Malam sudah larut ketika Anton tiba di warung kopinya. Lampu di dalam masih menyala, meski suasananya sepi. Rina tertidur di kursi dekat jendela, kepalanya bersandar di atas lengannya. Anton berdiri di ambang pintu sebentar, memperhatikan keponakannya yang terlihat begitu damai di tengah kekacauan yang sedang ia hadapi.
Luki dan Yuda masuk tak lama setelah Anton. Luki langsung duduk di meja dekat pintu, sementara Yuda berdiri dengan tangan di saku jaketnya, tatapannya serius. "Jadi?" tanya Luki sambil melirik Anton. "Apa kesimpulan lu tentang Adrian?" Anton berjalan ke belakang meja kasir dan mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin. Dia membuka tutupnya dan meneguk pelan sebelum menjawab, "Adrian bukan pemain biasa. Dia punya pengaruh, koneksi, dan jelas bukan tipe yang gampang nyerah." "Dan sekarang dia tahu lu bukan orang yang gampang dipermainkan," tambah Yuda. Anton menyipitkan mata. "Itu masalahnya. Orang kayak Adrian nggak akan mundur hanya karena kalah sekali. Dia bakal nyusun rencana baru." Luki menyeringai. "Kalau gitu, kita serang duluan sebelum dia siap." Anton menggeleng pelan. "Nggak. Kita biarin dia bergerak dulu. Gua mau tahu seberapa dalam koneksi dia di kota ini. Kalau kita serang tanpa tahu siapa orang-orang di belakangnya, kita bisa kebobolan." Yuda mengangkat alis. "Jadi lu mau main defensif?" Anton menatap Yuda dengan dingin. "Defensif? Nggak. Gua cuma ngasih dia waktu buat jalan ke lubang jebakannya sendiri." Luki tertawa kecil. "Pola pikir lama, ya? Bikin musuh ngerasa nyaman sebelum lu tarik karpetnya." Anton tersenyum tipis, meski matanya tetap dingin. "Selalu berhasil, kan?" Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membuat mereka semua menoleh. Anton melirik sekilas ke arah Rina, memastikan keponakannya masih tertidur sebelum berjalan ke pintu dan membukanya. Seorang pria muda berdiri di luar, mengenakan jaket denim dan topi hitam yang tertarik rendah ke wajahnya. Dia tampak gugup, matanya gelisah saat bertemu pandang dengan Anton. "Anton?" suara pria itu terdengar gemetar. Anton menatap pria itu tanpa ekspresi. "Siapa lu?" Pria itu menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang mengawasinya. "Gua punya informasi soal Adrian." Anton memperhatikan pria itu dengan tajam. "Masuk." Pria itu melangkah masuk dengan ragu. Luki dan Yuda langsung berdiri dan menutup pintu di belakangnya. Anton menyuruh pria itu duduk di kursi di depan meja kasir. "Nama lu siapa?" tanya Anton. "Reno," jawab pria itu pelan. "Gua dulu kerja buat Reza, tapi sekarang…" "Lu pindah ke Adrian?" potong Anton. Reno menggeleng cepat. "Nggak! Gua cuma jadi pengantar barang. Tapi gua denger banyak hal." Anton menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Kayak apa?" Reno menelan ludah, jelas terlihat ketakutan. "Adrian nggak kerja sendiri. Dia punya orang di dalam kepolisian, dan bukan cuma satu atau dua orang." Luki bersiul pelan. "Pantas dia berani main besar." "Siapa orangnya?" tanya Anton, suaranya datar. Reno menggeleng. "Gua nggak tahu nama pastinya. Tapi gua pernah lihat mereka ketemu di sebuah klub di distrik barat. Orang itu tinggi, rambutnya dicukur rapi, selalu pakai jas hitam." Anton mengingat-ingat ciri-ciri itu, tapi tidak ada nama yang langsung muncul di kepalanya. "Apa lagi?" "Adrian juga ngatur pergerakan barang di pelabuhan. Dia pakai jalur yang nggak bisa disentuh sama pihak berwenang. Ada orang dalam yang ngebantu dia." Anton menatap