Gaji? Dapet. Cinta? Kejebak. Aurélie Alana Heindrichs cuma ingin lulus kuliah tepat waktu. Magang di kantor milik keluarga Tante Zara terdengar seperti ide aman… sampai CEO-nya muncul. Shaquelle Prince Folke. Anak konglomerat. Jenius IT. Playboy sarkastik. Aura bossy-nya bisa bikin AC kalah dingin. Dan sejak melihat Aurélie pertama kali, dia langsung menetapkan satu misi: memiliki gadis kalem itu, apapun caranya. Masalahnya, Aurélie bukan tipe cewek yang bisa ditaklukkan dengan senyuman maut dan mobil sport. Tapi Shaquelle? Dia bukan tipe cowok yang bisa ditolak begitu saja. Apalagi saat takdir—dan trik licik khas CEO playboy—membuat Aurélie masuk perangkap yang bahkan dia sendiri tak tahu cara keluar…
Lihat lebih banyak“Magang … di mana, Mi?”
Aurelie memandangi sang mami dengan ekspresi setengah percaya, setengah syok. Tangannya masih memegang sendok sup, tapi isi mulutnya sudah hambar sejak mendengar nama itu keluar dari mulut ibunya. “Di Neuverse Technologies. Perusahaan teknologi milik keluarga dokter Zara,” jawab dokter Nadira Amarante tenang, seolah baru menawarkan liburan ke Bali, bukan magang di markas besar konglomerat yang CEO-nya dikenal sebagai pria paling tidak bisa diprediksi se-Jakarta. Aurelie menahan napas. “Yang… yang CEO-nya itu? Yang—” “Ya, Shaquelle Prince Folke.” Sang mami memotong tanpa menatap Aurelie. “Anak dari tante Kejora-adik iparnya dokter Zara-bungsu keluarga Gunadhya yang menikah dengan Konglomerat Jerman. Kata dokter Zara, Shaquelle itu jenius. Lulusan doktoral dari Jerman juga, sama kayak almarhum papi kamu.” Tentu saja dia tahu siapa Shaquelle. Seluruh feed media sosial kampusnya sempat dipenuhi berita munculnya sang pewaris muda dari Jerman. Semua cewek membicarakan pria itu seperti dia perpaduan Elon Musk, Lee Min Ho, dan iblis tampan dalam drama Korea. Tapi yang tidak semua orang tahu—atau pilih pura-pura tidak tahu—adalah reputasinya yang… chaotic. CEO satu itu dikenal slengean, terlalu tampan untuk jadi bos dan terlalu tajir untuk disalahkan. “Mi, aku bisa cari tempat magang sendiri. Udah banyak kok yang nerima,” kata Aurelie, mencoba terdengar sopan, tapi intonasinya jelas: tolak sekarang atau aku kabur ke gunung. Tapi mami Nadira hanya menatap anaknya sambil menyuap nasi ke mulut. “Dokter Zara yang menyarankan. Dia juga udah bilang sama keponakannya itu. Enggak enak lah kalau ditolak.” Aurelie menunduk. Di rumah, dia boleh keras kepala. Tapi kalau sudah menyangkut dokter Zara—sosok yang berjasa besar dalam hidup ibunya—dia tahu diri. Sialan. Sangat sial. “Kamu akan langsung diterima, Rel … harusnya kamu bersyukur, teman-teman kamu pasti susah dapet tempat magang yang bagus … siapa tahu setelah lulus nanti kamu bisa kerja di sana dan minta ditempatkan di Jerman … bukannya kamu selalu ingin tinggal di Jerman, di tempat kelahiran mendiang papi kamu?” Aurelie tampak sedang berpikir. “Ya udah, terima aja … lagian ‘kan belum tentu ketemu sama CEO-nya setiap hari.” Suara dari hatinya menenangkan. Aurelie mengembuskan nafas panjang. “Aurel bisa dibully sama teman-teman, Mi … mereka ingin magang di perusahaan itu juga.” Bibir Aurel mengerucut. “Tuh ‘kaaan … Mami bilang apa, kamu seharusnya bersyukur … mereka ingin magang di sana tapi enggak ada kesempatan, sedangkan kamu bisa langsung masuk.” “Iya iya, Aurel bersyukur ini, Mi ….” Aurelie bangkit dari kursi meja makan, dia