Share

06. Kesedihan Maya

Penulis: Miss Yune
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-11 22:21:09

Maya termenung memikirkan malam yang dilewati oleh Aris dan Wulan. Tidak ada yang memikirkan perasaannya, perempuan itu merasa dirinya sangat bodoh karena membiarkan suaminya menikah lagi.

Malam itu Maya lewati dengan sedih, berbaring di tempat tidur dengan perasaan gelisah. Maya tidak bisa memejamkan matanya sama sekali. Perasaannya sungguh tidak terkira.

Bayang-bayang Aris bertukar peluh dengan perempuan lain terus menghantui Maya. Sanggupkah dia ikhlas dengan semua yang terjadi? Penyesalan terus menghantuinya.

"Semoga saja, Aris menepati janjinya dengan berlaku adil. Akan tetapi, aku tetap tidak sanggup melihat Mas Aris bersama Wulan," gumam Maya sambil berusaha memejamkan matanya.

"Maya, kamu belum tidur?" ucap sebuah suara dari luar kamarnya.

"Belum! Aku belum tidur, Bu. Ada apa?" Perlahan Maya berjalan menuju daun pintu.

Terlihat wajah sang ibu mertua tanpa senyum. "Ibu hanya ingin memberitahukanmu. Jangan tidur terlalu malam! Besok, kita harus memasak enak untuk menyambut kedatangan Wulan," ujar Hani dengan senyum.

Maya menghela napas, dia tidak habis pikir dengan sang ibu mertua. Perempuan paruh baya yang tidak pernah menyukainya itu sangat senang dengan Wulan. Tidak tahu hal yang diucapkannya sangat menyakiti hati Maya.

"Kalau Ibu memang ingin menyambut maduku itu, silakan, Bu. Akan tetapi, aku tidak bisa membantu Ibu. Aku tidak memiliki tenaga untuk memasak. Sudah cukup lelah dengan menghadiri pesta pernikahan antara Wulan dan Mas Aris!" balas Maya dengan tegas.

"Memangnya apa sih yang kamu lakukan? Padahal kamu tidak berkontribusi apa pun pada pesta pernikahan Aris!" tukas Hani kesal dengan penolakan Maya.

"Aku sibuk menata hati, Bu. Semua orang tahu kalau aku bersedih, mungkin hanya Ibu yang tidak mempedulikan perasaanku," ujar Maya.

Tidak peduli dengan semua sikap Hani, Maya menyuarakan isi hatinya. Dia sudah lelah dengan semua hal yang direncanakan oleh Hani. Bukan tanpa sebab Hani memilihkan madu untuknya. Pasti, mertuanya itu sangat senang telah mencapai hal yang dia inginkan.

"Kamu sudah menyetujui Aris menikah lagi, kan? Jadi, jangan membicarakan hal yang tidak penting! Kamu juga tidak tahu perasaan Ibu yang menginginkan seorang cucu. Di saat semua orang telah melihat cucu mereka lahir, Ibu hanya bisa mendambakannya," ucap Hani membuat hati Maya berdenyut.

Satu hal yang belum bisa dia lakukan yaitu memberikan anak bagi Aris. Berbagai cara sudah dia tempuh selama lima tahun ini. Akan tetapi, hasilnya nihil. Belum ada janin yang berkembang dari rahimnya.

Setiap pertanyaan orang tentang anak hanya dia jawab dengan senyuman. Hingga Hani menghadirkan orang lain di pernikahannya. Ingin sekali dia mencegah poligami yang dilakukan Aris, tetapi dia tidak kuasa.

"Terus saja Ibu menyudutkanku, kita lihat saja nanti madu pahit yang Ibu bawa itu akan mewujudkan keinginan Ibu atau tidak," balas Maya.

"Jangan bicara sembarangan, Wulan sudah pernah melahirkan seorang anak. Itu adalah jaminan bahwa dia adalah wanita yang subur. Tidak seperti kamu!" Perkataan Hani bagai pisau yang menancap di ulu hatinya.

