"Pergi! Pergi kamu, Man. Ibu tidak sudi melihat wajahmu lagi!" tangis Ibu mengusir Mas Hilman.Sementara Mas Hilman hanya menangis melihat kemarahan Ibu. Dia nampak sedih, raut wajahnya terlihat sendu. Mungkin kesedihan Mas Hilman juga karena fakta yang Ibu sampaikan padanya.Sejauh aku mengenal Mas Hilman, dia termasuk lelaki yang sangat berbakti kepada Ibunya. Mas Hilman juga sosok anak yang sangat dekat dengan sang Ibu. Dia juga tidak pernah melawan apapun yang Ibu katakan.Dapat aku bayangkan bagaimana perasaan Mas Hilman yang pasti menyesal telah menyakiti Ibu yang sangat disayanginya itu.Aku menghela nafas panjang, semua tidak berjalan sesuai dengan perkiraanku. Aku pikir jika aku jujur pada Ibu, aku akan dengan mudah berpisah dari Mas Hilman. Tapi semua malah menjadi rumit seperti ini. Ternyata aku malah membuka luka lama Ibu. Takdir memang terkadang mempermainkan kita seperti ini."Ra, tolong bujuk Ibu. Tolonglah aku, aku tidak bisa menerima kemarahan Ibu seperti ini," ratap
"Apa Ibu yakin ingin ikut denganku, Bu? Apa Ibu tidak mau berubah pikiran? Masih ada waktu jika Ibu ingin berubah pikiran." Aku memastikan kembali keputusan Ibu yang ingin ikut denganku. Aku tidak mau beliau akhirnya menyesal jika ternyata hanya hidup menderita bersamaku. Aku akan mulai hidup dari nol, tidak memiliki apa-apa untuk memberikan Ibu yang terbaik."Iya, Ra. Apalagi sekarang kesehatanku sudah semakin membaik. Aku pasti tidak akan menyusahkanmu lagi, Ra."Aku tersenyum tipis mendengar jawaban Ibu, karena memang kesehatan Ibu sudah semakin membaik setelah lima hari berlalu sejak kejadian beliau mengusir Mas Hilman pergi.Sejak itu, Ibu tidak pernah mau bertemu dengan Mas Hilman. Beliau selalu menolak kedatangan Mas Hilman dengan mengurung diri di kamar bila Mas Hilman datang dan tidak menemuinya sama sekali.Aku pun tidak pernah memaksa Ibu untuk menemui putranya itu. Aku takut malah Ibu menjadi bersedih lagi jika aku memaksanya untuk bertemu dengan Mas Hilman."Apa Ibu tida
"Jadi kamu melamar perkerjaan di tempat kerja Mila, Ra?" tanya Ibu yang nampak sibuk melipat baju-baju dari para tetangga dan sudah selesai di cuci.Ah, kami sudah menemukan tempat tinggal yang masih layak dengan harga yang terjangkau. Dan tak terasa sudah hampir satu bulan aku dan Ibu pindah di tempat ini. Tempat yang menurutku tidak terlalu bagus dibandingkan dengan rumah Ibu, tapi mampu membuat hariku tenang, tanpa melihat wajah Mas Hilman lagi.Awal-awal kepergian kami, Mas Hilman selalu menelfon dan mengirim pesan padaku. Tapi aku tidak pernah menanggapinya sama sekali. Lalu dia tak henti-hentinya mengirim pesan dan menelfon di setiap waktu, sampai aku merasa terganggu. Hingga akhirnya aku pun mengganti nomer ponselku agar tidak semakin terganggu. Kini hanya Mbak Nuri saja yang memiliki nomer ponselku."Jadi, Bu," jawabku sembari menyetrika pakaian.Oh ya, untuk menyambung hidup, aku dan Ibu memutuskan untuk menerima jasa mencuci baju. Pekerjaan yang dianggap orang sepele, tapi t
"Iya, Mbak. Jangan khawatir, Ibu baik-baik saja. Mungkin akhir pekan depan kami akan berkunjung ke tempat Mbak," ucapku melalui sambungan telfon.Aku sedang bertukar kabar dengan Mbak Nuri melalui sambungan telfon. Aku dan Ibu sudah menceritakan semuanya pada Mbak Nuri.Awalnya Mbak Nuri keberatan jika Ibu ikut denganku, dia takut jika sewaktu-waktu penyakit Ibu kambuh dan akan menyusahkanku. Tapi seiring berjalannya waktu, Mbak Nuri menerima keputusan Ibu untuk ikut denganku, setelah mengetahui bahwa penyakit Ibu belum pernah kambuh sama sekali sejak ikut pindah bersamaku.Mbak Nuri juga mendukung keinginanku untuk bercerai dari adiknya lelakinya itu. Dia juga sama kecewanya pada pengkhianatan Mas Hilman. Saat mendengar ceritaku tentang Mas Hilman, Mbak Nuri tidak henti-hentinya memaki adiknya itu.Orang selembut Mbak Nuri sampai bisa memaki orang hanya dengan mendengar ceritaku, lalu bagaimana denganku yang mengalaminya sendiri? Harusnya kemarin aku juga memaki-maki Mas Hilman untuk
