POV AUTHOR
đź’š
"Jangan pergi atau akan semakin menyakitimu."
"Tapi, Ferdila–"
"Dia khawatir bukan karena cinta, melainkan rasa bersalah karena telah merobek mulut Vidia. Kamu di sini, tunggu kabar di telepon saja," potong Arnila. Dia tidak ingin adik kembarnya khawatir.
Masalah Ferdila salah peluk kemarin biar menjadi rahasiaku sendiri selama Naren tidak tahu juga Vidia maka akan baik-baik saja. Adikku harus bahagia, batin Arnila sedih.
Ponsel berdering, ada pesan masuk ke aplikasi hijau. Perempuan tempramental itu mengurangi cahaya layar agar tidak ketahuan kalau ada pesan masuk apalagi jika kabar buruk. Benar saja, Naren mengabari bahwa Vidia meninggal.
"Mereka kok lama ya? Gak ada kabar lagi," keluh Ardina. Dia memikirkan suaminya.
"Gini, Din ...." Arnila menggigit bibirnya, dia menunduk dalam.
Sementara di rumah sakit sedang gaduh. Naren mengurus banyak hal termasuk meminta mereka semua tutup mulut. Pasalnya
Terimakasih untuk semua pembaca yang mau meluangkan waktu dan menyisihkan rupiah untuk karya yang sangat sederhana ini. Semoga kedepannya semakin lebih baik lagi. Aamiin.
“Berbuat baiklah pada Vidia. Dia cinta pertamaku sekaligus calon adik madu kamu.” Aku diam seribu kata, merasa hancur bagai disambar petir. “Perlakuanku padamu, tergantung perlakuan kamu padanya,” tambah Ferdila. Perempuan yang bernama Vidia tersenyum tipis padaku. “Fer.” Hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku sekarang. Dadaku seketika sesak mendapati kenyataan sepahit ini. “Keputusan ini tidak bisa diganggu gugat. Kalau kamu keberatan, silakan ajukan permintaan cerai.” “Kenapa?” tanyaku. Suara benar-benar lemah. “Agar orangtua kita tidak menyalahkan Vidia. Kamu tahu? Vidia sangat berharga, Din.” Setelah mengucapkan itu, Ferdila menggandeng tangan Vidia masuk rumah. Mereka duduk di kursi tamu, mengobrol begitu hangat. Aku menutup rapat pintu utama, kemudian berlari kecil masuk kamar. Kutenggelamkan wajah di tepi ranjang sambil terus merutuki nasib. “Tuhan, kenapa aku selemah ini?” lirihku. Ferdila
Aku meraih ponsel dan mengirim pesan untuk Yuni. Untung saja hari ini libur sehingga tidak harus menunggunya pulang dari kantor. Dia memang tergolong dewasa dan pandai mengambil sikap terlebih saat dalam urusan percintaan. Tersakiti berulang kali menjadikannya sangat berpengalaman. Yuni juga teman SMA Ferdila dan Vidia dulu. Mungkin dia tahu kelemahan mereka atau salah satunya saja. Satu jam berlalu, dia sudah sampai. Aku harus menghilangkan pikiran tentang kemesraan Ferdila dahulu. Kami duduk saling berhadapan. “Ada masalah apa, Din? Tumben banget kamu memintaku datang hari libur. Biasanya jalan-jalan sama Ferdi.” “Itu dulu, Yun. Ferdi sudah punya perempuan lain. Kamu pasti gak nyangka siapa perempuan itu.” Aku menjawab setelah menarik napas panjang berulang kali. “What?!” “Iya, perempuan itu bernama Vidia.” “Vidia Maida?!” Yuni terkejut bukan main. Matanya membulat sempurna. Aku hanya bisa mengangguk membenarkannya. “
“Iya, Vidia itu terkenal licik. Aneh saja, kenapa Ferdila malah jatuh cinta mati padanya.” “Licik gimana?” “Haduh, banyak. Bahkan sejak SD dia sudah pandai membully orang. Vidia itu mata duitan, Din.” Jantungku berdegup kencang. Sungguh tidak tahu harus berkata apa lagi. Ingin menyampaikan pada Ferdila juga tidak mungkin karena hanya akan mendapat amarahnya. Hati yang sudah dikuasai orang lain itu susah untuk kembali. *** Hari sudah malam. Sejak sore tadi aku tidak ada kesibukan. Ingin keluar mencari Ferdila juga tidak mungkin karena tidak tahu alamat rumah Vidia. Jam sudah menunjuk angka sembilan, aku mendengar suara orang dari luar. Saat membuka pintu, rupanya Ferdila kembali. Hanya saja di sampingnya berdiri seorang perempuan. Tidak usah ditanya itu siapa, sudah pasti adalah Vidia. “Fer, kamu bawa Vidia pulang ke sini? Apa kata tetangga?” tanyaku setelah keluar kamar. “Tidak usah pus
