Pagi itu, Anton duduk di kursi kayu di sudut warung kopi, menatap secangkir kopi hitam yang mengepulkan asap tipis di depannya. Di luar, sinar matahari samar-samar menyinari jalanan kota yang mulai sibuk. Orang-orang berlalu-lalang, beberapa mampir ke warung kopi untuk membeli sarapan. Tapi Anton tidak memperhatikan semua itu. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal: Adrian.
Luki dan Yuda duduk di meja yang sama. Luki menggulung lengan bajunya dan menyandarkan tubuhnya ke kursi, sementara Yuda terlihat sibuk memeriksa ponselnya. "Orang-orang Adrian mulai bergerak," kata Yuda, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. "Dia ngerahin beberapa orang ke distrik selatan dan barat. Kelihatannya dia mulai bikin jaringan baru." Anton menyipitkan mata. "Itu artinya dia udah mulai nyiapin pergerakan besar." Luki menyeringai. "Dan kita bakal kasih kejutan sebelum dia sempat jalan." Anton menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Bukan cuma itu. Kita harus tahu siapa orang-orang yang jadi mata dan telinga Adrian di dalam sistem." "Masalahnya," tambah Yuda, "kita nggak tahu pasti siapa orang di dalam kepolisian yang kerja buat Adrian. Reno bilang Kapten Budi terlibat, tapi kalau Budi bisa disuap, berarti ada orang lain yang ngatur jalannya dari atas." Anton memutar cangkir kopinya di atas meja. "Kalau gitu, kita mulai dari Kapten Budi." Luki menaikkan alis. "Langsung kita datangi?" Anton menatap Luki tajam. "Nggak. Kita bikin dia datang ke kita." Luki tertawa kecil. "Gua suka arahnya." Yuda menyipitkan mata. "Jadi, kita kasih umpan?" Anton mengangguk pelan. "Kita kasih tahu orang-orang bahwa kita bakal ngirim barang dari pelabuhan malam ini. Pastiin info itu sampai ke Adrian." Luki menyeringai. "Dan kalau Kapten Budi muncul?" Anton menatap tajam ke depan. "Kita bakal tahu siapa yang sebenarnya ngatur jalannya permainan ini." Yuda menyimpan ponselnya ke saku jaket. "Gua bakal sebarkan info ini ke jaringan kita. Gua jamin Adrian bakal tahu dalam hitungan jam." Anton mengangguk. "Pastikan info itu terlihat asli." Yuda berdiri dan berjalan keluar dari warung kopi, meninggalkan Anton dan Luki. Luki menatap Anton dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu. "Kalau Adrian tahu ini jebakan, dia bisa kirim pasukan buat ngincer kita," kata Luki. Anton menyandarkan lengannya ke meja. "Itu yang gua harapkan." --- Malam itu, Anton berdiri di tepi pelabuhan, mengenakan jaket kulit hitam dan celana jeans gelap. Di belakangnya, Luki dan Yuda berdiri bersama tiga anak buah mereka, semuanya bersenjata lengkap. Angin malam berembus kencang, membawa aroma asin dari laut dan suara riuh ombak yang menghantam dermaga. Di depan mereka, sebuah truk besar diparkir di dekat kontainer logam. Lampu-lampu pelabuhan berpendar di permukaan aspal yang basah, menciptakan kilauan samar. "Lu yakin ini bakal berhasil?" tanya Luki, menyalakan rokok. Anton menatap lurus ke depan. "Adrian nggak bisa nahan diri buat nyentuh kesempatan kayak gini." Suara deru mesin terdengar di kejauhan. Beberapa saat kemudian, dua mobil hitam melaju pelan ke arah pelabuhan dan berhenti sekitar lima puluh meter dari tempat Anton berdiri. Lima pria turun dari mobil, semuanya mengenakan pakaian gelap dan membawa senjata di pinggang mereka. Seorang pria bertubuh tinggi dan berambut cepak berjalan di depan mereka. Anton mengenali wajah itu—Kapten Budi. Luki bersiul pelan. "Nah, kita dapet orangnya." Kapten Budi berhenti sekitar sepuluh meter dari Anton, matanya menyipit. "Anton… gua denger lu punya barang buat dikirim." Anton menyeringai tipis. "Mungkin iya, mungkin nggak. Tapi gua nggak nyangka seorang kapten polisi bakal dateng langsung ke pelabuhan malam-malam begini." Kapten Budi tertawa kecil. "Lu tahu dunia ini nggak pernah benar-benar bersih, Anton. Kalau gua bisa dapat potongan dari transaksi ini, kenapa nggak?" Anton berjalan mendekat, hanya berjarak beberapa langkah dari Kapten