Home / Thriller / Mafia Insyaf / Bab 31: Bayangan di Balik Nama

Share

Bab 31: Bayangan di Balik Nama

Author: Bang Thor
last update Last Updated: 2025-05-08 21:34:49

Anton terbangun di tempat asing. Cahaya putih redup menggantung di langit-langit, berkelip pelan. Ruangan itu kosong, kecuali ranjang lipat, wastafel kecil, dan cermin retak. Bau antiseptik tajam menusuk hidung.

Dia bergerak perlahan. Setiap tarikan napas membuat rusuknya berteriak. Luka-luka di tubuhnya sudah dibersihkan dan diperban. Tapi bukan itu yang membuatnya gelisah—melainkan kenyataan bahwa seseorang telah menyelamatkannya, tapi tidak membawanya pulang ke markas.

Pintu terbuka. Sosok mungil masuk, mengenakan hoodie hitam dan masker. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara.

“Lo sadar lebih cepat dari dugaan,” suara perempuan. Familiar.

Anton memicingkan mata. “Rina?”

Perempuan itu membuka maskernya. Bukan Rina. Tapi mirip.

“Nama gue Ayra,” katanya. “Gue kerja buat mereka. Tapi sekarang... gue gak yakin gue masih tahu siapa mereka.”

Anton bangkit duduk, meringis menahan sakit. “Mereka siapa?”

Ayra menatapnya lama. “Bayangan. Jaringan yang lo kira lo lawan dari luar... padahal lo
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Mafia Insyaf    Bab 31: Bayangan di Balik Nama

    Anton terbangun di tempat asing. Cahaya putih redup menggantung di langit-langit, berkelip pelan. Ruangan itu kosong, kecuali ranjang lipat, wastafel kecil, dan cermin retak. Bau antiseptik tajam menusuk hidung.Dia bergerak perlahan. Setiap tarikan napas membuat rusuknya berteriak. Luka-luka di tubuhnya sudah dibersihkan dan diperban. Tapi bukan itu yang membuatnya gelisah—melainkan kenyataan bahwa seseorang telah menyelamatkannya, tapi tidak membawanya pulang ke markas.Pintu terbuka. Sosok mungil masuk, mengenakan hoodie hitam dan masker. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara.“Lo sadar lebih cepat dari dugaan,” suara perempuan. Familiar.Anton memicingkan mata. “Rina?”Perempuan itu membuka maskernya. Bukan Rina. Tapi mirip.“Nama gue Ayra,” katanya. “Gue kerja buat mereka. Tapi sekarang... gue gak yakin gue masih tahu siapa mereka.”Anton bangkit duduk, meringis menahan sakit. “Mereka siapa?”Ayra menatapnya lama. “Bayangan. Jaringan yang lo kira lo lawan dari luar... padahal lo

  • Mafia Insyaf     Bab 30: Retakan di Tengah Lingkaran

    Markas bawah tanah malam itu sunyi. Terlalu sunyi. Biasanya Luki suka menyetel lagu rock klasik sambil bersih-bersih senjata, Yuda ribut soal algoritma pengamanan, dan Rina ngoceh sambil mengetik cepat. Tapi malam ini, semuanya diam. Bahkan suara kipas tua di pojok terdengar lebih keras dari biasanya. Anton duduk di depan papan strategi. Peta kota terbentang di dinding, dipenuhi pin warna dan catatan tempel. Tapi pandangannya kosong. Tangannya memegang pulpen, tapi tak menulis apa pun. Dia hanya duduk. Memikirkan ulang semuanya. " Tahu sesuatu, Om?" Rina akhirnya angkat suara. Suaranya pelan, tapi terasa menusuk. Anton menoleh, matanya tajam. Tapi bukan marah. Lebih ke... kecewa. "Om baru dapet info. Ada yang bocorin lokasi kita minggu lalu. Bukan sembarang bocoran. Ini kerjaan orang dalam. Orang yang ngerti pola gerak kita. Pola komunikasi kita." Yuda langsung berdiri. "Lu nuduh salah satu dari kita?" Anton menggeleng. "Gua gak nuduh. Gua nyari bukti. Tapi sekarang... gua

  • Mafia Insyaf    Bab 29: Kursi Panas dan Bayangan Keempat

    Gedung Reformasi Kota kembali sepi keesokan harinya, tapi Anton tahu ketenangan seperti itu beracun. Tak ada yang benar-benar tenang setelah rapat kemarin. Dan tak ada yang benar-benar bersih setelah bersalaman. Dia duduk di ruang markas baru, ruang bawah tanah toko elektronik milik kenalan lama Yuda. Tempat itu sempit, tapi aman. Tak ada kamera, tak ada sinyal bocor, dan yang lebih penting: tak ada rapat. Rina duduk di seberangnya, memutar ulang rekaman suara Direktur Audit kemarin. “...Sama seperti sekarang,” ulangnya pelan. “Kalimat terakhirnya sebelum keluar. Om yakin dia bukan cuma provokator?” Anton menggeleng. “Dia terlalu tenang buat sekadar provokator. Dia bukan cuma tahu sistem… dia bagian dari sistem paling dalam.” Yuda membuka peta jaringan lembaga. “Gua telusuri nama dia—Bayu Arwin. Dulunya komisaris di tiga proyek kota, tapi datanya bersih. Terlalu bersih. Semua fotonya identik. Semua wawancaranya kosong.” Luki bersandar di dinding. “Lu tahu siapa yang datanya t

