Magang di perusahaan besar? Sudah pasti menantang.Tinggal serumah dengan CEO muda, tampan, dan penuh dengan aura mematikan? Itu…..di luar dugaan. Alya hanya gadis desa biasa yang mempunyai tekad yang luar biasa.Tapi hidup di ibu kota ternyata bukan cuma soal kerja keras, tapi terkadang juga soal menjaga batin dan mental tetap aman… terutama pada saat berhadapan dengan bos. Bagaimana kalau batas antara profesional dan personal mulai kabur? Dan bagaimana kalau yang mulai jatuh… adalah orang yang paling tak terduga? Satu rumah. Dua dunia. Banyak rahasia yang pelan-pelan terbuka. Dan saat godaan datang bukan dari luar, tapi dari seseorang yang seharusnya tak di usik, apa Alya akan sanggup menahan?
View MoreJakarta tuh panas banget, ya tuhan..."
Alya ngos-ngosan sambil nyeret koper ungu kesayangannya yang sudah bunyi “kretek-kretek” setiap ia melangkah. Bajunya basah keringetan, wajahnya penuh harap tapi juga panik, dan kaki yang Udah berasa kayak disetrum tiap kali jalan. Dia berdiri di depan gedung pencakar langit bertuliskan: "PT. Arroihan Group." Langkahnya ragu. Ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki di kota besar, sendirian, dengan modal surat panggilan magang dan tekad yang nyaris patah di tengah jalan. Sempat ditipu calo ojek, salah turun halte, bahkan hampir nyasar ke kantor sebelah. Tapi dia sampai juga. "Yaudah, Ly. Nekat aja dulu. Kalau ditolak, paling nangis di pojokan." Gedung itu menjulang mewah. Lantainya mengkilap, penjaganya berseragam rapi, dan receptionist-nya cantik kayak model skincare. Semua orang tampak glamor dan mahal. Alya, dengan kemeja putih yang sedikit kebesaran dan sepatu flat murahan, merasa seperti semut di antara barisan singa. "Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?" tanya si mbak resepsionis. "Saya Alya, ada jadwal wawancara magang hari ini." Setelah menyerahkan map kusut berisi CV dan transkrip, Alya disuruh duduk menunggu. Ia memilih sofa hitam di pojok. Di sekitarnya, para pelamar lain tampil penuh gaya. Makeup tebal, tas branded, dan aura percaya diri yang bikin minder. Alya melirik pantulan dirinya di kaca lift Keningnya sedikit berminyak, rambut diikat seadanya, dan bibirnya pecah-pecah. Tapi dia menepuk pipi sendiri pelan, menenangkan diri. "Kamu bisa, Ly. Kamu tuh cerdas. Gak kalah." Ditengah rasa minder HP-nya bergetar bertuliskan notifikasi dari ibu, Alya langsung antusias menjawab pesan darinya. Ibu: “Udah sampai, nak? Gimana tempatnya? Orangnya baik-baik, nggak?” Alya: “Udah, Bu. Tempatnya baguuusss… banget, kayak di TV. Tapi aku grogi banget Bu, pesaingnya lulusan universitas ternama dari keluarga ternama.” Ibu: “Tenang gak usah takut sama lulusan universitas bagus. Gak usah grogi, yang penting kamu pinter, jujur, dan percaya diri.” Alya: “Iya Bu… makasih, Bu. Doain terus ya. Aku pengen banget bantu ibu. Ibu: “Tanpa kamu suruh pun ibu selaluu