Budi. "Masalahnya, gua nggak ingat pernah ngajak lu buat bagi hasil." Kapten Budi tersenyum tipis. "Mungkin gua bisa ambil sendiri." Anton menyipitkan mata. "Atau mungkin lu bakal nyesel udah berurusan sama gua." Kapten Budi tertawa pelan, lalu mengangkat tangannya. Dalam hitungan detik, pria-pria di belakangnya langsung menarik pistol dan mengarahkannya ke Anton dan anak buahnya. Luki langsung mengangkat senjatanya, begitu juga Yuda dan yang lainnya. Ketegangan menyelimuti udara, suara ombak dan deru angin terdengar semakin tajam di telinga Anton. "Jadi begini permainan lu?" tanya Anton. Kapten Budi menatap Anton dengan dingin. "Gua cuma jalankan perintah." Anton menatap Budi dalam-dalam. "Dari siapa?" Kapten Budi menyeringai. "Siapa lagi kalau bukan Adrian?" Anton mengangguk pelan. "Kalau gitu, kirim pesan ke Adrian." Sebelum Kapten Budi sempat bereaksi, Anton bergerak lebih cepat. Dia menendang perut Budi, membuatnya terjatuh ke tanah. Dalam hitungan detik, Anton menarik pistol dan menembak dua pria di belakang Budi, membuat mereka terjatuh dengan jeritan kesakitan. Luki dan Yuda langsung bergerak, menembak ke arah pria-pria yang tersisa. Dalam hitungan detik, suara tembakan menggema di pelabuhan. Tubuh-tubuh terjatuh ke tanah, darah mengalir di permukaan aspal yang basah. Kapten Budi terbaring di tanah, tangannya memegangi perutnya yang kesakitan. Anton berjongkok di sampingnya, menekan moncong pistol ke dahi Budi. "Siapa lagi orang di dalam sistem yang kerja buat Adrian?" tanya Anton dengan suara dingin. Kapten Budi terengah-engah. "Gua nggak tahu… gua cuma orang lapangan…" Anton menekan pistolnya lebih keras. "Siapa. Lagi." Kapten Budi terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Inspektur Rahman… dia yang buka jalur buat Adrian di pelabuhan." Anton menatap Budi dingin. "Terima kasih buat infonya." Klik! Anton menurunkan pistolnya, lalu berdiri. Kapten Budi terbaring di tanah, matanya penuh ketakutan. Anton berbalik dan berjalan ke arah Luki dan Yuda. Luki meniup moncong pistolnya dan menyeringai. "Jadi sekarang kita tahu siapa yang buka jalan buat Adrian?" Anton menatap lurus ke depan. "Inspektur Rahman." Yuda melangkah mendekat. "Apa rencana kita?" Anton memasukkan pistolnya ke balik jaket. "Kita buat Rahman kasih tahu semuanya. Dan kalau dia nggak mau…" Anton menatap jauh ke laut yang gelap. "…kita buat dia nggak punya pilihan lain." Luki menyeringai. "Kayaknya kita bakal main besar." Anton tersenyum tipis. "Kalau Adrian pikir dia bisa main besar… dia bakal lihat seberapa besar permainan ini sebenarnya." Anton berdiri di tepi pelabuhan, menatap laut yang gelap dan berombak di depannya. Angin malam berembus kencang, meniup ujung jaket kulitnya. Di belakangnya, suara Luki dan Yuda terdengar samar, tapi Anton hanya fokus pada satu hal—nama yang baru saja dia dengar. Inspektur Rahman. Jika Rahman benar-benar orang yang membuka jalur untuk Adrian, itu berarti jaringan Adrian jauh lebih besar dari yang Anton bayangkan. Ini bukan sekadar permainan antar geng biasa—ini adalah operasi terorganisir yang melibatkan orang-orang di dalam sistem. Dan jika Adrian punya Rahman di sisinya, itu berarti Adrian tahu semua gerakan Anton sebelum Anton sempat bertindak. Luki berjalan ke sisi Anton, menyalakan rokok dan mengisapnya dalam-dalam. "Jadi, kita langsung datangi Rahman?" Anton menggeleng pelan, matanya tetap tertuju ke laut. "Nggak. Kita bikin Rahman datang ke kita." Yuda berdiri di belakang mereka, tangannya disilangkan di dada. "Dan kalau Rahman nolak?" Anton menyeringai tipis, matanya menyipit dingin. "Kalau dia nolak, kita buat dia nggak punya pilihan lain." Luki tertawa kecil. "Gua rasa Adrian nggak nyangka kalau kita bakal tahu sejauh ini." Anton menatap ke kegelapan malam, wajahnya tanpa ekspresi. "Adrian pikir dia punya kendali. Tapi sebentar lagi dia bakal tahu siapa yang sebenarnya pegang permainan ini." Tiba-tiba, ponsel Anton bergetar di saku jaketnya. Anton