'Mas Panji, anak kita sedang bersedih. Maafkan aku yang tidak bisa membuatnya tersenyum bahagia dengan wanita pilihannya. Dia tidak sama denganmu yang mau memperjuangkanku dulu. Revan memilih perusahaan demi ribuan karyawan. Apakah aku salah?' tanya Murni di dalam hatinya sambil terus menatap ke arah pigura foto mendiang suaminya. Murni sangat merasa bersalah pada sepasang kekasih. Revan adalah anaknya dan Mayang adalah gadis yang disukai Revan sejak mereka masih remaja dulu. Keberuntungan sama sekali tidak berpihak pada mereka berdua. Adhyatsa sama sekali tidak bisa dibantah. Sementara itu, Mayang sudah diizinkan untuk pulang setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit. Ia kini menjadi sosok yang murung. Sama sekali tidak ada gairah untuk menjalani hidup. Tugas akhirnya ditinggalkan begitu saja dan malas untuk ke kampus.Mayang juga jarang keluar kamar jika tidak perlu. Semua teman indekosnya sangat prihatin dengan keadaan Mayang. Tidak ada yang berani mendekat atau pun bertanya p
"Aku siap menikah kapan saja. Hanya saja, aku ingin setelah aku dan Ara menikah, kita berdua tidak tinggal di rumah ini. Aku ingin mandiri dan menjalani rumah tangga hanya berdua dengan calon istriku. Untuk Bunda, setelah aku menikah, beliau akan tinggal di desa tempatnya berasal dari salah satu daerah di Jawa Tengah. Jika Kakek dan Tuan Haris juga Nyonya Haris setuju maka aku pun akan menyegerakan pernikahan ini." Revan mengucapkannya dengan nada dingin saat ini.Ara sangat bahagia saat Revan mengatakan hal itu. Ia akan menjadi prioritas dari calon suaminya. Pipi gadis tinggi semampai itu memerah ketika mengingat Revan menyebut dirinya sebagai calon istri. Luar biasa sekali!"Saya juga sependapat dengan Nak Revan. Kebetulan saya ada satu unit perumahan di daerah dekat dengan kantor Revan. Kalian nanti bisa tinggal di sana. Toh, Ara juga bekerja tak jauh dari kantor Revan," jawab Haris sambil tersenyum penuh haru karena syarat yang ditawarkan oleh calon menantunya.Haris berpikir jika
"Aku tidak tahu bagaimana ke depannya nanti," kata Revan dengan nada dingin.Dada Revan sangat sesak ketika harus membahas rencana perjodohan itu. Dua hati sama-sama patah hati; sakit tak berdarah. Setelah memberikan nasihat pada Revan, Murni memutuskan untuk pamit dan menuju ke kamarnya. Ia ingin memberikan ruang pada Revan. Hari ini adalah Sabtu, jam di dinding sudah menunjukkan waktu yang semakin larut. Mata elang milik Revan seolah enggan terpejam. Bayangan wajah Mayang yang berderai air mata membuatnya tidak bisa memejamkan mata. Kesakitan itu tampak jelas di mata Mayang--wanita yang menjadi cinta pertamanya.Revan mengambil ponsel di atas nakas tempat tidurnya. Ia membuka blokir mantan kekasih yang namanya masih ada di dalam hatinya itu. Revan ingin melihat kabar gadis yang selalu sabar menghadapinya itu. Nihil nama itu tidak ada sama sekali. Revan pun segera mencari di kolom pencarian dan hasilnya juga sama. Tidak ada nama Mayang Mandasari di berbagai media sosial milik gadis
"Selamat pagi, Pak Revan." Seluruh karyawan menyapa Revan yang saat ini hendak menuju ke kantin perusahaan. "Pagi ... selamat bekerja." Revan membalas ucapan mereka dengan nada dingin.Pemecatan besar-besaran kemarin membuat banyak karyawan dan karyawati berpikir dua kali ketika hendak berbuat curang. Revan sengaja mengambil sikap tegas agar tidak ada lagi hal seperti itu terjadi. Kerugian yang ditanggung oleh perusahaan ini luar biasa besar.Memang tidak wajar ketika memecat karyawan pada hari Minggu. Akan tetapi, itulah Revan dan keputusannya yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun. Hari ini mereka yang telah dipecat akan tetap datang dan mengambil barang-barangnya. Tentu saja dengan banyak kompensasi yang harus dipertanggungjawabkan."Pak Revan, Bapak mau kemana?" tanya Hardi yang pagi ini berpapasan di depan lobby kantor ini."Aku mau cari kopi dan sarapan. Kamu ke atas dulu. Jika ada tamu minta mereka menunggu sebentar karena aku keluar. Kantin belum banyak yang buka jadi
