Home / Thriller / Mafia Insyaf / Bab 4: Api yang Mulai Menyala

Share

Bab 4: Api yang Mulai Menyala

Author: Bang Thor
last update Last Updated: 2025-04-13 17:21:36

Pagi itu, Anton duduk di kursi kayu tua di sudut warung kopi. Tangannya memegang cangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap tipis. Di luar, matahari mulai muncul di balik gedung-gedung tua kota, memancarkan cahaya oranye pucat ke jalanan yang masih basah setelah hujan semalam. Warung kopinya sepi, hanya suara burung gereja yang terdengar dari luar jendela. Tapi Anton tahu, ketenangan ini hanya sementara.

Luki masuk ke warung, membawa koran terlipat di tangannya. Dia melemparkan koran itu ke meja di depan Anton. "Lu udah lihat ini?"

Anton mengangkat alis, lalu mengambil koran itu. Di halaman depan, terpampang foto Donny yang keluar dari klub dengan kepala dibalut perban. Wajahnya tampak lebam, dan tatapannya penuh kemarahan. Judul besar di bawah foto itu berbunyi: "Perang antar geng mulai memanas—Si Tangan Besi kembali?"

Anton membaca artikel itu sekilas. Isinya penuh spekulasi. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Anton memukuli Donny karena urusan bisnis yang belum selesai, sementara beberapa lainnya menyebutkan ini adalah sinyal kembalinya Anton ke dunia mafia. Anton menutup koran itu dengan pelan, matanya menyipit.

"Berarti pesan gua udah nyampe," gumam Anton.

Luki tertawa kecil. "Pesan lu bukan cuma nyampe. Sekarang semua orang di dunia bawah udah mulai mikir kalau lu balik ke permainan."

Anton menghela napas pelan. "Gua nggak balik."

Luki duduk di kursi di seberang Anton. "Mereka nggak bakal lihat itu kayak gitu, Ton. Mereka lihat lu ngehajar Donny dan sekarang mereka pikir lu siap ambil alih lagi."

Anton mengusap dagunya, menatap kosong ke luar jendela. "Masalahnya, gua nggak tertarik buat ambil alih. Tapi kalau mereka terus nyenggol gua, gua nggak bakal tinggal diam."

Luki menyeringai. "Masalahnya, Reza nggak bakal berhenti, Ton. Dia punya ego sebesar lapangan bola. Setelah lu kasih peringatan, kemungkinan besar dia bakal nyerang balik."

Anton mengangkat tatapannya ke arah Luki. "Kalau dia nyerang balik, gua bakal pastiin itu jadi kesalahan terakhir yang dia buat."

Luki tertawa pelan. "Gua suka gaya lu."

Pintu warung kopi terbuka, dan seorang pria tinggi berbadan kekar masuk. Pria itu mengenakan jaket kulit hitam, rambutnya dipotong cepak, dan wajahnya penuh bekas luka lama. Anton langsung mengenali orang itu—Yuda, salah satu orang kepercayaan lama yang pernah bekerja untuk Anton sebelum dia pensiun.

Yuda berdiri di depan meja Anton, menatapnya dengan tatapan serius. "Bos, gua dapet kabar dari orang dalam. Reza lagi kumpulin pasukan."

Anton meletakkan cangkir kopinya. "Berapa orang?"

"Puluhan. Dia rekrut orang-orang lama dan bawa beberapa orang dari luar kota. Katanya, dia nyiapin sesuatu buat lu."

Anton menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya menyipit. "Sesuatu kayak apa?"

Yuda mengangkat bahu. "Belum jelas. Tapi gua yakin, ini bakal jadi besar."

Anton menatap Yuda dalam-dalam. "Lu masih punya koneksi di lapangan?"

Yuda mengangguk. "Masih. Orang-orang lama gua siap kalau lu kasih perintah."

Anton terdiam sebentar, berpikir. Luki menatap Anton, lalu bersandar ke kursinya. "Lu udah tahu ini bakal ke arah mana, kan?"

Anton mengangguk pelan. "Kalau Reza pikir gua bakal nunggu sampai dia nyerang duluan, dia salah."

Luki menyeringai. "Jadi kita main duluan?"