telah selesai makan malam. “Eh … mau ke mana?” Mami Nadira menghentikan langkah Aurel yang hendak meninggalkan ruang makan. “Mau ke kamar ….” “Cuci dulu piringnya, anak gadis harus rajin kerjain pekerjaan rumah biar suaminya nanti makin sayang.” Aurelie merotasi bola matanya. “Alasan apa itu, Mi.” Tapi Aurelie kembali juga ke meja makan membereskan alat makannya. “Loh iya ‘kan? Papi kamu dulu jatuh cinta sama Mami karena meski Mami dokter tapi multi tasking, bisa mengerjakan pekerjaan rumah juga, masak, ngurus anak.” Nadira menyimpan piring bekas makannya di atas piring yang dibawa sang putri. “Mi, ‘kan kita ada asisten rumah tangga, lagian Aurel mau nikah sama pria sukses yang bisa bayarin asisten rumah tangga.” Aurelie bersungut-sungut sembari mencuci piring. “Ah kamu nimpalin aja … jangan lupa matiin lampunya ya nanti.” Nadira pergi dengan langkah santai menuju kamarnya di lantai dua. *** Dua hari kemudian, Aurelie berdiri di depan gedung pencakar langit berlapis kaca hitam dengan logo Neuverse Technologies terpampang megah. Dari luar, bangunannya elegan dan futuristik. Dari dalam, mungkin neraka korporat sedang menunggu. “Kamu bisa, Aurelie,” gumamnya pelan. “Hanya magang. Tiga bulan. Lulus. Selesai.” Jadi sebenarnya Aurelie bukan hanya malas bertemu CEO problematik dan tidak ingin di bully teman-temannya karena bisa magang di sini melalui jalur orang dalam tapi karena Aurelie juga malas bertemu orang baru yang selalu menguras energinya. Dan detik ketika dia melangkah ke lobby, Aurelie langsung sadar: dia sudah masuk ke dunia yang sama sekali berbeda. Dunia dasi mahal, sepatu mengkilap, tatapan tajam, dan—sayangnya—CEO yang aura intimidasinya terasa dari lift paling ujung. Kemudian nasibnya berubah sejak hari itu. Karena tepat saat ia akan duduk di ruang tunggu staf magang, suara berat dan cuek menyapa di belakangnya. “Jadi ini yang katanya terlalu pintar untuk jadi sekadar intern?” Aurelie menoleh. Pria itu berdiri bersandar di dinding. Setelan abu-abu elegan. Wajah setengah senyum seperti tahu semua dosa orang. Rambut acak terawat. Dan mata… oh, mata itu. Seolah bisa melihat isi pikiranmu dan menertawakannya pelan-pelan. Shaquelle Prince Folke. CEO Neuverse Technologies cabang Asia Pasifik. Pria itu mengulurkan tangan. “Welcome to the hell, Aurelie Alana Heindrichs. You’re gonna love it here.” Dan dia tersenyum. Senyum seorang pria yang sangat yakin: permainan baru saja dimulai. Aurelie menatap tangan yang terulur ke arahnya, lalu menatap pemilik tangan itu. Wajahnya mungkin terlalu tampan untuk ukuran manusia normal, tapi ada senyum sombong di sana. Bukan senyum ramah. Lebih mirip tantangan. Ia tidak menjabat tangan itu membuat tangan Shaquelle menggantung di udara dan sadar tidak mendapat sambutan, Shaquelle memasukannya kembali ke dalam saku celana. Beberapa anak magang yang ada di sana menjadikan mereka tontonan gratis. “Kalau ini neraka, aku harap cuma magang. Jadi aku bisa cepat-cepat lulus dan keluar,” jawab Aurelie tenang. Shaquelle terkekeh pendek. “Luar biasa. Cewek magang pertama yang ngasih balasan. Biasanya mereka langsung gugup atau naksir.” “Ada kemungkinan aku hanya gugup. Tapi naksir? Enggak, makasih…,” ucap Aurelie, lalu berbalik duduk di ruang tunggu, membuka tablet dan mulai membaca briefing program magangnya. Shaquelle mengangkat alis. “Kamu tahu aku siapa?” Dia mengikuti