Awalnya ketiga keponakan Shaquelle anteng dengan kegiatan masing-masing namun ketika jam menunjukkan pukul 21.42 suasana mulai berubah chaos.
Shaquelle, sang CEO flamboyan, pewaris grup teknologi Eropa, pemenang pitching internasional, alumni doktoral Aachen dan MIT—sedang mencoba menenangkan tiga bocah kecil yang berlari-lari sambil teriak-teriak minta slime, susu hangat, dan tablet-nya dikembalikan.“Om Shaq, Aranza gangguin aku!” jerit Elle, si anak pertama, sambil menarik bantal lalu melempar ke sofa.Adtacala—si anak ketiga, usia tujuh tahun—sibuk ngoprek remot TV, mencoba mencari Netflix tapi malah nyasar ke saluran berita lokal Boston.“Aku enggak ganggu! Aku cuma bilang kalau Aurelie itu nama cewek yang Om Shaq suka! Hahaha!” teriak Aranzavy.“Udah! Semuanya duduk!” bentak Shaquelle. Tapi itu justru jadi kode untuk adik bungsu mereka—si bayi tiga tahun, Astacala—mulai menangis.“UWAAAAAA!”Shaquelle panik. Dia melirik jam. Belum jam 10 malaNada sambung terdengar tiga kali sebelum suara lembut menjawab di seberang.“Halo, Bunda Aura?”“Zara. Maaf mengganggu waktu sibuk kamu.”“Enggak apa-apa, Bun. Ada yang bisa Zara bantu?”Aura menghela napas perlahan. “Greta sedang menginap di sini.”Hening sesaat. Lalu suara Zara terdengar waspada. “Greta? Tunangannya Shaquelle yang dulu?”“Yang merasa dirinya masih tunangan,” sahut Aura datar. “Dia datang membawa koper, menyalahkan Shaquelle, dan lebih buruk lagi… memburuk-burukkan seorang gadis magang yang sedang dalam posisi tersudut.”Zara menghela napas keras. “Gadis magang? Siapa Aurelie?”“Kamu tahu anak itu?” tanya Aura cepat.“Iya, Zara dekat dengan ibunya. Nadira. Kami sahabat waktu coass. Aurelie itu anak baik. Cerdas dan punya etika.”Nenek Aura menahan senyum tipis. “Nah, kalau begitu kamu mengerti kenapa Bunda perlu bantuan kamu.”Zara langsung menangkap maksudnya. “Zara akan ke sana sekarang.”“Greta harus pe
Greta keluar dari restoran dengan langkah cepat, sepatu high heels-nya menghantam aspal seperti ketukan marah. Tangannya sibuk membuka WhatsApp, membuka chat Shaquelle yang terakhir kali dibacanya semalam—tidak ada balasan.Seen. 23.42.“Cowok brengsek,” gumamnya, membuka pintu mobil sewaan. “Biar aku ajarin, siapa yang enggak boleh dipermainkan.”Pukul 15.16 Greta sampai di lobby Private Residence Gunadhya PenthouseGreta menapakkan kaki ke lantai marmer lobby dengan percaya diri, kacamata hitamnya masih bertengger angkuh di batang hidung. Tas Dior menggantung di bahu, ponsel masih dalam genggaman.“Selamat sore, Nona Greta,” ujar resepsionis dengan ekspresi kaku.Greta menoleh, mengangkat alis. “Aneh. Biasanya kalian senyum. Ada yang salah?”Resepsionis ragu sejenak. “Kami diminta tidak mengizinkan Anda naik ke unit 59-C.”Greta mengerutkan kening. “Apa maksud kamu?”Sebelum resepsionis menjawab, dua petugas kepolisian berpakaian sipil
Sebuah pesan masuk ke layar ponsel Zaviya saat dia baru saja menyandarkan tubuh ke sofa empuk ruang televisi rumahnya.Greta: Zaviyaaa, I’m in Jakarta for a while! Miss you so bad. Let’s do lunch? I really need a familiar face today. XO.Zaviya memandang notifikasi itu selama beberapa detik sebelum akhirnya meletakkan ponselnya di meja kopi, tanpa membalas.Dia tidak pernah benar-benar benci pada Greta. Tapi menyukainya juga tidak. Dulu, ketika pertama kali Greta datang bersama Shaquelle ke acara keluarga, Zaviya adalah orang pertama yang bersikap hangat. Menyambut, bertanya, tertawa atas lelucon receh Greta. Tapi dari hari ke hari, Zaviya mulai melihat sesuatu yang salah.Greta bukan hanya keras kepala. Dia keras hati. Dan berisik tanpa filter.Lalu ditambah curhatan mama Kejora yang menyatakan kalau beliau sangat tidak menyukai Greta karena foto-foto seksinya di Instagram bersama banyak pria.Bayangkan saja, bagaimana malunya mama Kejora yang sudah me
Lorong ruang seminar dipenuhi wajah-wajah gugup. Mahasiswa mengenakan kemeja putih dan blazer. Beberapa menyodorkan map ke meja registrasi. Di antara mereka, Aurelie hadir—tenang, rapi, dan sedikit lebih kuat.Blazer almamater membalur tubuhnya sempurna, wajah bersih tanpa cela. Senyum tipis menghiasi bibirnya meski sorot matanya belum sepenuhnya pulih.“Nama?” tanya petugas.“Aurelie Alana Heindrich.”“Seminar Magang, jam 09.15 di Ruang 04,” ujar petugas, menyerahkan map peserta.Aurelie mengangguk. Lalu berjalan menyusuri lorong kampus yang ia kenal di luar kepala.Beberapa teman menyalaminya. Beberapa hanya melirik, lalu berbisik pelan. Berita soal siapa dia dan di mana dia pernah magang, memang sempat menyebar. Tapi dia tidak peduli lagi.Hari ini bukan tentang mereka.Hari ini, adalah tentang menyelesaikan apa yang telah dia mulai.Dosen pembimbing membuka sesi. Aurelie berdiri di depan layar, pointer di tangan, membawakan presentasi
Aurelie menerima balasan dari HR, lengkap dengan Surat Evaluasi Kinerja dan satu lampiran PDF form yang sudah ditandatangani digital oleh Shaquelle.Nilainya memuaskan. Bahkan ada catatan kecil yang membuat Aurelie diam lama menatap layar:“Aurelie menunjukkan kualitas kerja tinggi, kecermatan dalam riset, dan kontribusi aktif selama program berlangsung.”– Shaquelle Folke, CEOAurelie hanya bisa menarik napas panjang. Di satu sisi, dia tidak yakin kalau tanda tangan tersebut beserta catatan kecilnya ditulis dengan kesadaran penuh oleh pria itu. Tapi di sisi lain… dia lega.Setidaknya—urusan kampus bisa selesai.*** Udara malam mulai lembab, langit Jakarta gelap tanpa bintang. Hujan tipis menggantung di udara, menciptakan suara seperti bisikan di permukaan kap mobil.Porsche milik Shaquelle berhenti perlahan di depan pagar tinggi rumah bergaya kolonial-modern itu. Lampu temaram di serambi menyala, tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan lain.
Langit Jakarta belum sepenuhnya biru ketika mesin Porsche Taycan milik Shaquelle meluncur mulus ke basement Neuverse. Wajahnya datar, tapi sorot matanya tajam—seperti seseorang yang sedang menyusun balas dendam dalam diam.Ia tidak pulang semalam. Menginap di suite hotel langganan di SCBD. Bangun pukul 04.00, langsung menelepon Sarah, memaksa butik keluarga Gunadhya buka lebih pagi lagi.Flashback On“Pak Shaq .…” Suara Sarah gemetar lewat sambungan telepon tadi pagi, “…saya belum sempat pulang, ini belum dua puluh empat jam lalu Bapak minta koleksi Hugo, sekarang—”“Gue butuh setelan kerja baru. Bukan yang kemarin. Bukan yang sama,” potong Shaquelle dengan nada tajam. “Kemeja putih bersih. Vest. Pinstriped suit. Send ke hotel dalam 30 menit. Kalau telat, gue anggap lo resign.”Klik.Sarah tidak sempat membantah.Flashback OffSekarang, pukul 08.01, Shaquelle sudah berada di lantai tujuh belas. Napasnya teratur, tapi bukan karena tenang—melainkan karena sedang ditahan agar tid