Share

4.Nikah Lagi

last update Last Updated: 2025-06-30 11:58:04

Namun, bukan perceraian yang akhirnya mereka sepakati. Sandi memberi pilihan lain.

"Aku tidak akan menceraikanmu, karena aku tidak ingin mempermalukan keluarga kita. Tapi aku juga tidak bisa menerima pernikahan ini seperti sebelumnya."

Sabrina menatap suaminya dengan mata yang berlinang. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara serak.

Sandi menarik napas panjang, lalu menatapnya dingin. "Aku akan menikah lagi."

Dunia Sabrina seakan berhenti berputar.

"K-kau… ingin menikah lagi?"

Sandi mengangguk. "Aku butuh istri yang benar-benar bisa kupercayai. Aku tidak akan menceraikanmu karena aku tidak mau anak itu tumbuh tanpa status. Tapi aku juga tidak bisa hidup denganmu seperti suami istri lagi."

Air mata Sabrina jatuh tanpa bisa ia tahan. "Jadi, aku hanya akan menjadi istri di atas kertas?"

Sandi menatapnya dengan dingin. "Ya. Kau akan tetap menjadi ibu bagi anak itu. Aku tidak akan mengusirmu. Tapi aku akan menikah lagi dengan wanita yang lebih pantas untukku."

Sabrina menggigit bibirnya, mencoba menahan isakan. "Siapa?"

Sandi menatapnya tanpa ekspresi. "Orang yang seharusnya sejak awal kunikahi."

Kenyataan yang Menyesakkan

Beberapa minggu kemudian, pernikahan kedua Sandi dilangsungkan secara sederhana. Wanita itu bernama Karina—seorang perempuan yang dikenal keluarga mereka. Cantik, lembut, dan berasal dari keluarga terhormat.

Sabrina berdiri di sudut ruangan saat akad nikah berlangsung. Matanya menatap Sandi yang mengucapkan ijab kabul dengan suara tegas, tanpa ragu.

Ia ingin pergi. Ia ingin berteriak.

Tapi ia tidak bisa.

Ia hanya bisa diam, menahan sakit yang begitu menusuk.

Dan hari itu, Sabrina benar-benar mengerti bagaimana rasanya kehilangan.

Hari-hari setelah pernikahan Sandi dengan Karina terasa seperti neraka bagi Sabrina. Bukan hanya karena ia harus berbagi suami, tapi juga karena Sandi memperlakukannya sangat berbeda.

Jika dulu Sandi selalu bersikap dingin setelah mengetahui kebohongannya, kini sikapnya semakin menusuk.

Ia sering melihat bagaimana Sandi memperlakukan Karina dengan penuh kelembutan—sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sejak malam pertama mereka.

Dari dapur, suara tawa Karina terdengar begitu lembut, seakan membawa kehangatan di rumah ini.

Tak lama, Karina muncul sambil membawa semangkuk sup yang ia buat sendiri. Dengan penuh perhatian, ia meletakkannya di hadapan Sandi.

“Mas, ini aku buat khusus untukmu. Aku tahu Mas suka yang hangat-hangat.”

Sandi tersenyum. Senyum yang tak pernah lagi ia tunjukkan pada Sabrina.

“Terima kasih, Karina. Kamu memang istri yang sempurna,” katanya sambil mengusap lembut kepala Karina.

Sabrina menunduk, menggigit bibirnya agar air matanya tidak jatuh. Ia tidak boleh menangis.

Namun, Sandi tidak berhenti di situ.

Ia menatap Sabrina yang duduk di sudut meja. “Lihat, Sabrina. Begini seharusnya seorang istri. Lemah lembut, perhatian, dan bisa menjaga diri sebelum menikah.”

Sabrina meremas jemarinya di bawah meja. “Aku juga pernah melayanimu sebelum Karina datang.”

Sandi tertawa kecil, tapi bukan karena senang. “Melayaniku? Seperti apa? Seperti bagaimana kamu melayani pria sebelum aku?”

Karina tersentak. “Mas Sandi… jangan begitu,” katanya pelan, seolah membela Sabrina.

Namun, Sabrina tahu Karina tidak benar-benar memahami rasa sakit yang ia rasakan.