Anton berdiri, menyambar jaketnya. "Kita kasih tahu Reza kalau gua nggak pernah takut sama siapa pun."

Anton melangkah keluar dari warung kopi, diikuti Luki dan Yuda. Mereka masuk ke mobil, dan Yuda duduk di kursi belakang.

"Reza ada di mana sekarang?" tanya Anton.

"Di markasnya di gudang lama dekat pelabuhan," jawab Yuda. "Dia ngumpulin orang-orang di sana."

Anton menatap Luki. "Bawa kita ke sana."

Mobil melaju cepat ke arah pelabuhan. Jalanan mulai ramai oleh kendaraan, tapi Anton tidak memedulikannya. Pikirannya sudah terfokus pada Reza dan pesan yang harus dia sampaikan malam ini. Kalau Reza pikir Anton sudah kehilangan sentuhannya, malam ini dia akan tahu bahwa Si Tangan Besi masih berdiri di puncak permainan.

Mereka berhenti di depan gudang tua yang tampak suram dan gelap. Beberapa mobil berjejer di depan pintu besi besar, dan beberapa orang bersenjata berdiri berjaga. Anton keluar dari mobil, diikuti Luki dan Yuda.

"Lu siap?" tanya Luki.

Anton mengangguk. "Selalu."

Anton berjalan mendekati dua penjaga di pintu depan. Salah satu dari mereka mengangkat tangan, mencoba menghentikan Anton. "Hei, tempat ini tertutup. Pergi!"

Anton tidak menjawab. Dia langsung melayangkan pukulan keras ke wajah penjaga itu. Pria itu terhuyung ke belakang, lalu jatuh ke tanah dengan suara berdebam. Penjaga kedua langsung menarik pistol dari sakunya, tapi sebelum sempat mengarahkannya ke Anton, Yuda sudah lebih dulu menghantam wajah pria itu dengan tinju keras, membuatnya terjatuh pingsan.

Luki menarik pistol dari balik jaketnya dan menodongkannya ke kepala salah satu penjaga yang tergeletak di lantai. "Lu pikir ini tempat main-main?"

Anton mendorong pintu gudang, membuka lebar-lebar. Di dalam, Reza berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh sekitar sepuluh orang bersenjata. Tatapannya dingin, tapi Anton bisa melihat kilatan ketakutan di matanya.

"Anton," kata Reza pelan. "Gua udah nunggu lu."

Anton berjalan pelan ke tengah ruangan. "Kalau lu nyari gua, kenapa harus nyenggol keluarga gua?"

Reza menyeringai. "Karena gua tahu itu satu-satunya cara buat bikin lu balik ke permainan."

Anton berhenti beberapa langkah di depan Reza. "Kalau itu maksud lu, berarti lu baru aja bikin kesalahan besar."

Reza tertawa kecil. "Lu nggak bisa nyentuh gua di sini, Ton. Mereka semua bersenjata."

Anton menatap Reza dingin. "Coba aja lihat."

Dalam hitungan detik, Anton melayangkan pukulan ke wajah Reza, membuatnya jatuh ke lantai. Sebelum anak buah Reza sempat bereaksi, Yuda dan Luki sudah lebih dulu menarik pistol dan mengarahkan ke kepala mereka.

Anton berjongkok di samping Reza yang tergeletak di lantai. "Gua kasih lu satu kesempatan buat cabut dari kota ini. Kalau gua lihat muka lu lagi setelah malam ini…" Anton menempelkan moncong pistol ke pelipis Reza, "...gua nggak bakal nyisain lu hidup."

Reza terengah-engah, matanya melebar karena takut. "O-oke… gua bakal pergi…"

Anton berdiri dan melangkah keluar, diikuti Luki dan Yuda.

Saat mereka sampai di luar, Anton menatap ke arah langit malam yang gelap. "Reza bakal pergi. Tapi kalau ada orang lain yang mikir bisa ngambil alih kota ini…"

Luki tersenyum. "Mereka harus lewatin lu dulu."

Anton menatap ke kejauhan, matanya bersinar tajam. "Dan itu nggak bakal pernah terjadi."

