Usai menjelajahi laguna, Shaquelle dan Aurelie kembali ke villa dengan tubuh yang lelah tapi hati yang mengembang bahagia.
Matahari mulai turun dari titik tertingginya, mengubah warna langit menjadi biru pastel yang hangat. Angin laut berhembus ringan, membawa aroma bunga tiare dan kelapa dari taman tropis yang mengelilingi resort.Begitu tiba di villa, mereka mendapati sudah ada dua staf wanita berpakaian serba putih menunggu di dek samping, tersenyum sopan dengan tangan terlipat di depan dada.“Mr. and Mrs. Folke, your couple spa is ready,” ujar salah satu dari mereka dengan aksen Prancis yang halus.Shaquelle melirik Aurelie, lalu menggenggam tangannya. “Spa untuk dua orang. Sudah siap?”Aurelie mengangguk sambil mengeratkan handuk besar yang membungkus tubuhnya. “Ready. Aku enggak sabar dimanjakan.”Staf membawa mereka ke spa bungalow kecil yang terpisah dari villa utama. Bangunan kayu beratapkan alang-alang itu berdiri di ujung dek yang menjorok keRuang tunggu rumah sakit milik tante Zara di klinik kandungannya telah penuh dengan aroma lavender dan musik instrumental yang menenangkan. Shaquelle duduk berdampingan dengan Aurelie, menggenggam tangan istrinya erat—walau sesekali matanya melirik ke layar monitor informasi antrean, seakan menunggu panggilan Tuhan.Aurelie mengenakan blus longgar berwarna mint dan rok midi putih. Wajahnya terlihat segar, tapi matanya berkali-kali menatap ke bawah, gelisah. Ia bahkan tidak membuka mulut sejak turun dari mobil.Shaquelle mencoba mencairkan suasana. “Kamu mau air mineral? Atau es krim? Atau … alpukat kocok yang kamu bilang ‘bau bensin manis’ itu?”Aurelie melirik suaminya. “Bau bensin manis apaan. Dih.”“Berarti udah baikan,” jawab Shaquelle cepat, lalu mencium punggung tangan Aurelie dengan ringan. “Santai. Cuma periksa doang kok. Bukan diinterogasi KPK.”“Bukan soal itu…,” gumam Aurelie, suaranya pelan. “Aku takut kalau ternyata ini semua cuma karena masuk angin. Enggak lucu dong
Pukul 04.16 pagi.Di kamar utama yang temaram, suara beep-beep pelan dari smartwatch di pergelangan tangan kiri Shaquelle terdengar lirih. Layar jam yang biasanya hanya menampilkan grafik tidur, detak jantung, atau pengingat meeting mendadak menyala dengan tampilan berbeda.Biometric Alert:Detected irregular hormonal fluctuation on shared-sleeping proximity.High probability of pregnancy (HCG elevation) from subject nearby.Would you like to initiate “Early Pregnancy Mode”?Shaquelle membuka mata, memicingkan pandangan.“…Hah?”Ia mengangkat tangan pelan. “Apa ini? Pregnancy mode?”Ia menoleh. Di sampingnya, Aurelie masih tertidur pulas, memeluk guling seperti beruang kelaparan yang sedang hibernasi. Rambutnya awut-awutan, napasnya teratur, dan wajahnya tenang seperti tidak pernah memarahi printer sehari sebelumnya.Shaquelle menggosok matanya. “Gila… ini jamnya mabok apa gimana?”Tapi jam itu kembali beep, kali ini muncul notifikasi baru:Tips: Based on consistent mood i
Hari itu, suasana kantor SamaSama.id tidak seperti biasanya.Ruang open space yang biasanya dipenuhi candaan dan semangat startup penuh inovasi, hari itu mendadak berubah seperti ladang ranjau.Semua orang tampak ekstra hati-hati—bahkan Angga dari tim tech sampai berjalan jinjit ketika melewati ruang kaca tempat Aurelie duduk, sementara Raina sengaja mengetik email pakai earphone agar suara keyboardnya tidak memicu ledakan.Pasalnya, sang Head of Strategy merangkap Mrs. CEO—Aurelie Folke—sedang dalam mode yang tidak bisa diprediksi.Pagi tadi, ia datang dengan dress cokelat karamel yang terlihat stunning, rambut disanggul rapi, dan senyum manis yang menipu. Tapi begitu duduk di kursinya, ia langsung melotot ke arah slide presentasi weekly report yang dikirim tim.“Ini warna birunya kenapa beda dua hex tone dari guideline yang aku setel?” tanyanya tajam sambil menunjuk layar.“Eh, itu … cuma beda tipis, Bu… eh, Kak… eh, Aurelie—”“Justru karena tipis itu jadi bikin kesel. Mata a
