Share

Bab 2 - Cincin Petaka

"Perjodohan dengan seorang borjuis mungkin jadi impian banyak orang, tapi itu tak berlaku untukku."

Carter adalah marga dari keluarga yang dikenal sebagai pemegang saham terbesar di Dailec Corp. yaitu Liam Carter, sejak delapan tahun yang lalu. Liam hidup bersama putra sulungnya Davine Carter, serta putri bungsu Elleia Carter.

Keluarga mereka dahulu bukan apa-apa, bahkan untuk membeli sepotong roti harus bekerja siang malam tanpa henti. Tapi setelah berhasil menduduki posisi tertinggi di Dailec Corp, semuanya berubah, mereka terpandang, terkenal, dan poster inspirasi lika-liku kehidupan Liam terpampang dimana-mana sebagai motivasi masyarakat.

Hanya saja kehidupan mereka tak sebersih yang orang lain lihat. Mereka mungkin berpikir, Liam yang cerdas dan pekerja keras bisa bangkit dari kehidupan kelam melalui berbagai tantangan adil.

Liam naik ke puncak kejayaan bersama anak-anaknya melalui cara kotor—yang tak lain adalah membunuh seluruh keluarga besar pemegang saham Dailec sebelumnya, kemudian meninggalkan konflik yang membuat keluarga naas itu dibenci.

Elia masih begitu ingat beberapa tahun yang lalu, kepala keluarga, istri, dan sepasang kakak beradik dibunuh secara keji di depan matanya. Kala itu Davine baru berusia 11 tahun dan dirinya satu tahun lebih muda, tapi telah diajarkan secara langsung cara menyelaraskan gerakan pisau ketika mengiris leher seseorang atau titik bidikan pistol.

Itu pengalaman pertama Elia melihat pembunuhan yang dilakukan langsung oleh sang ayah, dan Davine yang perlahan mulai mengikuti jejaknya.

Elia sadar perbuatan itu tidak benar, tapi ia tak bisa membantah apalagi menghalangi. Sejak kecil dibiasakan hidup seperti itu, membuatnya terbiasa dengan sendiri. Meski begitu ia tetap bukan sosok yang berjiwa pembunuh—ia tidak bisa, tidak pernah, dan tidak akan membunuh siapapun.

Cukup dengan melihat ulah kakak dan ayah saja.

Dalam keluarga ini, Elia bergerak sebagai boneka yang diatur oleh ayahnya. Ia kerap menjadi mata-mata untuk mengetahui posisi musuh— seperti berpura-pura tertarik pada musuh, apabila pria, lalu menguntit ke toilet apabila wanita, dan masih banyak lagi.

Namun tugasnya yang kali ini sudah sangat keterlaluan. Pria itu memintanya untuk menikah dengan orang asing—pemilik Law's Corp, dengan saham jauh lebih besar dibanding Dailec, demi mengambil alih kuasa dan harta untuk merebut posisi tertinggi di Narcist.

Narcist sendiri adalah komunitas gangster terbesar yang dibentuk oleh sekumpulan komplotan mafia besar tanpa diketahui identitas pimpinan tertingginya. Tak hanya mengurusi peredaran narkoba, beberapa tingkat kejahatan level tinggi berada dibawah naungannya.

Liam berencana merampas Narcist karena komunitas itu punya pengaruh super besar di dunia gelap. Anggotanya berasal dari kalangan manapun, termasuk menteri, polisi, hingga orang kepercayaan presiden sekalipun. Sehingga jika ia bisa menaklukan Narcist, dunia seakan patuh padanya.

Pria pemilik Law's Corp. dianggap sasaran paling mampu dipermainkan oleh Liam, sebab meski berhasil memajukan perusahannya sendiri, dia masih terlalu muda dan belum cukup pengalaman. Liam merasa jauh lebih hebat darinya.

Namanya Lawrence, gemar memakai pakaian formal seakan seluruh kegiatan yang dilaluinya bersifat resmi dan tertata. Sekalipun itu kencan pertama dan kedua baginya.