doain kamu, jangan takut gagal. Kamu sudah sampai sejauh ini, apapun hasilnya ibu tetap bangga sama kamu.” Dari perkataan ibu kini alya menjadi semakin percaya diri untuk melanjutkan mimpinya, ada sentuhan rasa hangat dari kasih sayang seorang ibu. Alya: “kalau diterima, aku lanjut cari kos. Tapi uangnya belum cukup, nanti aku cari yang murah dulu. Ibu: “Jangan dulu mikirin kos, kan ada kos milik teman sepupumu, yang penting kamu jaga kesehatan. Urusan kos nanti kalau ada uang baru cari kosan, tapi jangan tinggal di tempat sembarangan, ya.” Alya: “Iya, Bu. Tenang aja.” Tiba-tiba... terdengar suara TING! Suara lift terbuka. Semua orang seolah menahan napas. Seorang pria tinggi dengan jas hitam keluar, langkahnya tegas, wajahnya dingin. Wajah yang begitu eksotis. Itu dia. Arka Arroihan. CEO termuda perusahaan itu. Wajahnya sering muncul di berita bisnis. Dingin, perfeksionis, dan katanya gak punya toleransi untuk kesalahan. Alya buru-buru menunduk, pura-pura melihat sekelilingnya. Tapi jantungnya sudah marathon duluan. "Astaga, itu bos gue?" Gumamnya. Beberapa menit kemudian, pintu kaca terbuka. "Alya, silakan masuk." Suara dari seberang tembok yang membuatnya kaget seketika. Tangannya gemetar saat membuka pintu ruang kerja si bos. Ruangan itu luas, dengan dinding kaca dan interior elegan. Di balik meja, duduklah Arka. Pria itu membaca mapnya sekilas, lalu menatap Alya dengan pandangan setajam silet. "Universitas Negeri Karawang. Jurusan Manajemen, IPK lumayan.” Katanya datar “Kenapa kamu melamar di sini?" Alya menarik napas. "Karena saya ingin belajar langsung dari perusahaan besar, pak. Walau pun saya tidak berpengalaman tapi saya akan bekerja keras pak. Arka mengangkat alis. "Tinggal di mana sekarang?" "Saya... baru tiba kemarin sore, Pak. Sekarang masih numpang di kos temannya sepupu. Tapi cuma bisa dua malam." Arka menghela napas. Tangan nya menutup map dengan pelan. "Mulai besok kamu magang di divisi operasional. Lapor ke manajer jam delapan." Alya membelalak. "S-siap, Pak! Terima kas…" Dan sebelum ia sempat mengucap terima kasih, Arka membuka laci dan mengeluarkan sebuah kunci. "Dan soal tempat tinggal..." "...sementara kamu tinggal di rumah saya." Alya nyaris jatuh dari kursi. "Maaf, Pak?" "Ada kamar kosong. Saya jarang pulang juga. Daripada kamu numpang terus atau tidur di pantry." "Tapi, saya... gak mau ngerepotin." "Ini bukan tawaran. Anggap aja bentuk tanggung jawab saya sebagai atasan. HRD akan kasih alamat dan akses. Jangan telat besok." “Alya masih mematung. Ini serius CEO dingin yang katanya galak ngasih tempat tinggal?” Gumamnya di dalam hati. “Kalau gak nyaman, terserah. Tapi saya lebih suka kamu fokus kerja daripada pusing mikirin tempat tinggal.” Arka berdiri, menjabat tangan Alya sekilas, lalu kembali duduk. Alya keluar ruangan sambil nahan napas. Ponsel di tangannya nyaris jatuh. Baru beberapa