Alya terbangun oleh seberkas cahaya matahari pagi yang menembus celah gorden. Untuk sesaat, ia merasa bingung. Ini bukan kamar Bara, bukan pula paviliun kecilnya. Ia berada di sebuah ranjang yang sangat besar dan nyaman. Lalu ia menoleh, dan ingatan dari malam sebelumnya kembali membanjirinya.
Arka tertidur di sisinya, namun di ujung lain ranjang yang luas itu, menjaga jarak bahkan dalam tidurnya. Wajahnya yang biasanya tegang saat tidur, kini tampak lebih tenang, lebih damai. Pemandangan itu, yang begitu intim namun juga sopan, membuat hati Alya menghangat. Tadi malam bukanlah mimpi. Gencatan senjata itu nyata.
Ia bangkit dari tempat tidur sepelan mungkin, tidak ingin membangunkan Arka. Saat ia akan keluar dari kamar, sebuah suara serak menghentikannya.
“Pagi.”
Alya berbalik. Arka sudah setengah duduk, menatapnya dengan sorot mata yang lembut dan sedikit cemas, seolah takut kehangatan semalam akan menguap bersama datangnya pagi.
&
Malam itu, tidur terasa seperti sebuah kemewahan yang mustahil. Alya terus-menerus membolak-balikkan badannya, setiap kali ia memejamkan mata, kalimat-kalimat berbisa dari artikel itu kembali terngiang di kepalanya. Di sampingnya, Arka juga tidak tidur. Ia tidak menyentuh Alya, memberinya ruang, namun Alya bisa merasakan kehadiran suaminya yang waspada, seperti seekor singa yang sedang berjaga di mulut gua.Pagi harinya, saat Alya bercermin, ia melihat bayangan wanita yang tampak lelah dengan mata yang sedikit bengkak. Ia merasa rapuh, terekspos, dan sama sekali tidak ingin meninggalkan rumah. Ia ingin bersembunyi di bawah selimut bersama Bara dan tidak pernah keluar lagi.Tepat saat itu, Arka masuk ke kamar, sudah rapi dengan setelan kerjanya yang tajam. Ia membawa secangkir teh hangat untuk Alya.“Aku tahu ini sulit, Sayang,” katanya lembut, seolah bisa membaca pikiran Alya. “Aku tahu kamu ingin sekali bersembunyi. Tapi hari ini, kita tida
Pelukan Arka terasa seperti satu-satunya hal yang nyata di dunia yang tiba-tiba terasa begitu rapuh. Alya menyandarkan kepalanya di dada suaminya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang. Gema teriakan Sandra dari telepon tadi seolah masih tertinggal di udara, meracuni kedamaian akhir pekan mereka.“Dia tidak akan berhenti, kan?” bisik Alya.Arka mengelus punggung istrinya dengan lembut. “Tidak,” jawabnya jujur, suaranya terdengar berat. “Tapi kita juga tidak akan berhenti melawannya. Aku tidak akan membiarkannya menang, Al. Tidak lagi.”Malam itu, mereka menghabiskan waktu dengan lebih banyak diam. Bukan keheningan yang canggung, melainkan keheningan dua prajurit yang sedang mengumpulkan kekuatan setelah pertempuran pertama. Mereka tahu perang sesungguhnya baru saja dimulai.Keesokan harinya, hari Minggu, Arka bersikeras untuk membuat hari itu senormal mungkin demi Bara. Ia mengajak mereka ke seb
Alya pulang ke rumah dengan perasaan menang. Ia telah berhasil melewati rapat komite yang menegangkan, tidak hanya dengan bertahan, tetapi dengan secara aktif mengubah dinamika di dalamnya. Ia merasa kuat, kompeten, dan setara. Arka menyambutnya di pintu, seolah sudah bisa merasakan perubahan energi istrinya. “Bagaimana hasilnya, partner?” tanyanya dengan senyum penuh antisipasi. “Jauh lebih baik dari yang kita duga,” jawab Alya, senyum kemenangan terukir di bibirnya. Ia menceritakan setiap detail rapat itu—penolakan halus Liana, intervensi cerdas Seraphina, dan bagaimana proposalnya diterima dengan baik oleh anggota lain. Arka mendengarkan dengan tatapan bangga. “Aku tahu kamu bisa melakukannya,” katanya, tangannya terulur untuk merapikan helai rambut di pipi Alya. “Sekarang, Liana tidak bisa lagi meremehkanmu. Kamu bukan hanya ‘istri Arka’, kamu adalah kontributor berharga bagi komite itu.” “Dan Seraphina…” Alya berhenti sejenak. “Aku masih tidak tahu harus berpikir apa tent
