Sabrina duduk di kursi goyang dekat jendela kamar, mengelus perutnya yang sudah besar. Kehamilannya memasuki bulan ke tujuh, dan tubuhnya mulai terasa semakin lelah. Namun, lelah fisik itu tak sebanding dengan kelelahan hatinya.
Pernikahan ini tak lagi terasa seperti rumah. Sandi berubah. Jika dulu ia pria yang lembut dan penuh perhatian, kini ia menjadi semakin egois. Ia ingin memiliki dua istri dan menikmati keduanya. Bagi Sandi, ia sudah cukup baik dengan tidak menceraikan Sabrina setelah mengetahui kenyataan bahwa ia bukan perawan saat menikah. Sabrina menghela napas panjang. Pintu kamar terbuka, menampakkan sosok Sandi yang masuk dengan ekspresi dingin. "Kau sudah tidur?"tanyanya, berjalan mendekat. Sabrina menegakkan tubuhnya sedikit. "Belum." Sandi duduk di pinggir ranjang, menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Aku ingin kau tidur di kamar utama malam ini." Jantung Sabrina berdegup lebih kencang. Ia tahu maksud Sandi. "Aku sedang hamil tua, Sandi." Sandi mendengus pelan, lalu menarik dagunya agar menatapnya langsung. "Lalu? Apa itu alasan untuk mengabaikan kewajibanmu sebagai istriku?" Sabrina menelan ludah. Tubuhnya sudah terlalu lelah, hatinya lebih lelah lagi. "Bukankah kau sudah punya Karina?" Mata Sandi menyipit."Kau pikir dengan adanya Karina, aku akan melupakanmu? Aku masih suamimu, Sabrina ,aku masih harus kau layani." Sabrina menatapnya dengan mata yang mulai memanas. "Tapi, aku lelah… aku benar-benar lelah, Sandi." Sandi tersenyum kecil, tetapi senyum itu tidak membawa kehangatan seperti dulu. "Aku tidak meminta pendapatmu." Tangannya terulur, menarik Sabrina berdiri dari kursi goyang. "Sandi, tolong… aku mohon…" Sabrina mencoba menahan air matanya, tetapi Sandi tidak peduli. "Kau istriku, Sabrina. Apa yang salah jika aku menginginkanmu?" Di mata Sandi, Sabrina adalah istri yang telah berbohong kepadanya. Wanita yang telah menipunya di malam pertama. Maka, ia tidak peduli jika kini ia memperlakukannya dengan lebih dingin dan egois. Sabrina pasrah. Tuhan, sampai kapan aku harus bertahan seperti ini? Di kamar lain, Karina mendengar suara langkah kaki Sandi yang menyeret Sabrina ke kamar utama. Ia sudah tahu Sandi tidak akan pernah benar-benar melepas Sabrina, tetapi tetap menjadikan dirinya istri kesayangan. "Kau hanya selir di rumah ini, Sabrina." bisik Karina pada dirinya sendiri. "Dan aku adalah ratunya." Sabrina menahan tangisnya dalam diam, hanya bisa berharap semua ini segera berakhir. Sandi menuntaskan hasratnya dengan puas..sebelum dia menikah dengan karina dia tidak mau menyentuh sabrina lagi setelah malam pertama .Tapi setelah menikahi karina dia hanya berusaha membagi nafkah batinnya dengan adil? Mungkin? Sandi menatap lama sebelum akhirnya bangkit berdiri. "Aku tidak peduli lagi, Sabrina. Aku akan tetap memperlakukanmu sebagai istriku, tapi jangan pernah berharap aku akan mencintai seperti dulu." Air mata Sabrina jatuh tanpa bisa ditahan. “Aku tidak meminta apa-apa darimu, Sandi.” Sandi menatap sekali lagi sebelum pergi meninggalkannya Sabrina menyelimuti selimutnya erat-erat. Ia tahu, di dalam rumah ini, ia hanyalah bayangan dari masa lalu yang tidak akan pernah bisa kembali. -- Berapa bulan kemudian. Tangis bayi