"Ada apa, Mas?" tanya wanita yang bersama dengan Mas Hilman.Ah, Linda, ya nama wanita itu Linda. Aku tidak pernah melupakan nama maduku itu.Aku akui Linda memanglah cantik, dia mempunyai kulit yang putih dan masih terlihat muda dibandingkan denganku. Apalagi kata Mas Hilman, Linda adalah putri dari seorang konglomerat. Tentu saja banyak lelaki yang mengejarnya. Termasuk Mas Hilman sendiri.Mas Hilman mengalihkan pandangannya dariku dan beralih menatap Linda. Hatiku pun berdenyut nyeri melihat Mas Hilman mengalihkan padangan dariku. Berpura-pura tidak mengenalku."Tidak ada apa-apa, Sayang," jawab Mas Hilman.Hah, Sayang? Panggilannya mesra sekali. Aku tersenyum miris mendengar Mas Hilman memanggil Linda dengan sebutan itu.Lucu bukan? Ketika aku menyaksikan sendiri suamiku memanggil mesra wanita lain di hadapanku. Aku ingin tertawa, tapi masalahnya sekarang, air mataku pun tidak bisa aku tahan. Air mataku keluar sendiri tanpa aku sadari.Aku bodoh, karena masih saja merasa sakit mel
"Kamu yakin sudah tidak apa-apa, Ra?" tanya Mila, nampak masih khawatir padaku.Mila menemukanku sedang menangis di sudut kegelapan dengan posisi berjongkok bersandar pada dinding, sembari menutup wajahku dengan kedua tangan. Dia langsung memelukku dan menenangkanku tanpa banyak kata. Bahkan sampai sekarang dia tidak bertanya tentang sebab aku menangis seperti itu.Aku tahu, bukan Mila tidak peduli padaku, tapi mungkin dia hanya ingin membuatku tenang terlebih dahulu sebelum menanyakan sebab dia menemukanku dengan kondisi yang mengenaskan. Bukankah dia sangat pengertian? Ah, Mila. Kenapa hatimu sangat baik sekali?"Aku sudah tidak apa-apa, Mil. Maaf, aku sudah membuatmu khawatir," jawabku mencoba melebarkan senyumku, mencoba meyakinkan Mila bahwa aku sudah membaik dan dia tidak perlu khawatir lagi padaku."Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu, Ra. Kamu cepatlah masuk ke dalam. Kasihan Ibumu, beliau pasti khawatir padamu," ucap Mila sembari berdiri dari duduknya.Aku mengangguk, "Teri
Aku menarik napas panjang, lalu perlahan menghembuskannya. Aku melakukannya sebelum bertemu dengan ibu. Beliau pasti sedang ada di dapur, menyiapkan sarapan yang sudah aku masak sejak subuh. Rutinitas yang selalu beliau kerjakan setiap pagi.Setelah merasa sudah siap bertemu dengan ibu, aku pun melangkahkan kaki ke arah dapur."Kamu sudah selesai bersiap, Ra?" tanya ibu begitu melihatku masuk ke dapur, dengan senyum menghiasi wajah tuanya.Aku mengangguk menanggapi pertanyaan ibu. Ah, senyum itu. Senyum yang aku tahu sedang ibu paksakan untuk menutupi kesedihannya dariku. Hatiku malah sakit melihat ibu tersenyum seperti itu, padahal aku tahu kalau beliau sedang memendam kesedihan. Andai saja aku bisa memutar waktu, aku pasti tidak akan membawa ibu ikut bersamaku agar beliau tidak perlu bersedih hati."Duduklah, Ra. Ibu sudah selesai menyiapkan sarapannya," ucap ibu lagi membuatku tersadar dari lamunan.Aku pun langsung duduk dan memulai sarapan dalam diam. Aku masih belum bisa mengelu
Sudah dua minggu berlalu sejak kehadiran Linda di ruang kerja Pak Alif, dan sejak itu pula aku melihatnya selalu datang menemui Pak Alif. Bahkan dia selalu datang setiap hari, walaupun waktunya selalu tidak tentu. Kadang bisa siang kadang bisa sore.Hari ini pun dia juga datang di jam makan siang, entah apa hubungan mereka hingga Linda mendatangi Pak Alif setiap hari, aku juga tidak tahu. Dan aku pun tidak mau tahu apapun tentang Linda. Tapi yang aku syukuri adalah dia selalu datang sendiri, tanpa Mas Hilman tentunya.Aku sudah mulai terbiasa melihat Linda wara wiri di sekitarku. Mungkin aku juga sudah kebal dengan kehadirannya, atau mungkin karena aku sudah bertekad keluar dari penderitaanku. Entahlah. Yang pasti sekarang aku tidak terpengaruh dengan kehadiran Linda. Tidak seperti di awal-awal pertemuanku dengannya.Walau mungkin terkadang aku masih merasa enggan untuk melihat wajah maduku itu. Apa aku bisa menyebutnya maduku, sementara dia saja tidak tahu kalau aku adalah istri pert