Alya, gadis desa yang polos dan penuh semangat, nekat merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Tak disangka, ia diterima magang di perusahaan besar milik CEO muda dan tampan, Arka Dirgantara. Nasib membawanya ke situasi sulit: ia tak punya tempat tinggal. Tanpa pikir panjang, Arka—yang awalnya dingin dan profesional—menawarinya tinggal di rumah pribadinya. Tinggal satu atap dengan gadis berparas manis dan tubuh menawan itu membuat Arka mulai kehilangan kendali. Di balik sikap cueknya, muncul hasrat dan rasa penasaran yang tak bisa dibendung. Sementara Alya, yang polos, perlahan-lahan merasakan hal yang sama. Akankah hubungan profesional ini berubah menjadi hubungan penuh gairah? Atau malah berujung pada luka?
View MoreJakarta tuh panas banget, ya Allah..."
Alya ngos-ngosan sambil nyeret koper ungu kesayangannya yang sudah bunyi “kretek-kretek” setiap ia melangkah. Bajunya basah keringetan, wajahnya penuh harap tapi juga panik, dan kaki yang Udah berasa kayak disetrum tiap kali jalan. Dia berdiri di depan gedung pencakar langit bertuliskan: "PT. Arroihan Group." Langkahnya ragu. Ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki di kota besar, sendirian, dengan modal surat panggilan magang dan tekad yang nyaris patah di tengah jalan. Sempat ditipu calo ojek, salah turun halte, bahkan hampir nyasar ke kantor sebelah. Tapi dia sampai juga. "Yaudah, Ly. Nekat aja dulu. Kalau ditolak, paling nangis di pojokan." Gedung itu menjulang mewah. Lantainya mengkilap, penjaganya berseragam rapi, dan receptionist-nya cantik kayak model skincare. Semua orang tampak glamor dan mahal. Alya, dengan kemeja putih yang sedikit kebesaran dan sepatu flat murahan, merasa seperti semut di antara barisan singa. "Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?" tanya si mbak resepsionis. "Saya Alya, ada jadwal wawancara magang hari ini." Setelah menyerahkan map kusut berisi CV dan transkrip, Alya disuruh duduk menunggu. Ia memilih sofa hitam di pojok. Di sekitarnya, para pelamar lain tampil penuh gaya. Makeup tebal, tas branded, dan aura percaya diri yang bikin minder. Alya melirik pantulan dirinya di kaca lift Keningnya sedikit berminyak, rambut diikat seadanya, dan bibirnya pecah-pecah. Tapi dia menepuk pipi sendiri pelan, menenangkan diri. "Kamu bisa, Ly. Kamu tuh cerdas. Gak kalah." Ditengah rasa minder HP-nya bergetar bertuliskan notifikasi dari ibu, Alya langsung antusias menjawab pesan darinya. Ibu: “Udah sampai, nak? Gimana tempatnya? Orangnya baik-baik, nggak?” Alya: “Udah, Bu. Tempatnya baguuusss… banget, kayak di TV. Tapi aku grogi banget Bu, pesaingnya lulusan universitas ternama dari keluarga ternama.” Ibu: “Tenang gak usah takut sama lulusan universitas bagus. Gak usah grogi, yang penting kamu pinter, jujur, dan percaya diri.” Alya: “Iya Bu… makasih, Bu. Doain terus ya. Aku pengen banget bantu ibu. Ibu: “Tanpa kamu suruh pun ibu selaluu doain kamu, jangan takut gagal. Kamu sudah sampai sejauh ini, apapun hasilnya ibu tetap bangga sama kamu.” Dari perkataan ibu kini alya menjadi semakin percaya diri untuk melanjutkan mimpinya, ada sentuhan rasa hangat dari kasih sayang seorang ibu. Alya: “kalau diterima, aku