jam menginjak Jakarta, dan hidupnya udah kayak adegan drama Korea. Begitu keluar dari ruangan, Alya langsung duduk lagi di tempat duduk tunggu,kali ini bukan karena menunggu wawancara, tapi karena lututnya lemas karena grogi. Hp-nya kembali bergetar. Ibu: “Udah wawancara belum?” Alya tersenyum sambil mengetik cepat. Alya: “Bu aku keterima. Langsung disuruh mulai besok.” Ibu: “Alhamdulillah… akhirnya kamu dapat mewujudkan mimpimu, Nak.” Alya: “Tapi Bu… bosku… nyuruh aku tinggal di rumahnya. Ibu: “ hah? Maksudnya?” Alya: “Rumahnya besar, ada kamar kosong. Katanya biar aku fokus kerja dan gak cape nyari kosan.” Ibu: “Kalau itu keputusanmu, Ibu hanya bisa percaya. Tapi hati-hati ya, jaga diri. Jangan mudah percaya, apalagi dia laki-laki.” Alya: “Iya, Bu. Alya janji. Alya jaga diri.” Ibu: “Ya ibu percaya padamu, tapi ingat apapun yang terjadi pintu rumah akan selalu terbuka untukmu.”Kertas putih yang terlipat rapi itu terasa berat di tangan Alya, jauh lebih berat dari bobotnya yang sesungguhnya. Kertas itu seolah menyerap semua keheningan dan ketegangan di dalam kamar tidur mereka yang kini terasa asing. Nama ‘Alya-ku tersayang’ yang tertulis dengan gaya tulisan tangan Arka yang tegas namun elegan, membuatnya bergidik.Sebagian dirinya, bagian yang lelah dan terluka, berteriak untuk meremas kertas itu menjadi bola, melemparkannya ke tempat sampah, dan pergi dari sana tanpa menoleh ke belakang. Itu adalah jalan yang paling aman. Kata-kata Arka adalah senjata. Dulu, ia menggunakan kata-kata manis untuk menjebaknya, kata-kata kejam untuk menghancurkannya. Apa bedanya dengan sekarang?“Jangan dibaca,” bisik suara ketakutan di dalam dirinya. “Itu hanya akan berisi kebohongan indah. Alasan-alasan yang dirangkai untuk membuatnya terlihat seperti pahlawan. Itu hanya akan membuatmu goyah.”Namun, sebagian dirinya yang lain, bagian yang masih mengingat Arka yang membua
Fajar di Desa kecil datang dengan cara yang sama lembutnya seperti biasa. Cahaya matahari keemasan perlahan menerangi puncak-puncak gunung, dan kicauan burung menjadi alarm alami. Namun bagi Alya, pagi itu terasa berbeda. Ia terbangun di kamar masa kecilnya di rumah Bu Aminah, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa seperti kembali menjadi gadis rapuh seperti dulu, bukan seorang istri atau ibu.Perasaan hampa yang dingin menyelimutinya. Semalam, setelah melihat berita dan menerima telepon dari Arka, ia tidak menangis lagi. Ia hanya duduk dalam diam, membiarkan rasa sakit itu meresap hingga ia mati rasa. Arka telah memilih. Dan kini, ia juga harus memilih. Memilih untuk hancur, atau memilih untuk bangkit.Ia mendengar suara tawa Bara dari ruang tengah. Pilihan itu menjadi sangat jelas.Saat ia keluar dari kamar, putranya itu sedang asyik menyusun balok-balok kayu bersama Bu Aminah. Melihat ibunya, Bara langsung berlari dan memeluk kakinya.“Bunda, selamat pagi!”
