Pagi hari setelah Arka dan Alya menyusun rencana baru mereka, keheningan di rumah terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang dingin, melainkan keheningan yang sarat akan antisipasi. Mereka sedang menunggu. Menunggu jawaban dari Seraphina atas permintaan pertemuan Arka yang begitu mendadak dan provokatif.
Alya mondar-mandir di ruang keluarga, secangkir teh di tangannya sudah mendingin. “Mas, apa kamu yakin ini cara yang benar?” tanyanya pelan, menyuarakan keraguannya untuk yang ketiga kalinya pagi itu. “Memberikan senjata sekuat itu pada lawan kita? Kebenaran tentang identitasnya… bagaimana jika itu justru membuatnya semakin membenci kita?”Arka, yang sedang menatap kosong ke luar jendela, menoleh. Ia menghampiri Alya dan memegang kedua bahunya dengan lembut. “Sayang, dengarkan aku,” katanya. “Dia sudah kesakitan. Seluruh hidupnya, seperti yang kita tahu sekarang, dibentuk oleh kebencian dan manipulasi ibuku. Dia hidup dalam kebohongan. Memberinya kebenaran, sepahit apa puPagi hari setelah Arka dan Alya menyusun rencana baru mereka, keheningan di rumah terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang dingin, melainkan keheningan yang sarat akan antisipasi. Mereka sedang menunggu. Menunggu jawaban dari Seraphina atas permintaan pertemuan Arka yang begitu mendadak dan provokatif.Alya mondar-mandir di ruang keluarga, secangkir teh di tangannya sudah mendingin. “Mas, apa kamu yakin ini cara yang benar?” tanyanya pelan, menyuarakan keraguannya untuk yang ketiga kalinya pagi itu. “Memberikan senjata sekuat itu pada lawan kita? Kebenaran tentang identitasnya… bagaimana jika itu justru membuatnya semakin membenci kita?”Arka, yang sedang menatap kosong ke luar jendela, menoleh. Ia menghampiri Alya dan memegang kedua bahunya dengan lembut. “Sayang, dengarkan aku,” katanya. “Dia sudah kesakitan. Seluruh hidupnya, seperti yang kita tahu sekarang, dibentuk oleh kebencian dan manipulasi ibuku. Dia hidup dalam kebohongan. Memberinya kebenaran, sepahit apa pu
Pagi hari terasa seperti fajar pertama di dunia yang baru. Malam sebelumnya, setelah pengungkapan total dari Arka, Alya tidak tidur. Bukan karena cemas, melainkan karena ia menjaga suaminya yang akhirnya tertidur pulas setelah badai emosional terhebat dalam hidupnya. Ia menatap wajah Arka yang damai, dan merasakan gelombang cinta protektif yang begitu besar.Saat Arka terbangun, ia tidak lagi terlihat seperti pria yang hancur. Kehancuran itu telah dilewatinya semalam. Yang tersisa kini adalah kekosongan yang dingin, yang dengan cepat diisi oleh sebuah tujuan yang tajam dan tak tergoyahkan.Di meja makan, suasananya bukan lagi tegang. Melainkan serius. Mereka adalah dua orang yang akan berangkat kerja, namun pekerjaan mereka hari ini jauh lebih besar dari sekadar mengurus perusahaan atau rapat komite.“Aku tidak tidur semalam,” kata Arka sambil menatap Alya, matanya jernih dan fokus. “Aku membuat rencana.”Alya mendengarkan.“Permainan ibuku sudah selesai,”
