Mayang menghela napasnya panjang. Saat ini ia belum siap untuk menjelaskan apa yang menimpanya. Ibunya pasti akan ikut terpukul dengan apa yang Revan lakukan. Biar bagaimana pun, Bu Darsih adalah pengasuh Revan saat kecil."Aku ga depresi Bu. Depresi itu bahasa mudahnya adalah lagi ada tekanan batin. Aku kemarin sempat down dan ga semangat karena harus revisi skrispsiku. Makanya aku milih berdiam di kosan. Eh, ga tahu gimana tiba-tiba ada kabar aku depresi." Mayang berusaha menyakinkan ibunya saat ini. "Aku emang sengaja diam aja sih, ga ada kemana-mana. Mungkin itu yang bikin mereka mengira kalo aku depresi, Bu," lanjut Mayang sambil menatap ke arah sang ibu. "Apa sesulit itu aaat mengerjakannya?" tanya Bu Darsih penuh selidik pada sang putri."Iya, Bu. Banyak kok temen aku yang kadang milih ga ngerjain skripsi itu. Ya, ga cocok sama dosen pembimbinglah, susah cari referesi, malas karena harus revisi yang setiap kali bimbingan, dan masih banyak lagi. Intinya, skripsi itu momok bagi
Murni terpaksa mengikuti Ara menuju ke warteg yang letaknya kini hanya tinggal beberapa meter dari tempat mereka berdiri. Wanita yang usianya sudah tidak muda lagi itu menoleh ke arah Ara. Gadis yang sangat baik hati, hanya entah mengapa, Murni belum bisa menerima kehadiran Ara saat ini. Beliau tahu jika Revan memendam rasa sakit yang teramat dalam ketika dipaksa berpisah dengan Mayang."Revan suka masakan apa pun dan tanpa penyedap masakan. Jadi hanya bumbu-bumbu alami saja." Murni tidak menjelaskan dengan detail apa yang disukai oleh anaknya itu pada calon menantunya."Oh ... baiklah, Bunda. Nanti Ara akan belajar memasak dengan cepat agar Mas Revan mau makan masakan Ara. Atau jika tidak keberatan, Ara ingin Bunda mengajari Ara memasak," kata Ara sambil tersenyum ramah kepada Murni."Boleh saja." Murni hanya menjawab dengan singkat.Mereka berdua sampai di warteg yang tadi ditunjuk oleh Ara. Murni tidak selera makan saat ini. Hanya sekadar formalitas agar Ara tidak kecewa. Murni ter
Ara segera duduk saat menyadari ada calon suaminya berada di ruangan ini yang entah sejak kapan. Rasanya ia sangat malu, bertemu dengan calon suaminya dalam keadaan seperti ini. Ara bangun dengan cepat dan menjatuhkan jas yang entah sejak kapan menyelimutinya. Sontak membuat ketiga pria dewasa itu menoleh ke arah Ara yang kini wajahnya memanas. "Kamu sudah bangun?" tanya Haris pada putri semata wayangnya itu."Hmm ... iya, Pa. Papa sedang apa?" tanya Ara dan setelah menyadari jika pertanyaan itu sangat konyol membuat wajah manisnya kembali memanas. "Kami hanya rapat kecil saja. Sekitar satu jam yang lalu. Saat Papa dan Revan juga Hardi datang kamu sudah pulas tertidur." Haris beranjak dari kursinya dan menuju ke sofa yang diduduki oleh Ara. "Bagaimana tadi saat pergi dengan Bundanya Revan? Apakah kamu menyusahkan beliau?" tanya Haris ingin tahu apa yang dilakukan Ara hari ini."Em ... itu tadi hanya sebentar sampai makan siang saja. Ara tadi makan di warteg. Bunda Murni tidak begitu
Mereka berdua masuk ke dalam mobil. Hardi yang mengemudikan mobil. Revan tampak sedang memainkan ponselnya dengan sangat serius. Dahi cucu bos Adhyatsa grup itu tampak mengernyit dalam saat ini."Halo, jadi bagaimana perkembangannya?" Revan sedang menghubungi seseorang yang entah siapa. "Surat-surat rumah itu ada di tangan kakek Anda. Kami tidak bisa memintanya saat ini.""Apa?! Rumah yang dibeli dari hasil curian uang perusahaan itu harus segera diamankan surat-suratnya. Paksa orang tidak tahu diri itu!" Wajah Revan memerah karena menahan amarah. Sesuka hati saja sang kakek tidak mau menyerahkan rumah itu. Tunggu saja, Revan akan menggunakan tangan besinya untuk membuat Adhyatsa bertekuk lutut. Susilo memang benar-benar membuat semuanya menjadi runyam."Di, antar saya ke rumah saja. Besok pagi informasikan jika akan ada rapat mendadak. Hari ini saya mau urus uang yang diambil Kakek itu. Setidaknya jika sertifikat itu berada di tangan kita, perusahaan masih ada jaminan." Revan menga
