Share

Mafia Dilarang Mencintai Siapapun
Mafia Dilarang Mencintai Siapapun
Author: Loserpryyy01

Bab 1 - Jodoh Dalam Duka

"Aku tidak mau dijodohkan!"

Salah satu indra pendengarannya memang terganggu, cukup merepotkan karena terkadang sesuatu tak bisa didengar dengan jelas. Namun kali ini, di situasi mencekam, suara gesekan ujung mata pisau beradu begitu nyaring, Elia merasa telingannya berfungsi sangat baik, padahal ia berharap tuli keseluruhan untuk sesaat ini saja.

Dalam kegelapan, kilauan pisau logam terlihat begitu jelas. Ujungnya runcing nan tajam, siap mengoyak apapun, termasuk pangkal lehernya yang kini menjadi sasaran utama.

Tepat ketika permukaan salah satu pisau menyentuh kulit, sensasi dingin segera menjalar. Tak berselang lama, darah segar mengucur akibat goresan kecil. Bukannya kesakitan, Elia justru merasa gatal dan ingin menggaruknya. Membuat goresan itu makin parah.

"Elia, sejauh ini kau tidak berguna. Apa salahnya sesekali menuruti ucapan ayah dan kakak tersayangmu ini."

Elia membantah sembari menatap tajam Davine, sosok kakak yang satu tahun lebih tua—si pengancam, ahli pisau, dan punya emosi yang cukup sensitif, "Aku selalu menurut, aku tidak pernah membantah! tapi kali ini tidak bisa..."

"Dasar gadis pembohong yang licik, aku selalu tahu kau menyeleweng dari perintah dan berlagak seolah sudah melaksanakannya dengan baik. Ingat, aku punya seribu mata di dekatmu."

"Kau selalu menuduh dan menyalahkanku! apapun masalahnya!" gadis itu balas menyerang dengan cara menancapkan kuku ke leher saudaranya, menancap dalam hingga tetesan darah mengucur.

Titik penyerangan keduanya sama-sama mengarah pada leher. Davine melempar kedua pisaunya ke sembarang arah, lalu mencengkeram leher atas sang adik, "Aku tak segan mencekikmu sampai sekarat."

Dari segi fisik pun seharusnya Davine bisa menang dalam hitungan detik, hanya saja ia masih menyadari kalau perkelahian ini cuma sekedar ancaman yang dibuatnya sendiri. Ia tak akan membunuh Elia sekalipun sudah dikuasai emosi hingga pucuk kepala memerah hampir meledak.

"Ayah! jangan diam saja, lihat orang gila ini!" Elia membanting tubuhnya sembari beringsut menjauh setelah merasa hampir mati tercekik.

Davine tidak membiarkan mangsanya lepas begitu saja, Elia dalam keadaan sempoyongan terus dikejar sampai tak sadar membuat ruangan kacau akibat tubrukan mereka yang tak terkendali.

"Davine cukup," ujar seseorang yang berdiri di ujung tangga. Pria itu menghela napas panjang melihat tingkah dua putra-putrinya yang sudah dewasa, dan sepatutnya tak pantas mengacaukan rumah, "Elia, kali ini kau harus menuruti permintaan kakakmu. Kita dalam kondisi terdesak dan sedang membutuhkan bantuan yang amat besar."

"Aku benci kalian seolah menjualku!" kata gadis itu sembari melempar tongkat golf didekatnya ke arah benda-benda antik dari kaca di atas rak.

Davine menahan diri untuk tidak mengamuk kala menyadari salah satu miniatur sepeda kesayangannya ikut hancur bersama benda lain akibat ulang sang adik. Ia hanya bereaksi menendang betis belakang Elia—namun dipastikan gadis itu mengalami patah tulang ringan, "Dengar bodoh, pria yang akan menikahimu itu kaya raya dan masih muda. Kita hanya memanfaatkan kuasa dan jaminannya untuk mendapat aset Narcits, setelah itu semua selesai, kau bebas mau bercerai atau apalah sesukamu."

"Itu seperti mempermainkan pernikahanku," keluh Elia, meratapi kondisi kakinya yang mulai mengalami sensasi mati rasa.

Davine mencibir, "Kau terlalu sok suci, sudah dua puluh tahun hidup seperti ini tidak perlu memikirkan moral dan mengikuti cara hidup orang lain. Jalankan saja takdirmu sesuka hati, jangan terlalu terikat, pernikahan bukan hal penting bagi orang seperti kita."

"Mudah kau bicara, Davine."

"Ingat Elia, kau bukan dewi, kau seorang iblis wanita," kata Davine diiringi tawa menyerupai psikopat gila, kenyataannya dia memang psikopat.

Ayah menuruni tangga dengan langkah pelan namun tegap dan penuh ancaman, kemudian duduk di kursi sembari menepuk area kosong di sampingnya, "Elia, kemari..."

Perintah sederhana itu telak, seakan buta melihat kondisi putrinya yang kesulitan bergerak.

Elia memaksakan diri berjalan dan duduk di sana, "Yang jelas aku tak mau menikah, apalagi dengan orang asing."

"Sudah berapa kali kalian bertemu?"

"Baru sekitar dua atau tiga kali. Lihat, sesingkat itu tak pantas jika langsung menikah."

Sang ayah tertawa, "Tapi dia tertarik padamu, dan memang itu rencana besar yang menjadi tujuan kita."

"Intinya ayah sama saja dengan Davine," matanya menatap tajam ke arah sang kakak lelaki yang terlihat berdiri di depan wastafel dapur, mencuci pisau yang sempat melukainya tadi, "Dulu kalian bilang aku boleh menyamankan diri lebih dulu dengan pria itu sebelum memutuskan kedepannya. Ternyata itu cuma tipuan."

"Karena jika tahu dari awal, kau pasti menolak."

"Sudah pasti."

"Sebenarnya ayah tahu alasan penolakanmu."

"Yah, Davine menguntit pacarku. Sudah ku duga kalian tahu tentang Maxime." Elia berusaha bereaksi sedatar mungkin. Menjadi anak kandung seorang gangster selalu mendapat ancaman dan tekanan apapun masalahnya. Bahkan untuk menjalin hubungan dengan seorang pria, ia harus sangat berhati-hati, "Dan ya, penolakan ini memang terjadi karena Maxime juga, aku mencintainya."

"Tidak ada yang namanya cinta, Elia sayang." Ayah tertawa, mirip dengan tawa Davine—karena mereka sama-sama psikopat gila. Di rumah ini hanya ada ibu yang waras, tapi sayangnya usia ibu tak bertahan lama karena mungkin tertekan dengan ulah ayah.

Elia sendiri tak menyangkal kalau ia pun sedikit gila akibat faktor keturunan ayahnya. Itu genetik, jadi ia tak mau menyalahkan diri.

Hanya saja level mereka berbeda-beda, Davine adalah malaikat pencabut nyawa, ayah merupakan dewa dari segala iblis, sementara dirinya cuma kucing hitam pembawa petaka.

"Itu istilah yang hanya dipakai keluarga kita, di luar sana seluruh orang punya cinta dan perasaan."

Davine tertawa keras dari dapur ketika mendengar kalimat tersebut.

"Yang jelas aku cuma suka pada Maxime, aku tidak akan berpaling pada pria lain sekalipun itu pemilik 500 cabang hotel dan 50 bandara. Lagipula aku masih terlalu muda untuk menikah. Tak pantas mendahului Davine si perjaka tua."

"Elia, aku mendengarmu sialan!" seru Davine

Segala keluh kesah gadis itu hanya dianggap angin lalu, sama sekali tak dipedulikan karena keputusan bukan milik Elia, melainkan milik satu-satunya orang tua, "Ayah sudah atur kencanmu minggu ini, kemungkinan besar dia akan mulai menyatakan perasaan atau justru melamarmu. Jadi mau tak mau sebaiknya kau turuti, atau pacarmu Maxime akan jadi pengganti manekin di kamar Davine." Pria itu tersenyum miring, "Kau tahu seberapa mengerikan kakakmu itu, sayang."

"Ayah sungguhan memaksaku? Ayah tega menikahkanku dengan orang asing yang sama sekali tak ku kenali?"

"Ayah cukup mengenalnya. Mungkin dia masih asing bagimu, tapi kenyataannya kau tak usah terlalu mengenalinya. Kau tidak perlu menyelesaikan ikatan pernikahan ini sampai akhir—hanya sampai tujuan kita tercapai sepenuhnya, setelah itu silahkan bercerai atau tetap melanjutkan, itupun jika dia masih mau denganmu," ungkapnya, penuh rencana misterius yang disusun runtut tanpa dapat terbaca sedikitpun, "Tapi demi menghindari masalah berkepanjangan, ayah punya beberapa saran. Kau dilarang punya keturunan darinya, luluh terlalu dalam padanya, apalagi sampai berkhianat dari kami. Akan lebih baik kalian bercerai setelah masalah selesai."

Detik itu juga, Elia menyadari jika dirinya sungguhan cuma boneka di keluarga mengerikan ini. Seluruh masa depannya sudah direncanakan dan tak dapat diubah sesuka hati.

To Be Continued...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status