Malapetaka dimulai karena dosa masa lalu, ketika nafas dibalas nafas, darah dibalas darah, dan nyawa dibalas nyawa. Elia Carter menderita akibat pembantaian keji yang dilakukan ayahnya terhadap keluarga Lawrence Rollan bertahun-tahun silam. Sesuatu yang membuat Lawrence memantapkan diri untuk balas dendam dengan cara menikahi Elia, dan menghancurkan keluarga Carter secara perlahan. Dendam yang amat egois itu menguasai kewarasan Lawrence—secara langsung menghancurkan fisik dan batin Elia pula. Lantas bagaimana hubungan mereka selanjutnya? akankah Lawrence tetap teguh pendirian untuk membinasakan keluarga istri yang sangat tulus mencintainya?
Lihat lebih banyakElia mendekam di dalam kamar usai mengantarkan makanan dari rumah Law, berlagak seolah tak terjadi apapun, padahal perasaannya amat kalut sekaligus penasaran.Ia memandang cermin kecil yang ada dalam genggaman, "Apa maksunya masa lalu dari keluarga kita dahulu? apakah pernah terjadi sesuatu antara ayah atau ibu dengan keluarga kandung Law?""Lalu, apa dia juga sudah tahu rencana-rencana jahat ayah untuk mengambil alih semua kepemilikannya?—mengapa pembicaraan mereka seolah menargetkan hal itu.""Dan apa maksudnya Law sedang mempersiapkan puncak permainannya? memangnya permainan apa yang akan dilakukan?!"Elia frustasi karena memikirkan banyak sekali tanda tanya di dalam kepalanya. Namun, ia tak berniat mengungkapkan hal itu terhadap sang ayah ataupun kakak lelakinya. Mereka justru akan mempersulit suasana dan menyusahkan dirinya.Law tampaknya lebih takut kalau ia salah faham soal keberadaan dia dan Ann dalam satu ruangan tanpa orang lain, walaupun Elia tahu sikap dan perasaan yang di
Malam itu, Law menegak wine pemberian John yang padahal hampir tidak pernah tersentuh selama beberapa bulan. Ia tidak suka alkohol, tapi bukan berarti tak mau mengkonsumsinya. Law akan minum pada malam-malam tertentu kalau memang dirinya sedang ingin. Kepalanya mulai pening setelah beberapa saat kemudian, sampai suara Ann yang mengetuk ruang kerjanya tak terdengar sama sekali. Wanita itu menutup pintu rapat-rapat saat melihat siluet Law berdiri di dekat jendela, "Law?" "Lawrence?" ulangnya. Pria itu abai, tak menghiraukan and kedatangan Ann. Atau mungkin alam bawah sadar telah mempengaruhi pikirannya secara penuh. "Gelap sekali, sedang apa kau?" komentar Ann sembari berjalan ke sudut ruangan, menghampiri sakelar lampu. Namun langkahnya terhenti saat Law mulai bicara. "Kepalaku pusing, jangan nyalakan lampunya, biarkan redup seperti ini." Ann menghela napas, kemudian kembali duduk ke meja kerja Law. Di sana pandangan matanya fokus terhadap sebuah potret manis antara sepasang peng
Elia tengah bersiap di depan cermin rias, walaupun sebenarnya ia tak sungguh-sungguh sedang berdandan, wanita itu malah terdiam sembari memandangi ponsel. Jujur, Elia sangat tidak bersemangat untuk pulang ke rumah sang ayah, di sana ia hanya akan mendapat tekanan secara terus menerus tanpa henti, tidak ada pula yang akan menenangkannya.Tapi kalau Law sudah tampak memaksa, ia bisa apa. Jika ditolak nanti, pasti akan berakhir dengan pertengkaran sama seperti sebelum-sebelumnya. Elia nyaman bersama Law, ia tak ingin punya masalah lagi dengan suaminya itu."Omong-omong cincinmu kemana? aku tidak lihat sama sekali akhir-akhir ini," tanya Law, turut bercermin membenahi surai legamnya."Oh, astaga! aku lupa menaruhnya!" Elia panik, ia hampir lupa dengan cincin nikah yang dilempar di telaga taman kota oleh Max. Ia lekas mencari alasan, "Mungkin masih di sekitar rumah, di kamar mandi atau tempat lain.""Jangan dilepas, nanti hilang." Law memperingati, ia tampak tidak terlalu mempermasalahkan
Law termenung di ruang pribadi miliknya, dalam gedung bertingkat Narcist. Ia kali ini tak sendirian, terdapat John dan En yang menemani. Mereka semula membicarakan masalah pekerjaan, namun semakin lama, justru merembet ke masalah-masalah lain. Terutama problematikan yang bermunculan usai Law memutuskan untuk menikahi anak pembunuh keluarga kandungnya. Sejauh ini John memandang ada perubahan dari sikap anak sahabat karibnya itu, terutama sejak keberadaan Elia mulai berarti di sekitarnya. "Elia itu bukan targetmu, dia juga sudah menderita selama melalui kehidupannya sejauh ini. Lebih baik cuci otaknya agar mau menjadi bagian dari kita, dengan begitu pula kau bisa lebih puas menghancurkan Liam—tanpa memikirkan perasaan perempuan itu," ungkap John menasehati pemikiran dangkal Law yang masih tak mampu melihat ketertarikan pada istrinya sendiri. "Aku akan mencobanya pelan-pelan." Law selalu percaya dengan apa yang dikatakan John, sehingga tiap saran yang diberikan selalu membuatnya yakin