mengambilnya dan melihat nomor tak dikenal muncul di layar. Dia menatap layar itu sejenak sebelum mengangkatnya ke telinga. "Anton," kata suara di seberang telepon. Suara yang dalam, terkontrol, dan penuh ketenangan yang mencurigakan. Anton mengenali suara itu. "Adrian." "Selamat, Anton. Lu udah mulai ngerti permainannya," kata Adrian dengan nada tenang. "Tapi ini baru permulaan." Anton mengepalkan rahangnya. "Kalau lu berani nyentuh Rina—" Adrian tertawa pelan. "Tenang… gua belum sejauh itu. Tapi lu tahu sendiri, Anton. Di dunia ini, keluarga adalah kelemahan terbesar." Anton menegang. "Lu nggak bakal berani." "Kalau gua bisa bikin Reza ngelawan lu… lu pikir gua nggak bisa bikin orang di sekitar lu berbalik juga?" Anton menatap ke laut, matanya menyala penuh kemarahan. "Kalau lu berani nyenggol keluarga gua, gua bakal pastiin lu lihat sendiri gimana dunia lu runtuh di depan mata lu." Adrian tertawa pelan. "Kita lihat nanti, Anton. Gua tunggu langkah lu selanjutnya." Telepon terputus. Anton menggenggam ponsel di tangannya, napasnya berat. Luki dan Yuda menatapnya dengan serius. "Adrian?" tanya Luki. Anton memasukkan ponselnya ke saku jaket dan menatap lurus ke depan. "Adrian baru aja ngajak perang." Yuda mendekat. "Jadi kita serang duluan?" Anton menyeringai tipis, matanya dingin dan penuh ketegasan. "Nggak. Kita kasih dia waktu buat merasa aman dulu. Biar dia pikir dia masih pegang kendali." Luki tertawa kecil. "Dan kalau dia mulai bergerak?" Anton menatap ke laut yang gelap, tatapannya tajam. "Kalau dia bergerak, gua bakal pastiin itu jadi langkah terakhir yang pernah dia buat." Di kejauhan, suara ombak menghantam dermaga dengan keras. Anton tahu, perang ini sudah tidak bisa dihindari. Adrian sudah membuka pintu ke permainan ini, dan sekarang giliran Anton untuk mengambil alih papan catur. Dan kali ini, Anton tidak akan berhenti sampai Adrian benar-benar hancur—sampai dunia ini tahu siapa penguasa yang sebenarnya.Pagi belum benar-benar terang saat mobil Anton berhenti di depan rumah tua dekat sungai. Bangunannya reot, berlumut, dengan cat terkelupas dan pagar kayu yang hampir roboh. Tapi sesuatu di tempat itu terasa… terlalu tenang. Luki turun duluan, memeriksa sekitar. “Nggak ada kamera, nggak ada gerakan. Tapi tempat kayak gini biasanya nyimpen sesuatu. Atau seseorang.” Yudha turun sambil membawa alat pendeteksi logam dan pelacak sinyal kecil. “Kalau ada jebakan, biasanya nggak jauh dari ruang utama. Mereka suka sembunyiin sesuatu yang kelihatan gampang tapi dijaga mati-matian.” Anton berdiri di depan pintu, tangannya sudah menyentuh gagang. Tapi belum membuka. Ia diam, seperti mendengarkan rumah itu sendiri bernapas. Rina mendekat pelan, berdiri di sampingnya. “Om, kita yakin ini bukan jebakan?” “Nggak yakin,” jawab Anton. “Tapi kita harus tetep masuk dan jangan lupa tetep waspada.” --- Begitu pintu terbuka, bau kayu lembap dan cat tua langsung menyeruak. Langit-langit rendah,
Anton duduk di depan radio tua yang masih mereka simpan sejak markas pertama. Suara statis mendominasi frekuensi. Tak ada laporan. Tak ada kabar. Satu per satu, saluran komunikasi dengan para informan menghilang. Rina masuk ke ruangan sambil membawa tablet. Wajahnya pucat, tapi tetap berusaha tenang. "Om, tiga akun yang biasa kita pakai buat koordinasi... semuanya dikunci. Dan yang lebih aneh, satu jam sebelum itu, salah satu saksi kita ngirim pesan terakhir: 'Mereka udah masuk'. Setelah itu hilang." Anton menatap layar. "Berarti mereka pakai sistem Silencio buat bungkam semua suara sebelum kita bisa bicara." Luki masuk tergesa-gesa, membawa map cetak dari kantor pengacara independen. "Ini lebih gila dari yang kita kira. Dua jurnalis investigasi yang bantu kita... hilang. Satu katanya kabur ke luar negeri, satu lagi 'mengundurkan diri' mendadak. Kayak semua orang dapet memo buat mundur." Yudha mengangguk. "Ada tekanan dari atas. Bukan cuma Kota Gelap. Tapi sisa dari jaringan