Anton berdiri di bawah cahaya remang-remang lampu jalan, matanya menatap ke arah gelapnya pelabuhan. Angin malam berembus pelan, membawa aroma asin dari laut yang berjarak tak jauh dari sana. Di belakangnya, Luki dan Yuda berdiri diam, menunggu instruksi berikutnya. Tapi Anton tetap terdiam, pikirannya masih terfokus pada apa yang baru saja terjadi.

Reza mungkin sudah berjanji untuk pergi, tapi Anton tahu dunia ini tidak pernah sesederhana itu. Di dunia bawah, janji tidak pernah berarti tanpa konsekuensi nyata. Kalau Reza pergi, akan ada orang lain yang mencoba mengisi kekosongan itu. Kekuasaan selalu menciptakan kehampaan yang mengundang orang-orang rakus untuk mencoba merebutnya.

"Lu pikir Reza bakal nurut?" tanya Luki, memecah keheningan.

Anton menatap lurus ke depan. "Dia nggak punya pilihan."

"Dan kalau dia balik?" Yuda menyusul.

Anton berbalik menghadap mereka berdua, tatapannya dingin. "Kalau dia balik, gua bakal selesaikan ini untuk selamanya."

Yuda menyeringai kecil. "Nggak banyak orang yang berani nantang Anton si Tangan Besi dua kali. Kalau Reza cukup bodoh buat nyoba, berarti dia emang pengen mati."

Anton berjalan ke arah mobil, tangannya mengeluarkan sebatang rokok dari saku jaketnya. Dia menyalakannya, mengisap dalam-dalam sebelum menghembuskan asap ke udara. "Masalahnya bukan di Reza. Masalahnya adalah orang-orang yang bakal lihat ini sebagai kesempatan buat nyerang gua."

Luki mengangguk pelan. "Gua tahu maksud lu. Kalau satu orang mulai berani ngelawan, yang lain bakal ikut-ikutan."

Anton membuang puntung rokoknya ke tanah dan menginjaknya dengan tumit. "Makanya gua harus bikin contoh."

Luki menaikkan alis. "Contoh kayak gimana?"

Anton menatap ke arah langit malam, matanya menyipit. "Kita kasih tahu semua orang bahwa Anton masih pegang kendali penuh."

Yuda menatap Anton dengan tatapan serius. "Kalau lu bikin pergerakan besar, bakal ada korban. Ini bakal jadi perang beneran, Ton."

Anton menatap Yuda dalam-dalam. "Kalau itu yang mereka mau, gua nggak bakal mundur."

Luki tertawa kecil. "Gua suka cara pikir lu, Ton. Tapi ini bakal jadi lebih besar dari sekadar urusan pribadi."

Anton membuka pintu mobil dan duduk di kursi depan. Luki masuk ke kursi pengemudi, sementara Yuda duduk di belakang. Saat mesin menyala, Anton berkata pelan, "Kalau gua balik ke permainan ini, gua nggak bakal main setengah-setengah."

Mobil melaju pelan, meninggalkan pelabuhan yang kini terasa makin dingin. Di dalam mobil, Anton terdiam, pikirannya berputar di antara bayangan masa lalunya yang kelam dan masa depan yang penuh ketidakpastian. Dunia lamanya memang tidak pernah benar-benar melepaskannya. Tapi kali ini, Anton tidak akan menjadi sekadar bidak di papan catur—dia akan jadi penguasa papan itu.

Mereka kembali ke warung kopi, dan Anton turun dari mobil. Rina masih tertidur di dalam, wajahnya tampak damai di balik jendela kaca. Anton memandanginya sejenak, lalu menghela napas panjang. Dia tahu bahwa semua ini pada akhirnya bermuara pada satu hal: melindungi Rina.

Luki berdiri di samping Anton, menyalakan rokok dan menatap ke jalan yang sepi. "Lu yakin ini yang lu mau, Ton?"

Anton menoleh ke arah Luki, matanya dingin dan tajam. "Gua nggak punya pilihan. Kalau gua nggak bertindak, mereka bakal datang lagi. Dan kali ini, gua nggak bakal biarin itu terjadi."

Luki tersenyum kecil. "Kalau gitu, ayo kita bikin kota ini kembali inget siapa Anton sebenarnya."

