Mobil sudah terparkir di depan rumah. Aku diantar seseorang yang bisa diajak kerja sama untuk menyingkirkan perempuan tidak tahu diri itu. Rumah yang lumayan besar ini tidak seharusnya ditempati pezina.
Aku melangkah masuk seraya menyeret kasar koper hitam bergambar kucing sementara mobil yang dikemudi seorang lelaki itu sudah pergi menjauh. Aku tersenyum kecut menyadari tidak ada mobil Ferdila di sini.
"Kita akan lihat siapa yang menjadi pecundang!" gumamku dengan nada mengejek.
Aku mengetuk pintu rumah. Saat melirik jam masih pukul setengah delapan pagi. Belum ada respon. Kembali aku mengetuk dengan emosi. "Vidia, buka pintunya!" teriakku.
Tidak lama kemudian daun pintu terbuka, seorang perempuan ke luar dari sana. Dia memandang tidak suda, aku membalas dengan seringai menakutkan. "Kenapa buka pintu aja pake lama, hah? Kamu dandan dulu apa buat jebakan?" omelku sambil mendorong kasar bahunya.
Karena merasa tidak terima, Vidia mencekal lenganku er
Langkahku terhenti ketika ingat belum memakai jaket kesayangan yang warnanya hitam. Kembali kubuka pintu rumah pelan, masuk dengan memakai sepatu sambil mengintip apa yang dilakukan perempuan itu.Dia masih di dapur, aku gegas masuk kamar mengenakan jaket dan kembali ke luar dengan mengendap-endap."Falen, gimana sekarang?" tanya Vidia dengan suara manja."Aku memang masih menyimpan rekaman video kalian malam itu meski hati perih," jawab Vidia lagi."Baiklah, aku akan menyebarkannya setelah ini." Selesai mengucapkan itu aku langsung merampas ponsel Vidia dan membawanya ke luar. Dia mengejarku, tetapi tidak berhasil.Tepat di depan rumah, dia berteriak lantang. "Berhenti atau aku akan melakukan sesuatu!""Melakukan apa?""Menyebar videomu yang terjamah lelaki lain!""Selain di ponsel ini apa ada salinannya?"Perempuan itu diam, dari matanya sudah jelas memikirkan sesuatu. Aku membanting kasar ponsel itu kemudian menginjak
Lelaki yang sedang duduk di kursi setir bernama Naren. Dia adalah sahabat yang selalu membantuku jika ada masalah. Akan tetapi, baru hari ini dia ikut andil karena kesibukan yang mengharuskannya fokus.Sudut bibirnya terangkat tipis sementara aku masih diam menunggu ide apa yang akan diutarakan Naren."Idenya mudah menurutku, tetapi mungkin sedikit berat kamu lakukan.""Apa, Ren?""Bujuk Ferdila agar mau mempekerjakanku sebagai supir pribadimu. Ini akan mempermudah kerja kita, Din!"Aku ikut tersenyum sambil menatap lurus ke depan. Mobil terus membawa kami membelah jalan tanpa tujuan. Mungkin baiknya disebut hanya mutar-mutar saja.Sebelum pukul lima sore aku sudah tiba di rumah. Vidia yang berdiri di ruang tengah langsung menatapku tajam. Dia melontarkan banyak pertanyaan sampai aku tidak tahu harus menjawab apa."Kamu budeg, ya?!"Sekali lagi aku tidak peduli, malah langsung masuk kamar untuk mandi. Urusan masak b
POV VidiaBagaimana pun caranya harus aku yang menang kali ini! batinku sambil melotot pada Ardina.Ferdila menarik napas panjang, kemudian mengembuskan kasar. Aku melingkarkan tangan di lengannya agar dia luluh. Jika Keyra tidak bisa masuk rumah ini, sulit untuk memperhatikan gerak-gerik Ardina apalagi perempuan itu kembali dalam keadaan berbeda.Bahkan bisa dikata 180°. Dia semakin cerdas, tangkas bahkan bisa dibilang kasar. Tidak ada lagi Ardina yang lugu dan aku penasaran sebenarnya kemarin dia pergi ke mana?"Aku setuju jika kita punya supir pribadi sekalipun laki-laki. Dia bisa mengantar kamu atau Ardina ke luar. Jadi, aku tidak usah khawatir. Namun, orang itu harus bisa dipercaya tidak akan melepaskan hasrat bersama kalian."Keputusan Ferdila membuat hatiku panas seketika. Namun, ada sisi lain yang membahagiakan. Aku bisa merekam perbuatan mereka jika saja Ardina bermain bersama lelaki yang akan menjadi supir itu.Baiklah, kita ik
"Masak yang bener! Aku mau ke luar dulu!" Ardina berlalu setelah mengucapkan kalimat itu dengan langkah angkuhnya. Dia benar-benar berubah sekarang bahkan aku saja hampir mengalah jika tidak memikirkan harta."Ke mana?!" teriakku, tetapi tidak mendapat jawaban. Aku mengendap-endap untuk ke sekian kalinya seperti pencuri saja. Dia naik mobil diantar Naren dan pasti jauh. Jika dekat bisa saja jalan kaki atau naik motor.Aku merogoh kantong daster dan mengeluarkan ponsel. Setelah itu melakukan panggilan."Ada apa, Vid?""Ke sini buruan! Jangan lama-lama, kebetulan Ardina keluar!""Oke, Sayang."Panggilan telepon terputus, aku segera membersihkan diri untuk siap-siap tanpa perlu membereskan minyak yang tumpah tadi. Itu bukan salahku dan Ardina sendirilah yang seharusnya melakukan itu.Sekitar dua puluh menit berlalu, Falen sudah berada dalam kamarku. Kami melangkah beriringan ke luar sambil terus membahas tentang Ardina. Kedua alis
