Home / Thriller / Mafia Insyaf / Bab 6: Pertemuan di Gudang Tua

Share

Bab 6: Pertemuan di Gudang Tua

Author: Bang Thor
last update Huling Na-update: 2025-04-15 12:06:19

Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berembus kencang di distrik utara, membawa aroma besi tua dan asap kendaraan dari pelabuhan. Gudang tua yang dimaksud dalam telepon itu berdiri di ujung jalan sempit yang gelap. Dindingnya terbuat dari baja yang sudah berkarat, dengan beberapa bagian atap yang hampir runtuh. Cahaya lampu jalan yang redup memantulkan bayangan-bayangan aneh di lantai beton yang retak.

Anton berdiri di depan pintu besi besar gudang itu, mengenakan jaket kulit hitam dan sepatu bot. Tangan kanannya menggenggam gagang pistol yang terselip di balik jaket. Luki bersandar di kap mobil di seberang jalan, memperhatikan Anton dengan tatapan waspada.

"Lu yakin ini ide bagus?" tanya Luki.

Anton tidak menjawab. Dia menatap lurus ke pintu besi itu, rahangnya mengeras. "Gua harus tahu siapa yang ada di balik semua ini."

Yuda berdiri di samping mobil, menyilangkan tangan di dada. "Kalau ini jebakan, kita bakal kesulitan keluar."

Anton menoleh ke arah Yuda. "Itu kenapa lu dan Luki tetap di sini. Kalau ada yang aneh, gua kasih sinyal."

Luki menyipitkan mata. "Dan kalau lu nggak kasih sinyal?"

Anton tersenyum tipis. "Itu artinya gua udah beresin masalahnya."

Tanpa menunggu jawaban, Anton melangkah ke pintu besi dan mendorongnya dengan satu tangan. Pintu itu berderit pelan, membuka ke dalam dengan suara logam yang menyayat telinga. Di dalam, suasana lebih gelap dan dingin. Cahaya redup dari lampu gantung tua berkelap-kelip, menciptakan bayangan panjang di dinding dan lantai.

Anton berjalan ke tengah ruangan, matanya menyapu setiap sudut gudang. Tumpukan peti kayu berjejer di sepanjang dinding, dan di ujung ruangan, sebuah meja kayu kecil berdiri di bawah sorotan lampu. Di belakang meja itu, seorang pria duduk dengan santai, kakinya terangkat ke atas meja.

Pria itu berusia sekitar empat puluhan, mengenakan jas hitam yang terlihat mahal, dengan rambut disisir rapi ke belakang. Wajahnya tenang, matanya tajam. Dia menyeringai begitu melihat Anton berjalan mendekat.

"Anton," kata pria itu dengan nada ramah. "Akhirnya kita bertemu."

Anton berhenti sekitar lima meter dari pria itu. "Siapa lu?"

Pria itu menurunkan kakinya dari meja dan berdiri. "Nama gua Adrian. Mungkin lu belum pernah dengar nama gua, tapi gua tahu banyak tentang lu."

Anton menyipitkan mata. "Gua nggak tertarik buat kenal lu."

Adrian tertawa kecil. "Tapi gua tertarik buat kenal lu, Anton. Lu itu legenda di dunia ini. Semua orang tahu nama Anton Si Tangan Besi. Tapi sekarang, orang-orang mulai mikir kalau lu udah nggak punya pengaruh lagi."

Anton menatap Adrian dengan dingin. "Kalau itu yang mereka pikir, berarti mereka salah besar."

Adrian berjalan perlahan ke sisi meja, tangannya menyentuh permukaan kayu dengan santai. "Gua tahu itu. Makanya gua pengen lihat sendiri apakah Anton yang dulu masih ada… atau udah jadi bayangan dari dirinya sendiri."

Anton menajamkan tatapannya. "Jadi, ini semua rencana lu?"

Adrian tersenyum. "Gua nggak pernah suka langsung turun tangan. Tapi Reza? Dia sempurna buat jadi pion di permainan ini."

Anton mengepalkan tangan di sisinya. "Lu pakai Reza buat narik gua keluar."

