Share

5. Kita Berpisah, May!

Sepertinya detik-detik waktu berjalan dengan cepat dan akhirnya di sinilah mereka berdua. Sebuah kafe dengan gaya tradisional khas sunda. Sepi, tetapi suasananya sangat nyaman. Seperti sedang berada di sebuah pedesaan. Dan, Revan merasa cocok dengan tempat ini; membatalkan rencana makan bakso. 

 

"May, sertifikat dan kunci rumah sudah kamu simpan?" tanya Revan sambil menunggu pesanan makanan mereka berdua. 

 

"Sudah. Makasih, Mas, sudah percaya dengan May." Mayang mengulas senyum hangat penuh cinta pada kekasihnya.

 

Pesanan makanan mereka datang. Revan makan dalam diam. Sesekali ia melirik ke arah Mayang yang makan dengan lahap. Revan tahu, Mayang sangat jarang bisa merasakan makanan selezat ini karena keterbatasan uang saku yang dimilikinya. 

 

"Mas, aku ke kamar kecil dulu, ya. Sebentar aja kok." Mayang berdiri dan segera menuju ke arah kamar kecil yang ada di kafe ini.

 

Revan hanya mengangguk sebagai jawaban. Rasanya tidak kuat untuk memutuskan hubungan secara sepihak dengan Mayang. Gadis itu sangat baik dan pengertian. Tidak pernah menuntut apa pun saat mereka bersama. 

 

"May ... ada yang ingin Mas sampaikan." Revan mengatakannya dengan nada sendu dan memang sangat berat saat Mayang baru saja sampai dari kamar kecil. 

 

"Kita makan dulu, aja, Mas. Biar enak ngobrolnya." Mayang sengaja menyela ucapan Revan dan diangguki oleh sang kekasih. 

 

Mereka selesai makan dan saat ini Mayang sedang meluruskan kakinya. Seperti biasanya, Mayang akan nyaman bersandar pada lengan kekasihnya itu. Lengan kokoh yang selalu membuatnya jatuh cinta setiap saat. Lengan yang selalu memberikan rasa nyaman untuknya.

 

"Maaf, May ... Mas harus menikahi gadis lain yang sudah dijodohkan oleh Kakek." Pelan, tetapi pasti Mayang bangkit dari sandarannya itu dan menatap tajam ke arah Revan setelah laki-laki itu mengatakannya. 

 

"Jangan bercanda," kata Mayang menanggapi sikap Revan yang sejak tadi tampak aneh di mata Mayang.

 

"Aku sangat serius. Tanggal pernikahan kami sudah ditentukan. Aku tidak bisa menolak permintaan keluarga. Maaf, aku tahu ini sangat menyakitkan. Aku pun juga sakit dengan kenyataan ini. Carilah laki-laki baik yang bisa mencintaimu dengan tulus," kata Revan dengan mata sebak menahan sedih.

 

Mayang menatap nyalang laki-laki yang ada di sampingnya. Semudah itu memutuskan hubungan ini? Akan tetapi, Mayang bisa apa? Dia tidak sederajat dengan Revan. 

 

Mayang sudah tahu, jika hubungan mereka berdua ditentang keras oleh kakek Revan--Tuan Besar Adhyatsa. Akan tetapi, cinta membuatnya yakin pada hubungan yang ditawarkan oleh Revan. Mereka menjalin hubungan diam-diam dibelakang keluarga besar Adhyatsa.

 

Sayangnya, Tuan Adhyatsa mengetahui hubungan itu dan marah besar. Beliau sangat menolak keras hubungan cucu laki-lakinya dengan anak pembantu. Tidak ingin kejadian Panji dan Murni kembali terulang. Mereka berdua beda kasta.

 

"Siapa calon istri kamu? Apa aku mengenalnya?" tanya Mayang dengan air mata sudah berderai.

 

"Kamu tidak mengenalnya sama sekali, May. Aku harus menikah dengannya karena ...." Revan harus memilih kata-kata yang tepat agar Mayang percaya jika dirinya memang ingin berpisah bukan hanya karena perjodohan.

 

"Karena apa?" tanya Mayang sambil mengusap air mata yang dengan lancang terus mengalir.

 

Mayang sangat hancur, rencana mereka berdua harus berhenti saat ini. Cintanya juga akan hilang. Ah ... bukan cinta Mayang, tetapi Revan. Meski Revan mengatakan dijodohkan, tetapi tidak menutup kemungkinan jika mereka berdua akan tumbuh cinta seiring berjalannya waktu.

 

"Karena aku juga jatuh cinta pada calon istriku saat pertama kali kami bertemu beberapa waktu yang lalu." Revan sengaja berbohong pada Mayang karena hanya itu satu-satunya cara agar Mayang membencinya. "Jadi rumah ini buat kamu, aku membelinya karena kamu menyukainya, May," lanjut Revan dengan menahan segala sesak di dadanya.

