Hari-hari kami lalui dengan penuh warna sekali pun hati terluka karena kasus Genta sudah lama ditutup polisi dengan dalih itu murni keinginan bunuh diri karena masalah pribadi. Saat kuputar rekaman aku dan pelaku bicara lewat telepon, mereka menuding itu rekayasa semata.
Juga tentang Namira. Dia tidak lagi muncul setelah aku beri pelajaran. Perempuan mana yang tidak marah ketika mendapati calon pelakor terus mengusik hidup suami. Aku sengaja mengundangnya makan siang bersama dan mencampur sambal dalam minumannya sampai tidak sadarkan diri.
Berbicara tentang kehidupan sekarang, aku benar dipecat dari salon tempat bekerja tanpa upah karena Namira. Entah apa yang dikatakan pada bos. Namun, aku tidak ingin mengambil pusing toh Ferdila masih ada di sisiku.
Satu bulan yang lalu saat Ferdila ada urusan kantor yang mengharuskannya menginap satu minggu di sebuah hotel di luar kota, aku mengaku keguguran. Semua kepalsuan yang diciptakan sudah selesai meski dengan cara ber
Setelah menutup telepon dan meletakkannya asal, aku menoleh ke arah pintu yang perlahan terbuka. Ferdila masuk sambil membawa kantong kresek berisi tahu goreng."Makan bareng, yuk!" ajaknya. Aku berdiri karena langsung peka kalau Ferdila mengajak makan di depan televisi.Kami menonton tanpa menyimak dengan baik setiap adegannya. Pikiran melayang ke perempuan tadi. Huh, aku yakin pasti dia akan kembali dan membalaskan dendam.Aku memasukkan gorengan ke dalam mulut, mengunyah perlahan sambil terus memikirkan cara bagaimana menguatkan diri ketika dia datang. Perutnya tidak kentara, apakah keguguran?"Sayang, besok jalan-jalan, yuk!" ajak Ferdila tanpa melihat padaku."Ke mana?""Mall."Aku mengangguk sedikit senang. Semoga saja besok dan ke depannya tidak harus bertemu Vidia atau pun Shella. Apa pun yang direncanakan bisa saja batal jika Allah berkehendak.***Aku berusaha lari masuk kamar meski begitu lambat sementar
Saat Ferdila sedang sibuk memilih baju, aku mengedarkan pandangan. Sebenarnya tanpa alasan karena ini murni keinginan hati.Di toko sepatu yang tidak jauh dari tpatku berdiri, terlihat seorang perempuan yang berpakaian sedikit seksi. Dia melingkarkan tangan di lengan lelaki bernama Falen. Mungkin saja mereka pacaran."Sayang, ini bagus gak?" tanya Ferdila tiba-tiba. Sejak baikan dengannya, lelaki itu seakan menjelma sosok hantu yang bisa muncul tiba-tiba.Aku hanya mengangguk."Kamu gak belanja?" tanyanya lagi."Sepatu saja. Lagian aku malas kalau harus belanja dalam keadaan lapar." Aku menjawab asal. Ferdila tersenyum, kemudian pamit ke toilet sebentar. Untung saja ada kursi tunggu, jadi aku bisa menjatuhkan bonot di sana.Tiba-tiba dua orang tadi lewat di depanku dengan mengobrol serius. Dari lekuk tubuh terlihat seperti Vidia, tetapi dia memakai masker."Sayang, mau beli sepatu branded," rengek perempuan itu sambil menyenderk
"Kamu mau nanya apa, Fer? Kayak lagi bingung banget gitu mukanya."Napas kasar diembuskan Ferdila. Aku menunggu masih dengan debar tak menentu di dada. Rasa penasaran membelenggu jiwa. Lelaki itu melangkah mendekat."Kamu jangan tersinggung. Tiba-tiba saja pertanyaan ini muncul dibenak setelah kamu membahas tentang Vidia.""Iya, aku gak akan tersinggung, tapi kamu mau nanya apa, Fer? Jangan lama gitu ini jantung bisa berhenti berdetak nanti.""Santai aja, Din. Ini pertanyaan yang tidak wajib kamu jawab kalau tidak tahu.""Mana bisa santai kalau kamu aja muka bingung gitu. Cepat katakan!" desakku."Kenapa aku bisa kenal bahkan menikah dengan Vidia?"Pertanyaan macam apa ini?"Masalah kenal bahkan menikah aku sama sekali tidak tahu. Satu yang pasti adalah kanu membawa perempuan itu ke sini dalam keadaan lagi hamil anak kamu. Katanya cinta pertama."Ferdila menatapku tidak percaya. Dahinya berkerut bukti pikiran masih
Kami duduk saling berhadapan di ruang tengah. Vidia melirik sinis sekilas padaku kemudian menyandarkan kepala di bahu Ferdila. Pandai sekali perempuan itu memporak-porandakan hatiku."Aku kembali demi suami dan jika Ardina tidak setuju ...." Pelakor itu seperti sengaja menggantung kalimatnya."Jika tidak setuju kenapa?" Ferdila mewakili pertanyaan. Sontak wajah Vidia dibuat seimut mungkin."Aku mengerti." Lelaki itu berdiri. Netra kami saling beradu. "Jika kamu tidak mau menerima kehadiran Vidia, siap-siap menanggung akibatnya!"Bagai disambar petir, hati terluka begitu dalam. Tidak lagi kutemukan sosok lembut sejakntiga bulan terakhir bahkan baru pagi tadi kami belanja bersama dengan bahagia.Selama perempuan itu berdiri di sisi suamiku, dia akan berlaku kasar. Tidak akan ada lagi ketenangan dalam rumah ini bahkan mungkin setiap detik hanya akan berlalu bersama luka."Satu lagi, jika kamu ada niat jahat untuk Vidia, maka tepis karena aku ak