Panggilan telepon terputus sepihak. Aku menarik napas dalam berulang kali agar air mata tidak jatuh membasahi pipi. Nomor tidak dikenal itu entah milik siapa. Ingin menelepon balik, ternyata sudah diblokir duluan. Lantai aku bersihkan, setelah itu melangkah masuk kamar dan membanting kasar pintu. Untuk berbaring saja jijik rasanya mengingat mereka tidur di kamar ini tadi malam. Aku membuka lemari dan mengambil semua pakaianku untuk dipindahkan ke kamar tamu. Tidak apa mengalah untuk saat ini, suatu hari kita akan tahu siapa yang mengemis untuk bertahan. Besok suamiku akan menikah dengan pacar yang dia anggap lebih baik dari istrinya. Semoga saja dia bahagia agar tidak menangis darah. Aku harus hadir untuk memberi hadiah paling terbaik sehingga mereka tidak akan pernah melupakannya. Malam telah tiba, angin berembus memaksaku berselimutkan rindu. Tak ingin menyimpan sesak sendirian, aku menelepon Yuni. “Ada apa, Din?” “Besok Ferdila nika
“Kamu merasa hebat karena mempermalukan Vidia?” “Jangan kamu kira dengan melakukan hal ini akan menjadikan dirimu satu-satunya. Ferdila bilang kamu itu mandul, lalu kenapa mengaku hamil?” “Apa jangan-jangan kamu hamil dari lelaki lain?” “Anda siapa?!” tanya Yuni. Rahangnya mengeras. “Aku sepupu Vidia. Kamu sendiri siapa?” “Sahabat Ardina dan asal kamu tahu, Ardina tidak mandul!” “Ferdila juga mengaku pada temannya kalau Ardina memberi izin poligami karena terbaring lemah. Lelaki model apa itu?” tambah Yuni. “Yun, kamu tidak bisa ikut campur dalam urusan rumah tanggaku,” sela Ferdila. “Lalu, apa sepupu Vidia bisa ikut campur?” timpalku. Genta meminta semua tamu undangan untuk pulang saja karena banyak dari mereka yang menyalakan kamera. Meski harus penuh paksaan akhirnya mereka pulang juga. Di pernikahan ini tidak ada orangtua pengantin yang hadir. “Shella itu masih sepupuku, sementara kamu bukan keluarga
“CCTV?” Perempuan di seberang telepon tertawa. “Bukan.” “Lalu?” “Tidak usah takut, aku tidak akan melukaimu jika kamu setuju dengan titah di secarik kertas itu. Bagaimana?” “Kamu mengancamku?” “Apa ini terdengar seperti ancaman? Kamu takut?” Aku memutus panggilan telepon berharap semua hanyalah mimpi. Gemuruh dalam dada begitu mengganggu. Jujur saja, aku takut bahkan untuk memejamkan mata sekilas. Tidak perlu menunggu waktu lagi, segera aku mengirim sms pada Yuni untuk memberitahu sekaligus mencari solusi. Sepuluh menit berlalu baru ada balasan. Yuni : Kamu harus kuat sebagaimana posisimu sebagai istri pertama. Jangan khawatir pada ancaman bahkan jika kamu harus mati, setidaknya bukan sebagai pengecut! Aku : Gimana? Yuni : Pura-pura terima Vidia dan balas perbuatan mereka diam-diam. Namun, kamu harus ingat sesuatu, dia tidak boleh curiga kamu pelakunya. Aku : Terimakasih. *** Tepat hari s
Aku Vidia Maida. Perempuan yang lahir di Indonesia, tetapi memiliki wajah dan postur serupa Inggris. Tidak mengherankan karena orangtuaku masih asli London. Usiaku kini tidak lagi muda, saatnya mencari lelaki yang bisa memberiku kehidupan layak meski ibu bukan orang miskin. Sebenarnya ayah dan ibu memintaku memanggil mereka 'mom and dad' hanya saja itu terlalu berlebihan karena ini di Indonesia. Ayah Ketua Gengster. Dia sudah sering keluar masuk penjara dengan berbagai kasus. Ibu pun seperti tidak peduli dan menghabiskan waktunya di luar. Tidak jarang dia membawa pulang lelaki dan mabuk bersama. Kami non muslim, tentu pakaian mini tidak menjadi masalah. Aku yang muak melihat mereka memilih tinggal di apartemen. Bertemu dengan Ferdila adalah sesuatu yang sangat kebetulan. Aku merasa takjub melihat perubahan yang ada padanya. Bukan hanya masalah harta, tetapi juga fisik dan rupa yang menawan. Siapa pun akan jatuh hati. Aku sengaja menggoda lelak
Aku mengetuk pintu setelah mendengar Vidia memekik. Meski dia hanya bisa melukai hati, tetapi aku bukan manusia yang tidak berperasaan. Khawatir tentu menjalar terutama pada bayi dalam kandungannya.Dia darah daging Ferdila dan tidak pantas disalahkan.“Ada apa?” tanya Vidia setelah pintu dibuka.“Aku dengar kamu teriak, kenapa?”“Gak apa-apa. Perlu bantuan?”“Oh, tidak usah. Semua sudah beres.”“Istirahatlah.”Aku mengangguk. Entah kerasukan apa, tatapan Vidia hangat bahkan kalimatnya terdengar tulus. Namun, seperti yang selalu Yuni sampaikan bahwa jangan sampai terlena pada senyum dan sikap hangat musuh.Dalam kamar aku melakukan panggilan telepon dengan Yuni. Kami basa-basi sebentar, kemudian mulai membahas inti masalah saat dia bertanya perkembangan.“Sepertinya Vidia percaya aku mau jadi temannya. Dia sering senyum-senyum sendiri, mungkin mengejek dal