"Sudah cukup perdebatan kita, Bu. Intinya, aku tidak bisa menyambut Wulan besok. Aku ingin beristirahat dan menata hatiku. Jadi, silakan Ibu menyiapkan semua hal yang Ibu inginkan. Aku ingin istirahat, Bu," ucap Maya tidak ingin memancing perdebatan lebih jauh lagi.

Maya menutup pintu dengan pelan, dia tetap tidak bisa bersikap sinis pada sang mertua. Biar bagaimana pun, Hani adalah Ibu dari suaminya. Sudah sepatutnya dia bersikap baik pada Hani.

Perempuan itu berjalan menuju ranjangnya yang dingin. Ingatannya berputar pada saat Aris melamarnya. Sang Kakak yang tinggal di desa saat itu tidak begitu menyukai Aris.

Kakaknya yang bernama Rendra, kini sedang merantau ke daerah Kalimantan untuk bekerja. Maya tidak berani mengatakan tentang pernikahan kedua Aris. Dia takut Rendra marah dan memintanya untuk bercerai.

Meskipun, hatinya sangat sakit dengan keputusan Aris yang tetap menikah dengan Wulan, Maya masih mencintai sang suami. Dia berharap mendapatkan sebuah keajaiban, ingin sekali Maya merasakan nikmatnya masa kehamilan.

"Andaikan, kamu lekas hadir di rahimku, Nak. Aku mungkin tidak akan merasakan sakitnya di poligami," gumam Maya sambil mengelus perutnya.

***

Di sebuah kamar hotel, seorang wanita menggunakan pakaian tipis menyambut sang suami yang baru saja keluar dari kamar mandi. Wanita itu adalah Wulan yang baru saja melangsungkan pernikahan dengan Aris.

Aris tidak tergoda melihat Wulan yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Pikirannya masih tertuju pada Maya yang terlihat sedih melepaskan kepergiannya bersama Wulan. Tega sekali dia menduakan Maya.

Janjinya untuk membahagiakan sang pujaan hati rasanya hanya di lisan saja. Dia tidak dapat menunjukkan wajahnya bila Rendra —Kakak Maya— mengetahui adiknya di poligami.

'Benarkah hal yang aku lakukan ini, Tuhan? Aku tahu Maya pasti sangat sedih di madu. Akan tetapi, aku tidak dapat menolak keinginan ibuku,' batin Aris.

Melihat reaksi Aris yang biasa saja, Wulan berinisiatif untuk menggoda sang suami. "Mas! Apa kamu tidak ingin melakukannya? Kita harus memenuhi permintaan Ibu untuk memberikan cucu untuknya."

Wulan meraba tubuh Aris yang dapat dia jangkau. Tentu saja sebagai pria normal, Aris tergoda dengan sentuhan yang diberikan oleh istri keduanya itu.

"Mas, aku ini sudah menjadi istrimu. Aku juga halal untukmu. Jangan memikirkan orang lain ketika kita sedang bersama," ucap Wulan yang mengetahui pikiran Aris tertuju pada Maya.

Aris yang sudah terangs*ng dengan hal yang dilakukan oleh Wulan akhirnya melakukan aktivitas panasnya dengan janda beranak satu yang telah menjadi istrinya. Wulan menyeringai setelah mendapatkan hal yang dia inginkan.

"Aku mencintaimu, Mas Aris. Akan aku pastikan hanya akulah istrimu ke depannya."

Senyum licik Wulan tersungging, dia memikirkan berbagai cara untuk menyingkirkan Maya. Semua hal itu sudah dia rencanakan tepat ketika Hani memintanya untuk menjadi istri kedua Aris.

Wulan bukan wanita bodoh yang ingin terus menjadi istri kedua. Semua orang pasti ingin menjadi satu-satunya bagi pria yang dia cintai. Tidak terkecuali dengan Wulan.