Alya menunggu kepulangan Arka dengan jantung yang berdebar tak karuan. Rumah besar itu terasa sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang menemani penantiannya. Tablet berisi email dari Sandra tergeletak di atas meja kopi, terasa seperti sebuah granat yang pin pengamannya sudah dicabut. Alya mondar-mandir, memutar ulang kata-kata Seraphina di kepalanya: “Paksa dia untuk memilih.” Ia benci menjadi instrumen dalam permainan ini, tapi ia tahu ini adalah momen yang tak terhindarkan.Ia mendengar suara mobil Arka di halaman, lalu suara pintu depan yang terbuka. Arka melangkah masuk, wajahnya tampak lelah setelah seharian bekerja, namun langsung berubah cemas saat melihat ekspresi Alya yang begitu tegang.“Sayang, ada apa?” tanya Arka, langsung menghampirinya. “Teleponmu tadi… suaramu aneh sekali. Apa Seraphina melakukan sesuatu? Apa ini soal ibuku lagi?”Alya tidak sanggup berkata-kata. Ia hanya menatap suaminya dengan sorot mata yang penuh luka, lalu menunjuk ke arah ta
Alya menatap layar tablet itu, kata-kata Sandra seolah membakar matanya. Jauhi Arka. Dan hancurkan istrinya. Ancaman itu begitu telanjang, begitu brutal, hingga membuatnya sulit bernapas. Ia bisa merasakan darah surut dari wajahnya, ruangan kantor yang sejuk itu tiba-tiba terasa dingin. Ia mengangkat kepalanya perlahan, menatap Seraphina yang sedang memperhatikannya dengan ekspresi yang aneh, campuran antara simpati dan kalkulasi yang dingin.“Kenapa…” bisik Alya, suaranya nyaris tak terdengar. “Kenapa kau menunjukkan ini padaku?”Seraphina berjalan kembali ke kursinya yang mewah dan duduk dengan anggun, memberinya waktu sejenak untuk memproses syok itu. “Kenapa?” ulangnya, nadanya tenang. “Karena aku ingin kau tahu siapa musuhmu yang sesungguhnya, Alya. Aku ingin kau lihat dengan mata kepalamu sendiri, betapa kejam dan putus asanya wanita yang sedang kau lawan.”Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya intens. “Sandra Arroihan itu seperti kanker, Alya. Jika ka
Keesokan paginya, Alya melangkah masuk ke gerbang sekolah dengan energi yang sama sekali berbeda. Ia bukan lagi hanya seorang ibu yang mengantar anaknya. Ia adalah seorang jenderal yang sedang memasuki medan perangnya. Tujuannya hari ini jelas: merebut panggung sosial yang selama ini dikuasai oleh Sandra dan Liana.Ia sengaja datang sedikit lebih awal. Ia menemukan Ibu Wati, ibu netral yang tempo hari menawarinya dukungan, sedang berdiri sendirian di dekat lobi. Ini adalah kesempatannya.“Pagi, Bu Wati,” sapa Alya dengan senyumnya yang paling tulus dan hangat.“Eh, pagi, Bu Alya,” jawab Ibu Wati, tampak senang disapa.“Saya tidak mau mengganggu, Bu,” Alya memulai, nadanya rendah hati. “Saya hanya mau mengucapkan terima kasih sekali lagi atas dukungan Ibu di rapat komite tempo hari. Itu sangat berarti bagi saya.”Pujian tulus itu membuat Ibu Wati tersipu. “Sama-sama, Bu Alya. Sudah seharusnya kita mendukung ide yang baik.”“Sejujurnya,” lanjut Alya, “sa
Pagi hari Senin, setelah akhir pekan yang menghancurkan itu, Alya terbangun dengan perasaan yang aneh. Rasa takut dan kebingungan dari malam-malam sebelumnya telah hilang, digantikan oleh sebuah ketenangan yang dingin dan fokus yang tajam. Ia menatap Arka yang masih tertidur di sampingnya. Wajah suaminya itu tampak lebih tua, lebih lelah, bahkan dalam tidurnya. Beban dari pengkhianatan ibunya sendiri adalah sesuatu yang Alya tidak bisa bayangkan.Ia tahu, mulai hari ini, mereka bukan lagi sekadar pasangan yang sedang menyembuhkan luka. Mereka adalah sekutu dalam sebuah perang yang sangat personal.Saat Arka akhirnya bangun dan mereka duduk berdua di meja makan setelah mengantar Bara ke sekolah, suasana di antara mereka begitu berbeda. Tidak ada lagi canda atau kemesraan ringan. Yang ada hanyalah keseriusan dari dua orang yang akan merancang sebuah strategi besar.Arka membawa sebuah papan tulis kecil dari ruang kerja dan meletakkannya di dekat meja makan.“Kita