"I-itu ... a-ku ...." Yani tergagap saat hendak menjelaskan semuanya. Mayang tersenyum sinis melihat reaksi kedua teman indekosnya. Ternyata semudah itu mengintimidasi mereka semua. Mayang ingin terbahak melihat wajah kedua temannya saat ini. Wajah yang menunjukkan kesalahan."Ya, sudah, kalo kamu tidak ingin ikut bergabung. Biar kami pamit dulu," kata Sinta pada akhirnya dan segera meninggalkan depan kamar milik Mayang.Mayang hanya mengangguk sebagai jawaban. Setelah kedua temannya meninggalkan kamarnya, ia segera menutup dan mengunci kembali pintu kamarnya. Mayang kembali duduk di karpet yang ada dibawah kasurnya itu. Mendadak ia masih mengingat tentang laki-laki yang dibuntutinya saat berada di bank."Mayang kelihatan marah sama kita. Dia menghindar dari kita, lagian salah kamu, Sis. Ngomong-ngomong keluar soal Mayang. Padahal belum jelas kebenarannya." Sinta kali ini bersuara dan menyudutkan Siska."Kok jadi salah aku? Lagian siapa yang waktu itu bilang kalo Mayang depresi? Kamu
"Iya, Bunda. Revan baru saja datang. Bunda mau kemana?" tanya Revan yang langsung mengekori Murni karena melihat Adhyatsa keluar dari ruangan itu."Bunda mau ambil jemuran yang kering. Nanti mau diantar ke laundry buat disetrika. Mbak Gayah tidak datang untuk menyetrika karena sedang sakit," kata Murni yang tidak menyadari jika ada ayah mertuanya saat ini."Tunggu dulu! Kamu bilang mau bawa ke laundry? Enak saja! Kamu harus setrika!" Adhyatsa mendadak emosi saat ini.Revan mengembuskan napas dengan kasar lalu setelahnya menatap tajam ke arah sang kakek. Aura permusuhan sangat jelas pada keduanya. Revan jelas tidak terima dengan perlakuan sang kakek pada bundanya. Terlalu sewenang-wenang dan menganggap sang bunda adalah seorang pembantu."Kalo begitu, aku akan membatalkan pernikahanku dengan Andhara Manggala!" Satu kalimat yang keluar dari mulut Revan membuat Adhyatsa terkejut. "Aku tidak main-main!" ancam Revan dengan tatapan sangat tajam.Adhyatsa langsung terdiam dan tidak bisa menj
"Pak Hardi tuh orangnya cool, kaya Pak Revan. Ga pernah lihat mereka jalan sama cewek. Tapi, kalo Pak Revan dengar-dengar dah mau nikah, wah ... patah hati berjamaah ini namanya. Bos ganteng kita melepas masa lajang," kata Tari yang memang mengidolakan sosok bos perusahaan ini."Kamu mah ga ngaca, Ri. Jauh banget kalo sama Pak Revan." Salah satu karyawati menyahuti ucapan Tari."Lah? Namanya juga usaha. Ya, udah, kalo Pak Revan dah ga bujang lagi, Pak Hardi pun bisa-lah. Kegantengan mereka beda tipis," kata Tari yang memang terkenal periang di kantor ini.Hardi menggeleng pelan kemudian menutup pintu agar tidak mendengar lagi ucapan-ucapan dari karyawati yang masih berstatus jomlo. Hardi melanjutkan kembali pekerjaannya. Tidak terasa sudah pukul delapan malam. Hardi segera mematikan komputernya setelah mengirimkan email pada Revan.Hardi tidak ingin meninggalkan kantor jika belum menyelesaikan pekerjaannya. Jadi pekerjaan untuk besok pagi tidak terlalu berat. Hardi tidak lupa memberik
'Astaga! Ini tidak benar. Sejak awal Andhara memang akan menjadi milik Revan. Aku tidak boleh merebutnya.' Hardi merutuki kebodohannya dalam hati. Hardi segera memarkirkan mobil di depan rumah kontrakannya. Ia segera turun dan mengunci mobilnya. Tak lupa ia juga mengunci pintu gerbangnya. Hardi meninggalkan sepeda motor milinya di parkiran perusahaan dan sudah menitipkannya pada satpam yang berjaga karena harus membawa mobil milik Revan.Hardi segera membuka pintu rumahnya. Ia segera duduk di ruang tamu mini miliknya. Tidak banyak perabotan di rumah kontrakannnya. Sebab, ia seorang bujang dan belum ada keinginan untuk berumah tangga. Hardi mengeluarkan ponselnya dari dalam sakumya. Banyak sekali pesan dan panggilan masuk. Bukan dari Revan, rata-rata dari karyawati di kantornya. Isi pesan mereka sebagian menanyakan agenda rapat dan apa saja yang perlu dibawa agar disiapkan malam ini. Hardi menghela napas sangat panjang. Pasti ada saja yang bertanya. Seolah mereka tidak paham apa yan