Aku berjalan dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Andai saja di rumah sakit boleh berlarian, tentu aku akan langsung berlari ke kamar rawat ibu. Aku sudah tidak sabar bertemu dengan ibu. Hatiku sejak tadi sudah berdebar-debar.Aku menghela napas lega, ruang rawat ibu sudah terlihat dari pandanganku. Aku pun semakin mempercepat langkahku. Aku mengatur napasku ketika sudah sampai di depan pintu ruang rawat ibu.Lalu, aku pun langsung membuka pintu tersebut, kulihat Mbak Nuri sedang duduk di samping ranjang ibu sembari memainkan ponselnya. Aku pun segera masuk dan berjalan mendekati Mbak Nuri.Netraku berkaca-kaca melihat ibu sedang berbaring dengan mata tertutup, lalu aku pun menepuk pundak Mbak Nuri. Dia langsung menoleh ke arahku."Ibu baru beristirahat setelah meminum obatnya, Ra," ucap Mbak Nuri padaku."Iya, Mbak," sahutku mengerti jika ibu harus banyak-banyak beristirahat untuk pemulihan kondisinya."Kamu baru pulang, Ra?" tanya Mbak Nuri pelan, takut jika ibu akan terbangu
"Jawab aku! Jawab aku kenapa kalian bisa mempermainkan aku seperti ini?"Aku menatap nyalang Mbak Nuri dan Pak Alif dengan rahang yang mengeras. Tanganku pun mengepal erat.Mbak Nuri terlihat melangkah maju hendak mendekat ke arahku, "Kami bisa jelaskan semuanya, Ra," ucap Mbak Nuri dengan tangan terulur hendak meraih lenganku.Aku pun menghindar sehingga tangan Mbak Nuri hanya menangkap udara saja. Aku benar-benar merasa marah pada mereka, hingga rasanya aku tidak mau mendengar apapun dari mereka. Tapi aku juga ingin tahu, apa alasan mereka mempermainkanku seperti ini."Apa lagi alasannya Mbak?" tanyaku pada Mbak Nuri yang terlihat terkejut saat aku menghindar darinya."Ibu yang menginginkan semua ini, Ra. Ibu ingin melihatmu bahagia dengan menikahi Alif," sahut Mbak Nuri.Aku melebarkan mataku mendengar ucapan Mbak Nuri. Aku tidak percaya jika ibu menginginkan aku bahagia dengan menikahi Pak Alif. Memangnya standart kebahagiaan adalah pernikahan?Apa mereka tidak melihat pernikahank
"Maafkan ibu, Ra. Kamu jangan marah pada ibu ya, Ra," ucap ibu sembari mengelus kepalaku dengan lembut.Aku sedang berbaring, dengan kepala berada di pangkuan ibu. Kami sedang berada di sebuah bangku taman yang indah. Aku menatap wajah ibu yang terlihat bercahaya. Keriput di wajah ibu tampak menghilang. Aku mengernyitkan kening melihat ibu sangat cantik sekali. Aku jadi ingin berlama-lama memandangi wajah ibu."Memang aku marah kenapa, Bu? Tidak ada alasan untukku marah pada Ibu," sahutku.Aku tidak mungkin bisa marah pada ibu, walau bagaimanapun ibu membuatku kecewa, tapi aku tidak pernah marah pada beliau. Ibu adalah satu-satunya orang yang sangat aku sayangi di dunia ini. Mengingat aku sudah tidak mempunyai orang tua lagi, dan hanya beliaulah yang ada untukku, yang selalu mendukungku saat Mas Hilman memilih pergi dariku. Ibu juga lebih memilih aku daripada putra kandungnya sendiri. Jadi aku tidak akan pernah bisa marah pada ibu. Kasih sayangnya padaku melebihi kasih sayang seorang
"Bagaimana keadaan ibu, Mbak?" tanyaku begitu sampai di samping Mbak Nuri.Kebetulan Mbak Nuri sedang ada di depan ruang rawat ibu saat aku datang. Dia sedang duduk sembari terlihat termenung, sesekali dia juga terlihat mengusap air matanya.Mbak Nuri menoleh ke arahku, lalu kemudian dia mengalihkan lagi pandangannya dariku. Dia menatap kosong dinding rumah sakit. Raut wajahnya terlihat sangat sendu."Ibu sedang diperiksa oleh dokter, Ra. Keadaan ibu menurun lagi," jawabnya terdengar getir."Semoga ibu tidak kenapa-napa, Mbak. Beliau pasti pulih kembali," ucapku berharap ibu bisa segera membaik lagi.Aku meraih tangan Mbak Nuri, lalu mengenggamnya lembut. Aku mencoba untuk menguatkan Mbak Nuri, padahal hatiku sejak tadi sudah gelisah. Mimpi semalam masih terbayang-bayang di pikiranku. Aku takut jika mimpi itu adalah pertanda yang buruk. Aku takut jika ibu akan benar-benar meninggalkanku.Mbak Nuri kembali menolehkan kepalanya ke arahku, dia menatapku dalam. Dapat kulihat jejak-jejak a