Aurelie lantas duduk di depannya. “Shaquelle Prince Folke. CEO cabang Asia Pasifik Neuverse Technologies. Lulusan doktor IT dari Berlin, anak konglomerat, dan menurut rumor, playboy kampus yang lulus cepat karena menuruni kejeniusan dari papanya… semua sampai heran karena selain belajar, kerjaan Bapak itu pacaran.” Mata Shaquelle membulat kecil, lalu tertawa pelan. “Wow. Research kamu akurat. Tapi sayang, data kamu kurang satu: aku enggak pacaran. Aku bersosialisasi. Intens.” Shaquelle menaik turunkan kedua alisnya. “Sayangnya, aku bukan fans sosialisasi Bapak.” “Belum … jangan bilang bukan, nanti juga kamu ngefans sama aku.” Aurelie menatap tajam. “Enggak akan pernah.” Shaquelle terdiam sejenak. Matanya memerhatikan gadis itu dari ujung rambut hingga sepatu. Tak ada riasan berlebihan, hanya bedak tipis dan lip balm. Rambut diikat rapi. Pakaian kerja sederhana, tapi elegan. Wajahnya tenang, tatapannya lurus, dan yang paling mencolok: tidak terintimidasi. Jarang sekali seseorang bisa berdiri di depannya tanpa gugup—apalagi seorang intern. “Kenapa kamu mau magang di sini?” tanya Shaquelle lagi. “Karena disarankan oleh dokter Zara. Mamiku dokter di rumah sakit beliau,” jawab Aurelie tanpa emosi. “Jadi bukan karena keinginan sendiri?” Aurelie menggeleng pelan. “Pagi Pak,” sapa Dani dari bagian HRD. “Pagi ….” Shaquelle membalas. “Ijin Pak mau manggil anak-anak intern, Pak.” “Oh … Silahkan.” Dani memanggil satu persatu nama pekerja magang. “Sampai ketemu lagi nanti, Aurel.” Shaquelle tersenyum. Senyum itu masih menggantung saat Aurelie menghilang di balik pintu lift meski sang gadis tidak merespon dengan balas tersenyum balik. Dengan santainya Shaquelle, bersandar lagi di sofa. Matanya menatap langit-langit. “Sombong, cerdas, kalem… dan enggak takut sama aku.” Ia tertawa kecil. “Ini akan seru.” Shaquelle bangkit dari sofa. Dia melangkah menuju ruangannya yang ada di lantai yang sama. “Pagi Pak.” Celica-sekretaris Shaquelle membukakan pintu. “Pagi ….” Celica mengikuti Shaquelle hingga duduk di kursinya lalu memberikan ipad berisi update pekerjaan yang harus pria itu lakukan hari ini. “Thanks, Cel.” Celica lantas undur diri dari ruangan itu. Beberapa saat kemudian ponsel yang dia baru saja letakan di atas meja bergetar. Nama tantenya tertera di layar. “Hallo Tante?” Shaquelle menjawab santai. “Shaq, anaknya teman Tante hari ini magang di kantor kamu … namanya Aurel, yang waktu itu pernah Tante ceritain sama kamu, kamu udah ketemu?” “Udah Tante, ‘kan Tante yang bilang harus menemui langsung anaknya teman Tante yang jenius ini, sebenarnya yang CEO siapa sih, Tan?” Tante Zara tertawa di ujung panggilan sana. “Anaknya pemalu, Shaq … dia bingung nanti kalau enggak kamu arahin.” “Pemalu apaan, Tan … dia nantangin terus sewaktu aku ajak ngobrol.” “Oh ya? Bukan nantangin kali Shaq, kalau orang pendiem dan pemalu itu terkadang suka terlihat tegas padahal dia sedang berusaha untuk menjadi normal.” Tante Zara membela. “Iya … iya … pokoknya dia aman sama aku.” “Kamu tempatkan dia di mana?” Tante Zara kepo. “Dia akan jadi asisten proyek di divisi R&D, ‘kata Tante dia jago coding, kan?” “Iya, anaknya pinter Shaq … Kamu akan membutuhkan karyawan seperti dia nanti.” “Oke Tan ... buat Tante, apa sih yang enggak.” “Iiih, anak pinter … keponakan Tante tersayang.” “Ah Tante, semua keponakan Tante dipuji kaya gitu.” Shaquelle