Adrian mengangguk pelan. "Dan kelihatannya berhasil."

Anton menatap Adrian tajam. "Apa yang lu mau?"

Adrian menyeringai. "Gua mau kota ini. Dan gua tahu satu-satunya orang yang bisa menghentikan gua adalah lu. Jadi, gua punya dua pilihan—gua bikin lu gabung sama gua… atau gua hancurkan lu."

Anton mendekat selangkah. "Lu pikir gua bakal nurut sama orang kayak lu?"

Adrian tertawa kecil. "Gua harap lu nggak nurut. Karena itu bakal bikin permainan ini jadi lebih menarik."

Tiba-tiba, pintu gudang tertutup dengan keras. Dari balik bayangan, lima orang pria bersenjata muncul, mengelilingi Anton dengan senjata terangkat. Anton tidak bergerak, matanya tetap terkunci pada Adrian.

Adrian melangkah mendekat. "Gua kasih lu satu kesempatan buat keluar dari sini dengan hidup, Anton. Gabung sama gua, dan kita bagi kota ini berdua."

Anton menyeringai tipis. "Lu tahu kenapa gua bertahan di dunia ini begitu lama?"

Adrian menatap Anton dengan tatapan tertarik. "Kenapa?"

Anton bergerak secepat kilat. Dia mencabut pistol dari balik jaket dan menembak pria bersenjata di sebelah kanannya tepat di kepala. Sebelum tubuh pria itu menyentuh lantai, Anton sudah bergerak ke arah pria kedua, menendang lututnya hingga roboh dan menembaknya di dada.

Tembakan beruntun bergema di dalam gudang. Anton bergerak cepat, menembak dua pria lainnya sebelum mereka sempat membalas. Pria terakhir mencoba melarikan diri ke arah pintu, tapi Anton menembak kakinya, membuatnya jatuh menjerit kesakitan.

Dalam hitungan detik, hanya tersisa Adrian yang masih berdiri di ruangan itu. Wajahnya tidak lagi terlihat santai—sorot matanya penuh ketegangan.

Anton berjalan perlahan ke arah Adrian, pistol masih terangkat di tangannya. "Lu pikir gua bakal tunduk ke orang kayak lu?"

Adrian tersenyum tipis, meski ketegangan terlihat di wajahnya. "Gua jadi makin tertarik sama lu, Anton."

Anton menekan moncong pistol ke dahi Adrian. "Kalau gua lihat muka lu lagi setelah malam ini, gua bakal pastiin lu nggak bakal hidup buat lihat matahari terbit."

Adrian menatap Anton, sorot matanya penuh kebencian. "Kita lihat nanti."

Anton menurunkan pistolnya dan berjalan keluar dari gudang, meninggalkan Adrian yang masih berdiri dengan napas memburu. Begitu Anton keluar, Luki dan Yuda langsung menghampirinya.

"Gimana?" tanya Luki.

Anton menatap mereka sebentar. "Kita punya masalah yang lebih besar dari yang kita kira."

"Siapa orang itu?" tanya Yuda.

Anton menatap ke arah gudang dengan tatapan dingin. "Adrian. Dan kalau gua lihat dari caranya main, dia bukan tipe orang yang gampang nyerah."

Luki menyeringai kecil. "Jadi, kita bakal beresin dia?"

Anton berjalan menuju mobil dan membuka pintunya. "Belum. Kita biarin dia berpikir kalau dia masih pegang kendali."

Yuda mengerutkan kening. "Kenapa?"

Anton masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya. Dari kaca jendela, dia menatap ke arah gudang dengan sorot mata tajam. "Karena gua pengen lihat sejauh mana dia berani melangkah sebelum gua hancurin semuanya."

Luki tertawa kecil. "Kayaknya bakal jadi perang besar."

Anton tersenyum tipis, tapi tatapannya dingin. "Perang ini baru aja dimulai."

