Anton berdiri di balkon kecil di lantai dua warung kopinya. Dari sana, dia bisa melihat jalanan kota yang mulai sibuk di pagi hari. Orang-orang berlalu lalang, pedagang kaki lima mulai membuka lapak, dan suara kendaraan membentuk latar belakang yang samar. Tapi di balik hiruk-pikuk itu, Anton bisa merasakan ketegangan yang mulai merayap di bawah permukaan. Dunia bawah mulai bergolak. Semua orang tahu apa yang terjadi di gudang pelabuhan semalam—dan semua orang tahu bahwa Anton sudah kembali.
Luki muncul di balik pintu balkon, membawa dua cangkir kopi. Dia menyerahkan salah satunya pada Anton. "Orang-orang udah mulai ngomong," kata Luki sambil menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon. Anton menyeruput kopi hitamnya. "Mereka ngomong apa?" Luki menyeringai. "Ada yang bilang lu bakal ambil alih lagi. Ada yang bilang lu bakal ngehabisin Reza sama semua orangnya. Ada juga yang bilang lu cuma kasih peringatan buat nutupin kelemahan lu." Anton menyipitkan mata. "Mereka pikir gua lemah?" Luki tertawa kecil. "Lu tahu sendiri gimana orang-orang di dunia ini. Kalau mereka lihat celah sekecil apa pun, mereka bakal nyerang." Anton menatap ke jalanan di bawah. Di seberang jalan, sebuah mobil hitam berhenti cukup lama. Anton bisa melihat dua pria di dalam mobil itu, menatap langsung ke arahnya. Mata Anton menyipit. "Kelihatannya mereka udah mulai nyari celah itu." Luki melirik ke arah mobil itu. "Mau gua samperin?" Anton menggeleng pelan. "Belum. Biar mereka lihat gua nggak ngumpet." Mobil hitam itu akhirnya pergi setelah beberapa menit. Anton memperhatikan mobil itu sampai benar-benar hilang di tikungan jalan. Dia tahu persis apa artinya itu—Reza sedang mengawasi, mencoba mencari tahu langkah Anton berikutnya. Tapi Anton tidak peduli. Kali ini, dia yang memegang kendali. Yuda muncul dari dalam, wajahnya terlihat tegang. "Bos, ada kabar." Anton menatap Yuda dengan dingin. "Apa?" "Reza nggak pergi dari kota ini. Dia malah mulai ngumpulin orang-orang dari luar kota. Beberapa orang lama yang dulu kerja buat lu juga mulai mendekat ke dia." Anton menyipitkan mata. "Siapa aja?" "Anton Si Kribo, Faruk, sama Malik." Anton tertawa kecil, tapi tawanya dingin. "Orang-orang yang dulu gua kasih makan sekarang malah ikut orang yang nyoba ngebunuh gua?" Yuda mengangguk. "Kelihatannya Reza janjiin mereka posisi tinggi kalau dia berhasil ngambil alih kota ini." Anton menatap ke kejauhan, rahangnya mengeras. "Kalau mereka pikir bisa naik di atas gua, mereka bakal tahu siapa yang sebenarnya masih pegang kuasa." Luki menatap Anton, matanya menyipit. "Jadi, kita hajar mereka duluan?" Anton menatap Luki dalam-dalam. "Kita kasih peringatan yang lebih keras. Gua mau mereka tahu kalau gua nggak main-main." Anton berjalan masuk ke dalam warung kopi dan mengambil jaket kulitnya dari gantungan. Dia menyelipkan pistol ke balik jaketnya, lalu berbalik menatap Yuda dan Luki. "Kita mulai dari Faruk. Dia biasa nongkrong di bar lama di distrik selatan, kan?" Yuda mengangguk. "Iya. Dia suka main kartu di sana sama orang-orangnya." Anton menyeringai kecil. "Kalau gitu, ayo kita bikin permainan mereka berakhir malam ini." Mereka bertiga masuk ke dalam mobil. Luki menyetir, sementara Anton duduk di kursi penumpang, dan Yuda duduk di belakang. Mobil melaju cepat menuju distrik selatan. Jalanan di distrik itu lebih sempit dan gelap, dipenuhi gedung-gedung tua dan gang-gang sempit yang dipenuhi bayangan. Luki memarkir mobil di depan sebuah bar tua dengan lampu redup di atas pintunya. Musik jazz samar terdengar dari dalam. Anton turun dari mobil dan berjalan ke arah pintu, diikuti Luki dan Yuda. Dua penjaga di depan pintu menatap mereka dengan waspada. "Bos Faruk lagi nggak nerima tamu," kata salah satu penjaga. Anton menatap mereka dingin. "Kalau gitu, kasih tahu dia kalau Anton datang buat main kartu." Penjaga itu ragu sejenak, tapi akhirnya membuka pintu. Anton masuk ke dalam bar, matanya langsung menyapu ruangan. Di pojok ruangan, Faruk duduk di meja bundar, tertawa bersama tiga orang lainnya sambil memegang segelas wiski. Anton berjalan ke arah meja itu. Begitu Faruk melihat Anton, tawanya langsung terhenti. Wajahnya menegang. "Anton…" Anton duduk di kursi di seberang Faruk, menyandarkan punggung ke kursi dengan santai. "Faruk. Udah lama nggak ketemu." Faruk menelan ludah. "Gua nggak nyangka lu bakal dateng ke sini." Anton menyeringai. "Kenapa? Lu pikir gua bakal diem aja waktu lu ikut sama Reza?" Faruk mencoba tersenyum, tapi jelas terlihat ketakutan di matanya. "Ini… cuma urusan bisnis, Ton. Reza kasih tawaran bagus, dan gua—" Sret! Anton menarik pisau lipat dari sakunya dan menancapkannya ke meja, hanya beberapa inci dari tangan Faruk. Suara pisau yang menusuk kayu membuat ruangan langsung sunyi. Semua mata tertuju pada Anton dan Faruk. "Lu pikir gua bakal ngelihat ini sebagai urusan bisnis?" suara Anton rendah, dingin, dan penuh ancaman. Faruk terdiam, napasnya memburu. "T-tunggu… Anton, kita bisa bicara baik-baik…" Anton berdiri, mencondongkan tubuh ke arah Faruk. "Dengar baik-baik, Faruk. Kalau gua lihat lu berdiri di sisi Reza satu kali lagi… lu bakal kehilangan lebih dari sekadar jari tangan." Faruk menelan ludah. "Oke… o-oke… gua ngerti…" Anton mencabut pisaunya dari meja, lalu melangkah pergi. Tapi sebelum keluar, dia berbalik dan menatap semua orang di dalam bar. "Beri tahu Reza… Anton nggak pernah kalah. Kalau dia nyoba ngambil alih kota ini, dia bakal tahu seberapa dalam gua bisa main." Anton berjalan keluar diikuti Luki dan Yuda. Begitu mereka sampai di mobil, Luki tertawa pelan. "Lu lihat muka Faruk tadi? Kayaknya dia hampir ngompol." Anton tersenyum tipis, tapi matanya tetap dingin. "Dia bakal ngompol beneran kalau Reza nyoba cari masalah lagi." Yuda bersandar ke jok belakang. "Masalahnya, gua nggak yakin Reza bakal nyerah begitu aja." Anton menatap lurus ke depan. "Itu artinya kita harus siap buat perang besar." Luki menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraan ke jalanan kota yang mulai gelap. Anton menatap keluar jendela, pikirannya mulai merancang langkah berikutnya. Reza dan orang-orangnya mungkin merasa punya kesempatan untuk naik ke atas, tapi Anton tahu cara kerja dunia ini. Di dunia bawah, kekuasaan tidak pernah diberikan—itu diambil dengan darah dan ketakutan. Dan jika mereka pikir Anton sudah kehilangan kendali, maka mereka baru saja membuat kesalahan terbesar dalam hidup mereka. Anton tersenyum kecil, tapi senyuman itu penuh dengan bahaya. "Kalau mereka mau perang, kita kasih mereka perang." Mobil melaju pelan di jalanan kota yang mulai gelap. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya samar di kaca mobil, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang bergerak mengikuti irama jalanan. Anton duduk diam di kursi penumpang, matanya menatap kosong ke luar jendela. Luki menyetir dengan tenang, sementara Yuda duduk di belakang, sesekali melirik ke arah Anton melalui kaca spion. "Gua nggak ngerti satu hal," kata Yuda akhirnya, memecah keheningan di dalam mobil. Anton tidak menoleh. "Apa?" "Kalau lu udah bikin Faruk ketakutan setengah mati, kenapa lu nggak langsung beresin dia sekalian?" Anton menyipitkan mata, memandang ke jalanan yang mulai sepi. "Karena gua nggak nyari masalah kecil. Gua nyari sumbernya." Yuda tertawa kecil. "Dan sumbernya jelas Reza." Anton mengangguk pelan. "Reza bukan masalahnya. Masalahnya adalah orang di belakang Reza." Luki melirik ke arah Anton. "Maksud lu?" Anton menghela napas panjang. "Reza nggak cukup pintar buat ngatur semua ini sendiri. Dia bukan tipe yang bikin rencana besar atau punya strategi yang terarah. Seseorang ngedorong dia ke posisi ini." Yuda menatap Anton dari kaca spion, matanya menyipit. "Lu pikir ada orang yang ngatur Reza dari belakang?" Anton menatap ke depan, wajahnya dingin. "Nggak cuma ngatur. Orang itu pakai Reza buat mancing gua keluar." Luki terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Kalau itu benar… berarti orang ini tahu siapa lu sebenarnya." Anton tersenyum tipis. "Dan itu artinya dia tahu gua bakal datang mencarinya." Tiba-tiba, ponsel Anton bergetar di sakunya. Anton mengambilnya dan melihat nomor tak dikenal di layar. Dia menatap ponsel itu sebentar sebelum akhirnya mengangkatnya. "Anton," kata suara di seberang telepon. Suara itu rendah dan terkontrol, penuh ketenangan yang mencurigakan. "Siapa ini?" tanya Anton dengan nada dingin. Orang di seberang telepon tertawa pelan. "Akhirnya kita bisa bicara. Gua udah nunggu momen ini sejak lama." Anton menyipitkan mata. "Kalau lu nyari masalah, gua bakal datang langsung ke tempat lu." "Tenang, Anton. Ini belum waktunya buat perang besar. Tapi kalau lu penasaran siapa yang nyusun semua ini…" Anton menegang. "Siapa?" "Kenapa gua kasih tahu sekarang? Lebih baik kita main dulu sebentar. Gua bakal kasih lu petunjuk kecil. Temui gua di gudang tua di distrik utara besok malam, jam sebelas. Datang sendiri… atau jangan datang sama sekali." Telepon terputus. Anton menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. Luki melirik Anton. "Siapa?" Anton menyimpan ponselnya kembali ke saku jaket. "Gua nggak tahu… tapi gua bakal cari tahu." Yuda duduk tegak di kursinya. "Kalau ini jebakan?" Anton menatap ke depan, matanya dingin dan tajam. "Kalau ini jebakan, gua bakal pastiin yang masang jebakan itu nggak bakal hidup buat nyoba lagi." Luki tersenyum samar. "Kayaknya bakal jadi malam yang panjang." Anton tersenyum kecil, tapi sorot matanya dingin. "Kalau mereka pikir gua bakal main aman… mereka nggak tahu siapa Anton sebenarnya." Mobil melaju semakin cepat, menembus gelapnya malam yang semakin sunyi. Di kejauhan, lampu-lampu kota berkedip samar, seolah menjadi saksi bisu dari badai yang sebentar lagi akan meledak. Anton tahu, ini belum selesai. Ini baru permulaan. Dan kali ini, dia tidak akan sekadar bertahan—dia akan memburu orang di balik semua ini sampai ke akar-akarnya. Dan jika orang itu cukup berani untuk memancing Anton keluar dari bayang-bayang… maka dia juga harus siap menerima konsekuensinya.Pagi belum benar-benar terang saat mobil Anton berhenti di depan rumah tua dekat sungai. Bangunannya reot, berlumut, dengan cat terkelupas dan pagar kayu yang hampir roboh. Tapi sesuatu di tempat itu terasa… terlalu tenang. Luki turun duluan, memeriksa sekitar. “Nggak ada kamera, nggak ada gerakan. Tapi tempat kayak gini biasanya nyimpen sesuatu. Atau seseorang.” Yudha turun sambil membawa alat pendeteksi logam dan pelacak sinyal kecil. “Kalau ada jebakan, biasanya nggak jauh dari ruang utama. Mereka suka sembunyiin sesuatu yang kelihatan gampang tapi dijaga mati-matian.” Anton berdiri di depan pintu, tangannya sudah menyentuh gagang. Tapi belum membuka. Ia diam, seperti mendengarkan rumah itu sendiri bernapas. Rina mendekat pelan, berdiri di sampingnya. “Om, kita yakin ini bukan jebakan?” “Nggak yakin,” jawab Anton. “Tapi kita harus tetep masuk dan jangan lupa tetep waspada.” --- Begitu pintu terbuka, bau kayu lembap dan cat tua langsung menyeruak. Langit-langit rendah,
Anton duduk di depan radio tua yang masih mereka simpan sejak markas pertama. Suara statis mendominasi frekuensi. Tak ada laporan. Tak ada kabar. Satu per satu, saluran komunikasi dengan para informan menghilang. Rina masuk ke ruangan sambil membawa tablet. Wajahnya pucat, tapi tetap berusaha tenang. "Om, tiga akun yang biasa kita pakai buat koordinasi... semuanya dikunci. Dan yang lebih aneh, satu jam sebelum itu, salah satu saksi kita ngirim pesan terakhir: 'Mereka udah masuk'. Setelah itu hilang." Anton menatap layar. "Berarti mereka pakai sistem Silencio buat bungkam semua suara sebelum kita bisa bicara." Luki masuk tergesa-gesa, membawa map cetak dari kantor pengacara independen. "Ini lebih gila dari yang kita kira. Dua jurnalis investigasi yang bantu kita... hilang. Satu katanya kabur ke luar negeri, satu lagi 'mengundurkan diri' mendadak. Kayak semua orang dapet memo buat mundur." Yudha mengangguk. "Ada tekanan dari atas. Bukan cuma Kota Gelap. Tapi sisa dari jaringan
Di tengah malam yang dingin, gudang markas kembali terisi oleh bunyi lembaran kertas yang dibuka, desisan mesin scanner, dan aroma kopi pahit yang sudah tidak sempat dinikmati. Koper yang mereka bawa dari perbukitan kini terbuka di tengah meja. Anton menatap isinya: berkas-berkas yang berumur lebih dari satu dekade, penuh cap merah, tanda tangan samar, dan bahasa kode lama yang hanya dimengerti segelintir orang. Rina membuka satu lembar dokumen yang agak rapuh. “Ini... data penyusunan struktur internal kelompok. Ada yang namanya sama dengan anggota dewan sekarang.” Yuda menambahkan, “Dan ini, catatan transfer senjata dari jalur militer bayangan. Artinya, sistem ini gak cuma masuk ke sipil. Mereka udah nyusup ke pertahanan sejak dulu.” Luki, yang dari tadi diam, membuka foto lama dari tumpukan. Wajah dalam foto itu membuatnya menahan napas. Ia menyodorkannya ke Anton. “Lu liat siapa di situ?” Anton memelototi foto itu. Di sana, berdiri seorang pria berjas putih, tersenyum le
Markas sementara kembali jadi tempat Anton dan timnya menata ulang rencana. Peta baru dibentangkan, nama-nama baru mulai muncul di dinding, dan wajah yang dulu samar kini semakin terang. Tapi yang paling membuat Anton gelisah bukan siapa yang mereka lihat—melainkan siapa yang belum muncul. “Lu yakin dia bagian dari lingkaran dalam?” tanya Yuda sambil menunjuk foto Direktur Audit yang mereka temui di rapat. Anton mengangguk. “Dia bukan bawahan. Dia pengatur alur. Gak semua pelaku harus kelihatan kotor.” Rina mengetik cepat di laptop, menelusuri data keuangan sang direktur. “Gak ada rekening mencurigakan. Tapi... dia punya satu keanehan.” “Apa?” tanya Luki yang sedang mengutak-atik senjata kecil di tangannya. Rina memutar layar. “Setiap bulan, ada transfer tetap ke sebuah yayasan pendidikan di luar kota. Tapi yayasan itu udah gak aktif sejak lima tahun lalu.” Anton menatap layar. “Alamat?” “Bandung. Tapi lebih tepatnya... di pinggiran. Daerah terpencil.” Yuda mengangkat alis. “Lu
Gedung Reformasi Kota berdiri menjulang di tengah kawasan elit. Dinding kacanya berkilau, interiornya dingin, penuh catatan-catatan rapi dan formalitas basa-basi yang menyamarkan satu hal: kekuasaan yang sedang bermain diam-diam. Hari itu, Anton hadir bukan sebagai pemburu, tapi sebagai bagian dari sistem yang ia incar. Diundang dalam rapat evaluasi komisi keamanan kota, bersama jajaran eksekutif, mantan pejabat militer, dan perwakilan dari sektor bisnis. Ia mengenakan jas yang sama seperti di forum—Armani, potongan sempurna, dasi biru gelap. Tapi kali ini, tak ada senyum di wajahnya. Di dalam ruangan kaca di lantai 23, para peserta mulai duduk. Nama-nama besar dari institusi yang dulu tak bisa disentuh: kepala dinas, CEO kontraktor pemerintah, tokoh publik yang katanya netral. Anton masuk terakhir, membawa map kecil dan satu pulpen hitam. Semua menoleh. Beberapa tersenyum sopan. Beberapa hanya mengangguk singkat. Tapi sorot mata mereka cukup jelas: tak nyaman, tak percaya, ata
Pagi itu, seluruh kota bicara soal satu hal: pertemuan dua bayangan di Lapangan Bawah. Tak ada rekaman, tak ada siaran resmi, tapi berita menyebar seperti kebakaran di musim kemarau. Beberapa bilang mereka melihat dua sosok berdiri diam berhadapan. Ada yang bersumpah mendengar tembakan—walau tidak pernah terbukti. Yang pasti, organisasi Kota Gelap mendadak sunyi. Aset mereka lumpuh. Petinggi-petingginya menghilang seperti ditelan bumi. Dan Anton… berubah. --- Tiga hari setelah pertemuan itu, sebuah gedung megah di pusat kota menggelar forum reformasi kriminalitas urban. Di lobi, para pejabat dan pengusaha berlalu-lalang dengan setelan mahal, suara sepatu kulit bergema di lantai marmer, dan tawa basa-basi memenuhi ruangan. Tapi perhatian mereka langsung terpecah ketika seseorang memasuki aula utama. Tinggi, berwibawa, berjalan dengan langkah mantap. Jas hitam potongan rapi. Dasi biru gelap. Sepatu pantofel mengkilap. Rambut disisir licin ke belakang. Tidak ada pistol. Tidak ada l