"Law, kau ingin punya anak tidak?" Elia menarik selimut, menutup seluruh tubuh yang masih polos usai Law mengakhiri kegiatan di atasnya."Tentu, anak kembar lelaki dan perempuan," kata Law tanpa ragu.Elia menggigit bibir, "Secepatnya?""Kalau itu terserah padamu. Yang hamil, melahirkan, dan menyusui kan kau, jadi keputusannya ada di tanganmu," balas Law tenang dan bijak. Elia sudah berdebar tidak karuan, khawatir kalau mereka akan bertengkar lagi karena hal-hal sepele samacam ini.Ia berusaha semampunya untuk berani mengungkap fakta kondisi kesehatan organ kewanitaannya yang mulai kacau akibat konsumsi obat kontrasepsi secara overdosis.Elia meraih tangan Law untuk digenggam, sekaligus mengambil kepercayaannya setulus mungkin, "Kalau begitu kita tunda dulu ya, satu atau dua tahun lagi. Aku masih ingin menikmati masa awal-awal pernikahan seperti sekarang—tanpa banyak problematika, aku ingin kita terus seperti ini, selalu peduli dan saling menyayangi.""Baiklah jika itu maumu, aku hany
"Aku penasaran, kenapa tidak cerita sekarang? kau belum sepenuhnya percaya padaku ya?""Tidak, hanya menunggu waktu—lebih tepatnya membiarkan waktu yang menjelaskannya padamu"Elia mengulum bibir, tampaknya masa lalu Law benar-benar berat hingga tak bisa diungkapkan pada sembarang orang. "Kalau begitu aku yang mulai bercerita, mumpung ada yang mendengarkan," ungkapnya, mulai bercerita tanpa ragu, "Jadi, dulu sekali... entah kapan, bahkan saat ingatanku pun masih buram, ibuku ditemukan meninggal di tepi pantai. Tubuhnya sudah terseret ombak berkilo-kilo meter, sampai akhirnya terbawa arus ke pedesaan dekat pesisir. Badan ibu sudah kaku dan membiru saat pertama kali ditemukan oleh penduduk setempat."Law menatapnya aneh, "Itu memori yang pahit, mengapa kau tersenyum sambil mengenangnya? dan... kau bilang suka pada laut, padahal dia telah membunuh ibumu.""Itu memang memori pahit, tapi ibuku tersenyum saat ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa," meski samar, Elia masih ingat sekali pada
"Maxime Millian, ada yang mengunjungimu."Sipir lantas membuka sel tersebut, membawa Max pergi ke ruang tunggu meski dalam kondisi kebingungan mengenai siapa yang berkunjung, ia tidak punya siapapun untuk diharapkan, karena orang tuanya bahkan bilang tak mau menemuinya lagi sampai kapanpun.Max terkejut saat melihat keberadaan Law, raut wajahnya sontak berubah dingin.Lain dari Max, Law justru tampak santai. Ia menyodorkan makanan dalam kotak bekal yang memang sengaja disiapkan sendiri, "Bagaimana kabarmu? menyenangkan menginap di sini?""Jangan banyak basa-basi, mau apa kau kemari?" Max mendengar sindiran halus yang diungkapkan Law secara tidak langsung. Ia sama sekali tak tertarik dengan lelucon basi Law yang membawakannya makanan seolah mereka dekat sebagai kawan."Aku tidak punya maksud selain untuk melihat keadaanmu," elak Law, "Oh, iya. Kau tak mau tahu kabar Elia?"Max mengangkat wajah, tidak menjawab, namun seolah memberi kode kalau ia juga penasaran akan hal itu, hanya saja m
"Biar ku ingatkan lagi." Law berjalan arogan dengan pakaian hitam yang menutup seluruh tubuh bahkan hingga ujung kaki, tak lupa topeng untuk menyembunyikan wajahnya. Ia menelisik tiap orang yang berdiri membentuk barisan saling berhadapan tersebut dengan pandangan tajam.Orang-orang talam jajaran itu merupakan para ketua dari tiap divisi tim dalam Narcist, istilahnya mereka adalah para petinggi terpenting dalam susunan kepemimpinan Narcist. Semua berkumpul untuk mewakili komplotan masing-masing dan bertanggung jawab atas apa yang dijalankan dalam tiap misinya.Adapula Liam, si ketua tim pembunuh bayaran, dan Davine ketua tim peredaran obat-obatan terlarang juga narkotika.Law mengehentikan langkah tepat di depan Liam yang tidak menunjukkan wajah takut sama sekali meski timnya telah melakukan kesalahan besar—yang juga menjadi alasan dikumpulkannya mereka malam ini.Dibalik topeng, bibirnya tersungging miring."Narcist menjujung tinggi keberhasilan dan kepuasan klien, tapi kali ini tim
Lawrence kini telah menginjak usia tujuh belas, dia tumbuh semakin baik dengan postur tinggi dan badan yang bagus akibat rajin berolaharaga sesuai arahan sang ayah.Selain itu, Law juga gemar melakukan olahraga apapun, terutama basket. Ia mengikuti banyak sekali kompetisi basket lewat ekskul di sekolah. Dribble, lompatan, dan lemparan menuju ring membuat keringat bercucuran membasahi seluruh tubuh seakan terguyur hujan. Meski begitu, ia tak peduli, diambil alihnya lagi bola dari lawan untuk kembali mendapat poin.Law suka kemenangan saat benda bulat itu memasuki lingkar ring dengan sempurna dan sorakan para pendukungnya.Ia dan timnya pun ikut melakukan sorakan kegembiraan karena poin terus bertambah, meninggalkan tim lawan jauh dibelakang."Law!"Matanya seketika bergulir ke arah suara yang menyerukan namanya tersebut. Terlihat Ann di pinggir lapangan mengangkat sebotol air, mengisyaratkannya untuk datang ke sana.Law menerima dengan senang hati air dalam botol merah muda bergambar k
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.