Malam terasa lebih kelam dari biasanya. Warung kopi Anton sudah tutup lebih awal, dan lampu-lampu di dalamnya dipadamkan. Anton duduk di meja paling belakang bersama Luki dan Yuda, peta besar kota terbentang di atas meja. Di peta itu, Anton telah memberi tanda pada beberapa titik penting—lokasi persembunyian anak buah Adrian, jalur distribusi ilegal di pelabuhan, dan titik-titik strategis yang bisa digunakan untuk memutus jaringan Adrian.
"Adrian udah mulai bergerak," kata Yuda, menusuk jarinya ke tanda merah di peta. "Orang-orangnya kelihatan di sekitar gudang di distrik barat tadi sore. Gua yakin mereka mulai mindahin barang ke tempat lain." "Dia tahu kita bakal nargetin jalurnya," tambah Luki. "Kalau kita mau hajar dia, kita harus gerak sebelum dia nutup semua celahnya." Anton menatap peta dengan mata menyipit. "Nggak. Kalau Adrian mulai mindahin barangnya, itu artinya dia panik. Kita biarin dia sibuk ngatur ulang posisi, sementara kita cari Inspektur Rahman dulu." Luki menoleh dengan ragu. "Lu yakin Rahman bakal cukup penting buat ngejatuhin Adrian?" Anton mengangguk pelan. "Rahman bukan cuma orang yang ngebantu Adrian di pelabuhan. Dia juga yang jaga orang-orang Adrian di kepolisian. Kalau kita tarik Rahman keluar dari permainan, Adrian bakal kehilangan perlindungan terbesarnya." Yuda menatap Anton. "Masalahnya, Rahman bukan orang bodoh. Dia pasti udah tahu kita bakal nyari dia." Anton menghembuskan napas panjang. "Itu kenapa kita harus bikin dia datang ke kita... dengan alasan yang nggak bisa dia tolak." Anton merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah amplop kecil. Dia membuka amplop itu, mengeluarkan beberapa foto. Foto-foto itu menunjukkan Rahman sedang berbicara dengan seorang pria bersenjata di belakang sebuah klub malam. Wajah Rahman jelas terlihat sedang menerima amplop berisi uang dari pria itu—bukti bahwa Rahman sudah bermain kotor. "Gua dapet ini dari Reno," jelas Anton. "Kalau Rahman tahu foto ini beredar, dia bakal panik. Dan orang panik gampang dibawa ke dalam jebakan." Luki menyeringai lebar. "Jadi kita buat dia datang sendiri?" Anton mengangguk. "Kita kasih dia pilihan: dateng ke kita, atau fotonya jatuh ke tangan yang lebih berbahaya." Yuda tertawa kecil. "Kalau dia datang bawa orang-orangnya?" Anton menatap Yuda dengan sorot mata tajam. "Kalau dia bawa orang-orangnya, berarti kita beresin mereka sekaligus." --- Malam berikutnya, Anton dan Luki menunggu di sebuah bengkel tua yang terbengkalai di pinggiran kota. Bengkel itu adalah tempat yang sengaja dipilih Anton—sepi, gelap, dan jauh dari pemukiman. Jika terjadi baku tembak, tidak akan ada orang tak bersalah yang terlibat. Yuda bersembunyi di lantai dua gedung seberang jalan, memegang senapan dengan teropong bidik. Dia akan menjadi mata Anton dari kejauhan jika situasi berubah buruk. Anton berdiri di tengah bengkel dengan foto-foto Rahman di tangannya. Dia tahu Rahman tidak akan datang sendirian. Dan benar saja, tak lama kemudian, suara mobil mendekat. Dua sedan hitam berhenti di depan bengkel. Enam pria keluar dari mobil, diikuti Rahman yang mengenakan jas hitam dan syal abu-abu. Anton menyeringai kecil. Rahman berusaha tampil tenang, tapi gerakannya kaku. Dia gugup. Rahman berjalan masuk ke bengkel, diapit dua anak buahnya yang bersenjata. "Anton…" katanya dengan suara rendah. "Gua nggak suka kalau orang kayak lu main kotor." Anton mengangkat foto-foto di tangannya. "Kalau gua main kotor, foto ini udah ada di meja atasannya lu." Rahman menyeringai, meski jelas wajahnya menegang. "Jadi lu mau apa?" Anton menatap Rahman tajam. "Gua mau Adrian. Lu buka semua jalur yang dia punya—siapa yang bantu dia, siapa yang jagain dia, semuanya." Rahman tertawa kecil. "Dan lu pikir gua bakal ngasih tahu cuma karena lu punya foto ini?" Anton mendekat selangkah. "Kalau foto ini nyebar, karier lu berakhir. Dan gua jamin Adrian bakal ngorbanin lu buat nutup masalahnya sendiri." Rahman diam sejenak, matanya bergerak gelisah. Dia tahu Anton benar. "Kalau gua kasih tahu lu... Adrian bakal bunuh gua." Anton menyeringai dingin. "Kalau lu nggak kasih tahu gua... gua yang bakal bikin lu mati lebih dulu." Rahman mengusap wajahnya dengan kasar, lalu mendesah berat. "Oke... gua bakal bicara." "Tunggu!" Suara keras tiba-tiba terdengar dari luar. Tembakan bergema, dan kaca depan bengkel pecah berhamburan. Rahman langsung merunduk, begitu pula Anton dan anak buahnya. "Dari mana mereka tahu kita di sini?" seru Yuda melalui radio di telinga Anton. Anton menggeram. "Adrian pasti tahu kita gerak!" Anton mengintip dari balik meja logam dan melihat empat pria bersenjata otomatis di luar, bergerak cepat mengelilingi bengkel. Satu dari mereka menembak ke arah pintu masuk, membuat debu dan pecahan beton beterbangan. "Yuda, ambil posisi mereka yang di kanan," ujar Anton tegas. "Siap," jawab Yuda. Dua detik kemudian, suara tembakan terdengar dari seberang jalan, dan salah satu pria bersenjata tumbang. Anton memberi isyarat pada Luki dan Yuda. "Kita keluar lewat pintu belakang." Mereka bergerak cepat ke belakang bengkel. Begitu keluar, mereka mendapati dua orang bersenjata lain sedang berjaga. Anton bergerak lebih dulu, menghantam satu orang dengan gagang pistol hingga terjatuh. Luki menembak pria kedua tepat di kakinya. Rahman berlari di belakang mereka, terengah-engah dengan wajah penuh ketakutan. "Lu janji lu bakal jaga gua!" serunya. Anton menarik Rahman mendekat dan mencengkeram kerah jasnya. "Kalau lu mau hidup, buka mulut lu sekarang." Rahman gemetar hebat. "Adrian punya gudang utama di distrik utara... semua orang pentingnya kumpul di sana. Mereka nyiapin serangan besar buat lu—mereka mau habisin lu dan Rina sekaligus!" Mata Anton menyala. Rahangya mengeras mendengar nama Rina disebut. "Lu yakin?" desis Anton. Rahman mengangguk cepat. "Gua denger mereka nyuruh orang buat ngawasin warung kopi lu juga..." Anton melepaskan Rahman dengan kasar dan menatap ke arah Luki dan Yuda. "Kita beresin ini malam ini juga." "Tunggu," sela Luki. "Kalau Adrian punya orang di sekitar warung kopi, berarti Rina dalam bahaya sekarang!" Anton menatap ke jalan yang gelap, pikirannya dipenuhi rasa khawatir yang menyesakkan. Dia tahu Adrian sudah terlalu jauh. "Lu dan Yuda bawa Rahman ke tempat aman," kata Anton dingin. "Gua harus ke warung kopi sekarang juga." Luki menatap Anton khawatir. "Lu yakin bisa sendiri?" Anton mengangguk, matanya penuh kemarahan yang membara. "Kalau Adrian berani nyentuh Rina..." Anton menarik pistolnya, memasangnya di pinggang. "...gua bakal bikin Adrian nyesel pernah kenal gua." Anton berlari ke mobilnya, mesin meraung keras saat dia melesat ke jalanan malam yang gelap. Di benaknya, hanya ada satu hal: memastikan Rina selamat. Dan jika Adrian menunggu di sana, Anton siap menutup permainan ini—dengan darah jika perlu. Anton melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, melewati lampu-lampu jalan yang berpendar di malam yang gelap. Tangannya mencengkeram erat kemudi, matanya menyipit tajam ke arah jalanan di depan. Di kepalanya, suara Rahman terus terngiang. "Mereka nyuruh orang buat ngawasin warung kopi lu juga." Jantung Anton berdegup kencang. Jika Adrian benar-benar berani menyentuh Rina, maka ini sudah bukan lagi soal perebutan kekuasaan—ini adalah perang pribadi. Ponsel di saku jaketnya bergetar. Anton menekan tombol di setir untuk mengaktifkan panggilan suara. "Anton!" suara Luki terdengar di seberang. "Gua dapet kabar, ada mobil asing berhenti di depan warung kopi lu sepuluh menit lalu. Tiga orang keluar, semuanya bersenjata." Anton mengepalkan rahangnya. "Rina di