pura-pura merajuk dan tawa tante Zara kembali tercetus. “Ya udah … sampai ketemu weekend nanti ya, By the way, makasih bantuannya ya Shaq.” “Dengan senang hati Tante.” Keduanya memutus sambungan telepon. Bibir Shaquelle tiba-tiba tersenyum mengingat tampang gugup menggemaskan Aurelie ketika dia menghampirinya tadi meski gadis itu pura-pura tegas tidak terintimidasi. Kelopak mata dengan bulunya yang lentik milik Aurelie mengibas dengan sering ketika bicara. Hidung Aurelie yang mancung dan mungil juga bibirnya yang tebal masih terekam jelas dalam benak Shaquelle dan berhasil membuat hawa panas menyeruak dari dalam tubuhnya. Shaquelle menggelengkan kepala pelan sembari mendengkus untuk mengenyahkan adegan dewasa bersama Aurelie yang tiba-tiba melintas dalam benaknya.Shaquelle duduk dengan laptop terbuka, tangan kirinya menahan dagu, dan pandangan tertuju ke skema struktur sistem backend SamaSama.id yang terproyeksi di layar.Aurelie berdiri di depan papan, memegang spidol hijau. Ia baru saja selesai menggambar alur UX baru yang lebih sederhana untuk pengguna lansia. Outfit casual office yang ia kenakan membuatnya tampak seperti designer startup sungguhan. Tapi raut wajahnya menunjukkan ia tahu ruangan ini … terlalu sunyi.Shaquelle bicara duluan.“Alur kamu bagus. Tapi ada satu titik bottleneck di form verifikasi.”Aurelie menoleh. “Maksudnya waktu user harus unggah KTP?”Shaquelle mengangguk. “Untuk pengrajin yang gaptek, itu bisa jadi titik gagal.”Aurelie berpikir. “Mungkin pakai sistem pendampingan dari relawan? Atau justru verifikasi manual via call?”“Berisiko overload. Tapi bisa kita coba.”Mereka diam lagi. Suara AC menjadi satu-satunya suara.Aurelie membalikkan badan, menyandarkan spidol ke meja. “Shaq.”“Hm?”Aurelie terdiam
“Rel!” seru Rania dari depan meja resepsionis. Aurelie menoleh kemudian balas melambaikan tangan begitu melewati pintu kaca besar yang dengan sensornya bisa terbuka sendiri.“Terimakasih sudah menunggu … Sorry aku telat.” “Santai aja, kita juga baru sampe kok,” sahut Dipo santai. Matanya mengedar ke sekeliling, mengagumi desain interior dan eksterior gedung Neuverse Technologies yang futuristik ini. “Yuk … kita ke lantai 21, tadi malam Shaq … eh maksud aku, pak Shaquelle infoin kalau ruangan kita ada di lantai 21.” Aurelie berjalan lebih dulu memandu mereka masuk ke dalam lift.Tentu dia sudah hapal denah gedung ini.Lift berdenting pelan saat tiba di lantai 21. Pintu terbuka, memperlihatkan lorong dengan penerangan hangat dan aroma lem kayu yang masih baru. Aurelie melangkah keluar duluan, diikuti Rania dan Dipo yang menenteng laptop dan tote bag penuh post-it, kabel, dan semangat yang sedikit gugup.“Jadi… ini lantainya?” tanya Rania pelan, menoleh ke kanan dan kiri dengan
Shaquelle baru saja menekan tombol lift menuju lantai 21 ketika suara pintu ruang R&D terbuka dan tiga sosok familiar keluar sambil membawa laptop dan kopi dingin masing-masing.Mira menatap Shaquelle dari pintu dan langsung menyipitkan mata penuh kecurigaan.Reza, yang paling cerewet sekaligus jago coding, langsung menyikut Rika dengan ekspresi datar yang bisa berubah sangat sarkastik dalam lima detik.“Eh, eh, eh… Lihat siapa yang lagi rajin naik ke lantai 21 …,” bisik Reza, cukup keras agar tetap terdengar oleh target utamanya.Shaquelle, yang sudah setengah melangkah masuk lift, menoleh perlahan.“Gue ke lantai 21 mau ngecek ruangan baru buat proyek sosial kampus,” jelasnya datar, tidak menutup-nutupi.Mira menautkan alis, lalu menyipitkan mata. “Proyek sosial kampus? Proyek sosial Aurel, maksudnya?”Shaquelle terbatuk pelan. “Nama project-nya SamaSama.id, bukan Aurel.id .…”“Oke… oke,” sahut Rika sambil mengangkat satu alis, “Tapi aneh aja. Kita udah setahun minta ruangan