Di tengah malam yang dingin, gudang markas kembali terisi oleh bunyi lembaran kertas yang dibuka, desisan mesin scanner, dan aroma kopi pahit yang sudah tidak sempat dinikmati. Koper yang mereka bawa dari perbukitan kini terbuka di tengah meja. Anton menatap isinya: berkas-berkas yang berumur lebih dari satu dekade, penuh cap merah, tanda tangan samar, dan bahasa kode lama yang hanya dimengerti segelintir orang. Rina membuka satu lembar dokumen yang agak rapuh. “Ini... data penyusunan struktur internal kelompok. Ada yang namanya sama dengan anggota dewan sekarang.” Yuda menambahkan, “Dan ini, catatan transfer senjata dari jalur militer bayangan. Artinya, sistem ini gak cuma masuk ke sipil. Mereka udah nyusup ke pertahanan sejak dulu.” Luki, yang dari tadi diam, membuka foto lama dari tumpukan. Wajah dalam foto itu membuatnya menahan napas. Ia menyodorkannya ke Anton. “Lu liat siapa di situ?” Anton memelototi foto itu. Di sana, berdiri seorang pria berjas putih, tersenyum le
Markas sementara kembali jadi tempat Anton dan timnya menata ulang rencana. Peta baru dibentangkan, nama-nama baru mulai muncul di dinding, dan wajah yang dulu samar kini semakin terang. Tapi yang paling membuat Anton gelisah bukan siapa yang mereka lihat—melainkan siapa yang belum muncul. “Lu yakin dia bagian dari lingkaran dalam?” tanya Yuda sambil menunjuk foto Direktur Audit yang mereka temui di rapat. Anton mengangguk. “Dia bukan bawahan. Dia pengatur alur. Gak semua pelaku harus kelihatan kotor.” Rina mengetik cepat di laptop, menelusuri data keuangan sang direktur. “Gak ada rekening mencurigakan. Tapi... dia punya satu keanehan.” “Apa?” tanya Luki yang sedang mengutak-atik senjata kecil di tangannya. Rina memutar layar. “Setiap bulan, ada transfer tetap ke sebuah yayasan pendidikan di luar kota. Tapi yayasan itu udah gak aktif sejak lima tahun lalu.” Anton menatap layar. “Alamat?” “Bandung. Tapi lebih tepatnya... di pinggiran. Daerah terpencil.” Yuda mengangkat alis. “Lu
Gedung Reformasi Kota berdiri menjulang di tengah kawasan elit. Dinding kacanya berkilau, interiornya dingin, penuh catatan-catatan rapi dan formalitas basa-basi yang menyamarkan satu hal: kekuasaan yang sedang bermain diam-diam. Hari itu, Anton hadir bukan sebagai pemburu, tapi sebagai bagian dari sistem yang ia incar. Diundang dalam rapat evaluasi komisi keamanan kota, bersama jajaran eksekutif, mantan pejabat militer, dan perwakilan dari sektor bisnis. Ia mengenakan jas yang sama seperti di forum—Armani, potongan sempurna, dasi biru gelap. Tapi kali ini, tak ada senyum di wajahnya. Di dalam ruangan kaca di lantai 23, para peserta mulai duduk. Nama-nama besar dari institusi yang dulu tak bisa disentuh: kepala dinas, CEO kontraktor pemerintah, tokoh publik yang katanya netral. Anton masuk terakhir, membawa map kecil dan satu pulpen hitam. Semua menoleh. Beberapa tersenyum sopan. Beberapa hanya mengangguk singkat. Tapi sorot mata mereka cukup jelas: tak nyaman, tak percaya, ata
Pagi itu, seluruh kota bicara soal satu hal: pertemuan dua bayangan di Lapangan Bawah. Tak ada rekaman, tak ada siaran resmi, tapi berita menyebar seperti kebakaran di musim kemarau. Beberapa bilang mereka melihat dua sosok berdiri diam berhadapan. Ada yang bersumpah mendengar tembakan—walau tidak pernah terbukti. Yang pasti, organisasi Kota Gelap mendadak sunyi. Aset mereka lumpuh. Petinggi-petingginya menghilang seperti ditelan bumi. Dan Anton… berubah. --- Tiga hari setelah pertemuan itu, sebuah gedung megah di pusat kota menggelar forum reformasi kriminalitas urban. Di lobi, para pejabat dan pengusaha berlalu-lalang dengan setelan mahal, suara sepatu kulit bergema di lantai marmer, dan tawa basa-basi memenuhi ruangan. Tapi perhatian mereka langsung terpecah ketika seseorang memasuki aula utama. Tinggi, berwibawa, berjalan dengan langkah mantap. Jas hitam potongan rapi. Dasi biru gelap. Sepatu pantofel mengkilap. Rambut disisir licin ke belakang. Tidak ada pistol. Tidak ada l