Pagi itu, Alya bersiap untuk pertemuan komite dengan perasaan yang berbeda. Kecemasan yang dulu selalu menghantuinya kini telah digantikan oleh fokus yang tajam dan sebuah determinasi yang dingin. Ia mengenakan sebuah blus sederhana berwarna pastel dan celana panjang, sebuah penampilan yang sopan, profesional, dan tidak menarik perhatian berlebihan. Ia adalah seorang ibu yang peduli, bukan seorang sosialita yang sedang berkompetisi. Itulah citra yang ingin ia bangun. Sebelum berangkat, Arka menahannya di depan pintu. Ia merapikan kerah blus Alya yang sedikit miring. “Ingat, Sayang,” bisiknya, tatapannya lembut namun serius. “Kamu di sana bukan untuk mereka, tapi untuk anak-anak panti. Jadikan ketulusanmu sebagai perisai. Mereka tidak akan bisa melawan itu.” Alya tersenyum dan mengecup pipi suaminya singkat. “Aku mengerti.” Ia tiba di ruang rapat sekolah tepat waktu. Suasananya persis seperti yang ia duga. Liana duduk di kepala meja, diapit oleh dua kroninya, Rina dan Siska. Se
Malam itu, setelah Bara tertidur pulas, keheningan di rumah besar itu terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang canggung atau dingin, melainkan keheningan yang penuh dengan pemikiran dan kata-kata yang tak terucap. Alya dan Arka duduk berhadapan di sofa ruang keluarga, secangkir teh hangat mengepul di meja di antara mereka. Kunjungan ke panti asuhan tadi meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Alya adalah yang pertama memecah keheningan. “Aku masih tidak mengerti dia,” katanya pelan, tatapannya menerawang. “Peringatan Nindya dan peringatanmu menyuruhku untuk waspada. Tapi apa yang kulihat hari ini… dia tulus pada anak-anak itu, Mas. Aku bisa merasakannya. Caranya bicara pada mereka, dia tahu nama mereka, dia ingat detail kecil tentang mereka. Itu bukan sesuatu yang bisa dipalsukan dengan mudah.” Arka mengangguk perlahan, tidak membantah observasi Alya. “Aku percaya dia peduli pada panti asuhan itu. Mungkin itu satu-satunya hal yang benar-benar tulus dari dirinya,” kat
Alya membalas pesan Seraphina dengan kalimat yang sudah ia susun bersama Arka. Tentu, Seraphina. Ide yang bagus sekali. Kebetulan Arka juga ada waktu luang akhir pekan ini, jadi kami akan datang sekeluarga. Jawaban Seraphina datang dengan cepat, mulus, dan tanpa menunjukkan keterkejutan sedikit pun. Luar biasa! Akan lebih menyenangkan. Sampai jumpa besok. Keesokan harinya, mereka berangkat. Bukan ke sebuah rumah mewah atau restoran bintang lima, melainkan ke sebuah panti asuhan di pinggiran Jakarta. Bangunannya sederhana namun bersih dan terawat, dengan halaman bermain yang dipenuhi tawa anak-anak. Pemandangan itu langsung mengingatkan Alya pada sanggar baca di desanya. Seraphina dan putranya, Leon, tiba hampir bersamaan dengan mereka. Hari ini, Seraphina menanggalkan citra CEO-nya. Ia mengenakan celana jins dan kaus putih sederhana, rambutnya diikat ekor kuda. Ia tampak muda, segar, dan sama sekali tidak mengintimidasi. “Senang kalian bisa datang!” sapanya, senyumnya tampak