Aurelie mengetik kata terakhir di halaman kesimpulan. Tangannya berhenti, perlahan menekan ctrl + s.Dia tidak menangis. Tidak melompat. Tidak berteriak.Dia hanya menghela napas panjang.Skripsi selesai.Di kamar yang jadi markas belajarnya selama ini—dinding penuh sticky notes, jam dinding yang terlambat tujuh menit, dan printer yang suka mogok—Aurelie duduk diam dengan, bibirnya tersenyum lega.Tiga bulan terakhir bukan bulan yang mudah. Tapi bukan juga bulan yang hancur.Shaquelle menepati janjinya. Tidak memaksa. Tidak menghilang. Hanya hadir sebagai support sistem tak kasat mata.*Kampus – Hari Sidang SkripsiRuang sidang berpendingin udara tapi tetap terasa panas.Aurelie berdiri tegak. Presentasinya selesai. Ibu Ratna Karina—dosen pembimbing sekaligus dosen favoritnya—menyilangkan tangan.“Presentasi kamu padat. Bahasanya teknis, tapi bisa dipahami. Hasilnya nyata dan aplikatif.”Aurelie menahan napas.“Dan… saya senang kamu memilih topik ini. Karena dunia butuh le
Kampus mulai gelap. Hujan turun sejak siang, membuat semua trotoar basah dan memantulkan cahaya lampu taman yang pucat. Suasana seperti dunia yang dibungkam—hanya suara rintik, bisik daun, dan langkah kaki orang-orang yang terburu-buru pulang.Aurelie keluar dari ruang diskusi di lantai tiga gedung teknik, membawa satu map besar dan tas ransel yang berat. Wajahnya letih. Matanya sembab. Dosen pembimbingnya hari itu terlalu perfeksionis. Revisi kecil menjadi besar. Masukan singkat menjadi kuliah dua jam.Langkahnya pelan menuruni tangga. Di gerbang utama, ia hampir terpeleset karena keramik licin, tapi berhasil menjaga keseimbangan. Saat ia bersiap menyeberang, sebuah mobil hitam berhenti pelan.Jendela dibuka sedikit. Wajah dengan masker dan hoodie menunduk, lalu melambai pelan.Aurelie menahan napas.“Shaquelle?”“Bukan. Ini sopir online dengan skill membaca isi kepala kamu.”Aurelie menghela napas, setengah kesal, setengah lega. Ia membuka pintu dan masuk tanpa protes.Di da
Matahari belum naik penuh saat Aurelie tiba di kampus. Langit Jakarta masih kelabu. Suara langkah sepatu berpadu dengan deru motor, klakson jauh, dan kepakan angin pelan yang membawa aroma aspal basah.Tangannya menggenggam map biru, isinya draft skripsi bab tiga yang baru dicetak semalam pukul dua pagi. Matanya sembab. Kepalanya berat. Tapi langkahnya mantap.Aurelie sudah melewati patah hati, skandal keluarga, bahkan nyaris dibunuh secara sosial di pesta pernikahan sepupunya. Tapi tak ada yang sekejam… revisi bab tiga dari dosen pembimbing bernama Ibu Ratna Karina, S.Sos, M.Si.Ruang dosen dipenuhi aroma kopi sachet dan suara printer tua. Di hadapan Aurelie, Bu Ratna duduk dengan kacamata bundar dan ekspresi yang seperti selalu menyimpan kekecewaan terhadap seluruh generasi muda.“Penjabaran kamu soal metode participatory design ini… masih dangkal,” katanya, sambil mengetuk-ngetuk halaman 14.Aurelie menahan napas. “Saya coba sederhanakan biar lebih aplikatif, Bu.”“Justru itu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen