"Bu, mungkin Mayang memang sangat sibuk. Kebetulan saya yang sedang ada waktu," kata Gilang dengan tulus.Darsih menatap lekat laki-laki muda yang ada di depannya itu. Rasanya Mayang terlalu bodoh jika melepaskan Gilang begitu saja. Hubungan mereka juga bisa dikatakan sedang tidak baik-baik saja. Mayang seolah selalu menghindari Gilang.Entah hanya prasangka Darsih atau memang seperti itu adanya. Wanita paruh baya itu mengembuskan napas berat. Tampak seperti sedang menunjukkan betapa berat masalah antara anak dan ibu. Gilang tampak merasa gundah saat ini."Nak Gilang, kalo ada wanita lain yang lebih baik dari Mayang, Ibu, tidak masalah." Darsih seolah paham bagaimana arah hubungan Gilang dan Mayang."Bu, kami baik-baik saja. Jangan risaukan hubungan kami. Saya masih sering ke kafe Mayang. Pun sebaliknya kadanya dia yang datang ke tempat indekos saya," kata Gilang yang sekarang pandai mengarang cerita.Bulan depan, Gilang akan wisuda untuk S2-nya. Ia telah lulus dalam waktu tidak lebih
Rupanya Tuhan mengabulkan doa Ara. Mayang datang tanpa harus bersusah payah mencarinya. Katakanlah saat ini semesta sedang bercanda. Mayang datang bersama dengan seorang perempuan yang mungkin adalah pegawai kafe tempatnya bekerja."Kabarku, baik, May. Ke mana saja kamu?" tanya Ara setelah Mayang mengurai pelukan mereka."Aku pulang ke Semarang, Ra. Sekarang aku buka kafe kecil-kecilan." Mayang belum sadar jika ada Revan berdiri tepat di belakangnya."Mas, kenalin, ini Mayang, sahabat aku saat kuliah dulu," kata Ara sama sekali tidak 'nyambung' dengan obrolan Mayang.Revan tampak menahan napas saat Mayang berbalik badan. Mereka saling terkejut satu dengan lainnya. Mayang sedikit bisa menguasai keadaan lalu mengulurkan tangan pada Revan. Revan lama menyambut uluran tangan mantan kekasihnya itu.Wajah Revan kali mendadak pucat. Ia sangat takut dan tidak menyangka jika secepat ini akan bertemu dengan Mayang. Wanita masa lalu Revan itu juga masih merasa seperti mimpi. Tatapan keduanya pen
Mayang sangat mempercayai Lina sepenuhnya. Hal ini juga membuat pegawai lainnya iri. Lina adalah karyawati yang masuk paling terakhir di antara pegawai lainnya. Tidak ada yang tahu mengapa Mayang sangat dekat dengan wanita berusia dua puluh tiga tahun itu."Baiklah, kita coba dua ratus porsi bakso untuk semua varian itu. Masing-masing dua ratus." Mayang mengambil ponsel dari dalam tas kecil yang selalu dibawanya."Kalo semua varian yang baiknya masing-masing lima puluh atau paling banyak tujuh puluh lima saja dulu, Bu. Namanya 'kan sedang menguji seberapa diminati dari bakso itu," kata Lina memberikan pendapatnya pada Mayang.Mayang mengangguk sebagai jawaban. Benar juga kata Lina, masih masa percobaan dan kafe ini belum pernah menjual bakso. Kebetulan menu bakso itu bukan masakan Mayang sendiri. Jadi, perlu mencoba agar tahu bagaimana respons dari pengunjung. Hari Sabtu datang dengan cepat. Seperti yang sudah direncanakan, Ara dan sang suami pergi ke kafe milik Mayang. Kebetulan wan
Mayang sangat mempercayai Lina sepenuhnya. Hal ini juga membuat pegawai lainnya iri. Lina adalah karyawati yang masuk paling terakhir di antara pegawai lainnya. Tidak ada yang tahu mengapa Mayang sangat dekat dengan wanita berusia dua puluh tiga tahun itu."Baiklah, kita coba dua ratus porsi bakso untuk semua varian itu. Masing-masing dua ratus." Mayang mengambil ponsel dari dalam tas kecil yang selalu dibawanya."Kalo semua varian yang baiknya masing-masing lima puluh atau paling banyak tujuh puluh lima saja dulu, Bu. Namanya 'kan sedang menguji seberapa diminati dari bakso itu," kata Lina memberikan pendapatnya pada Mayang.Mayang mengangguk sebagai jawaban. Benar juga kata Lina, masih masa percobaan dan kafe ini belum pernah menjual bakso. Kebetulan menu bakso itu bukan masakan Mayang sendiri. Jadi, perlu mencoba agar tahu bagaimana respons dari pengunjung. Hari Sabtu datang dengan cepat. Seperti yang sudah direncanakan, Ara dan sang suami pergi ke kafe milik Mayang. Kebetulan wan