Sandra berjalan pelan mendekati meja Arka, tatapannya menyapu sekeliling ruangan megah itu, seolah menilai kembali teritori yang pernah hilang.“Ibu akui, kemampuanmu tidak tumpul,” kata Sandra memulai, suaranya terdengar datar, sebuah pujian yang tidak terasa seperti pujian. “Kamu berhasil menenangkan mereka untuk saat ini.”Arka tidak merespon. Ia hanya menatap ibunya dengan sorot mata lelah namun tajam. Ia sudah tidak punya energi untuk basa-basi. “Langsung saja ke intinya, Bu. Apa yang Ibu inginkan?”Sandra tersenyum tipis, senyum yang sama yang selalu ia gunakan dalam negosiasi bisnis. Senyum yang menandakan ia merasa memegang kendali.“Tentu saja,” katanya, duduk di kursi di seberang meja Arka tanpa diundang. “Ibu senang kamu kembali. Ini adalah tempatmu yang seharusnya. Sekarang, karena Ibu sudah mengizinkanmu kembali memegang kendali sementara, ada beberapa syarat yang harus kamu patuhi.”Arka menyandarkan punggungnya ke kursi, melipat tangannya di dada. Sikapnya menunjukkan i
Di ruang rapat PT.Arroihan Group, Arka adalah sang kaisar. Dingin, penuh kendali, dan tak terbantahkan. Dalam waktu kurang dari dua jam, ia berhasil membungkam para penentang, memaparkan rencana penyelamatan yang brilian, dan memaksa dewan direksi untuk memberinya kuasa penuh. Konferensi pers investor yang mengancam itu pun dibatalkan. Badai pertama berhasil ia redam.Namun, saat ia kembali ke keheningan kantor CEO-nya yang megah, kemenangan itu terasa hampa. Adrenalin bisnis yang memompa darahnya selama rapat kini surut, menyisakan kekosongan yang luar biasa dan rasa rindu yang menyakitkan pada keluarganya.Di atas meja mahoni yang berkilauan, ia meletakkan satu-satunya benda pribadi yang ia bawa, gambar keluarga buatan Bara. Tiga sosok bergandengan tangan di bawah matahari. Sebuah dunia yang begitu kontras dengan pemandangan hutan beton dari jendela kantornya.Ia meraih ponselnya, mengabaikan puluhan notifikasi ucapan selamat. Matanya hanya tertuju pada satu hal. Tautan berita ya
Kehadiran Arka di ruang rapat itu seperti ledakan bom tanpa suara. Semua anggota dewan direksi yang hadir, para pria dan wanita paruh baya yang mengenalnya sejak kecil menatapnya dengan campuran keterkejutan, kelegaan, dan sedikit rasa gentar. Mereka semua tahu legenda tentang “Kaisar Es” yang bisa membalikkan keadaan mustahil. Dan kini, legenda itu telah kembali. Sandra Arroihan adalah yang pertama kali pulih dari keterkejutannya. Wajahnya yang pucat pasi kini memerah karena amarah. “Apa-apaan ini, Vira?” desisnya pada Vira yang berdiri di samping Arka. “Ini rencanamu? Membawa anak pembangkang ini kembali ke sini tanpa persetujuanku?” “Maaf, Bu Sandra,” jawab Vira dengan tenang, meskipun jantungnya berdebar kencang. “Situasinya darurat. Kita butuh pemimpin yang sesungguhnya.” Arka tidak memedulikan drama itu. Matanya yang dingin menatap satu per satu wajah di sekeliling meja. Ia melihat Pak Hartono, CEO penggantinya, yang kini menunduk, tidak berani menatapnya. Ia melihat
Fajar di Jakarta menyingsing dengan cara yang berbeda. Bukan semburat jingga di atas gunung, melainkan cahaya kelabu yang menembus polusi udara dan memantul di gedung-gedung pencakar langit. Saat mobil yang ia tumpangi berhenti, Arka merasakan perubahan itu. Udara yang ia hirup terasa lebih berat, lebih panas, dan penuh dengan energi yang tergesa-gesa.Ia menyalakan ponselnya dan langsung dibanjiri puluhan notifikasi. Pesan dari Vira, email dari dewan direksi, tautan berita tentang rumor kejatuhan PT. Arroihan Group. Dunianya yang dulu kembali menelannya dengan rakus.Sebuah sedan hitam mewah sudah menunggunya di terminal kedatangan. Sopir pribadinya yang lama, Pak Bowo, menyambutnya dengan tatapan terkejut sekaligus lega.“Selamat datang kembali, Pak Arka,” sapanya hormat, membukakan pintu untuknya.“Terima kasih, Pak Bowo,” jawab Arka singkat.Saat mobil melaju membelah kemacetan pagi Jakarta, Arka menatap keluar jendela. Pemandangan yang dulu adalah kesehariannya—gedung-gedun
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments