Pagi ini, aku sudah sibuk berkutat di dapur membuatkan bubur untuk sarapan Ibu. Beliau sudah keluar dari rumah sakit sejak kemarin.Aku mengurus sendiri saat Ibu akan pulang ke rumah, sementara Mas Hilman entah ada di mana. Sejak aku meninggalkannya di kantin rumah sakit, aku sudah tidak melihat batang hidungnya lagi.Mungkin dia sedang berada di rumah Linda, maduku yang kaya raya itu. Aku tersenyum miris mengingat jika ternyata aku memiliki madu. Pernikahanku dengan Mas Hilman baru seumur jagung, tapi dia sudah menghadirkan madu untukku. Miris bukan?Siapa juga yang ingin memiliki madu, bahkan dalam mimpi pun aku tidak pernah membayangkannya. Tapi sekarang semua sudah terlanjur, ibarat nasi sudah menjadi bubur. Aku tidak akan pernah bisa mengembalikan semuanya seperti semula.Ah, bubur untuk Ibu sudah selesai aku masak, aku harus segera menghidangkannya. Sebentar lagi sudah waktunya Ibu meminum obat.Aku pun mengambil mangkuk dan mengisinya dengan bubur, lalu setelahnya aku juga men
"Maafkan anak Ibu, Ra. Maafkan anak Ibu. Dia sudah menyakiti wanita sebaik dirimu. Dia sudah membuatmu terluka seperti ini," ucap Ibu sembari membingkai wajahku dengan kedua tangan hangatnya.Aku terharu mendengar ucapan Ibu, sungguh inilah yang membuatku berat berpisah dari Mas Hilman. Memiliki mertua sebaik Ibu merupakan anugerah tersendiri buatku.Tanganku perlahan meraih tangan Ibu dan mendekapnya di dada, "Tidak apa-apa, Bu. Mungkin ini memang sudah takdirku. Aku ikhlas menjalaninya.""Aku merasa sangat bersalah padamu, Ra. Aku telah gagal mendidik Hilman hingga dia tega menyakitimu seperti ini."Aku menggeleng, "Tidak, ini bukan salah Ibu. Keadaanlah yang salah, Bu. Gemerlap harta telah membutakan Mas Hilman. Jadi Ibu tidaklah salah sama sekali."Ibu kembali menangis tersedu, entah sudah berapa lama Ibu menangis. Sejak tadi Ibu tidak henti-hentinya meneteskan air mata. Kami berdua terlalu larut dalam kesedihan."Ada apa ini, kenapa kalian menangis? Apa Ibu sakit lagi?" Mas Hilma
"Pergi! Pergi kamu, Man. Ibu tidak sudi melihat wajahmu lagi!" tangis Ibu mengusir Mas Hilman.Sementara Mas Hilman hanya menangis melihat kemarahan Ibu. Dia nampak sedih, raut wajahnya terlihat sendu. Mungkin kesedihan Mas Hilman juga karena fakta yang Ibu sampaikan padanya.Sejauh aku mengenal Mas Hilman, dia termasuk lelaki yang sangat berbakti kepada Ibunya. Mas Hilman juga sosok anak yang sangat dekat dengan sang Ibu. Dia juga tidak pernah melawan apapun yang Ibu katakan.Dapat aku bayangkan bagaimana perasaan Mas Hilman yang pasti menyesal telah menyakiti Ibu yang sangat disayanginya itu.Aku menghela nafas panjang, semua tidak berjalan sesuai dengan perkiraanku. Aku pikir jika aku jujur pada Ibu, aku akan dengan mudah berpisah dari Mas Hilman. Tapi semua malah menjadi rumit seperti ini. Ternyata aku malah membuka luka lama Ibu. Takdir memang terkadang mempermainkan kita seperti ini."Ra, tolong bujuk Ibu. Tolonglah aku, aku tidak bisa menerima kemarahan Ibu seperti ini," ratap
"Apa Ibu yakin ingin ikut denganku, Bu? Apa Ibu tidak mau berubah pikiran? Masih ada waktu jika Ibu ingin berubah pikiran." Aku memastikan kembali keputusan Ibu yang ingin ikut denganku. Aku tidak mau beliau akhirnya menyesal jika ternyata hanya hidup menderita bersamaku. Aku akan mulai hidup dari nol, tidak memiliki apa-apa untuk memberikan Ibu yang terbaik."Iya, Ra. Apalagi sekarang kesehatanku sudah semakin membaik. Aku pasti tidak akan menyusahkanmu lagi, Ra."Aku tersenyum tipis mendengar jawaban Ibu, karena memang kesehatan Ibu sudah semakin membaik setelah lima hari berlalu sejak kejadian beliau mengusir Mas Hilman pergi.Sejak itu, Ibu tidak pernah mau bertemu dengan Mas Hilman. Beliau selalu menolak kedatangan Mas Hilman dengan mengurung diri di kamar bila Mas Hilman datang dan tidak menemuinya sama sekali.Aku pun tidak pernah memaksa Ibu untuk menemui putranya itu. Aku takut malah Ibu menjadi bersedih lagi jika aku memaksanya untuk bertemu dengan Mas Hilman."Apa Ibu tida