Sandi melanjutkan dengan suara dingin, “Dulu aku berpikir bahwa menikahi seorang wanita yang sudah ternoda adalah hal yang bisa kuterima. Tapi semakin hari, aku sadar… aku pantas mendapatkan yang lebih baik.”

Jantung Sabrina mencelos.

Sandi menatapnya tajam. “Karina menjaga dirinya dengan baik sampai pernikahan. Dia layak mendapatkan semua yang terbaik dariku.”

Mata Sabrina terasa panas, tapi ia menahan tangisnya. Ia tidak akan memberikan kepuasan pada Sandi untuk melihatnya hancur.

Ia berdiri pelan, lalu menundukkan kepala. “Terima kasih atas makan malamnya. Aku sudah kenyang.”

Tanpa menunggu jawaban, ia berjalan meninggalkan ruang makan dengan langkah gontai.

--

Malam itu, Sabrina duduk sendirian di kamarnya. Lampu kamar redup, hanya menyisakan cahaya kecil dari lampu meja. Ia menatap perutnya yang semakin membesar, mencoba menenangkan dirinya sendiri, tapi setiap kata yang Sandi ucapkan terus terngiang di kepalanya.

"Dulu aku berpikir bahwa menikahi seorang wanita yang sudah ternoda adalah hal yang bisa kuterima. Tapi semakin hari, aku sadar… aku pantas mendapatkan yang lebih baik."

Sabrina menghapus air matanya buru-buru saat mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia berharap itu bukan Sandi, karena ia tidak yakin bisa menghadapi tatapan penuh hinaan lagi.

Tapi suara yang terdengar dari luar justru lebih mengejutkan.

“Sabrina, ini aku, Karina."

Sabrina terdiam sejenak. Kenapa Karina datang ke kamarnya? Bukankah wanita itu sekarang adalah istri kesayangan Sandi?

Pelan-pelan, ia bangkit dan membuka pintu. Karina berdiri di sana dengan ekspresi penuh simpati.

“Boleh aku masuk?” tanya Karina dengan lembut.

Sabrina tidak punya alasan untuk menolak, jadi ia mengangguk pelan dan membiarkan Karina masuk.

Karina melihat sekeliling kamar. Tidak ada dekorasi mewah seperti di kamarnya. Tidak ada parfum lembut yang menenangkan. Tidak ada tanda-tanda kebahagiaan seorang istri yang dicintai suaminya.

Hanya ada kesepian dan kepedihan yang sangat terasa.

“Sabrina…” Karina duduk di kursi dekat tempat tidur, menatapnya dengan hati-hati. “Aku tahu Mas Sandi terlalu keras padamu.”

Sabrina menundukkan kepala. “Dia suamimu sekarang. Kau tidak perlu datang ke sini dan merasa kasihan padaku.”

Karina menghela napas. “Aku tidak datang untuk mengasihanimu. Aku hanya ingin tahu… kenapa kau tetap bertahan?”

Sabrina menegang. Pertanyaan itu begitu sederhana, tapi juga begitu menyakitkan.

Kenapa ia tetap bertahan?

Kenapa ia tidak pergi saja?

Sabrina menggigit bibirnya sebelum menjawab, “Karena aku mencintai Sandi.”

Karina menatapnya lama, seolah mencari kebohongan di balik kata-katanya.

“Tapi dia tidak mencintaimu,” kata Karina akhirnya.

Sabrina terdiam. Kata-kata itu menyakitkan, tapi tidak ada gunanya menyangkalnya.

Karina melanjutkan, “Dia memperlakukanku dengan baik, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu di antara kalian yang belum selesai. Kau dan Mas Sandi… ada luka yang belum sembuh.”

Sabrina menggeleng pelan. “Luka itu tidak akan pernah sembuh"

Jantung Sabrina seakan berhenti berdetak.

“Aku tahu Mas Sandi mencurigai sesuatu… tentang kehamilanmu.” Karina menatapnya dalam. “Apakah benar anak ini bukan anaknya?”

Sabrina menggigit bibirnya, mencoba menahan air matanya. “Aku… aku tidak bisa menjawab itu.”

Karina tidak bertanya lagi. Ia hanya tersenyum kecil, lalu berdiri.