Aku menatap kosong ke arah tubuh yang terbujur kaku di depanku. Air mataku pun terus berlelehan tanpa bisa aku hentikan. Hatiku teramat sedih melihat jenazah ibu terbaring dengan berselimutkan kain. Ibu pun juga sudah dipakaikan kain kafan, kini hanya tinggal disholatkan saja.Mbak Nuri meminta jenazah ibu dibawa pulang ke rumah kami yang lama. Karena memang di situlah ibu tinggal semasa hidupnya. Aku pun setuju dengan Mbak Nuri.Sejak jenazah ibu dibawa pulang, aku tidak pernah pergi dari sisinya. Aku pun juga ikut dalam memandikan jenazah ibu, sebagai baktiku yang terakhir padanya. Setelah ini aku sudah tidak bisa lagi berada di sisi ibu. Hatiku sangat berat mengikhlaskan kepergian ibu yang tiba-tiba.Andai saja aku tidak membawa ibu pergi bersamaku, tentu sekarang ibu masih hidup. Tapi siapa yang akan tahu masa depan seseorang. Jika Yang Kuasa sudah menentukan takdir seseorang, tentu tidak akan ada yang bisa menolaknya. Begitu pun dengan kepergian ibu, tidak akan ada yang bisa menc
Pak Alif menatapku lekat dan tanpa kata, sepertinya dia masih terkejut dengan ajakanku menikah yang tiba-tiba. Aku harus meyakinkan Pak Alif jika aku serius dengan apa yang aku katakan padanya."Jangan. Jangan kamu putuskan sesuatu di saat hatimu sedang tidak baik-baik saja, Ra. Kumohon jangan membuat keputusan yang akan kamu sesali nantinya. Dan aku tidak mau kamu menyesalinya, Ra." Pak Alif membuka suaranya.Aku pun menatap Pak Alif dengan pandangan penuh tanya tentang maksud dari perkataannya."Jadi Pak Alif menolakku?" tanyaku."Bu-kan. Bukan maksudku seperti itu, Ra. Aku tidak bermaksud untuk menolakmu. Jujur, aku sangat bahagia jika kamu mau menikah denganku. Tapi aku tidak mau kamu terpaksa menikah denganku. Lebih baik kamu pikirkan lagi di saat hatimu sudah membaik, Ra," sahutnya."Iya, Ra. Kita bicarakan ini semua nanti. Sekarang kita pulang saja terlebih dahulu," imbuh Mbak Nuri sembari memegang tanganku.Aku mengalihkan pandangan dari Mbak Nuri, kemudian aku berkata, "tidak
"Sepertinya kamu tidak sabar untuk mencari penggantiku, Ra." Mas Hilman melangkah semakin dekat dengan tempatku berada.Aku mengepalkan tangan mendengar ucapan Mas Hilman yang menghujam hatiku. Bukankah dia tidak berhak berkata seperti itu padaku? Mas Hilman sudah tidak punya hak untuk mengaturku."Ada apa kamu kemari, Mas?" tanyaku sembari menatap tajam Mas Hilman."Apa maksudmu, Ra? Memangnya aku tidak boleh kemari? Ini rumah ibuku, Ra. Jadi tidak ada yang berhak untuk melarangku kemari. Tidak kamu ataupun Mbak Nuri."Aku tersentak mendengar perkataan Mas Hilman. Dia memang masih berhak untuk datang kemari kapan pun. Tapi kenapa dia harus membawa Linda kemari?"Kamu—.""Memang tidak ada yang melarangmu kemari, Man. Tapi aku juga berhak atas rumah ini. Aku putri ibu, bagaimana pun aku juga berhak menentukan siapa yang boleh ada di sini." Suara Mbak Nuri tiba-tiba terdengar memotong ucapanku.Aku pun langsung menolehkan kepalaku ke arahnya. Mbak Nuri datang dari arah ruang depan semba
"Sidang perceraianmu akan digelar sebentar lagi, Ra. Tapi kamu tidak perlu datang," ucap Pak Alif melalui sambungan ponsel.Pak Alif menelpon karena dia mengabari bahwa dia tidak bisa datang kemari untuk sementara waktu. Tadi pagi Pak Alif ditelpon oleh asisten rumah tangganya, yang mengabarkan bahwa ayah Pak Alif sedang mencarinya. Ada keperluan mendesak yang harus Pak Alif lakukan."Iya, Pak," sahutku.Lalu kami sama-sama diam, aku bingung mau berkata apa lagi pada Pak Alif. Sedang Pak Alif, juga tidak menanggapi sahutanku tadi. Entah apa yang sekarang sedang Pak Alif pikirkan, aku tidak tahu."Hmm ... Ra," panggil Pak Alif setelah lebih dari sepuluh menit kami sama-sama tak bersuara."Ada apa, Pak?" tanyaku padanya."Apa kamu tidak apa-apa?" Pak Alif malah balik bertanya padaku tanpa menjawab pertanyaanku terlebih dahulu."Apa maksudnya, Pak?"Terdengar suara Pak Alif menghela napasnya panjang, dapat kupastikan bahwa dia tampak ragu untuk menjelaskan padaku tentang maksud dari pert