Hari ini kencan ketiga kembali 'terpaksa' terlaksana. Sesuai prediksi Liam, Lawrence pasti melangkah sedikit lebih maju karena ketertarikannya pada Elia. Pria itu sungguhan melamarnya—iya, lamaran di sebuah kafe bernuansa medieval eropa yang sudah disewa khusus hanya untuk mereka berdua.

Elia benar-benar bingung harus bereaksi seperti apa saat Lawrence tersenyum tulus sembari menyodorkan cincin perak berpadu belian, isi kepalanya justru memikirkan nasib Maxime—karena bahkan, ia belum sempat berpisah dengan kekasihnya itu.

"Kalau kau masih bingung, aku tak akan memaksa meminta jawaban sekarang. Kita baru beberapa kali bertemu, jadi aku paham." Lawrence mencoba rendah hati, ia jelas tak mau dianggap sebagai pria pemaksa yang tidak memikirkan perasaan perempuan.

Elia tertawa renyah, "Bukan begitu—hanya saja, aku merasa masih terlalu muda untuk menikah."

"Kita seumuran, Lia."

"Yah, kalau begitu kita sama-sama terlalu muda," ralatnya.

Lawrence menggigit bibir sembari menarik kembali kotak cincin, "Apa kau punya pacar?"

"A-apa?" Elia mulai panik, apakah ekspresinya sebegitu ketara sedang mengkhawatirkan Maxime?

Pria itu tertawa menyindir, "Tidak, aku hanya mencoba memahami raut wajahmu yang terlalu gugup berlebihan. Ku pikir kau sudah punya pacar."

Tepat, perkataannya sungguh tepat, dan ekspresi misterius yang ditunjukkan Lawrence sedikit aneh. Atau mungkin dia sudah tahu kalau Elia punya pacar.

Tapi mana mungkin, siapa yang memberi tahunya?

Elia panik, sedih, khawatir, gegabah, dan kalut. Ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Bahkan ketika terdengar suara ponsel berdering, secangkir kopi tak sengaja ditumpahkan. Tak butuh waktu lama, Elia segera pergi le toilet sembari mengangkat telepon sekaligus menghindari kegugupannya di depan Lawrence.

Nama kontak Davine terpampang di layar ponsel, seketika terdengar ancaman yang membuat sekujur tubuh merinding parah, "Elia, ingat nyawa Maxime kalau kau menolak lamaran Lawrence."

Gadis itu mendesah kesal, seandainya ia tak berada di tempat umum, sumpah serapah dan umpatan dilontarkan bersamaan, "Jangan mempermainkan nyawa orang lagi!"

"Itu pekerjaanku, adik tersayang." Davine tertawa maniak.

"Dave, aku akan—"

Davine memotong, "Jalankan saja perintahnya, jangan membuat masalah atau Maxime benar-benar akan jadi manekin baru," dia kembali mengakhiri kalimat dengan tawa gila.

Elia yang tak tahan mendengar tawa aneh seketika menutup ponselnya. Ia mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannnya perlahan. Mau bagaimanapun, nyawa Maxime lebih penting, ia tak akan membiarkan Davine berlaku gila.

Pernikahan dengan pria asing pun harus terlaksana.

Elia duduk dengan anggun setelah keluar dari toilet. Ia bersiap diri mengatakan penerimaan terhadap lamaran Lawrence, demi nyawa Maxime—iya, demi kekasihnya yang diambang jurang kematian dipandu iblis semacam Davine, "Lawrence, mungkin kita memang masih terlalu muda, tapi aku melihatmu sudah sangat siap dan mapan, jadi sepertinya tak perlu berpikir berulang kali untuk menerima ajakan menikah ini."

Sontak, Lawrence membulatkan mata, "Itu artinya kau bersedia?"

"Aku tak mau mengulang jawabanku."

Senyuman lebar seketika tersungging dihiasi lesung pipi yang indah. Lawrence dengan bersemangat menggenggam kedua tangan Elia, "Sekarang rencana kita setelahnya apa? memesan gaun? menyewa gedung?"

Elia berdehem, "Jangan terburu-buru, mari kita nyamankan diri lebih dulu."

"Bagaimana kalau sebulan?" Lawrence mengangguki ucapannya sendiri, "Sebulan menuju pernikahan kita."

To Be Continued...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status