"Aku pasti akan menjadi istri satu-satunya bagimu, Mas," ujar Wulan sambil memeluk Aris yang sudah lebih dahulu menuju alam mimpi.

***

Bersambung.

Terima kasih telah membaca. Ikuti terus kisah Aris, Maya, dan Wulan, ya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Madu Pilihan Mertua    74. Kebahagiaan

    "Jadi, Maya hamil?"Suara Hani bergema di ruang tamu yang sepi. Aris duduk di kursi, pandangannya lurus ke depan, namun hatinya seolah terguncang oleh kabar yang baru saja dia dengar. Dia tak bisa mempercayai bahwa Maya—wanita yang pernah ia cintai dan gagal dia pertahankan—sekarang sedang mengandung anak dari Gilang."Iya, Bu. Maya akan punya anak," Aris menjawab lirih, menundukkan kepalanya.Hani yang duduk di sampingnya terdiam sesaat, mencoba memahami perasaan anaknya. Ia tahu, kabar ini bukan hal yang mudah diterima oleh Aris. Bagaimanapun, meski mereka telah lama berpisah, Maya masih meninggalkan jejak yang mendalam di hati Aris. Kini, kenyataan bahwa Maya akan menjadi ibu dari anak pria lain mungkin terasa seperti pukulan telak bagi Aris."Aris," kata Hani lembut, "kamu harus kuat. Kita sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Maya sudah memilih jalan hidupnya, dan kita harus menghormatinya. Apapun yang terjadi, hidupmu harus terus berjalan."Aris mengangguk pelan, meskipun di dalam

  • Madu Pilihan Mertua    73. Kejutan di Awal Kebahagian

    Pagi itu, udara terasa hangat dan tenang di rumah Gilang dan Nissa. Maya sedang sibuk di dapur, menyiapkan sarapan. Suara pisau yang bergerak cepat di atas talenan mengiringi aktivitas paginya. Dia tersenyum sambil memikirkan hari-harinya bersama Gilang, terutama bulan madu mereka yang penuh kebahagiaan dan tawa. Gilang, dengan segala cinta dan perhatian, selalu membuat Maya merasa seperti wanita paling beruntung di dunia.Namun, di balik kebahagiaan itu, ada satu perubahan besar yang Gilang inginkan. Suatu malam setelah mereka kembali dari bulan madu, di atas ranjang mereka yang nyaman, Gilang memeluk Maya erat dan berbisik, “Sayang, aku ingin kamu berhenti bekerja. Aku ingin kamu lebih fokus pada kita, keluarga yang akan kita bangun.”Maya tertegun sesaat, menatap Gilang. "Apa kamu benar-benar menginginkannya, Gilang?"“Iya,” jawab Gilang dengan penuh keyakinan. “Aku ingin kamu tidak perlu lagi pusing dengan pekerjaan. Biarkan aku yang menafkahi kita. Kamu bisa beristirahat dan meni

  • Madu Pilihan Mertua    72. Hari Bahagia

    Sebulan kemudian, persiapan pernikahan berjalan dengan cepat. Maya dan Gilang sudah tidak sabar untuk menghalalkan hubungan mereka. Gilang memastikan segala sesuatu tertangani dengan baik, dari dekorasi hingga undangan. Ia ingin hari pernikahannya menjadi momen terbaik dalam hidup mereka.Maya sendiri sibuk dengan persiapan pribadi, memilih gaun dan merencanakan acara bersama sahabat-sahabatnya, termasuk Putri yang selalu setia mendampinginya. Dalam hati, Maya merasa bahagia, meskipun ada rasa takut yang kadang muncul. Bagaimana jika pernikahan ini tidak berjalan sesuai harapan? Bagaimana jika masa lalunya kembali menghantui?Namun, setiap kali rasa khawatir itu muncul, Gilang selalu ada untuk menenangkannya. “Percayalah, Maya. Kita akan bahagia. Ini adalah awal baru untuk kita.”Hari pernikahan semakin dekat, dan semua orang sibuk dengan persiapan. Maya sering kali tenggelam dalam tumpukan pekerjaan, baik di kantor maupun dalam persiapan acara, tetapi itu membuatnya merasa lebih tena

