Yara baru saja selesai mandi. Rambutnya yang panjang masih basah, meneteskan air ke leher dan bahunya.Ia keluar dari kamar mandi hanya dengan balutan handuk kimono putih yang disediakan hotel, sembari menggosok rambutnya dengan handuk kecil lainnya. Aroma sabun dan shampoo samar menyebar di udara."Hmm ..., enaknya makan dulu atau nonton TV dulu, ya?" gumam Yara, berjalan pelan ke arah ranjang sambil melirik ke sekeliling kamar mewah yang masih terasa asing baginya.Ia duduk di tepian ranjang, lalu meraih remote TV dan menyalakannya. Suara lembut dari presenter berita mengisi ruang.Mata Yara terpaku saat layar menampilkan siaran langsung dari lokasi kebakaran di gudang milik Liu Corporation."Telah terjadi kebakaran hebat di gudang utama Liu Corporation di Crawley. Kebakaran ini menelan beberapa korban jiwa, serta melukai sejumlah pekerja. Penyebab kebakaran masih diselidiki, namun dugaan sementara mengarah pada kelalaian sistem kelistrikan..."Yara terdiam. Handuk yang tadi sibuk m
Beberapa jam kemudian, mobil hitam milik Nathan meluncur mulus di jalanan kota Crawley yang basah oleh sisa hujan. Lampu-lampu jalanan mulai menyala, menambah kesan dingin dan sendu dari suasana sore itu.Yara duduk diam di kursi penumpang. Pandangannya menyapu ke luar jendela, mengamati kota kecil itu dengan rasa asing di dadanya.Kenapa malah kayak mau liburan sih? pikirnya, lalu melirik Nathan yang tampak serius menyetir.Ia mendesah pelan. Dalam hatinya masih ada sisa detak janggal dari ciuman di dapur tadi. Tubuhnya sudah tidak demam karena suhu London, tapi sekarang... jantungnya yang demam karena Nathan.Mobil itu akhirnya berhenti di depan sebuah gedung apartemen bergaya modern. Elegan dan tenang."Turunlah," ucap Nathan sambil mematikan mesin.Yara hanya mengangguk, lalu membuka pintu dan mengikuti Nathan yang berjalan lebih dulu. Seperti bayangan, dia berada setengah langkah di belakang lelaki itu.Begitu mereka sampai di lobi, Adrian sudah menunggu mereka. Sekretaris Nathan
Siang itu, London masih diselimuti hawa dingin yang menusuk tulang. Kabut tipis menyelimuti jendela besar di ruang tengah apartemen Nathan, menciptakan bayangan lembut dari sinar matahari yang mencoba menembus awan tebal di langit.Yara baru saja selesai mandi. Rambutnya yang masih sedikit basah dibiarkan menjuntai bebas, menempel di lehernya yang dingin.Ia mengenakan sweater tebal abu-abu yang terlalu besar, milik Nathan, karena tak ada yang lebih hangat dari baju kekasih pura-pura, katanya dalam hati—walau hatinya sendiri masih belum sepenuhnya bisa mengakui semua ini dengan mantap.Langkahnya menyusuri lorong apartemen menuju ruang tamu karena sebelumnya Nathan memanggilnya. Tapi begitu sampai di sana, ruang itu kosong."Apaan sih." Yara menggerutu kecil, kedua tangannya melipat di dada. "Tadi manggil-manggil, sekarang dia sendiri tidak ada di sini. Menyebalkan," gumamnya sambil menjatuhkan tubuh ke sofa.Dengan malas, dia mengambil remote dan menyalakan televisi. Channel berita I
Udara dingin menyelimuti kota London, menembus kaca-kaca rumah sakit yang berkabut oleh suhu rendah. Di sebuah ruangan bernuansa putih kehijauan, dengan bau antiseptik yang tajam menusuk hidung.Clara membuka matanya perlahan. Kelopak matanya terasa berat, dan dunia di sekelilingnya tampak buram sebelum akhirnya fokus secara perlahan.Dia mengerjapkan mata, menatap langit-langit putih yang asing, lalu menoleh ke kanan dan kiri. Aroma rumah sakit begitu khas hingga menusuk kenangan."Sejak kapan aku ada di sini?"Tubuhnya terasa lemas. Tangannya yang dingin merasakan nyeri kecil dari infus yang menusuk punggung tangannya. Dia mencoba bangun, namun kepalanya berdenyut ringan dan memaksanya kembali bersandar.Saat Clara mencoba mengingat, potongan memori mulai datang. Malam sebelumnya—hotel Savoy, makan malam keluarga besar, nyeri mendadak di perutnya, lalu… wajah seseorang.Zhen.Ya, Zhen Chu. Wajah itu yang terakhir kali ia lihat sebelum semuanya gelap.Tiba-tiba pintu ruangan terbuka.
Di pagi yang sama, saat kabut tipis masih menyelimuti jendela rumah sakit pusat kota London, di dalam sebuah kamar perawatan VIP, seorang perempuan dengan wajah pucat dan tubuh lemah terbaring diam.Selang infus menancap di punggung tangannya, membentuk kontras yang tajam dengan kulit putih bersihnya. Wajahnya tenang, hampir seperti tidur damai, tapi jika ditatap lebih lama, ada bekas kelelahan yang tertinggal di bawah mata.Gaun pesta mewah yang dikenakannya semalam telah diganti dengan pakaian pasien yang longgar, seakan menyapu semua kemegahan malam sebelumnya.Tepat di sisi ranjang, seorang pria berdiri. Tegak, diam, dan penuh penyesalan. Zhen Chu menatap Clara dengan sorot mata yang sulit dijelaskan—perpaduan antara sayang, bingung, dan kehilangan.Semalam, saat Clara jatuh ke dalam pelukannya di Hotel Savoy, Zhen segera mmebawanya ke rumah sakit. Dia menungginya di sana, tanpa beranjak sedikitpun.Wajah cantik yang terbiasa tenang itu, sesekali merintih kesakitan sejak semalam.
Pagi itu, London tampak lebih kelabu dari biasanya. Kabut tipis menyelimuti kaca jendela, dan suhu udara seolah mengajak siapa pun untuk tetap berselimut.Di dalam kamar yang hangat, Yara masih meringkuk di bawah selimut tebal berwarna abu-abu. Ranjang empuk yang dia tempati terasa seperti pelukan yang enggan dilepas.Tubuhnya berat. Bahkan kelopak matanya masih lengket karena sisa kantuk yang enggan pergi.Tok tok tok.Suara ketukan lembut terdengar dari balik pintu. Suara yang segera dikenalnya menyusul."Yara," panggil Nathan dari luar. "Sarapan sudah siap. Aku tunggu di meja makan, ya."Yara hanya mendesah pelan, lalu menggulung dirinya lebih dalam ke selimut."Duh, kenapa sih dia harus sepeduli itu ..., menyebalkan," gumamnya lirih, malas.Matanya melirik ke arah pintu, lalu menatap langit-langit kamar. Sudah menjadi bagian dari konsekuensi kontrak bodoh itu. Mau tidak mau, dia harus menghadapi Nathan setiap hari."Kontrak konyol ..., dan aku setuju pula," gerutunya lagi, lali ak