 

Mayang ingin menolak pemberian Revan. Rumah itu dibeli dengan harga yang sangat mahal. Hasil tabungan Revan. Laki-laki itu mencicilnya setiap bulan dan baru lunas dua bulan yang lalu.

 

"Terimalah, May. Hanya itu yang bisa aku berikan sebagai permintaan maaf dari aku. Lupakan aku, carilah laki-laki yang sangat mencintaimu. Kamu cantik, pasti akan banyak laki-laki yang jatuh hati padamu. Aku pamit," pamit Revan segera beranjak meninggalkan kafe tempat mereka makan siang ini.

 

Revan segera membayar tagihan makanan mereka. Ia harus segera pergi dari kota ini. Tak sanggup rasanya terus bersama dengan Mayang. Ia memilih untuk segera kembali ke Jakarta dan memberikan laporan pada kakeknya.

 

Mayang membuka ponselnya yang tadi ditinggalnya saat ke kamar kecil. Ia sangat terkejut saat melihat galeri ponselnya yang kosong. Rupanya Revan menghapus semua foto mereka berdua. Mayang kembali membuka media sosialnya, nihil nama Revan tidak ada dalam pertemanan mereka. 

 

Mayang tidak bisa berbuat banyak saat ini. Revan benar-benar serius dan ingin berpisah dengannya. Gadis berkulit putih itu segera bangkit dan mengusap air matanya. Ia pulang ke tempat indekosnya dan membatalkan jadwal bimbingannya.

 

"May ... ga bimbingan?" tanya Yani teman satu tempat indekosnya saat Mayang baru saja sampai di tempat indekosnya.

 

"Hmm ... lagi ga mood untuk bimbingan hari ini." Mayang menjawab dengan dingin pertanyaan teman sebelah kamarnya itu.

 

Mayang segera masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam. Hari ini ia benar-benar hancur karena diputuskan secara sepihak oleh Revan. Mayang mencoba membuka aplikasi pesan berwarna hijau berlogo gagang telepon. Ia mencari nomor milik Revan.

 

Hasil pencariannya menunjukkan kemungkinan Revan memblokir nomor Mayang. Nomor kekasihnya sudah tidak ada fotonya lagi. Mayang mencoba mengirimkan pesan. Sayang, hanya centang satu yang tertera.

 

Dua hari sejak kejadian itu, Mayang sama sekali tidak tidur dan tidak keluar dari kamarnya. Semua temannya sangat khawatir dengan keadaan Mayang saat ini. Hingga pemilik indekos membuka paksa pintu kamar Mayang. Benar saja, Mayang dalam keadaan demam tinggi dan depresi.

 

"Kita bawa Mayang ke rumah sakit. Demamnya luar biasa tinggi. Saya ga mau ambil risiko saat ini," kata pemilik indekos dengan tegas. 

 

Berbondong-bondong teman Mayang membantu memapah Mayang menuju ke mobil milik pemilik indekos ini. Mayang masih belum sadarkan diri. Tidak satu orang temannya tahu apa yang sebenarnya menimpa gadis berkulit putih itu. 

 

"Aku terakhir ketemu Mayang dua hari yang lalu. Dia masih baik-baik saja. Ga ada tanda-tanda sakit sama sekali. Biasanya juga kalo sakit pasti minta tolong ke aku buat belikan obat atau minyak kayu putih. Dua hari yang lalu kayaknya ada pacarnya itu, tapi pas pulang dia ga diantar sama pacarnya itu." Yani menceritakan tentang Mayang dua hari yang lalu.

 

"Nah ... coba hubungi pacarnya itu. Ambil ponsel Mayang dan telepon dia!" Siska memberikan perintah pada Yani.

 

Yani mencoba mencari ponsel milik Mayang. Bukan tidak sopan atau bagaimana, tetapi kali ini kondisi Mayang sangat memprihatinkan. Dua hari sama sekali tidak keluar. Yani tidak menemukan pesan ataupun nomor kontak milik kekasih Mayang--Revan Adhyatsa.

 

"Ini kok aneh, ya, ga ada nomor pacarnya itu. Revan, apa dihapus sama Mayang atau ganti nama?" Yani mencoba mencari beberapa kemungkinan.

 

"Kamu cek setiap pesan. Kalo pacaran biasanya akan ada kata-kata romantis." Siska memberikan ide pada Yani.

 

"Ga ada loh. Semua pesan dari teman-teman kampusnya yang menanyakan ketidakhadirannya bimbingan." Yani menunjukkan ponsel Mayang pada Siska.

 

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status