Cahaya matahari Jakarta menembus celah gorden tipis kamar utama. Jam digital di nakas menunjukkan pukul 06.17 pagi. Di atas ranjang dengan seprai putih bergaris abu lembut, tubuh Shaquelle masih tertidur dengan nyenyak, satu lengannya terentang di sisi kiri tempat Aurelie biasanya bersandar. Tapi pagi itu, tempat itu kosong.Aurelie sudah bangun lebih dulu.Mengenakan kaos putih longgar milik Shaquelle yang jatuh menutupi paha dan celana pendek katun warna pastel, Aurelie berjalan mengendap-endap keluar kamar. Rambutnya masih berantakan, tapi senyum di wajahnya sudah terkembang. Ada semangat khas pengantin baru di langkahnya—dan tekad sederhana yaitu hari ini ia ingin memasakkan sarapan untuk suaminya. Untuk pertama kalinya.Dia menyusuri lorong menuju dapur terbuka yang menghadap taman kecil di belakang rumah. Sinar matahari jatuh ke meja makan dari jendela kaca besar, membuat ruangan tampak seperti potongan Pinterest. Tapi di balik keindahan itu, Aurelie sebenarnya tidak yakin pa
Matahari pagi Bora-Bora menari di permukaan laut seperti kilauan berlian. Angin lembut membawa aroma asin dari laguna, seolah menahan waktu agar tak beranjak. Namun waktu tetap berjalan—dan hari itu, Shaquelle dan Aurelie harus pulang.Dari dek villa mereka, tampak speedboat kecil mendekat, mengantar mereka ke dermaga privat tempat jet AG Group sudah menunggu. Petugas resor membawakan koper, bunga-bunga terakhir berjatuhan di sepanjang jalan kayu yang mereka lewati. Aurelie berjalan di samping Shaquelle, mengenakan dress linen biru pastel dan kacamata hitam, sementara tangan suaminya menggenggam erat jemarinya.“Lagunya terlalu cepat ya?” bisik Aurelie, menatap air jernih yang mereka tinggalkan.Shaquelle menoleh dan mencium pelipisnya. “Enggak, kita cuma pengen muter bagian refrain-nya terus-terusan.”Jet pribadi itu kembali membelah langit, terbang membawa mereka ke dunia nyata—ke Jakarta, ke rumah, ke kehidupan baru sebagai suami istri. Selama penerbangan sembilan jam itu, mere
Usai menjelajahi laguna, Shaquelle dan Aurelie kembali ke villa dengan tubuh yang lelah tapi hati yang mengembang bahagia.Matahari mulai turun dari titik tertingginya, mengubah warna langit menjadi biru pastel yang hangat. Angin laut berhembus ringan, membawa aroma bunga tiare dan kelapa dari taman tropis yang mengelilingi resort.Begitu tiba di villa, mereka mendapati sudah ada dua staf wanita berpakaian serba putih menunggu di dek samping, tersenyum sopan dengan tangan terlipat di depan dada.“Mr. and Mrs. Folke, your couple spa is ready,” ujar salah satu dari mereka dengan aksen Prancis yang halus.Shaquelle melirik Aurelie, lalu menggenggam tangannya. “Spa untuk dua orang. Sudah siap?”Aurelie mengangguk sambil mengeratkan handuk besar yang membungkus tubuhnya. “Ready. Aku enggak sabar dimanjakan.”Staf membawa mereka ke spa bungalow kecil yang terpisah dari villa utama. Bangunan kayu beratapkan alang-alang itu berdiri di ujung dek yang menjorok ke