“Aku tidak tahu seberapa besar kau mencintai Mas Sandi, tapi aku ingin kau bertanya pada dirimu sendiri… apakah cinta itu pantas untuk diperjuangkan jika hanya membuatmu semakin menderita?”

Sabrina hanya bisa menatap punggung Karina saat wanita itu pergi.

Setelah Karina menutup pintu, Sabrina akhirnya jatuh terduduk, menangis tanpa suara.

Karena ia tahu, betapa pun ia ingin bertahan… pada akhirnya, cinta yang ia genggam hanyalah bayangan semu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mahkota Yang Terenggut   42.Maafkan Aku Sabrina

    Tanpa sadar sandi berjalan kearah jembatan, tatapannya kosong...ingatan terakhirnya adalah saat dia melamar sabrinaWaktu itu Sabrina berdiri dan tersenyum. "Kak Sandi? Tumben datang ke sini." Sandi melirik ke arah dalam rumah, memastikan suasana sepi. "Aku ingin bicara serius denganmu. Boleh?" Sabrina mengangguk, sedikit penasaran. Mereka pun duduk di bangku teras. Sandi terlihat tenang, tetapi ada ketegangan samar di sorot matanya. "Aku sudah bekerja selama beberapa tahun dan posisiku di kantor semakin baik. Aku punya rumah sendiri, tabungan cukup, dan hidup yang stabil," katanya, seolah membaca daftar pencapaian. Sabrina mengangguk, masih belum menangkap maksudnya. "Aku ingin menikah," lanjut Sandi, tatapannya menusuk langsung ke mata Sabrina. Sabrina mengerjap. "Oh. Selamat ya, Kak." Sandi tersenyum kecil. "Maksudku... aku ingin menikah denganmu, Sabrina." Jantung Sabrina berdetak lebih cepat. "Apa?" Sandi menyesap napas sebelum melanjutkan, suaranya semakin ma

  • Mahkota Yang Terenggut   41.Penyesalan

    Sandi terduduk di kursi tua ruang tamu. Bu Rina menatapnya dengan prihatin dari dapur.“Kamu masih belum bisa merelakan, ya?” suara ibunya lembut, tapi langsung menusuk ke dalam hatinya.Sandi tidak menjawab. Ia hanya mengusap wajahnya yang terasa panas.“Dulu kamu memilih Karina, memilih Nadine, San. Sekarang kamu harus menerima kenyataan bahwa Sabrina juga sudah memilih jalannya sendiri.”Sandi menghela napas panjang. “Aku nggak menyalahkan siapa-siapa, Ma… Aku cuma… aku nggak pernah berpikir semuanya akan berakhir begini.”Bu Rina duduk di sampingnya. “Hidup nggak bisa ditebak. Tapi satu hal yang pasti, kalau kamu terus melihat ke belakang, kamu nggak akan pernah maju. Andro memang keterlaluan tapi dia juga anak ibu, ”Sandi diam. Kata-kata ibunya benar, tapi apa yang bisa ia lakukan sekarang?Dunia sudah berubah. Semua orang sudah bergerak maju.Hanya ia yang masih tertinggal di tempat yang sama.-Malam itu, Sandi tidak bisa tidur. Ia bolak-balik di atas kasurnya, pikirannya dipen

  • Mahkota Yang Terenggut   40. Pengangguran

    Sandi melemparkan tubuhnya ke atas kasur tua, menatap langit-langit kamar yang penuh dengan noda lembab. Hari ini sama seperti kemarin—panas, melelahkan, dan penuh dengan rasa kecewa. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk bangkit, tapi dunia seolah tak lagi menginginkannya. Tiba-tiba, suara dari televisi di ruang tamu menarik perhatiannya. Suara riuh penggemar, teriakan histeris, dan dentuman musik memenuhi rumah kecil itu. Sandi bangkit perlahan, berjalan menuju ruang tamu dengan rasa penasaran. Di layar, sebuah konser besar sedang disiarkan secara langsung. Lampu sorot berkedip, dan di tengah panggung, seorang pria muda berdiri dengan penuh percaya diri. Seorang pria yang sangat ia kenal. Andro. Adiknya yang dulu selalu tertinggal di sekolah. Yang dulu sering dihina karena tidak secerdas Sandi. Yang dulu selalu berlindung di balik bayangannya. Kini, Andro berdiri di atas panggung megah, dikelilingi oleh ribuan penggemar yang meneriakkan namanya. Dengan jaket kulit, rambut