"Saya ... kena marah Tuan Adhyatsa kemarin malam," adu Hardi dengan wajah ketakutan."Abaikan dia. Manusia tidak berguna sama sekali. Bila perlu laporkan pada pihak berwajib. Dia sama sekali tidak punya kekuasaan di kantor ini. Jadi jangan takut," kata Revan sambil berjalan menuju ke ruang rapat.Banyak karyawan dan karyawati yang harap-harap cemas saat ini. Berita kebangkrutan perusahaan ini mengancam mereka semua. Banyak pasang mata menatap ke arah Revan yang pagi ini penampilannya sangat buruk. Laki-laki yang biasanya tampil maskulin dan cool itu tampak seperti zombie pagi ini. Baju yang dipakainya juga tampak sangat kusut."Silakan, Pak," kata Hardi mempersilakan atasannya duduk di kursi utama. Lima belas menit menunggu, akhirnya tim audit datang. Mereka segera duduk dan bekerja dengan cepat. Apa yang mereka kerjakan segera diserahkan pada Revan. Tentu Revan sudah mempunyai catatan tersendiri."Pak, mohon dicek dahulu," kata Pak Andre sebagai ketua tim audit perusahaan ini."Baik
"Ya, lumayan, tapi sudah saya selesaikan satu per satu, Pak. Eh, maksud saya, Papa." Revan tampak sangat tidak nyaman dengan kedatangan Haris kali ini."Hmm ... baguslah. Saya mendengar banyak tentang apa yang kamu lakukan untuk perusahaan ini. Saya salut dengan semangat dan daya juang kamu sebagai pengusaha muda. Sama persis dengan mendiang ayahmu. Kinerja kamu sama sekali tidak diragukan. Saya akan memberikan dana untuk perusahaan ini. Delapan puluh persen saham akan saya bantu, tapi hanya untuk kerja sama saja. Agar tidak collabs dan perusahaan ini pasti akan berkembang." Haris tidak berbasa-basi saat ini.Revan mencerna setiap kata yang keluar dari mulut haris. Besarnya bantuan itu sangat luar biasa. Nominalnya bisa untuk membuat anak cabang perusahaan. Revan ingin menolak, tetapi saat ini perusahaan butuh dana cepat. Revan pun bimbang saat ini."Bagaimana?" tanya Haris dengan nada tegas."Baiklah, Pa. Saya setuju. Semoga setelah ini semua karyawan akan amanah dan tidak ada lagi t
"Bu ... Mayang saat ini depresi. Kami tidak tahu apa penyebabnya. Bisakah Ibu datang ke tempat kos ini? Mungkin dengan kedatangan Ibu bisa membuat Mayang mau bercerita tentang apa yang membuatnya depresi.""Baiklah. Besok pagi saya akan ke Bandung." Darsih memutus sepihak panggilan dari Yani. Hatinya mendadak hancur saat mendengar kabar putrinya itu. Beliau langsung menghubungi Revan saat ini. Siapa tahu bisa membantunya. Hanya terdengar dering saja dan tidak tersambung sama sekali. Anak yang dulu diasuhnya juga sudah sangat lama tidak menghubunginya. Darsih hanya berharap, hubungan mereka baik-baik saja saat ini. Darsih mulai mengemas baju dan hendak pergi ke Bandung besok pagi.Sebuah fakta menunjukkan jika tidak ada yang benar-benar baik-baik saja dengan keputusan yang dibuat oleh seseorang demi menyelamatkan banyak orang. Akan ada korban di dalamnya yang harus merelakan hatinya tersakiti. Satu per satu dipaksa untuk melepaskan dan saling melupakan. Dua hal yang sama sekali tidak
"Baik, Bu. Akan saya usahakan. Saya permisi dulu." Mayang segera pamit dan tidak ingin berlama-lama berada di ruang wali studinya. Bu Rani mengizinkan Mayang keluar dari ruangannya. Tentu saja membuat gadis berkulit putih itu mendadak gamang. Rencana bimbingan terakhir itu bertepatan dengan putusnya hubungan dengan Revan. Mendadak air mata Mayang tumpah saat berjalan menuju ke tempat indekosnya."May ... dari mana?" tanya Yani saat berpapasan di depan pintu gerbang tempat indekos. "Oh ... dari menghadap Bu Rani. Aku masuk dulu, ya, siang nanti mau bimbingan." Mayang segera meninggalkan teman dekatnya itu.Yani heran karena Mayang sudah bisa diajak berkomunikasi. Tidak seperti beberapa waktu yang lalu. Ah ... ternyata apa yang mereka pikirkan selama ini salah. Teman indekos Mayang melihat jika Mayang baik-baik saja saat ini.Mayang membuka laci meja belajarnya. Laptop dan bundelan bab akhir yang hampir satu bulan ada di dalam laci. Mayang membuka dan membaca lembar demi lembar kertas