dalam?" "Terakhir kali gua cek, iya," jawab Luki dengan nada serius. "Anton, lu harus cepet!" Anton menekan pedal gas lebih dalam. Kecepatan mobil meningkat, suara mesin meraung di sepanjang jalanan kosong. Ketika belokan terakhir ke arah warung kopi semakin dekat, Anton bisa melihat mobil hitam yang diparkir di seberang jalan. Dua pria bersenjata berdiri di depan pintu warung, wajah mereka dingin dan waspada. Salah satu dari mereka membuka pintu, masuk ke dalam. Mata Anton menyala penuh kemarahan. Dia tahu apa yang akan terjadi jika dia terlambat satu detik saja. Anton merogoh pistol dari balik jaketnya dan menyelipkannya di pinggang. Napasnya berat, matanya penuh ketegangan. "Anton, jangan lakukan ini sendirian!" seru Luki dari seberang telepon. Anton mematikan panggilan dan menghentikan mobilnya dengan keras, roda mobil berdecit di atas aspal. Dia membuka pintu dan keluar dengan cepat, langsung menarik pistolnya. Langkah Anton mantap saat dia berjalan ke arah warung kopi. Pintu warung terbuka pelan, dan Anton bisa melihat bayangan pria bersenjata berdiri di dalam. Dan di sudut ruangan, Rina duduk di lantai dengan tangan terikat di belakang tubuhnya. Wajahnya pucat dan ketakutan. Pria bersenjata itu menoleh ke arah Anton dan menyeringai. "Anton… akhirnya lu datang." Anton mengangkat pistolnya, matanya menyala penuh amarah. "Kalau lu berani nyentuh Rina..." suara Anton rendah dan bergetar, "...gua bakal pastiin lu nggak bakal keluar dari sini hidup-hidup." Pria itu tertawa kecil. "Adrian kirim salam." Anton menekan pelatuk, suara tembakan pertama bergema di dalam ruangan. Dan malam itu, perang benar-benar dimulai.Pagi belum benar-benar terang saat mobil Anton berhenti di depan rumah tua dekat sungai. Bangunannya reot, berlumut, dengan cat terkelupas dan pagar kayu yang hampir roboh. Tapi sesuatu di tempat itu terasa… terlalu tenang. Luki turun duluan, memeriksa sekitar. “Nggak ada kamera, nggak ada gerakan. Tapi tempat kayak gini biasanya nyimpen sesuatu. Atau seseorang.” Yudha turun sambil membawa alat pendeteksi logam dan pelacak sinyal kecil. “Kalau ada jebakan, biasanya nggak jauh dari ruang utama. Mereka suka sembunyiin sesuatu yang kelihatan gampang tapi dijaga mati-matian.” Anton berdiri di depan pintu, tangannya sudah menyentuh gagang. Tapi belum membuka. Ia diam, seperti mendengarkan rumah itu sendiri bernapas. Rina mendekat pelan, berdiri di sampingnya. “Om, kita yakin ini bukan jebakan?” “Nggak yakin,” jawab Anton. “Tapi kita harus tetep masuk dan jangan lupa tetep waspada.” --- Begitu pintu terbuka, bau kayu lembap dan cat tua langsung menyeruak. Langit-langit rendah,
Anton duduk di depan radio tua yang masih mereka simpan sejak markas pertama. Suara statis mendominasi frekuensi. Tak ada laporan. Tak ada kabar. Satu per satu, saluran komunikasi dengan para informan menghilang. Rina masuk ke ruangan sambil membawa tablet. Wajahnya pucat, tapi tetap berusaha tenang. "Om, tiga akun yang biasa kita pakai buat koordinasi... semuanya dikunci. Dan yang lebih aneh, satu jam sebelum itu, salah satu saksi kita ngirim pesan terakhir: 'Mereka udah masuk'. Setelah itu hilang." Anton menatap layar. "Berarti mereka pakai sistem Silencio buat bungkam semua suara sebelum kita bisa bicara." Luki masuk tergesa-gesa, membawa map cetak dari kantor pengacara independen. "Ini lebih gila dari yang kita kira. Dua jurnalis investigasi yang bantu kita... hilang. Satu katanya kabur ke luar negeri, satu lagi 'mengundurkan diri' mendadak. Kayak semua orang dapet memo buat mundur." Yudha mengangguk. "Ada tekanan dari atas. Bukan cuma Kota Gelap. Tapi sisa dari jaringan