Reno dengan tajam. "Siapa?" Reno terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Kapten Budi." Luki langsung duduk tegak. "Serius? Kapten Budi? Dia udah lama kerja buat pihak kepolisian." Anton menyipitkan mata. "Berarti Adrian udah punya kaki di dalam sistem." Yuda menggeleng pelan. "Ini lebih dalam dari yang kita kira." Reno tampak semakin gelisah. "Dengar, gua ngasih tahu ini karena gua tahu Adrian bakal ngehabisin gua kalau dia tahu gua bocorin ini ke lu." Anton berdiri, menatap Reno dari atas. "Kalau lu nyari perlindungan, lu udah di tempat yang tepat." Reno menatap Anton penuh harap. "Lu bakal jaga gua?" Anton menatap Reno dingin. "Selama lu berguna buat gua." Reno mengangguk cepat. "Gua bakal kasih tahu semua yang gua tahu. Tapi lu harus tahu satu hal lagi…" Anton menyipitkan mata. "Apa?" Reno menelan ludah. "Adrian nggak cuma mau ambil alih kota ini. Dia mau hancurin semua yang udah lu bangun. Termasuk orang-orang di sekitar lu." Anton merasakan ketegangan menjalar ke seluruh tubuhnya. "Termasuk Rina?" Reno mengangguk pelan. "Gua dengar Adrian nyuruh seseorang buat nyari informasi soal Rina. Dia tahu kalau Rina itu titik lemah lu." Anton langsung berbalik, matanya menyala penuh kemarahan. Dia menatap Luki dan Yuda. "Siapkan orang-orang kita. Kita nggak bisa nunggu lagi." Luki berdiri. "Jadi kita serang duluan?" Anton menggenggam erat gagang pistol di balik jaketnya. "Adrian nyenggol gua udah cukup buruk. Tapi kalau dia berani nyenggol keluarga gua…" Anton berjalan ke pintu dan membukanya lebar. Udara malam yang dingin langsung menyapu masuk ke dalam ruangan. Anton menatap ke jalanan yang gelap di luar, matanya dingin dan penuh ketegasan. "Kalau dia berani nyentuh Rina, gua bakal pastiin Adrian lihat sendiri gimana rasanya kehilangan segalanya." Luki menyeringai. "Itu Anton yang gua kenal." Anton melangkah keluar, diikuti Luki dan Yuda. Reno masih duduk di kursi, terengah-engah, menyadari bahwa dia baru saja menyalakan api yang tidak akan mudah dipadamkan. Malam itu, Anton tahu bahwa Adrian sudah melangkah terlalu jauh. Dan kali ini, Anton tidak akan sekadar membalas. Dia akan menghancurkan Adrian—dan siapa pun yang berani berdiri di sisinya. Dan kalau Adrian pikir dia bisa memainkan Anton, maka dia baru saja membuka pintu ke neraka. Anton berdiri di ambang pintu, udara malam yang dingin menusuk kulitnya. Tatapannya lurus ke jalanan gelap di depan warung kopi. Di dalam pikirannya, bayangan Adrian dan ancaman terhadap Rina terus berputar tanpa henti. Dunia ini memang keras, tapi ada satu aturan yang tidak pernah berubah—kalau seseorang berani menyentuh keluarga Anton, maka tidak ada tempat di dunia ini yang bisa membuat mereka merasa aman. Luki dan Yuda berdiri di belakang Anton, menunggu instruksi selanjutnya. Suasana malam terasa sunyi, tapi Anton tahu badai sudah mulai terbentuk di bawah permukaan. Jika Adrian cukup berani untuk mencoba menyentuh Rina, maka itu artinya dia sudah siap menerima konsekuensinya. Anton menyalakan rokok, mengisapnya dalam-dalam sebelum mengembuskan asap pelan ke udara. "Besok pagi, kita mulai gerak. Kita cari tahu siapa saja orang-orang Adrian di dalam sistem. Polisi, pelabuhan, siapa pun yang ada di belakang dia—gua mau nama mereka di tangan gua sebelum matahari terbenam." Luki menyeringai. "Jadi, kita bikin Adrian kehabisan nafas sebelum dia sempat menyerang?" Anton menatap Luki dengan sorot mata dingin. "Nggak. Kita bikin dia ngerasain