  • Mahkota Yang Terenggut   39.Pulang Dengan Rasa Malu

    Langit sore memancarkan warna jingga yang suram ketika Sandi melangkahkan kakinya ke halaman rumah orang tuanya. Sudah bertahun-tahun ia tidak menginjakkan kaki di sini, dan kini, pulang dalam keadaan seperti ini terasa seperti kekalahan. Dulu, ia adalah kebanggaan keluarga. Si jenius yang selalu menjadi nomor satu di sekolah, yang membangun bisnisnya sendiri dari nol dan pernah masuk dalam jajaran pengusaha muda paling berpengaruh. Sekarang? Ia hanya seorang mantan narapidana yang bahkan tidak bisa mencari pekerjaan. Sandi mengetuk pintu dengan ragu. Tak lama, pintu terbuka, menampilkan wajah ibunya—Bu Rina. Mata perempuan itu membesar, seolah tak percaya dengan sosok yang berdiri di hadapannya. "Sandi..." suaranya bergetar. Sandi menunduk, merasa terlalu malu untuk menatap ibunya. "Ma... Boleh aku tinggal di sini sebentar?" Bu Rina menutup mulutnya dengan tangan, matanya mulai berkaca-kaca. "Ya Allah, anakku..." Tanpa banyak tanya, ia langsung menarik Sandi ke dalam pelukan

  • Mahkota Yang Terenggut   38.Kebangkrutan

    Sandi melangkah keluar dari gerbang penjara dengan langkah berat. Matahari menyengat kulitnya, mengingatkan bahwa dunia di luar masih berjalan tanpa dirinya. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Di dalam sana, hari-harinya berlalu lambat, dipenuhi rasa bersalah dan kemarahan yang ia telan sendiri. Kini ia bebas. Tapi kebebasan ini terasa kosong. Tak ada siapa pun yang menjemput. Tak ada sahabat, keluarga, atau bahkan Nadine, mantan istrinya. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah menuju halte bus terdekat. Tangannya merogoh saku jaket tua yang ia bawa sejak masuk ke dalam penjara. Isinya hanya beberapa lembar uang yang diberikan petugas sebelum ia keluar. Cukup untuk ongkos bus dan mungkin sebungkus rokok. Selama perjalanan, pikirannya melayang ke masa lalu. Ke saat-saat di mana ia masih punya segalanya—keluarga, bisnis, dan kehormatan. Semua itu hancur karena satu kesalahan. Perusahaannya bangkrut, lalu kasus hukum menjeratnya. Namun, yang paling menyakitkan bukanlah kehil

  • Mahkota Yang Terenggut   37.Nasib Yang Tertulis

    Di sebuah jalan sepi yang diterangi lampu jalan temaram, Sandi melaju dengan mobil hitamnya yang tersisa. Hatinya berdegup kencang saat ia menuju sebuah vila kecil yang pernah menjadi tempat Karina menghabiskan waktu bersama. Setiap tikungan jalan diiringi dengan bisikan amarah dan dendam yang telah lama terpendam.Sesampainya di depan pintu gerbang vila, Sandi keluar dari mobil dengan langkah cepat dan penuh tekad. Ia menyelinap ke pekarangan, mendekati pintu utama dengan hati-hati. Di balik jendela, terlihat sosok Karina yang sedang membaca di ruang tamu dengan lampu meja menyinari wajahnya.Dengan napas tercekik, Sandi menekan pintu dengan keras. Pintu terbuka, dan tanpa sempat Karina berteriak, Sandi sudah mendekat dengan pisau terhunus di tangannya."Karina!" teriak Sandi, suaranya penuh kebencian. "Kau pikir aku akan terus terpuruk karena ulahmu?"Karina terkejut, segera bangkit dan melangkah mundur. "Sandi, apa yang kau lakukan? Tenanglah!" serunya, berusaha menjauh dari ancama

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status