Anton menatap jauh ke depan, matanya menyipit. "Ini bukan soal bikin mereka ingat. Ini soal bikin mereka takut."

Malam itu, Anton tahu tidak ada jalan kembali. Api sudah mulai menyala, dan kali ini, Anton tidak akan membiarkan siapa pun memadamkannya. Jika Reza atau siapa pun mencoba menantangnya, mereka harus siap menerima konsekuensi paling brutal yang pernah mereka bayangkan. Anton tidak lagi bersembunyi di balik bayang-bayang—dia sudah kembali, dan dunia akan segera merasakannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mafia Insyaf    Bab 32: Rumah yang Menyimpan Luka

    Pagi belum benar-benar terang saat mobil Anton berhenti di depan rumah tua dekat sungai. Bangunannya reot, berlumut, dengan cat terkelupas dan pagar kayu yang hampir roboh. Tapi sesuatu di tempat itu terasa… terlalu tenang. Luki turun duluan, memeriksa sekitar. “Nggak ada kamera, nggak ada gerakan. Tapi tempat kayak gini biasanya nyimpen sesuatu. Atau seseorang.” Yudha turun sambil membawa alat pendeteksi logam dan pelacak sinyal kecil. “Kalau ada jebakan, biasanya nggak jauh dari ruang utama. Mereka suka sembunyiin sesuatu yang kelihatan gampang tapi dijaga mati-matian.” Anton berdiri di depan pintu, tangannya sudah menyentuh gagang. Tapi belum membuka. Ia diam, seperti mendengarkan rumah itu sendiri bernapas. Rina mendekat pelan, berdiri di sampingnya. “Om, kita yakin ini bukan jebakan?” “Nggak yakin,” jawab Anton. “Tapi kita harus tetep masuk dan jangan lupa tetep waspada.” --- Begitu pintu terbuka, bau kayu lembap dan cat tua langsung menyeruak. Langit-langit rendah,

  • Mafia Insyaf    Bab 31: Suara yang Dilenyapkan

    Anton duduk di depan radio tua yang masih mereka simpan sejak markas pertama. Suara statis mendominasi frekuensi. Tak ada laporan. Tak ada kabar. Satu per satu, saluran komunikasi dengan para informan menghilang. Rina masuk ke ruangan sambil membawa tablet. Wajahnya pucat, tapi tetap berusaha tenang. "Om, tiga akun yang biasa kita pakai buat koordinasi... semuanya dikunci. Dan yang lebih aneh, satu jam sebelum itu, salah satu saksi kita ngirim pesan terakhir: 'Mereka udah masuk'. Setelah itu hilang." Anton menatap layar. "Berarti mereka pakai sistem Silencio buat bungkam semua suara sebelum kita bisa bicara." Luki masuk tergesa-gesa, membawa map cetak dari kantor pengacara independen. "Ini lebih gila dari yang kita kira. Dua jurnalis investigasi yang bantu kita... hilang. Satu katanya kabur ke luar negeri, satu lagi 'mengundurkan diri' mendadak. Kayak semua orang dapet memo buat mundur." Yudha mengangguk. "Ada tekanan dari atas. Bukan cuma Kota Gelap. Tapi sisa dari jaringan

  • Mafia Insyaf     Bab 30: Warisan Darah dan Bayangan Lama

    Di tengah malam yang dingin, gudang markas kembali terisi oleh bunyi lembaran kertas yang dibuka, desisan mesin scanner, dan aroma kopi pahit yang sudah tidak sempat dinikmati. Koper yang mereka bawa dari perbukitan kini terbuka di tengah meja. Anton menatap isinya: berkas-berkas yang berumur lebih dari satu dekade, penuh cap merah, tanda tangan samar, dan bahasa kode lama yang hanya dimengerti segelintir orang. Rina membuka satu lembar dokumen yang agak rapuh. “Ini... data penyusunan struktur internal kelompok. Ada yang namanya sama dengan anggota dewan sekarang.” Yuda menambahkan, “Dan ini, catatan transfer senjata dari jalur militer bayangan. Artinya, sistem ini gak cuma masuk ke sipil. Mereka udah nyusup ke pertahanan sejak dulu.” Luki, yang dari tadi diam, membuka foto lama dari tumpukan. Wajah dalam foto itu membuatnya menahan napas. Ia menyodorkannya ke Anton. “Lu liat siapa di situ?” Anton memelototi foto itu. Di sana, berdiri seorang pria berjas putih, tersenyum le