Di tengah malam yang dingin, gudang markas kembali terisi oleh bunyi lembaran kertas yang dibuka, desisan mesin scanner, dan aroma kopi pahit yang sudah tidak sempat dinikmati. Koper yang mereka bawa dari perbukitan kini terbuka di tengah meja. Anton menatap isinya: berkas-berkas yang berumur lebih dari satu dekade, penuh cap merah, tanda tangan samar, dan bahasa kode lama yang hanya dimengerti segelintir orang. Rina membuka satu lembar dokumen yang agak rapuh. “Ini... data penyusunan struktur internal kelompok. Ada yang namanya sama dengan anggota dewan sekarang.” Yuda menambahkan, “Dan ini, catatan transfer senjata dari jalur militer bayangan. Artinya, sistem ini gak cuma masuk ke sipil. Mereka udah nyusup ke pertahanan sejak dulu.” Luki, yang dari tadi diam, membuka foto lama dari tumpukan. Wajah dalam foto itu membuatnya menahan napas. Ia menyodorkannya ke Anton. “Lu liat siapa di situ?” Anton memelototi foto itu. Di sana, berdiri seorang pria berjas putih, tersenyum le
Markas sementara kembali jadi tempat Anton dan timnya menata ulang rencana. Peta baru dibentangkan, nama-nama baru mulai muncul di dinding, dan wajah yang dulu samar kini semakin terang. Tapi yang paling membuat Anton gelisah bukan siapa yang mereka lihat—melainkan siapa yang belum muncul. “Lu yakin dia bagian dari lingkaran dalam?” tanya Yuda sambil menunjuk foto Direktur Audit yang mereka temui di rapat. Anton mengangguk. “Dia bukan bawahan. Dia pengatur alur. Gak semua pelaku harus kelihatan kotor.” Rina mengetik cepat di laptop, menelusuri data keuangan sang direktur. “Gak ada rekening mencurigakan. Tapi... dia punya satu keanehan.” “Apa?” tanya Luki yang sedang mengutak-atik senjata kecil di tangannya. Rina memutar layar. “Setiap bulan, ada transfer tetap ke sebuah yayasan pendidikan di luar kota. Tapi yayasan itu udah gak aktif sejak lima tahun lalu.” Anton menatap layar. “Alamat?” “Bandung. Tapi lebih tepatnya... di pinggiran. Daerah terpencil.” Yuda mengangkat alis. “Lu
Gedung Reformasi Kota berdiri menjulang di tengah kawasan elit. Dinding kacanya berkilau, interiornya dingin, penuh catatan-catatan rapi dan formalitas basa-basi yang menyamarkan satu hal: kekuasaan yang sedang bermain diam-diam. Hari itu, Anton hadir bukan sebagai pemburu, tapi sebagai bagian dari sistem yang ia incar. Diundang dalam rapat evaluasi komisi keamanan kota, bersama jajaran eksekutif, mantan pejabat militer, dan perwakilan dari sektor bisnis. Ia mengenakan jas yang sama seperti di forum—Armani, potongan sempurna, dasi biru gelap. Tapi kali ini, tak ada senyum di wajahnya. Di dalam ruangan kaca di lantai 23, para peserta mulai duduk. Nama-nama besar dari institusi yang dulu tak bisa disentuh: kepala dinas, CEO kontraktor pemerintah, tokoh publik yang katanya netral. Anton masuk terakhir, membawa map kecil dan satu pulpen hitam. Semua menoleh. Beberapa tersenyum sopan. Beberapa hanya mengangguk singkat. Tapi sorot mata mereka cukup jelas: tak nyaman, tak percaya, ata
Pagi itu, seluruh kota bicara soal satu hal: pertemuan dua bayangan di Lapangan Bawah. Tak ada rekaman, tak ada siaran resmi, tapi berita menyebar seperti kebakaran di musim kemarau. Beberapa bilang mereka melihat dua sosok berdiri diam berhadapan. Ada yang bersumpah mendengar tembakan—walau tidak pernah terbukti. Yang pasti, organisasi Kota Gelap mendadak sunyi. Aset mereka lumpuh. Petinggi-petingginya menghilang seperti ditelan bumi. Dan Anton… berubah. --- Tiga hari setelah pertemuan itu, sebuah gedung megah di pusat kota menggelar forum reformasi kriminalitas urban. Di lobi, para pejabat dan pengusaha berlalu-lalang dengan setelan mahal, suara sepatu kulit bergema di lantai marmer, dan tawa basa-basi memenuhi ruangan. Tapi perhatian mereka langsung terpecah ketika seseorang memasuki aula utama. Tinggi, berwibawa, berjalan dengan langkah mantap. Jas hitam potongan rapi. Dasi biru gelap. Sepatu pantofel mengkilap. Rambut disisir licin ke belakang. Tidak ada pistol. Tidak ada l