lanjut cari kos. Tapi uangnya belum cukup, nanti aku cari yang murah dulu.” Ibu: “Jangan dulu mikirin kos, kan ada kos milik teman sepupumu, yang penting kamu jaga kesehatan. Urusan kos nanti kalau ada uang baru cari kosan, tapi jangan tinggal di tempat sembarangan, ya.” Alya: “Iya, Bu. Tenang aja.” Tiba-tiba... terdengar suara TING! Suara lift terbuka. Semua orang seolah menahan napas. Seorang pria tinggi dengan jas hitam keluar, langkahnya tegas, wajahnya dingin. Wajah yang begitu eksotis. Itu dia. Arka Arroihan. CEO termuda perusahaan itu. Wajahnya sering muncul di berita bisnis. Dingin, perfeksionis, dan katanya gak punya toleransi untuk kesalahan. Alya buru-buru menunduk, pura-pura melihat sekelilingnya. Tapi jantungnya sudah marathon duluan. "Astaga, itu bos gue?" Gumamnya. Beberapa menit kemudian, pintu kaca terbuka. "Alya, silakan masuk." Suara dari seberang tembok yang membuatnya kaget seketika. Tangannya gemetar saat membuka pintu ruang kerja si bos. Ruangan itu luas, dengan dinding kaca dan interior elegan. Di balik meja, duduklah Arka. Pria itu membaca mapnya sekilas, lalu menatap Alya dengan pandangan setajam silet. "Universitas Negeri Karawang. Jurusan Manajemen, IPK lumayan.” Katanya datar “Kenapa kamu melamar di sini?" Alya menarik napas. "Karena saya ingin belajar langsung dari perusahaan besar, pak. Walau pun saya tidak berpengalaman tapi saya akan bekerja keras pak." Arka mengangkat alis. "Tinggal di mana sekarang?" "Saya... baru tiba kemarin sore, Pak. Sekarang masih numpang di kos temannya sepupu. Tapi cuma bisa dua malam." Arka menghela napas. Tangan nya menutup map dengan pelan. "Mulai besok kamu magang di divisi operasional. Lapor ke manajer jam delapan." Alya membelalak. "S-siap, Pak! Terima kas…" Dan sebelum ia sempat mengucap terima kasih, Arka membuka laci dan mengeluarkan sebuah kunci. "Dan soal tempat tinggal..." "...sementara kamu tinggal di rumah saya." Alya nyaris jatuh dari kursi. "Maaf, Pak?" "Ada kamar kosong. Saya jarang pulang juga. Daripada kamu numpang terus atau tidur di pantry." "Tapi, saya... gak mau ngerepotin." "Ini bukan tawaran. Anggap aja bentuk tanggung jawab saya sebagai atasan. HRD akan kasih alamat dan akses. Jangan telat besok." “Alya masih mematung. Ini serius CEO dingin yang katanya galak ngasih tempat tinggal?” Gumamnya di dalam hati. “Kalau gak nyaman, terserah. Tapi saya lebih suka kamu fokus kerja daripada pusing mikirin tempat tinggal.” Arka berdiri, menjabat tangan Alya sekilas, lalu kembali duduk. Alya keluar ruangan sambil nahan napas. Ponsel di tangannya nyaris jatuh. Baru beberapa jam menginjak Jakarta, dan hidupnya udah kayak adegan drama Korea. Begitu keluar dari ruangan, Alya langsung duduk lagi di tempat duduk tunggu,kali ini bukan karena menunggu wawancara, tapi karena lututnya lemas karena grogi. Hp-nya kembali bergetar. Ibu: “Udah wawancara belum?” Alya tersenyum sambil mengetik cepat. Alya: “Bu aku keterima. Langsung disuruh mulai besok.” Ibu: “Alhamdulillah… akhirnya kamu dapat mewujudkan mimpimu, Nak.” Alya: “Tapi Bu… bosku… nyuruh aku tinggal di rumahnya. Ibu: “ hah? Maksudnya?” Alya: “Rumahnya besar, ada kamar kosong. Katanya biar aku fokus