memenuhi ruang bersalin, tetapi tidak ada kebahagiaan di wajah Sabrina. Ia terbaring lemah, keringat dingin membasahi dahinya, tubuhnya masih gemetar setelah perjuangan panjang melahirkan seorang bayi perempuan ke dunia. Ia menoleh ke samping, berharap melihat Sandi di sana. Tapi, tidak ada siapa pun. Suaminya tidak datang. Sabrina sudah tahu sejak awal bahwa Sandi tidak akan ada di sampingnya. Sudah berhari-hari Sandi lebih banyak menghabiskan waktu bersama Karina, istri keduanya. Dan malam ini, ketika Sabrina bertaruh nyawa untuk melahirkan anak yang seharusnya menjadi kebanggaan mereka, Sandi memilih berada di kamar lain, bersama wanita lain. Air mata mengalir pelan di pipi Sabrina. "Selamat, Bu, bayinya sehat dan cantik," kata seorang perawat dengan senyum hangat sambil menyerahkan bayi kecil itu ke dalam dekapannya. Sabrina menatap wajah mungil itu. Matanya masih tertutup, napasnya kecil tetapi stabil. Bayi itu tidak bersalah. Perlahan, Sabrina tersenyum meski hatinya sakit. "Kau hanya punya Ibu, Nak. Tidak apa-apa. Ibu akan menjagamu." Di sisi lain , Sandi tidak peduli. Ia sedang menikmati kebersamaannya dengan Karina, wanita yang katanya lebih suci, lebih pantas untuknya. -- Satu hari setelah melahirkan, Sabrina masih berada di rumah sakit, sendirian. Tidak ada suami yang menemaninya, tidak ada ibu mertua yang menjenguk, tidak ada siapa pun dari keluarga Sandi yang peduli. Pintu kamar terbuka, dan seorang suster masuk. "Bu Sabrina, ada tamu untuk Anda." Sabrina mengerutkan kening. Ia tidak mengharapkan siapa pun datang. Namun, ketika melihat sosok di ambang pintu, hatinya mencelos. Sandi. Pria itu berdiri di sana, mengenakan kemeja rapi seperti biasa, wajahnya datar tanpa ekspresi. Sabrina menggenggam selimut bayinya erat. "Kau datang juga akhirnya." Sandi berjalan mendekat. Matanya menatap bayi yang ada di pelukan Sabrina, tapi bukan dengan kelembutan seorang ayah. Yang ada hanya sorot penuh keraguan. "Aku datang bukan untuk menjengukmu," katanya dingin. "Aku hanya ingin memastikan apakah anak itu masih hidup." Sabrina menegang. "Sandi… bagaimana bisa kau berkata seperti itu?" Sandi menatapnya tajam. "Kau tahu alasannya. Aku tidak pernah benar-benar mempercayaimu sejak malam pertama kita. Dan sekarang, kau melahirkan lebih cepat dari yang seharusnya. Kau pikir aku bodoh,siapa ayah dari bayi itu?" Air mata mulai menggenang di mata Sabrina. "Aku sudah bilang, aku tidak akan menjawab pertanyaan itu." Sandi tertawa sinis. "Itu saja sudah cukup menjawab segalanya. Kalau kau benar-benar jujur, kau tidak akan menghindar." Sabrina menggigit bibirnya, menahan isak. Ia ingin berteriak, ingin menjelaskan segalanya, tetapi apa gunanya? Sandi sudah membenci dirinya. "Apa kau datang hanya untuk mengatakan itu?"tanya Sabrina dengan suara lelah. Sandi menghela napas, lalu menyodorkan sesuatu. "Tanda tanganilah ini." Sabrina menatap kertas di hadapannya. Matanya membelalak ketika membaca isinya. Surat pernyataan bahwa bayi ini bukan anak Sandi. Dunia Sabrina runtuh dalam sekejap. "Sandi, kau… kau ingin menolak anak ini?" Sandi mendengus. "Aku hanya ingin kejelasan, Sabrina. Jika kau tidak mau jujur, maka aku juga tidak akan mengakuinya sebagai anakku,anak itu harus tau