Share

7. Pertemuan Keluarga Adhyatsa dan Manggala

'Mas Panji, anak kita sedang bersedih. Maafkan aku yang tidak bisa membuatnya tersenyum bahagia dengan wanita pilihannya. Dia tidak sama denganmu yang mau memperjuangkanku dulu. Revan memilih perusahaan demi ribuan karyawan. Apakah aku salah?' tanya Murni di dalam hatinya sambil terus menatap ke arah pigura foto mendiang suaminya. 

 

Murni sangat merasa bersalah pada sepasang kekasih. Revan adalah anaknya dan Mayang adalah gadis yang disukai Revan sejak mereka masih remaja dulu. Keberuntungan sama sekali tidak berpihak pada mereka berdua. Adhyatsa sama sekali tidak bisa dibantah. 

 

Sementara itu, Mayang sudah diizinkan untuk pulang setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit. Ia kini menjadi sosok yang murung. Sama sekali tidak ada gairah untuk menjalani hidup. Tugas akhirnya ditinggalkan begitu saja dan malas untuk ke kampus.

 

Mayang juga jarang keluar kamar jika tidak perlu. Semua teman indekosnya sangat prihatin dengan keadaan Mayang. Tidak ada yang berani mendekat atau pun bertanya pada gadis berkulit putih itu. Mayang tanpak sangat depresi saat ini. 

 

Yani dan Siska yang terbilang dekat dengan Mayang tidak berani bertanya untuk saat ini. Mereka berdua takut membuat Mayang bertambah depresi. Dokter yang merawatnya mengatakan jika gadis berkulit putih yang kini memotong rambutnya menjadi sebahu itu mengalami depresi. Harus secepatnya berkonsultasi pada seorang Psikolog. 

 

"May ... makan, yuk. Aku kebetulan masak, ya, masak ala-ala aja sih. Ada tumis daun singkong dan tempe goreng juga sambal," ajak Yani sambil menunjuk ke arah piring berisi nasi lengkap dengan apa yang dikatakannya.

 

"Makanlah, Yan. Aku belum begitu lapar. Aku permisi ke kamar dulu, ya," pamit Mayang segera beranjak dari depan teras kamarnya.

 

Mayang sudah beberapa hari tidak mandi. Ia sama sekali tidak peduli lagi dengan dirinya sendiri saat ini. Mata indah itu menatap pada kunci rumah dan sertifikat yang diberikan oleh Revan. Rumah rencana tempat tinggal mereka berdua nantinya. 

 

Mayang meremas kuat kunci rumah itu dan memasukkan kembali ke dalam laci bersama dengan sertifikat rumahnya. Ia tidak punya nyali sama sekali untuk datang ke rumah Revan dan mengembalikan dua benda itu. Bunda Revan--Murni sepertinya sudah memblokir nomornya. Tidak ada harapan sama sekali untuk bisa kembali pada Revan. 

 

Siang digantikan dengan malam dengan begitu cepat. Hati Mayang mendadak sangat sesak. Malam ini adalah jadwal rencana pertemuan keluarga Haris dengan Adhyatsa. Entah mengapa Mayang yang tidak tahu rencana itu justru mendadak hatinya sangat nyeri seperti ditusuk oleh ribuan paku.

 

Tuan Haris Manggala bersama dengan istri Nyonya Inama Manggala datang mengantarkan Andhara--putri tunggal mereka. Andhara beberapa waktu yang lalu sudah pasrah dengan rencana perjodohan itu. Saat kedua orang tuanya menyodorkan foto Revan, ia sengaja tidak mau melihatnya.

 

"Selamat malam, Tuan Haris dan Ibu, silakan masuk. Ini pasti Nak Andhara, ya? Cantik sekali," kata Adhyatsa dengan lembut sangat berbeda saat menyapa Mayang atau pun Murni.

 

"Iya, Kek. Saya Andhara, panggil saja Ara." Andhara mencium takzim punggung tangan Adhyatsa. 

 

Haris dan Inama menyalami ayah mendiang Panji. Mereka sebenarnya sudah berteman lama. Bisnis membuat mereka saling mengenal satu dengan yang lainnya. Hal yang membedakan adalah Manggala grup semakin maju pesat sedangkan Adhyatsa grup mendekati kebangkrutan karena kebodohan kakek tua itu. 

 

"Murni segera panggil Revan agar ke ruang tamu. Tuan Manggala dan keluarga sudah datang." Adhyatsa memerintah menantunya dengan nada dingin.