kerja dan gak cape nyari kosan.” Ibu: “Kalau itu keputusanmu, Ibu hanya bisa percaya. Tapi hati-hati ya, jaga diri. Jangan mudah percaya, apalagi dia laki-laki.” Alya: “Iya, Bu. Alya janji. Alya jaga diri.” Ibu: “Ya ibu percaya padamu, tapi ingat apapun yang terjadi pintu rumah akan selalu terbuka untukmu.”Alya tidak bisa tidur. Permintaan Arka semalam terus berputar di kepalanya seperti film rusak. Menjadi "partner"-nya? Apa maksudnya? Kepalanya pusing memikirkan semua kemungkinan terburuk. Bagaimana jika ia mempermalukan Arka di depan klien penting? Bagaimana jika ia salah bicara atau salah menggunakan garpu? Gambaran dirinya tersandung gaun mahal di tengah restoran mewah melintas di benaknya, membuatnya meringis ngeri.Tapi di sisi lain, ada suara kecil di hatinya yang berbisik. Ini adalah kesempatan. Kesempatan untuk membuktikan bahwa ia bisa diandalkan, bukan hanya sebagai anak magang, tapi sebagai seseorang yang dipercaya oleh Arka. Ini juga caranya membalas kebaikan pria itu. Setelah bergulat dengan pikirannya sendiri hingga larut malam, Alya akhirnya sampai pada satu kesimpulan pasrah: ia tidak punya alasan kuat untuk menolak.Keesokan paginya, ia turun ke dapur dengan mata panda dan perasaan pasrah. Ia terkejut mendapati Arka sudah ada di sana, berdiri di depan mesin kopi yang
Waktu menunjukkan pukul enam sore. Lantai 15 sudah nyaris kosong. Hanya tersisa Alya di mejanya yang kecil, seorang staf dari divisi lain yang sedang lembur, dan petugas kebersihan yang mulai berkeliling. Hati Alya terasa sama kosongnya dengan ruangan kantor itu. Sejak ia menekan tombol kirim satu jam yang lalu, tidak ada balasan apa pun dari Arka.Setiap notifikasi yang masuk ke ponselnya sontak membuat jantungnya melompat, namun isinya selalu mengecewakan: notif promo dari aplikasi ojek online, sisa kuota internet, atau chat dari grup alumni SMA yang sedang membahas rencana reuni. Tidak ada email, tidak ada pesan, tidak ada tanda-tanda kehidupan dari sang CEO.Mungkin hasil analisis gue jelek banget sampai dia nggak tahu mau balas apa, pikir Alya getir. Atau mungkin dia ketawa terbahak-bahak baca analisis ngawur dari anak magang ini, terus langsung nyiapin surat pemecatan.Dengan perasaan kalah, ia membereskan tasnya. Mungkin ini hari terakhirnya bekerja di sini. Setidaknya ia sudah
Alya melangkah masuk ke lobi PT. Arroihan Group dengan perasaan seperti seorang prajurit yang dikirim ke medan perang tanpa peta, hanya berbekal perintah nekat dari sang jenderal. Perintah Arka saat sarapan tadi terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak: “Minta data lengkapnya dari Vira. Buat rangkuman analisisnya. Kirim ke email saya sebelum jam lima sore.” Rangkuman analisis. Dua kata itu terdengar seperti vonis. Seluruh perjalanan di atas ojek online ia habiskan untuk bergumam sendiri, mencoba menenangkan badai di dalam kepalanya. “Analisis apaan, coba? Gue aja bedain mana laporan laba rugi sama daftar belanjaan Mbak Rini aja masih suka ketuker,” gerutunya pelan, membuat abang ojeknya melirik aneh dari spion. Sesampainya di lantai 15, ia meletakkan tasnya dengan lesu. Meja kerjanya yang kecil di dekat printer terasa seperti pos komando yang akan menjadi saksi bisu perjuangannya hari ini. Misinya jelas yaitu menghadapi Mbak Vira. Supervisornya itu memang baik, tapi tatapann
NOTIF MALAM Alya berdiri mematung di tengah lobi PT. Arroihan Group yang mulai sunyi. Hiruk pikuk karyawan yang bergegas pulang seolah menjadi suara latar yang kabur. Fokusnya terkunci pada layar ponsel di tangannya, pada sebaris kalimat dingin dan lugas dari nomor tak dikenal. +62812xxxxxxxx:~A Pastikan kamu belajar kerja dengan benar. Saya tak suka orang yang sia-siakan kesempatan. Tidak ada nama, tapi Alya tahu seratus persen siapa pengirimnya. Gaya bahasa diktator yang penuh kuasa itu sudah seperti sidik jari digital milik Arka Arroihan. "Ini apaan lagi, sih?" desisnya pada diri sendiri. "Dia pasang CCTV di jidat gue apa gimana? Tahu aja gue tadi sempet ketawa-ketiwi di kantin." Perasaan diperhatikan yang aneh kini berubah menjadi perasaan diawasi. Pria itu benar-benar seperti hantu. Tidak terlihat wujudnya seharian ini, tapi auranya terasa sampai ke pesan teks. Jantungnya mulai berdebar tak keruan lagi. Sebagian karena takut, sebagian lagi… karena kesal. Enak aja ngomong!
Pagi harinya, Alya bangun dengan satu misi utama: keluar dari rumah Arka Arroihan tanpa terdeteksi. Insiden remot TV semalam sukses membuatnya malu setengah mati. Bertemu dengan pria itu sekarang adalah hal terakhir yang ia inginkan. Ia bahkan sudah menyusun skenario di kepalanya: jika berpapasan, ia akan pura-pura lupa atau amnesia. Dengan langkah mengendap-endap bak nya seorang maling, ia menyelinap keluar kamar. Rumah besar itu masih senyap. Di ruang makan, ia melihat Mbak Rini sedang menata meja sarapan. “Lho, Neng Alya? Nggak sarapan dulu?” sapa Mbak Rini. “Nggak, Mbak, hehe. Takut telat,” jawab Alya, berbohong. Padahal jam baru menunjukkan pukul setengah tujuh. Ia menyambar selembar roti tawar, mengoleskan selai cokelat dengan kecepatan kilat, lalu langsung pamit sambil berlari kecil menuju gerbang untuk memesan ojek. Sepanjang perjalanan menuju kantor PT. Arroihan Group, pikirannya berkecamuk. Semalam adalah bukti nyata bahwa tinggal di rumah itu adalah ide buruk. Sangat bu
Koper ungu butut itu tampak seperti barang rongsokan yang salah alamat. Ia kini terdiam di sudut kamar ber-AC dengan lantai marmer licin dan sebuah tempat tidur ukuran queen size yang seprainya selembut awan. Alya berdiri kaku di tengah ruangan, masih belum berani menyentuh apa pun. Ini bukan kamar biasa. Ini adalah kamar tamu di istana pribadi Arka Arroihan, dan segalanya terasa terlalu mewah untuk gadis sepertinya. Ia membuka lemari kaca raksasa itu dan tertawa getir. Kosong. Tapi cukup besar untuk menampung seluruh isi lemari di rumahnya, bahkan mungkin ditambah lemari tetangganya. Kamar mandi dalamnya lebih canggih dari ponselnya, dengan tombol-tombol untuk mengatur suhu air yang tidak ia mengerti. “Ya Allah… ini beneran?” gumamnya, suaranya pelan. Pintu kamar diketuk pelan. Seorang perempuan paruh baya muncul dengan senyum hangat. “Selamat sore, Neng. Saya Mbak Rini, asisten rumah tangga di sini. Kalau butuh apa-apa, panggil saja, ya.” Alya langsung berdiri dan menunduk sopan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments