak ada yang benar-benar baik-baik saja dengan keputusan yang dibuat oleh seseorang demi menyelamatkan banyak orang. Akan ada korban di dalamnya yang harus merelakan hatinya tersakiti. Satu per satu dipaksa untuk melepaskan dan saling melupakan. Dua hal yang sama sekali tidak
"Baik, Bu. Akan saya usahakan. Saya permisi dulu." Mayang segera pamit dan tidak ingin berlama-lama berada di ruang wali studinya. Bu Rani mengizinkan Mayang keluar dari ruangannya. Tentu saja membuat gadis berkulit putih itu mendadak gamang. Rencana bimbingan terakhir itu bertepatan dengan putusnya hubungan dengan Revan. Mendadak air mata Mayang tumpah saat berjalan menuju ke tempat indekosnya."May ... dari mana?" tanya Yani saat berpapasan di depan pintu gerbang tempat indekos. "Oh ... dari menghadap Bu Rani. Aku masuk dulu, ya, siang nanti mau bimbingan." Mayang segera meninggalkan teman dekatnya itu.Yani heran karena Mayang sudah bisa diajak berkomunikasi. Tidak seperti beberapa waktu yang lalu. Ah ... ternyata apa yang mereka pikirkan selama ini salah. Teman indekos Mayang melihat jika Mayang baik-baik saja saat ini.Mayang membuka laci meja belajarnya. Laptop dan bundelan bab akhir yang hampir satu bulan ada di dalam laci. Mayang membuka dan membaca lembar demi lembar kertas
Mata Mayang membelalak; terkejut saat Bu Andah memberikan formulir pengajuan ujian skripsi bulan depan. Mayang tidak bisa menolak. Ia menerima kertas formulir itu dengan berat hati."Isi sekarang saja, takutnya nanti kamu malah lupa dan sengaja tidak mengisi formulir itu." Bu Andah tidak ingin dibantah saat ini. "Lagi pula, apa bedanya ujian bulan depan dengan semester depan. Bulan depan setidaknya bisa mengurangi bebanmu. Saya tidak tahu ada masalah apa yang menimpamu saat ini, tapi cobalah untuk profesional. Selesaikan satu per satu masalah yang kamu hadapi saat ini," nasihat Bu Andah dan membuat Mayang terdiam.Jari-jemari Mayang pun seolah patuh pada perintah. Semua diisi dan segera diserahkan pada Bu Andah. Mayang juga mencatat semua persyaratan untuk ujian. Ia harus mencetak transkrip nilai, sebagai salah satu syarat untuk bisa ujian skripsi."Ini, Bu. Saya permisi dulu. Terima kasih atas bantuan Ibu selama ini," pamit Mayang sambil berdiri dari kursinya lalu menyalami dosen pem
"Hanya tinggal jemur aja. Itu juga udah tinggal tiga lembar aja," jawab Mayang sambil tersenyum bahagia.Mereka berdua masuk ke dalam kamar Mayang. Kamar gadis berkulit putih itu kini sudah rapi dan wangi. Mayang sudah membersihkannya dengan baik dan benar. Bu Darsih segera duduk dan meluruskan kakinya yang sangat pegal. "Bu, Mayang buatkan teh hangat dulu, ya. Ibu pengen camilan apa? Kayaknya yang jual gorengan belakang kosan udah buka," kata Mayang sambil mengambil dua cangkir untuk membuat teh hangat."Ga usah beli-beli. Ini Ibu bawakan banyak makanan. Ada wingko babat, ikan bandeng lengkap dengan sambalnya, ini juga Ibu bawa kerupuk kulit ikan kesukaan kamu, kata Bu Darsih sambil membuka kantung plastik besar yang tadi dibawanya."Wah ... makasih, Bu. Mayang ke belakang dulu, ya," pamit Mayang pada sang Ibu.Mayang segera ke dapur milik tempat indekos ini. Saat hendak mengambil teh, Mayang melihat daun mint dan madu yang selalu disediakan untuk Revan. Mayang segera membuang dua b
Mayang tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi yang putih dan berjejer rapi. Ia tidak mungkin mengatakan pada ibunya jika selama lebih dari dua puluh hari tidak mencuci baju. Beliau pasti akan marah dan mencecar dengan banyak pertanyaan. Mayang memilih menyimpan rapat masalahnya itu."Bu, Mayang mandi dulu aja. Nanti baru beli nasi di belakang kosan saja." Mayang segera menyambar handuk yang tadi diangkatnya dari jemuran samping kamarnya."Anak gadis kok jam segini belum mandi sama sekali. Pamali atuh," kelakar Bu Darsih dan membuat Mayang terkikik geli.Logat khas Jawa milik ibunya sangat lucu ketika menirukan ucapan orang Sunda. Sama sekali tidak cocok dan lucu. Bu Darsih memang sangat lucu dan bisa menghibur Mayang saat ini. Mayang pun segera membersihkan tubuhnya dan setelahnya akan makan malam bersama dengan sang ibu.Malam semakin larut dan sangat dingin kali ini. Bu Darsih sudah terlebih dahulu terlelap tak lama setelah selesai makan malam. Mayang tidak bisa memejamkan mata sa
Mayang segera memblokir kembali mantan kekasihnya setelah sebelumnya membatalkan pertemanan. Ia pun kembali menonaktifkan media sosialnya. Cara yang dianggap efektif untuk melupakan rasa sakitnya pada Revan. Mayang kembali menuju ke bank, antrean pun sudah berkurang. "May, dari mana?" tanya Yani yang mendadak berada di bank yang sama dengan Mayang.Mayang menatap Yani dengan tatapan penuh tanda tanya. Bukan menuduh, tetapi teman satu indekos-nya selalu berada di dekatnya saat ini. Mayang merasa ada yang aneh dengan sikap Yani selama ini. Entah apa yang disembunyikannya."Dari depan, Yan. Ini mau ambil uang dulu. Eh, maksud aku buka blokiran atm aku. Keblokir udah lama banget ga ambil uang jadi lupa pin," kata Mayang memberikan alasan."Oh ... bareng aja, yuk," pinta Yani yang seolah dengan nada memaksa. "Maaf, Yan, aku sendirian saja. Karena emang habis ini aku masih ada urusan ke kantor fakultas." Mayang memberikan alasan pada Yani. Yani menghela napas panjang. Kali ini usahanya g
Mayang menghela napasnya panjang. Saat ini ia belum siap untuk menjelaskan apa yang menimpanya. Ibunya pasti akan ikut terpukul dengan apa yang Revan lakukan. Biar bagaimana pun, Bu Darsih adalah pengasuh Revan saat kecil."Aku ga depresi Bu. Depresi itu bahasa mudahnya adalah lagi ada tekanan batin. Aku kemarin sempat down dan ga semangat karena harus revisi skrispsiku. Makanya aku milih berdiam di kosan. Eh, ga tahu gimana tiba-tiba ada kabar aku depresi." Mayang berusaha menyakinkan ibunya saat ini. "Aku emang sengaja diam aja sih, ga ada kemana-mana. Mungkin itu yang bikin mereka mengira kalo aku depresi, Bu," lanjut Mayang sambil menatap ke arah sang ibu. "Apa sesulit itu aaat mengerjakannya?" tanya Bu Darsih penuh selidik pada sang putri."Iya, Bu. Banyak kok temen aku yang kadang milih ga ngerjain skripsi itu. Ya, ga cocok sama dosen pembimbinglah, susah cari referesi, malas karena harus revisi yang setiap kali bimbingan, dan masih banyak lagi. Intinya, skripsi itu momok bagi