  • Mafia Insyaf    Bab 28: Ular di Ruang Rapat

    Gedung Reformasi Kota berdiri menjulang di tengah kawasan elit. Dinding kacanya berkilau, interiornya dingin, penuh catatan-catatan rapi dan formalitas basa-basi yang menyamarkan satu hal: kekuasaan yang sedang bermain diam-diam. Hari itu, Anton hadir bukan sebagai pemburu, tapi sebagai bagian dari sistem yang ia incar. Diundang dalam rapat evaluasi komisi keamanan kota, bersama jajaran eksekutif, mantan pejabat militer, dan perwakilan dari sektor bisnis. Ia mengenakan jas yang sama seperti di forum—Armani, potongan sempurna, dasi biru gelap. Tapi kali ini, tak ada senyum di wajahnya. Di dalam ruangan kaca di lantai 23, para peserta mulai duduk. Nama-nama besar dari institusi yang dulu tak bisa disentuh: kepala dinas, CEO kontraktor pemerintah, tokoh publik yang katanya netral. Anton masuk terakhir, membawa map kecil dan satu pulpen hitam. Semua menoleh. Beberapa tersenyum sopan. Beberapa hanya mengangguk singkat. Tapi sorot mata mereka cukup jelas: tak nyaman, tak percaya, ata

  • Mafia Insyaf    Bab 27: Dari Jaket Kulit ke Jas Armani

    Pagi itu, seluruh kota bicara soal satu hal: pertemuan dua bayangan di Lapangan Bawah. Tak ada rekaman, tak ada siaran resmi, tapi berita menyebar seperti kebakaran di musim kemarau. Beberapa bilang mereka melihat dua sosok berdiri diam berhadapan. Ada yang bersumpah mendengar tembakan—walau tidak pernah terbukti. Yang pasti, organisasi Kota Gelap mendadak sunyi. Aset mereka lumpuh. Petinggi-petingginya menghilang seperti ditelan bumi. Dan Anton… berubah. --- Tiga hari setelah pertemuan itu, sebuah gedung megah di pusat kota menggelar forum reformasi kriminalitas urban. Di lobi, para pejabat dan pengusaha berlalu-lalang dengan setelan mahal, suara sepatu kulit bergema di lantai marmer, dan tawa basa-basi memenuhi ruangan. Tapi perhatian mereka langsung terpecah ketika seseorang memasuki aula utama. Tinggi, berwibawa, berjalan dengan langkah mantap. Jas hitam potongan rapi. Dasi biru gelap. Sepatu pantofel mengkilap. Rambut disisir licin ke belakang. Tidak ada pistol. Tidak ada l

  • Mafia Insyaf    Bab 26: Lapangan Bawah, Janji yang Akan Dipenuhi

    Lapangan Bawah bukan tempat istimewa. Dulu bekas stadion kecil yang dibongkar setengah jadi untuk proyek reklamasi yang tak pernah selesai. Kini hanya tanah lempung lebar, dikelilingi tiang-tiang beton yang runcing, ditumbuhi rumput liar dan sepi dari kehidupan. Dan malam ini, tanah mati itu akan jadi saksi dua nama besar yang akhirnya muncul dari bayangan. Anton berdiri di pinggir lapangan. Pakaian serba hitam, jaket tempur lamanya kembali dipakai, pistol diselipkan, tapi tak terlihat. Ia datang sendirian, tanpa Luki, Yuda, atau Rina. Sesuai aturan yang ia buat sendiri. Satu lawan satu. Tanpa bala bantuan. Tanpa trik. Hanya satu amplop data di tangan kirinya. Dan selembar gambar crayon dari Gendis di kantong dalam jaketnya. Langit malam mendung. Udara diam. Bahkan jangkrik pun seolah takut berbunyi. Tepat pukul 00.00, mobil hitam tua meluncur pelan ke pinggir lapangan. Satu orang keluar. Jas abu gelap. Sarung tangan hitam. Langkahnya tenang, seolah ini pertemuan bisnis bia

  • Mafia Insyaf    Bab 25: Gadis Kecil dan Sebuah Pertanyaan Besar

    Pagi hari, sebelum matahari benar-benar naik, Anton keluar sendirian dari gudang tua. Dia butuh udara. Butuh jeda dari strategi, senjata, dan kata-kata penuh beban.Langkahnya membawanya ke sebuah warung kecil yang tampaknya belum buka. Tapi di depannya, duduk seorang gadis kecil. Rambutnya dikepang dua, pipinya bulat, dan tangannya memegang roti sobek dengan cocolan cokelat di ujungnya.Anton melambat. Gadis itu menatapnya tanpa takut, justru dengan ekspresi penasaran dan… geli?“Om serem banget, kayak habis keluar dari film penjahat,” katanya polos.Anton mengangkat alis. “Om penjahat?”Gadis itu mengangguk sambil mengunyah. “Iya. Tapi kayaknya penjahat yang gak jahat-jahat amat. Soalnya masih bawa kopi.”Anton melihat ke tangan kanannya—dia memang tak sadar masih bawa termos kecil yang dibawanya dari markas.“Siapa nama kamu?” tanya Anton, nada suaranya melunak.---Anton berdiri sejenak di depan warung yang masih setengah tertutup itu, memandangi pintu kayu yang baru saja ditingga

  • Mafia Insyaf    Bab 24: Panggilan Terbuka untuk Sang Raja Bayangan

    Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas. Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam. Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?” Anton mengangguk. “Pagi.” “Pagi yang Om rancang buat perang?” tanyanya datar. Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang Om rancang untuk penutup.” Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?” “Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.” Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?” Anton menatapnya sejenak. “Enggak.” --- Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik. “Untuk ‘R’,

  • Mafia Insyaf    Bab 24: Panggilan Terbuka untuk Sang Raja Bayangan

    Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”Anton mengangguk. “Pagi.”“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”---Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.“Untuk ‘R’, dan semua yang mera

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status