Mobil melaju meninggalkan gudang, menyusuri jalanan sempit yang gelap. Di belakang mereka, Adrian masih berdiri di dalam gudang, matanya penuh kebencian dan rencana. Anton tahu, ini belum selesai. Ini baru pembuka. Dan jika Adrian pikir dia bisa memainkan Anton seperti pion di papan catur, maka dia akan segera tahu bahwa Anton bukan sekadar pemain biasa—dia adalah raja di permainan ini.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Mafia Insyaf    Bab 32: Rumah yang Menyimpan Luka

    Pagi belum benar-benar terang saat mobil Anton berhenti di depan rumah tua dekat sungai. Bangunannya reot, berlumut, dengan cat terkelupas dan pagar kayu yang hampir roboh. Tapi sesuatu di tempat itu terasa… terlalu tenang. Luki turun duluan, memeriksa sekitar. “Nggak ada kamera, nggak ada gerakan. Tapi tempat kayak gini biasanya nyimpen sesuatu. Atau seseorang.” Yudha turun sambil membawa alat pendeteksi logam dan pelacak sinyal kecil. “Kalau ada jebakan, biasanya nggak jauh dari ruang utama. Mereka suka sembunyiin sesuatu yang kelihatan gampang tapi dijaga mati-matian.” Anton berdiri di depan pintu, tangannya sudah menyentuh gagang. Tapi belum membuka. Ia diam, seperti mendengarkan rumah itu sendiri bernapas. Rina mendekat pelan, berdiri di sampingnya. “Om, kita yakin ini bukan jebakan?” “Nggak yakin,” jawab Anton. “Tapi kita harus tetep masuk dan jangan lupa tetep waspada.” --- Begitu pintu terbuka, bau kayu lembap dan cat tua langsung menyeruak. Langit-langit rendah,

  • Mafia Insyaf    Bab 31: Suara yang Dilenyapkan

    Anton duduk di depan radio tua yang masih mereka simpan sejak markas pertama. Suara statis mendominasi frekuensi. Tak ada laporan. Tak ada kabar. Satu per satu, saluran komunikasi dengan para informan menghilang. Rina masuk ke ruangan sambil membawa tablet. Wajahnya pucat, tapi tetap berusaha tenang. "Om, tiga akun yang biasa kita pakai buat koordinasi... semuanya dikunci. Dan yang lebih aneh, satu jam sebelum itu, salah satu saksi kita ngirim pesan terakhir: 'Mereka udah masuk'. Setelah itu hilang." Anton menatap layar. "Berarti mereka pakai sistem Silencio buat bungkam semua suara sebelum kita bisa bicara." Luki masuk tergesa-gesa, membawa map cetak dari kantor pengacara independen. "Ini lebih gila dari yang kita kira. Dua jurnalis investigasi yang bantu kita... hilang. Satu katanya kabur ke luar negeri, satu lagi 'mengundurkan diri' mendadak. Kayak semua orang dapet memo buat mundur." Yudha mengangguk. "Ada tekanan dari atas. Bukan cuma Kota Gelap. Tapi sisa dari jaringan

  • Mafia Insyaf     Bab 30: Warisan Darah dan Bayangan Lama

    Di tengah malam yang dingin, gudang markas kembali terisi oleh bunyi lembaran kertas yang dibuka, desisan mesin scanner, dan aroma kopi pahit yang sudah tidak sempat dinikmati. Koper yang mereka bawa dari perbukitan kini terbuka di tengah meja. Anton menatap isinya: berkas-berkas yang berumur lebih dari satu dekade, penuh cap merah, tanda tangan samar, dan bahasa kode lama yang hanya dimengerti segelintir orang. Rina membuka satu lembar dokumen yang agak rapuh. “Ini... data penyusunan struktur internal kelompok. Ada yang namanya sama dengan anggota dewan sekarang.” Yuda menambahkan, “Dan ini, catatan transfer senjata dari jalur militer bayangan. Artinya, sistem ini gak cuma masuk ke sipil. Mereka udah nyusup ke pertahanan sejak dulu.” Luki, yang dari tadi diam, membuka foto lama dari tumpukan. Wajah dalam foto itu membuatnya menahan napas. Ia menyodorkannya ke Anton. “Lu liat siapa di situ?” Anton memelototi foto itu. Di sana, berdiri seorang pria berjas putih, tersenyum le