"Jadi kamu melamar perkerjaan di tempat kerja Mila, Ra?" tanya Ibu yang nampak sibuk melipat baju-baju dari para tetangga dan sudah selesai di cuci.Ah, kami sudah menemukan tempat tinggal yang masih layak dengan harga yang terjangkau. Dan tak terasa sudah hampir satu bulan aku dan Ibu pindah di tempat ini. Tempat yang menurutku tidak terlalu bagus dibandingkan dengan rumah Ibu, tapi mampu membuat hariku tenang, tanpa melihat wajah Mas Hilman lagi.Awal-awal kepergian kami, Mas Hilman selalu menelfon dan mengirim pesan padaku. Tapi aku tidak pernah menanggapinya sama sekali. Lalu dia tak henti-hentinya mengirim pesan dan menelfon di setiap waktu, sampai aku merasa terganggu. Hingga akhirnya aku pun mengganti nomer ponselku agar tidak semakin terganggu. Kini hanya Mbak Nuri saja yang memiliki nomer ponselku."Jadi, Bu," jawabku sembari menyetrika pakaian.Oh ya, untuk menyambung hidup, aku dan Ibu memutuskan untuk menerima jasa mencuci baju. Pekerjaan yang dianggap orang sepele, tapi t
"Iya, Mbak. Jangan khawatir, Ibu baik-baik saja. Mungkin akhir pekan depan kami akan berkunjung ke tempat Mbak," ucapku melalui sambungan telfon.Aku sedang bertukar kabar dengan Mbak Nuri melalui sambungan telfon. Aku dan Ibu sudah menceritakan semuanya pada Mbak Nuri.Awalnya Mbak Nuri keberatan jika Ibu ikut denganku, dia takut jika sewaktu-waktu penyakit Ibu kambuh dan akan menyusahkanku. Tapi seiring berjalannya waktu, Mbak Nuri menerima keputusan Ibu untuk ikut denganku, setelah mengetahui bahwa penyakit Ibu belum pernah kambuh sama sekali sejak ikut pindah bersamaku.Mbak Nuri juga mendukung keinginanku untuk bercerai dari adiknya lelakinya itu. Dia juga sama kecewanya pada pengkhianatan Mas Hilman. Saat mendengar ceritaku tentang Mas Hilman, Mbak Nuri tidak henti-hentinya memaki adiknya itu.Orang selembut Mbak Nuri sampai bisa memaki orang hanya dengan mendengar ceritaku, lalu bagaimana denganku yang mengalaminya sendiri? Harusnya kemarin aku juga memaki-maki Mas Hilman untuk
"Ada apa, Mas?" tanya wanita yang bersama dengan Mas Hilman.Ah, Linda, ya nama wanita itu Linda. Aku tidak pernah melupakan nama maduku itu.Aku akui Linda memanglah cantik, dia mempunyai kulit yang putih dan masih terlihat muda dibandingkan denganku. Apalagi kata Mas Hilman, Linda adalah putri dari seorang konglomerat. Tentu saja banyak lelaki yang mengejarnya. Termasuk Mas Hilman sendiri.Mas Hilman mengalihkan pandangannya dariku dan beralih menatap Linda. Hatiku pun berdenyut nyeri melihat Mas Hilman mengalihkan padangan dariku. Berpura-pura tidak mengenalku."Tidak ada apa-apa, Sayang," jawab Mas Hilman.Hah, Sayang? Panggilannya mesra sekali. Aku tersenyum miris mendengar Mas Hilman memanggil Linda dengan sebutan itu.Lucu bukan? Ketika aku menyaksikan sendiri suamiku memanggil mesra wanita lain di hadapanku. Aku ingin tertawa, tapi masalahnya sekarang, air mataku pun tidak bisa aku tahan. Air mataku keluar sendiri tanpa aku sadari.Aku bodoh, karena masih saja merasa sakit mel
"Kamu yakin sudah tidak apa-apa, Ra?" tanya Mila, nampak masih khawatir padaku.Mila menemukanku sedang menangis di sudut kegelapan dengan posisi berjongkok bersandar pada dinding, sembari menutup wajahku dengan kedua tangan. Dia langsung memelukku dan menenangkanku tanpa banyak kata. Bahkan sampai sekarang dia tidak bertanya tentang sebab aku menangis seperti itu.Aku tahu, bukan Mila tidak peduli padaku, tapi mungkin dia hanya ingin membuatku tenang terlebih dahulu sebelum menanyakan sebab dia menemukanku dengan kondisi yang mengenaskan. Bukankah dia sangat pengertian? Ah, Mila. Kenapa hatimu sangat baik sekali?"Aku sudah tidak apa-apa, Mil. Maaf, aku sudah membuatmu khawatir," jawabku mencoba melebarkan senyumku, mencoba meyakinkan Mila bahwa aku sudah membaik dan dia tidak perlu khawatir lagi padaku."Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu, Ra. Kamu cepatlah masuk ke dalam. Kasihan Ibumu, beliau pasti khawatir padamu," ucap Mila sembari berdiri dari duduknya.Aku mengangguk, "Teri