Bandara Soekarno-Hatta, Terminal 3 Ultimate. Pagi masih berkabut, jam digital di dinding menunjukkan 06:10 WIB. Rombongan Neuverse Technologies baru saja keluar dari pesawat setelah 21 jam perjalanan plus satu sesi sarkas Rika level dewa.
Dan sekarang: medan perang berikutnya—imigrasi.“Rel, paspor kamu mana?” bisik Mira sambil menengok ke belakang saat antri. “Kalau hilang, kita enggak bisa ngakuin kamu di berita kantor.”“Tenang, Bu. Aku bukan alien,” sahut Aurelie sambil menunjukkan paspornya, masih setengah menguap.Di depan, Reza berdiri dengan ekspresi super serius, seperti sedang wawancara beasiswa.“Pak, saya baru balik dari Boston. Pitching sistem backend pakai model predictive.”Petugas imigrasi menatap datar. “Tujuan kamu ke luar negeri, Mas?”“Kerja. Tapi juga representasi bangsa,” jawab Reza mantap.“Zaaaa,” panggil Rika dari belakang, “Lo tuh ngelantur kenapa kayak mau daftar RI-1 sih. Udah deh, masukin jempol, senyum, beres.”Bandara Soekarno-Hatta, Terminal 3 Ultimate. Pagi masih berkabut, jam digital di dinding menunjukkan 06:10 WIB. Rombongan Neuverse Technologies baru saja keluar dari pesawat setelah 21 jam perjalanan plus satu sesi sarkas Rika level dewa.Dan sekarang: medan perang berikutnya—imigrasi.“Rel, paspor kamu mana?” bisik Mira sambil menengok ke belakang saat antri. “Kalau hilang, kita enggak bisa ngakuin kamu di berita kantor.”“Tenang, Bu. Aku bukan alien,” sahut Aurelie sambil menunjukkan paspornya, masih setengah menguap.Di depan, Reza berdiri dengan ekspresi super serius, seperti sedang wawancara beasiswa.“Pak, saya baru balik dari Boston. Pitching sistem backend pakai model predictive.”Petugas imigrasi menatap datar. “Tujuan kamu ke luar negeri, Mas?”“Kerja. Tapi juga representasi bangsa,” jawab Reza mantap.“Zaaaa,” panggil Rika dari belakang, “Lo tuh ngelantur kenapa kayak mau daftar RI-1 sih. Udah deh, masukin jempol, senyum, beres.”
Lobi hotel sudah dipenuhi koper. Mira duduk sambil menggulung kabel charger, Reza memandangi jam tangan lima menit sekali, dan Rika sudah berdiri sejak sepuluh menit lalu—sepatu high heels-nya mengetuk lantai marmer berirama kesal.“Udah jam 08.25,” gumam Rika. “Mobil jemput ke bandara katanya jam setengah sembilan.”“Tenang, pasti pak Shaquelle yang telat,” ujar Reza sambil meregangkan leher. “Biasanya gaya CEO tuh sengaja dateng belakangan biar kelihatan sibuk.”Mira menggeleng. “Tapi Aurelie juga belum turun.”Ketiganya saling pandang.Rika menaikkan alis. “Jangan bilang… mereka bareng?”“Gila. Makin jelas aja,” desis Reza.Dan benar saja, lift berbunyi. Pintu terbuka. Keluar dua orang—Aurelie dan Shaquelle. Saling jaga jarak. Tapi bukan jarak yang cukup menyelamatkan.Shaquelle masih dengan hoodie hitam dengan merek old money dan koper carry-on. Aurelie di belakangnya mengenakan kemeja putih longgar dan celana jeans. Rambutnya masih lembap, sisa mandi terburu-buru. Dan lan
Di dalam apartemen penthouse mewah yang menghadap ke Sungai Spree, Greta Müller duduk di depan TV besar dengan segelas kopi hitam di tangan kanan dan ponsel di tangan kiri—jempolnya terus menggulir feed sosial media, lambat dan waspada.Dia tidak sedang cari berita. Tapi begitu satu unggahan video muncul—dari akun media teknologi Asia—Greta berhenti menggulir.“Neuverse Technologies Jakarta steals the spotlight at Boston Tech Gala.”Thumbnail-nya: pria jangkung dengan jas hitam dan senyum setengah, berdiri di panggung dengan satu tangan menunjuk ke layar. Siapa lagi kalau bukan Shaquelle Prince Folke.Greta mengecilkan volume musik klasik yang tadinya mengalun pelan. Fokusnya berpindah total.Dia menekan play.Klip dimulai dengan presentasi tim Neuverse. Di layar terpampang sorotan kamera dari gala dinner semalam. Semua yang hadir berdiri, bertepuk tangan. Lalu masuk suara narator:“Salah satu highlight datang dari tim R&D Neuverse Jakarta, dipimpin langsung oleh CEO-nya, Shaqu