 

"Iya, Yah," jawab Murni sambil menunduk setelah menyuguhkan minuman dan pada ketiga tamunya juga ayah mertuanya itu.

 

Haris dan sang istri saling pandang. Calon besannya diperlakukan layaknya pembantu di rumah ini. Mereka merasa miris dan tidak menyukai Adhyatsa dan hendak membatalkan perjodohan ini. Takut jika putri mereka satu-satunya diperlakukan sama seperti istri mendiang Panji.

 

"Itu tadi Mbak Murni 'kan? Kenapa beliau semua yang menyuguhkan makanan dan minuman ini? Apa di rumah ini tidak ada pembantu?" tanya Inama dengan penuh rasa curiga.

 

"Oh ... iya benar itu Murni. Dia melakukan semua ini karena saking bahagianya anaknya mau menikah. Bukan tidak ada pembantu, mereka sedang istirahat saat ini di belakang. Murni sendiri yang ingin melakukannya." Adhyatsa sengaja berdusta saat ini demi kelancaran perjodohan cucunya.

 

"Masya Allah, luar biasa sekali Mbak Murni. Sejak dulu selalu baik hati kepada siapa pun." Inama memuji Murni dan membuat Adhyatsa menahan rasa kesalnya. 

 

Ara tidak ikut mengobrol dengan mereka semua. Matanya fokus menatap foto keluarga Adhyatsa. Matanya saat tertuju pada sosok yanh baru saja datang. Dia adalah Revan Adhyatsa yang malam ini tampak sangat menawan dengan balutan kemeja biru navy dan celana kain. 

 

"Kalian kenalan dulu," kata Adhyatsa saat melihat Revan berdiri di dekatnya.

 

Revan sama sekali tidak mau tersenyum. Saat di dalam kamar, ia berdebat dengan sang bunda. Revan tidak mau menemui keluarga Manggala. Tentu saja Murni mengingatkan jika perjodohan itu karena bisnis.

 

"Revan." Revan mengulurkan tangan ke arah putri tunggal Haris Manggala. 

 

Ara tampak terpesona pada ketampanan Revan. Cinta pada pandangab pertama pada sosok gagah dan tampan satu ini. Ara membalas uluran tangan Revan. Ia juga memperkenalkan dirinya dengan sopan.

 

"Saya Andhara, cukup panggil saya Ara," jawab gadis manis dan tinggi semampai layak model itu.

 

Ara takjub dengan ketampanan wajah Revan. Wajah yang sangat kharismatik dan sangat memesona. Tentu saja ia tidak akan menolak perjodohan ini. Ara merasa menjadi wanita yang paling beruntung. 

 

Ara segera menghubungi sahabatnya. Sayang, ia tidak menemukan akun media sosial sahabatnya itu. Nomornya juga sepertinya tidak aktif, karena pesannya hanya centang satu sejak dua hari yang lalu. Ingin pergi menemui sahabatnya, sayangnya terlalu jauh dan Ara banyak pekerjaan.

 

"Ara ... simpan dulu ponselnya. Kita sedang berbicara hal yang sangat serius." Haris menegur apa yang dilakukan oleh Ara. 

 

"Maaf," kata Ara sambil tersenyum sambil sesekali mencuri pandang ke arah Revan.

 

Revan sama sekali tidak peduli dengan pembicaran kakeknya dengan Tuan Haris. Ia hanya akan membuka suara ketika ditanya saja. Selebihnya memilih diam dan berharap mereka segera pulang.

 

"Jadi ... rencananya pernikahannya akan dilangsungkan kapan?" tanya Adhyatsa saat mereka sudah banyak mengobrolkan banyak hal. 

 

"Saya ikut saja, Pak. Bapak lebih senior dari saya. Pasti juga pilihan hari dan segala tata caranya Pak Adhyatsa sudah paham." Haris sengaja memasrahkan semua urusan pada kakek Revan.

 

"Oh ... bulan depan saja bagaimana? Takut terjadi hal yang tidak diinginkan saat ini," jawab Adhyatsa dengan mata berbinar karena merasa mendapatkan peluang emas. 

 

"Saya terserah pada Revan dan Ara saja." Pak Haris menatap putri tunggalnya dan Revan secara bergantian.

 

Revan menghela napas dengan perlahan. Keputusan itu sudah dibuat dan tidak bisa ditolaknya. Jangankan menolak, memberikan pendapatnya saja tidak akan diterima oleh si tua bangka yang kini sedang berada di atas awan. Revan memejamkan mata sejenak sebelum menjawab permintaan sang kakek.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status