gimana rasanya kehilangan semuanya sebelum dia tahu apa yang terjadi." Yuda menatap Anton dengan serius. "Kalau Adrian nyenggol Rina?" Anton mencengkeram rokok di antara jarinya, matanya menyipit. "Kalau dia berani nyentuh Rina…" Anton membuang puntung rokok ke tanah dan menginjaknya. "…gua bakal pastiin Adrian nyesel pernah dilahirkan." Anton berbalik dan melangkah ke dalam warung kopi, meninggalkan Luki dan Yuda yang saling berpandangan. Luki tertawa kecil, lalu menatap Yuda. "Kayaknya Adrian nggak tahu siapa yang dia tantang." Yuda tersenyum samar. "Dia bakal tahu sebentar lagi." Malam itu, Anton tahu tidak ada lagi jalan mundur. Adrian sudah membuat langkah pertama, dan sekarang giliran Anton untuk bergerak. Dan jika Adrian berpikir dia bisa bertahan dari kemarahan Anton, maka dia jelas belum pernah merasakan bagaimana rasanya berhadapan langsung dengan Si Tangan Besi. Karena kali ini, Anton tidak akan berhenti sampai Adrian hancur sepenuhnya.Pagi belum benar-benar terang saat mobil Anton berhenti di depan rumah tua dekat sungai. Bangunannya reot, berlumut, dengan cat terkelupas dan pagar kayu yang hampir roboh. Tapi sesuatu di tempat itu terasa… terlalu tenang. Luki turun duluan, memeriksa sekitar. “Nggak ada kamera, nggak ada gerakan. Tapi tempat kayak gini biasanya nyimpen sesuatu. Atau seseorang.” Yudha turun sambil membawa alat pendeteksi logam dan pelacak sinyal kecil. “Kalau ada jebakan, biasanya nggak jauh dari ruang utama. Mereka suka sembunyiin sesuatu yang kelihatan gampang tapi dijaga mati-matian.” Anton berdiri di depan pintu, tangannya sudah menyentuh gagang. Tapi belum membuka. Ia diam, seperti mendengarkan rumah itu sendiri bernapas. Rina mendekat pelan, berdiri di sampingnya. “Om, kita yakin ini bukan jebakan?” “Nggak yakin,” jawab Anton. “Tapi kita harus tetep masuk dan jangan lupa tetep waspada.” --- Begitu pintu terbuka, bau kayu lembap dan cat tua langsung menyeruak. Langit-langit rendah,
Anton duduk di depan radio tua yang masih mereka simpan sejak markas pertama. Suara statis mendominasi frekuensi. Tak ada laporan. Tak ada kabar. Satu per satu, saluran komunikasi dengan para informan menghilang. Rina masuk ke ruangan sambil membawa tablet. Wajahnya pucat, tapi tetap berusaha tenang. "Om, tiga akun yang biasa kita pakai buat koordinasi... semuanya dikunci. Dan yang lebih aneh, satu jam sebelum itu, salah satu saksi kita ngirim pesan terakhir: 'Mereka udah masuk'. Setelah itu hilang." Anton menatap layar. "Berarti mereka pakai sistem Silencio buat bungkam semua suara sebelum kita bisa bicara." Luki masuk tergesa-gesa, membawa map cetak dari kantor pengacara independen. "Ini lebih gila dari yang kita kira. Dua jurnalis investigasi yang bantu kita... hilang. Satu katanya kabur ke luar negeri, satu lagi 'mengundurkan diri' mendadak. Kayak semua orang dapet memo buat mundur." Yudha mengangguk. "Ada tekanan dari atas. Bukan cuma Kota Gelap. Tapi sisa dari jaringan
Di tengah malam yang dingin, gudang markas kembali terisi oleh bunyi lembaran kertas yang dibuka, desisan mesin scanner, dan aroma kopi pahit yang sudah tidak sempat dinikmati. Koper yang mereka bawa dari perbukitan kini terbuka di tengah meja. Anton menatap isinya: berkas-berkas yang berumur lebih dari satu dekade, penuh cap merah, tanda tangan samar, dan bahasa kode lama yang hanya dimengerti segelintir orang. Rina membuka satu lembar dokumen yang agak rapuh. “Ini... data penyusunan struktur internal kelompok. Ada yang namanya sama dengan anggota dewan sekarang.” Yuda menambahkan, “Dan ini, catatan transfer senjata dari jalur militer bayangan. Artinya, sistem ini gak cuma masuk ke sipil. Mereka udah nyusup ke pertahanan sejak dulu.” Luki, yang dari tadi diam, membuka foto lama dari tumpukan. Wajah dalam foto itu membuatnya menahan napas. Ia menyodorkannya ke Anton. “Lu liat siapa di situ?” Anton memelototi foto itu. Di sana, berdiri seorang pria berjas putih, tersenyum le
Markas sementara kembali jadi tempat Anton dan timnya menata ulang rencana. Peta baru dibentangkan, nama-nama baru mulai muncul di dinding, dan wajah yang dulu samar kini semakin terang. Tapi yang paling membuat Anton gelisah bukan siapa yang mereka lihat—melainkan siapa yang belum muncul. “Lu yakin dia bagian dari lingkaran dalam?” tanya Yuda sambil menunjuk foto Direktur Audit yang mereka temui di rapat. Anton mengangguk. “Dia bukan bawahan. Dia pengatur alur. Gak semua pelaku harus kelihatan kotor.” Rina mengetik cepat di laptop, menelusuri data keuangan sang direktur. “Gak ada rekening mencurigakan. Tapi... dia punya satu keanehan.” “Apa?” tanya Luki yang sedang mengutak-atik senjata kecil di tangannya. Rina memutar layar. “Setiap bulan, ada transfer tetap ke sebuah yayasan pendidikan di luar kota. Tapi yayasan itu udah gak aktif sejak lima tahun lalu.” Anton menatap layar. “Alamat?” “Bandung. Tapi lebih tepatnya... di pinggiran. Daerah terpencil.” Yuda mengangkat alis. “Lu
Gedung Reformasi Kota berdiri menjulang di tengah kawasan elit. Dinding kacanya berkilau, interiornya dingin, penuh catatan-catatan rapi dan formalitas basa-basi yang menyamarkan satu hal: kekuasaan yang sedang bermain diam-diam. Hari itu, Anton hadir bukan sebagai pemburu, tapi sebagai bagian dari sistem yang ia incar. Diundang dalam rapat evaluasi komisi keamanan kota, bersama jajaran eksekutif, mantan pejabat militer, dan perwakilan dari sektor bisnis. Ia mengenakan jas yang sama seperti di forum—Armani, potongan sempurna, dasi biru gelap. Tapi kali ini, tak ada senyum di wajahnya. Di dalam ruangan kaca di lantai 23, para peserta mulai duduk. Nama-nama besar dari institusi yang dulu tak bisa disentuh: kepala dinas, CEO kontraktor pemerintah, tokoh publik yang katanya netral. Anton masuk terakhir, membawa map kecil dan satu pulpen hitam. Semua menoleh. Beberapa tersenyum sopan. Beberapa hanya mengangguk singkat. Tapi sorot mata mereka cukup jelas: tak nyaman, tak percaya, ata
Pagi itu, seluruh kota bicara soal satu hal: pertemuan dua bayangan di Lapangan Bawah. Tak ada rekaman, tak ada siaran resmi, tapi berita menyebar seperti kebakaran di musim kemarau. Beberapa bilang mereka melihat dua sosok berdiri diam berhadapan. Ada yang bersumpah mendengar tembakan—walau tidak pernah terbukti. Yang pasti, organisasi Kota Gelap mendadak sunyi. Aset mereka lumpuh. Petinggi-petingginya menghilang seperti ditelan bumi. Dan Anton… berubah. --- Tiga hari setelah pertemuan itu, sebuah gedung megah di pusat kota menggelar forum reformasi kriminalitas urban. Di lobi, para pejabat dan pengusaha berlalu-lalang dengan setelan mahal, suara sepatu kulit bergema di lantai marmer, dan tawa basa-basi memenuhi ruangan. Tapi perhatian mereka langsung terpecah ketika seseorang memasuki aula utama. Tinggi, berwibawa, berjalan dengan langkah mantap. Jas hitam potongan rapi. Dasi biru gelap. Sepatu pantofel mengkilap. Rambut disisir licin ke belakang. Tidak ada pistol. Tidak ada l