  • Mafia Insyaf    Bab 29: Sekutu Semu dan Musuh Tak Terlihat

    Markas sementara kembali jadi tempat Anton dan timnya menata ulang rencana. Peta baru dibentangkan, nama-nama baru mulai muncul di dinding, dan wajah yang dulu samar kini semakin terang. Tapi yang paling membuat Anton gelisah bukan siapa yang mereka lihat—melainkan siapa yang belum muncul. “Lu yakin dia bagian dari lingkaran dalam?” tanya Yuda sambil menunjuk foto Direktur Audit yang mereka temui di rapat. Anton mengangguk. “Dia bukan bawahan. Dia pengatur alur. Gak semua pelaku harus kelihatan kotor.” Rina mengetik cepat di laptop, menelusuri data keuangan sang direktur. “Gak ada rekening mencurigakan. Tapi... dia punya satu keanehan.” “Apa?” tanya Luki yang sedang mengutak-atik senjata kecil di tangannya. Rina memutar layar. “Setiap bulan, ada transfer tetap ke sebuah yayasan pendidikan di luar kota. Tapi yayasan itu udah gak aktif sejak lima tahun lalu.” Anton menatap layar. “Alamat?” “Bandung. Tapi lebih tepatnya... di pinggiran. Daerah terpencil.” Yuda mengangkat alis. “Lu

  • Mafia Insyaf    Bab 28: Ular di Ruang Rapat

    Gedung Reformasi Kota berdiri menjulang di tengah kawasan elit. Dinding kacanya berkilau, interiornya dingin, penuh catatan-catatan rapi dan formalitas basa-basi yang menyamarkan satu hal: kekuasaan yang sedang bermain diam-diam. Hari itu, Anton hadir bukan sebagai pemburu, tapi sebagai bagian dari sistem yang ia incar. Diundang dalam rapat evaluasi komisi keamanan kota, bersama jajaran eksekutif, mantan pejabat militer, dan perwakilan dari sektor bisnis. Ia mengenakan jas yang sama seperti di forum—Armani, potongan sempurna, dasi biru gelap. Tapi kali ini, tak ada senyum di wajahnya. Di dalam ruangan kaca di lantai 23, para peserta mulai duduk. Nama-nama besar dari institusi yang dulu tak bisa disentuh: kepala dinas, CEO kontraktor pemerintah, tokoh publik yang katanya netral. Anton masuk terakhir, membawa map kecil dan satu pulpen hitam. Semua menoleh. Beberapa tersenyum sopan. Beberapa hanya mengangguk singkat. Tapi sorot mata mereka cukup jelas: tak nyaman, tak percaya, ata

  • Mafia Insyaf    Bab 27: Dari Jaket Kulit ke Jas Armani

    Pagi itu, seluruh kota bicara soal satu hal: pertemuan dua bayangan di Lapangan Bawah. Tak ada rekaman, tak ada siaran resmi, tapi berita menyebar seperti kebakaran di musim kemarau. Beberapa bilang mereka melihat dua sosok berdiri diam berhadapan. Ada yang bersumpah mendengar tembakan—walau tidak pernah terbukti. Yang pasti, organisasi Kota Gelap mendadak sunyi. Aset mereka lumpuh. Petinggi-petingginya menghilang seperti ditelan bumi. Dan Anton… berubah. --- Tiga hari setelah pertemuan itu, sebuah gedung megah di pusat kota menggelar forum reformasi kriminalitas urban. Di lobi, para pejabat dan pengusaha berlalu-lalang dengan setelan mahal, suara sepatu kulit bergema di lantai marmer, dan tawa basa-basi memenuhi ruangan. Tapi perhatian mereka langsung terpecah ketika seseorang memasuki aula utama. Tinggi, berwibawa, berjalan dengan langkah mantap. Jas hitam potongan rapi. Dasi biru gelap. Sepatu pantofel mengkilap. Rambut disisir licin ke belakang. Tidak ada pistol. Tidak ada l

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status