Sepagi ini aku mengemasi beberapa lembar pakaian dan memasukkannya ke dalam koper berwarna hitam bergambar kucing. Dada bergemuruh hebat karena ini adalah sehari sebelum pergulatan cantik berlangsung.Ketika mendengar suara Ferdila yang memanggilku makan, aku ke luar sambil menyeret koper. Pandangannya fokus padaku dengan raut sedikit bingung."Kamu mau ke mana, Din?""Ke rumah bibi, beliau minta ditemani dua atau tiga hari ke depan.""Yah, aku kesepian dong!" lirih Vidia sambil memanyunkan bibir. Meski berkata begitu tetap saja tidak bisa menembunyikan binar bahagia di matanya.Sementara Ferdila, dia sama sekali tidak bertanya lebih jauh atau mungkin sekadar menawari tumpangan. Dia hanya bergeming di tempat. Aku dengan perasaan sedih meraih tangan itu, kemudian mencium takzim."Gak makan dulu? Ini sudah matang, loh." Suara Ferdila terdengar berat. Aku hanya bisa menggeleng lemah, kemudian kaki melangkah ke luar.Sekilas aku melihat b
"Mudah sekali melukai hati perempuan malang itu. Aku bahkan tidak usah berpikir seribu kali agar dia pergi dari sini!"—Vidia Maida."Hari ini gak usah ke klinik dulu, aku butuh istirahat.""Ya sudah, kalau begitu aku pamit."Setelah mobil Ferdila benar-benar pergi meninggalkan rumah, aku tertawa kecil mengingat kejadian sebelumnya tepat saat mengirim foto pada Ardina. Sebenarnya tidak berniat seperti itu, hanya saja suamiku mengirim pesan yang tidak seharusnya ada.Kepergian perempuan itu dari rumah ini adalah awal yang baik dan aku bisa bebas bertemu Falen. Ya, Falen adalah kekasihku yang pernah menjamah Ardina.Jujur saja saat itu aku merasakan cemburu luar biasa, tetapi demu menghancurkan perempuan itu serta merebut harta suaminya, aku harus mengalah.Kehamilan kemarin juga terjadi karena ulah Falen. Jadi, semua itu jebakan agar Ferdila gegas menikahiku. Bagaimana mungkin lelaki mandul bisa memiliki keturunan?Tentang kegugur
Aku Vidia Maida. Jangan sebut nama itu jika tidak memiliki nyali yang kuat apalagi ada niat bermain denganku. Bukan maksud menyombongkan diri karena siapa pun yang telah masuk perangkap akan sulit melepaskan diri.Falen sudah harus pulang setelah menyusun banyak sekali rencana. Lagi pula hari ini Ferdila akan kembali lebih cepat. Dia sedang dalam perjalanan.Kalung emas dengan hiasan membentuk huruf F dilengkapi tiga permata indah sudah ada dalam genggaman. Aku mengenakannya sambil terus mengingat aktivitas kami tadi.Satu jam sebelumnya..."Apa rencana kita, Sayang?" tanyaku dengan raut penasaran.Falen tersenyum. Saking manisnya ingin segera kubabat habis. Namun, sekarang bukan saatnya bercumbu rayu.Falen memperbaiki posisi duduk, lantas berkata, "Pertama, kita harus menjebak Ardina agar Ferdila semakin benci padanya. Aku akan menggodanya, kamu tidak boleh cemburu.""Benar, aku juga tidak bisa terlalu memanfaatkan mbah yang memelet
Mobil sudah terparkir di depan rumah. Aku diantar seseorang yang bisa diajak kerja sama untuk menyingkirkan perempuan tidak tahu diri itu. Rumah yang lumayan besar ini tidak seharusnya ditempati pezina.Aku melangkah masuk seraya menyeret kasar koper hitam bergambar kucing sementara mobil yang dikemudi seorang lelaki itu sudah pergi menjauh. Aku tersenyum kecut menyadari tidak ada mobil Ferdila di sini."Kita akan lihat siapa yang menjadi pecundang!" gumamku dengan nada mengejek.Aku mengetuk pintu rumah. Saat melirik jam masih pukul setengah delapan pagi. Belum ada respon. Kembali aku mengetuk dengan emosi. "Vidia, buka pintunya!" teriakku.Tidak lama kemudian daun pintu terbuka, seorang perempuan ke luar dari sana. Dia memandang tidak suda, aku membalas dengan seringai menakutkan. "Kenapa buka pintu aja pake lama, hah? Kamu dandan dulu apa buat jebakan?" omelku sambil mendorong kasar bahunya.Karena merasa tidak terima, Vidia mencekal lenganku er