  • Madu Pilihan Mertua    71. Mendapat Restu

    Matahari bersinar cerah ketika Maya tiba di rumah Nissa, perasaan gugup menghiasi langkahnya. Meski hubungan mereka sudah lebih baik, tetap saja, restu dari calon mertuanya adalah langkah besar yang harus ia lewati. Gilang, yang berjalan di sampingnya, meraih tangan Maya dengan lembut, seolah memberikan kekuatan. “Tenang saja, Maya,” bisik Gilang seraya tersenyum. “Ibu pasti akan merestui kita. Aku yakin.” Maya mengangguk perlahan, meskipun kegelisahan itu masih ada. Dia tahu, restu dari Nissa adalah kunci utama untuk melangkah ke tahap berikutnya dalam hubungannya dengan Gilang. Restu yang selama ini belum sepenuhnya ia dapatkan. Ketika mereka masuk, Nissa sudah menunggu di ruang tamu. Senyuman ramah terulas di wajahnya, namun Maya tetap bisa merasakan ketegangan. Ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka. Nissa memang lebih bersikap terbuka belakangan ini, tetapi masalah masa lalu Maya sebagai seorang janda masih menyisakan sedikit kekhawatiran dalam benak ibu Gilang. “Du

  • Madu Pilihan Mertua    70. Berharap Restu

    "Ibu akan memberitahukannya setelah waktunya tepat" ucap Nissa.Nissa meminta Maya dan Gilang untuk bersabar. Dia harus meyakinkan dirinya sendiri untuk menerima Maya. Oleh karena itu, Nissa masih meminta waktu untuk berpikir tentang restu untuk Maya dan Gilang. Akhirnya, Maya dan Gilang mencoba untuk bersabar. Hingga ada seseorang yang kembali mengusik ketenangan Maya.Langit senja terlihat suram ketika Aris berdiri di depan pintu kontrakan Maya. Dengan napas tertahan, dia menekan bel pintu, berharap Maya akan menerimanya kembali. Meski banyak hal yang telah terjadi, Aris masih merasa ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. Dia tahu betul hubungannya dengan Wulan berakhir tragis, dan kini, pikirannya kembali teringat pada Maya—wanita yang pernah dia cintai dan biarkan pergi. Pintu terbuka perlahan, dan Maya berdiri di sana, terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "Aris?" tanyanya, suaranya terdengar datar, meski matanya menunjukkan sedikit keraguan. Aris m

  • Madu Pilihan Mertua    69. Keputusan Nissa

    Wulan duduk di atas ranjang rumah sakit, matanya kosong menatap keluar jendela. Hujan deras mengguyur kota, seolah mencerminkan kekosongan di dalam hatinya. Tidak ada lagi yang tersisa. Kandungannya yang dulu menjadi harapan kini telah tiada. Semua telah lenyap, meninggalkannya dalam kehampaan yang menyakitkan.Pintu kamar perlahan terbuka. Pandu melangkah masuk, wajahnya tampak tegang dan penuh dengan penyesalan. Wulan menoleh pelan, tatapannya bertemu dengan mata Pandu yang muram."Pandu..." suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.Pandu mendekat, berdiri di sisi ranjang, namun ia tidak segera bicara. Hanya keheningan yang terjalin di antara mereka. Tatapan penuh luka di mata Wulan membuat dada Pandu terasa sesak."Aku tidak tahu harus berkata apa," Pandu akhirnya memecah kesunyian, suaranya rendah dan berat. "Aku... sangat menyesal."Wulan menundukkan kepala, mencoba menahan tangis yang sudah tak terhitung jumlahnya. "Kita semua melakukan kesalahan, Pandu," katanya lirih. "Aku ta

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status