Mayang sangat mempercayai Lina sepenuhnya. Hal ini juga membuat pegawai lainnya iri. Lina adalah karyawati yang masuk paling terakhir di antara pegawai lainnya. Tidak ada yang tahu mengapa Mayang sangat dekat dengan wanita berusia dua puluh tiga tahun itu."Baiklah, kita coba dua ratus porsi bakso untuk semua varian itu. Masing-masing dua ratus." Mayang mengambil ponsel dari dalam tas kecil yang selalu dibawanya."Kalo semua varian yang baiknya masing-masing lima puluh atau paling banyak tujuh puluh lima saja dulu, Bu. Namanya 'kan sedang menguji seberapa diminati dari bakso itu," kata Lina memberikan pendapatnya pada Mayang.Mayang mengangguk sebagai jawaban. Benar juga kata Lina, masih masa percobaan dan kafe ini belum pernah menjual bakso. Kebetulan menu bakso itu bukan masakan Mayang sendiri. Jadi, perlu mencoba agar tahu bagaimana respons dari pengunjung. Hari Sabtu datang dengan cepat. Seperti yang sudah direncanakan, Ara dan sang suami pergi ke kafe milik Mayang. Kebetulan wan
Haris memperhatikan sang putri dengan tatapan tajam. Ia ingin agar sang putri berkata dengan jujur. Murni ikut mendengarkan dari balik pintu sekat antara ruang tamu dan ruang samping rumah mereka. Murni jelas tampak sangat ketakutan."Aku sudah berusaha, Pa. Hanya saja, Tuhan belum memberikan kepercayaan padaku juga Mas Revan. Apalagi kondisiku saat ini belum benar-benar fit. Aku masih memikirkan agar kembali sehat dan bisa berjalan dengan baik dulu," kata Ara memberikan penjelasan setenang mungkin pada sang papa."Baiklah. Hanya saja, sampai kapan?" tanya Haris yang mendesak dan memojokkan Ara. "Aku tidak bisa menjawab karena semua ini adalah kuasa-Nya. Aku dan Mas Revan hanya berusaha saja." Ara tidak salah mengatakan hal itu.Andai Haris tahu jika sang putri masih perawan, maka akan sangat murka. Artinya mereka hanya melakukan pernikahan di atas kertas saja. Tidak menjalankan kewajiban suami dan istri. Haris mengembuskan napas kasar; informasi yang didapatkan dari Gita rupanya mel
"Ra, boleh aku tanya?" Revan masih fokus menyetir karena jalanan sudah macet pagi ini.Ara menoleh menatap sang suami. Ia yakin pasti sang suami akan membahas tentang kedatangan sang papa kemarin. Ara hanya bisa mengangguk sebagai jawaban. Sebisa mungkin, ia tidak tampak gugup."Siakan, Mas." Ara mengembuskan napas panjang seolah sedang menahan beban yang luar biasa."Papa kemarin datang? Apa yang dibicarakan?" Revan kali ini menoleh ke arah Ara yang kali ini wajahnya tampak tegang."Tidak ada obrolan penting. Papa hanya mampir saja. Papa dan Mama ingin cucu." Astaga! Ara justru kelepasan berbicara. "Ya, tapi bukan itu poin pentingnya, Papa mendukungku kembali bekerja," lanjut Ara berbohong.Revan terdiam mendengar keinginan Haris Manggala tentang cucu. Kedua mertuanya memang tidak salah dengan permintaan itu. Akan tetapi, Revan sama sekali belum bisa menyentuh Ara. "Jangan terlalu dipikirkan, Mas. Mungkin Papa habis ketemu teman lamanya. Kemarin Papa dan Mama habis berkunjung ke rum
Mayang tidak mengenal siapa laki-laki itu yang kini sudah keluar dari ruang pribadinya. Hari ini merupakan hari sial bagi perempuan yang kini sedang sangat syok. Kesialan yang bertubi dan entah sampai kapan. Gilang berusaha menenangkan calon istrinya itu."Sabar, May, setiap usaha pasti ada saja ujiannya," kata Gilang yang saat ini duduk di samping Mayang.Wajah Mayang kini semakin pucat pasi. Ia ketakutan dengan ucapan sosok laki-laki itu. Mayang mengartikan jika laki-laki itu tahu banyak tentang dirinya. Bahaya, bisa menjadi petaka di masa depan.Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Mayag berlari mengejar sosok laki-laki itu. Gilang pun ikut keluar dan mencari Mayang. Nihil, sosok laki-laki itu tidak ada. Mayang mendengkus kesal."Dia sudah kabur. Seenaknya saja mengatakan hal buruk tentang aku," kesal Mayang saat ini berusaha berjalan menuju ke dalam kafenya.Dalam sekejam, kafe Mayang mendadak sepi. Hanya satu, dua orang saja yang masih tetap tinggal. Apakah ada hubungannya dengan ap