dari awal kalau aku bukan ayah kandungnya." Sabrina memeluk bayi itu lebih erat, air matanya jatuh tak tertahankan. "Aku tidak akan menandatanganinya." Sandi berdiri, memasukkan kembali surat itu ke dalam mapnya. "Terserah kau, tapi jangan harap aku akan menganggap anak itu bagian dari keluargaku, dia anak perempuan,saat dia menikah aku juga tidak bisa jadi walinya karena dia bukan anak kandungku." Lalu, tanpa satu pun kata perpisahan, Sandi pergi.Tanpa sadar sandi berjalan kearah jembatan, tatapannya kosong...ingatan terakhirnya adalah saat dia melamar sabrinaWaktu itu Sabrina berdiri dan tersenyum. "Kak Sandi? Tumben datang ke sini." Sandi melirik ke arah dalam rumah, memastikan suasana sepi. "Aku ingin bicara serius denganmu. Boleh?" Sabrina mengangguk, sedikit penasaran. Mereka pun duduk di bangku teras. Sandi terlihat tenang, tetapi ada ketegangan samar di sorot matanya. "Aku sudah bekerja selama beberapa tahun dan posisiku di kantor semakin baik. Aku punya rumah sendiri, tabungan cukup, dan hidup yang stabil," katanya, seolah membaca daftar pencapaian. Sabrina mengangguk, masih belum menangkap maksudnya. "Aku ingin menikah," lanjut Sandi, tatapannya menusuk langsung ke mata Sabrina. Sabrina mengerjap. "Oh. Selamat ya, Kak." Sandi tersenyum kecil. "Maksudku... aku ingin menikah denganmu, Sabrina." Jantung Sabrina berdetak lebih cepat. "Apa?" Sandi menyesap napas sebelum melanjutkan, suaranya semakin ma
Sandi terduduk di kursi tua ruang tamu. Bu Rina menatapnya dengan prihatin dari dapur.“Kamu masih belum bisa merelakan, ya?” suara ibunya lembut, tapi langsung menusuk ke dalam hatinya.Sandi tidak menjawab. Ia hanya mengusap wajahnya yang terasa panas.“Dulu kamu memilih Karina, memilih Nadine, San. Sekarang kamu harus menerima kenyataan bahwa Sabrina juga sudah memilih jalannya sendiri.”Sandi menghela napas panjang. “Aku nggak menyalahkan siapa-siapa, Ma… Aku cuma… aku nggak pernah berpikir semuanya akan berakhir begini.”Bu Rina duduk di sampingnya. “Hidup nggak bisa ditebak. Tapi satu hal yang pasti, kalau kamu terus melihat ke belakang, kamu nggak akan pernah maju. Andro memang keterlaluan tapi dia juga anak ibu, ”Sandi diam. Kata-kata ibunya benar, tapi apa yang bisa ia lakukan sekarang?Dunia sudah berubah. Semua orang sudah bergerak maju.Hanya ia yang masih tertinggal di tempat yang sama.-Malam itu, Sandi tidak bisa tidur. Ia bolak-balik di atas kasurnya, pikirannya dipen
Sandi melemparkan tubuhnya ke atas kasur tua, menatap langit-langit kamar yang penuh dengan noda lembab. Hari ini sama seperti kemarin—panas, melelahkan, dan penuh dengan rasa kecewa. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk bangkit, tapi dunia seolah tak lagi menginginkannya. Tiba-tiba, suara dari televisi di ruang tamu menarik perhatiannya. Suara riuh penggemar, teriakan histeris, dan dentuman musik memenuhi rumah kecil itu. Sandi bangkit perlahan, berjalan menuju ruang tamu dengan rasa penasaran. Di layar, sebuah konser besar sedang disiarkan secara langsung. Lampu sorot berkedip, dan di tengah panggung, seorang pria muda berdiri dengan penuh percaya diri. Seorang pria yang sangat ia kenal. Andro. Adiknya yang dulu selalu tertinggal di sekolah. Yang dulu sering dihina karena tidak secerdas Sandi. Yang dulu selalu berlindung di balik bayangannya. Kini, Andro berdiri di atas panggung megah, dikelilingi oleh ribuan penggemar yang meneriakkan namanya. Dengan jaket kulit, rambut
Langit sore memancarkan warna jingga yang suram ketika Sandi melangkahkan kakinya ke halaman rumah orang tuanya. Sudah bertahun-tahun ia tidak menginjakkan kaki di sini, dan kini, pulang dalam keadaan seperti ini terasa seperti kekalahan. Dulu, ia adalah kebanggaan keluarga. Si jenius yang selalu menjadi nomor satu di sekolah, yang membangun bisnisnya sendiri dari nol dan pernah masuk dalam jajaran pengusaha muda paling berpengaruh. Sekarang? Ia hanya seorang mantan narapidana yang bahkan tidak bisa mencari pekerjaan. Sandi mengetuk pintu dengan ragu. Tak lama, pintu terbuka, menampilkan wajah ibunya—Bu Rina. Mata perempuan itu membesar, seolah tak percaya dengan sosok yang berdiri di hadapannya. "Sandi..." suaranya bergetar. Sandi menunduk, merasa terlalu malu untuk menatap ibunya. "Ma... Boleh aku tinggal di sini sebentar?" Bu Rina menutup mulutnya dengan tangan, matanya mulai berkaca-kaca. "Ya Allah, anakku..." Tanpa banyak tanya, ia langsung menarik Sandi ke dalam pelukan
Sandi melangkah keluar dari gerbang penjara dengan langkah berat. Matahari menyengat kulitnya, mengingatkan bahwa dunia di luar masih berjalan tanpa dirinya. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Di dalam sana, hari-harinya berlalu lambat, dipenuhi rasa bersalah dan kemarahan yang ia telan sendiri. Kini ia bebas. Tapi kebebasan ini terasa kosong. Tak ada siapa pun yang menjemput. Tak ada sahabat, keluarga, atau bahkan Nadine, mantan istrinya. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah menuju halte bus terdekat. Tangannya merogoh saku jaket tua yang ia bawa sejak masuk ke dalam penjara. Isinya hanya beberapa lembar uang yang diberikan petugas sebelum ia keluar. Cukup untuk ongkos bus dan mungkin sebungkus rokok. Selama perjalanan, pikirannya melayang ke masa lalu. Ke saat-saat di mana ia masih punya segalanya—keluarga, bisnis, dan kehormatan. Semua itu hancur karena satu kesalahan. Perusahaannya bangkrut, lalu kasus hukum menjeratnya. Namun, yang paling menyakitkan bukanlah kehil
Di sebuah jalan sepi yang diterangi lampu jalan temaram, Sandi melaju dengan mobil hitamnya yang tersisa. Hatinya berdegup kencang saat ia menuju sebuah vila kecil yang pernah menjadi tempat Karina menghabiskan waktu bersama. Setiap tikungan jalan diiringi dengan bisikan amarah dan dendam yang telah lama terpendam.Sesampainya di depan pintu gerbang vila, Sandi keluar dari mobil dengan langkah cepat dan penuh tekad. Ia menyelinap ke pekarangan, mendekati pintu utama dengan hati-hati. Di balik jendela, terlihat sosok Karina yang sedang membaca di ruang tamu dengan lampu meja menyinari wajahnya.Dengan napas tercekik, Sandi menekan pintu dengan keras. Pintu terbuka, dan tanpa sempat Karina berteriak, Sandi sudah mendekat dengan pisau terhunus di tangannya."Karina!" teriak Sandi, suaranya penuh kebencian. "Kau pikir aku akan terus terpuruk karena ulahmu?"Karina terkejut, segera bangkit dan melangkah mundur. "Sandi, apa yang kau lakukan? Tenanglah!" serunya, berusaha menjauh dari ancama