Pintu otomatis loby hotel terbuka dan lima manusia—berpakaian formal tapi dengan ekspresi seperti habis maraton karaoke—masuk ke lobi dengan langkah gontai.Reza menguap sambil masih menggenggam botol air mineral dari bar. “Kapan terakhir kita pulang dari kerja sambil agak mabuk gula dan tertawa karena musik jazz, ya?”“Kayaknya waktu deadline bulan lalu, tapi minus jazz dan plus kopi tiga galon,” jawab Mira yang sudah melepas heels-nya dan kini berjalan nyeker sambil menggoyang-goyangkan sepatu di tangan.Rika menyandarkan tubuh ke dinding lift. “Ini kenapa lift hotel mahal jalannya kayak nenek-nenek pensiun?”Shaquelle berdiri dengan jas setengah terbuka, dasi sudah dilonggarkan sejak bar tadi. Dia menoleh ke semua anak buahnya dan menggumam dramatis, “Gue hanya ingin kalian tahu… kalian semua telah menjadi gila. Tapi gue bangga.”Aurelie berdiri diam di belakang, menahan tawa melihat CEO-nya mulai melantur.Reza tertawa. “Pak, jangan sentimental. Nanti saya peluk, baru tau ra
Aurelie berdiri di depan cermin kamar hotelnya. Gaun selutut warna navy gelap, potongan simpel tapi elegan. Rambutnya disanggul rendah, dengan anting mutiara kecil yang dipinjamkan Mira.Shaquelle mengetuk pintu.Begitu Aurelie membukanya, pria itu berdiri di sana—jas hitam slim fit, dasi perak, dan senyum yang hanya bisa diartikan satu hal : “Gue udah siap kehilangan kendali.”“Kamu cantik banget,” katanya datar, nyaris serak.Aurelie berusaha menjaga ekspresi. “Kamu juga. Mirip aktor film Marvel. Versi lebih sombong, tapi.”Shaquelle menyeringai. “Siap, Putri Neuverse?”Mereka berangkat bersama. Namun ketika masuk ke ballroom—keduanya memberikan waktu jeda.Tetap menjaga ilusi: CEO dan intern, bukan pasangan backstreet yang tadi hampir ciuman di balkon Boston Tech Collective.Ballroom hotel itu seperti diambil dari film James Bond. Langit-langit kristal. Lampu gantung seberat mobil. Piano klasik berdenting pelan. Semua tamu memakai jas, dasi, dan gaun hitam.Mira, Reza, dan
Kota Boston pagi itu diguyur cahaya keemasan. Daun-daun di pinggir jalan berguguran, warnanya coklat-kemerahan—seperti dalam postcard musim gugur.Di dalam mobil mewah yang membawa tim R&D Neuverse, suasana relatif tenang. Rika sibuk membuka laptop. Reza mendengarkan musik lewat earphone. Mira ngobrol dengan supir tentang rute kampus MIT.Di kursi paling belakang, Shaquelle duduk di pojok. Di sampingnya, Aurelie.Mobil bergoyang pelan di atas jalan bebatuan. Aurelie merapatkan blazer-nya. Boston lebih dingin dari dugaannya.Tanpa suara, Shaquelle membuka jasnya dan menyelimutkan ke pundak Aurelie.“Eh… enggak usah ,” gumam Aurelie.Shaquelle mencondongkan tubuh sedikit, membisik pelan. “Tapi kamu kedinginan. Dan kamu cewek aku. Jadi aku enggak perlu diminta.”Aurelie melirik. “Kamu tahu enggak, kamu tuh kadang nyebelin banget.”Shaquelle tersenyum. “Tapi kamu enggak bisa nolak, kan?”Aurelie berpaling ke jendela. Tapi tangannya diam-diam