POV ArdinaDi meja makan kami berempat duduk saling berhadapan dengan Ferdila di sisiku. Sebenarnya Naren enggan masuk, tetapi suami tercinta menganggapnya adik sendiri. Untung saja masih ada satu kamar kosong jadi Naren tinggal di sini juga.Aku tahu Vidia menambahkan banyak garam saat masak tadi, tetapi untuk membuatnya kena marah tetap aku makan jadi akan sama-sama puas.Baru satu sendok dan belum mengunyah aku sudah menyemburkan makanan ke wajah Vidia yang membuatnya sontak berdiri. Tidak lupa melempar sendok padanya dengan wajah ketus.Ferdila ikut berdiri sementara Naren hanya diam menyaksikan."Ada apa, Sayang? Kenapa tiba-tiba marah begitu?" Ferdila berkata lembut. Tangannya memegang bahu yang aku tepis dengan kasar kemudian menatap sinis ke arah Vidia. Trik ini pula untuk menghindari tidur seranjang dengan Ferdila.Vidia menggrebek meja makan. Naren sedikit terperanjat, tetapi hanya bisa diam sambil menikmati makan. Berarti ha
Aku hanya diam menantikan kata-kata yang akan disampaikan Vidia. Ferdila melipat kedua tangan di depan dada sementara perempuan itu terlihat mengatur napas."Cepat katakan, Vid!" titah Ferdila."Apa kamu tidak ingat waktu kita mendapati Ardina sedang berpeluh dengan lelaki asing?"Ferdila spontan menolehku, tetapi hanya sekilas. "Lalu kenapa?""Aku lebih baik darinya, Fer. Buktinya tidak sampai melakukan itu sementara mereka semalaman berdua di rumah.""Tapi kalau saja kami tidak datang, kamu pasti sudah berhasil memaksa Naren, 'kan?"Mata Vidia membulat, napasnya kian memburu. Sebenarnya aku tahu alasan kenapa dia seperti itu. Murni bukan karena takut dicerai, tetapi sepertinya diam lebih baik saat ini.Perempuan berambut pirang itu tersenyum sekilas. "Seharusnya Ardina yang diceraikan karena sudah selingkuh darimu, Fer. Bahkan tidur dengan Falen!""Tapi, kamu juga mengkhianatiku dengan menikahi Vidia bahkan kalian melakukan h
Pov Author Matahari sudah kembali memancarkan sinarnya yang keemasan. Semua penghuni rumah sudah bangun dan masing-masing hendak melakukan aktivitasnya. Rabu ini stok makanan di dapur sudah menipis dan itu mengharuskan salah satu dari mereka untuk pergi belanja. Perempuan yang dipanggil Ardina tersenyum saat melirik ke jam dinding, kaki jenjangnya mulai melangkah menuju kamar utama dan mengetuk perlahan. Suaranya terkesan datar karena perempuan itu memang terkenal dengan sikap dinginnya. Daun pintu mulai terbuka pada ketukan ke tiga. Dua perempuan itu saling menatap tajam. "Ke pasar belanja! Stok di dapur sudah hampir habis, nanti kamu diantar Naren!" titah Ardina sambil melipat kedua tangan di depan dada. "Gak mau, aku sibuk!" jawab Vidia hendak menutup pintu, tetapi Ardina mencegahnya. Pintu kembali terbuka lebar disertai anggukan Vidia dengan pasrah. Sebenarnya bukan pasrah, tetapi dia malas berdebat dengan Ardina. Perempuan b
Sekumpulan preman tadi sudah berdiri di hadapan Ardina. Mereka menyerahkan semua barang curian itu, kemudian pulang dengan membawa amplop cokelat berisi uang. Perempuan itu melangkah masuk kamar sambil tertawa kecil.Semua barang dimasukkan dalam lemari agar tidak ketahuan. Tidak lama setelah itu terdengar suara berisik dari luar, dia mengintip dan melihat Vidia, Naren dan tiga orang lainnya yang langsung pulang begitu mobil terparkir di pelataran rumah."Mana belanjaannya?""Gak usah nanya!" teriak Vidia dengan maskara yang mulai belepotan. Ardina menahan tawa, beruntung tadi sudah menyuruh orang lain belanja di pasar. Dasar bodoh!"Lah, kenapa?""Dia kecopetan, Nya. Waktu ke pasar tadi kami sempat ditahan sama perampok. Tas juga perhiasanya Nyonya Vidia dibawa kabur. Jadinya gak sempat belanja." Naren yang menjelaskan. Jelas sekali di mata lelaki itu ada binar kebahagiaan.Ardina tersenyum. "Sudah, tak apa. Tadi juga perasaanku