  • Mafia Insyaf    Bab 29: Sekutu Semu dan Musuh Tak Terlihat

    Markas sementara kembali jadi tempat Anton dan timnya menata ulang rencana. Peta baru dibentangkan, nama-nama baru mulai muncul di dinding, dan wajah yang dulu samar kini semakin terang. Tapi yang paling membuat Anton gelisah bukan siapa yang mereka lihat—melainkan siapa yang belum muncul. “Lu yakin dia bagian dari lingkaran dalam?” tanya Yuda sambil menunjuk foto Direktur Audit yang mereka temui di rapat. Anton mengangguk. “Dia bukan bawahan. Dia pengatur alur. Gak semua pelaku harus kelihatan kotor.” Rina mengetik cepat di laptop, menelusuri data keuangan sang direktur. “Gak ada rekening mencurigakan. Tapi... dia punya satu keanehan.” “Apa?” tanya Luki yang sedang mengutak-atik senjata kecil di tangannya. Rina memutar layar. “Setiap bulan, ada transfer tetap ke sebuah yayasan pendidikan di luar kota. Tapi yayasan itu udah gak aktif sejak lima tahun lalu.” Anton menatap layar. “Alamat?” “Bandung. Tapi lebih tepatnya... di pinggiran. Daerah terpencil.” Yuda mengangkat alis. “Lu

  • Mafia Insyaf    Bab 28: Ular di Ruang Rapat

    Gedung Reformasi Kota berdiri menjulang di tengah kawasan elit. Dinding kacanya berkilau, interiornya dingin, penuh catatan-catatan rapi dan formalitas basa-basi yang menyamarkan satu hal: kekuasaan yang sedang bermain diam-diam. Hari itu, Anton hadir bukan sebagai pemburu, tapi sebagai bagian dari sistem yang ia incar. Diundang dalam rapat evaluasi komisi keamanan kota, bersama jajaran eksekutif, mantan pejabat militer, dan perwakilan dari sektor bisnis. Ia mengenakan jas yang sama seperti di forum—Armani, potongan sempurna, dasi biru gelap. Tapi kali ini, tak ada senyum di wajahnya. Di dalam ruangan kaca di lantai 23, para peserta mulai duduk. Nama-nama besar dari institusi yang dulu tak bisa disentuh: kepala dinas, CEO kontraktor pemerintah, tokoh publik yang katanya netral. Anton masuk terakhir, membawa map kecil dan satu pulpen hitam. Semua menoleh. Beberapa tersenyum sopan. Beberapa hanya mengangguk singkat. Tapi sorot mata mereka cukup jelas: tak nyaman, tak percaya, ata

  • Mafia Insyaf    Bab 27: Dari Jaket Kulit ke Jas Armani

    Pagi itu, seluruh kota bicara soal satu hal: pertemuan dua bayangan di Lapangan Bawah. Tak ada rekaman, tak ada siaran resmi, tapi berita menyebar seperti kebakaran di musim kemarau. Beberapa bilang mereka melihat dua sosok berdiri diam berhadapan. Ada yang bersumpah mendengar tembakan—walau tidak pernah terbukti. Yang pasti, organisasi Kota Gelap mendadak sunyi. Aset mereka lumpuh. Petinggi-petingginya menghilang seperti ditelan bumi. Dan Anton… berubah. --- Tiga hari setelah pertemuan itu, sebuah gedung megah di pusat kota menggelar forum reformasi kriminalitas urban. Di lobi, para pejabat dan pengusaha berlalu-lalang dengan setelan mahal, suara sepatu kulit bergema di lantai marmer, dan tawa basa-basi memenuhi ruangan. Tapi perhatian mereka langsung terpecah ketika seseorang memasuki aula utama. Tinggi, berwibawa, berjalan dengan langkah mantap. Jas hitam potongan rapi. Dasi biru gelap. Sepatu pantofel mengkilap. Rambut disisir licin ke belakang. Tidak ada pistol. Tidak ada l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status