Share

Bab Empat

"FRIS…. Cepetan turun, ayo makan”. Teriakan Ferdi memenuhi rumah. Emang pantas jika Friska menyandangkan gelar emak-emak pada abangnya. Cerewetnya emang udah kayak emak-emak.

Friska yang tengah tidur-tiduran dikamarnya bangun dengan enggan dan berjalan dengan gontai  menuruni tangga menuju meja makan. Langkahnya terhenti begitu mendapati pemadangan yang menyambutnya di meja makan.

Malaikat Elang lagi? Kenapa dia bisa di sini sih?. Dengan enggan dia duduk di depan malaikat Elang yang tengah duduk di sebelah abangnya. Mereka tengah asik mengobrol, tak mengindahkan Friska. Merasa dicuekin, Friska menendang kaki abangnya. 

“Aww..”

“Rasain lu”, cibir Friska seraya berlalu meneteng piringnya yang hanya berisi sayuran menuju ke kamarnya.

“Kenapa sih lu? Makan di sini aja kenapa?” Friska hanya berlalu. “Aneh banget sih tu anak.”

“Lu sih, nyuekin dia.” Ferdi hanya mengangkat bahu. “Dia masih makan sayur aja?”

“Ya, masih tetap setia sama sayurnya. Apalagi semenjak kejadian itu, dia gak pernah makan nasi sedikitpun. Om dan tante jadi galau mengetahui kebiasaan barunya. Lebih pusing dibanding melihat kenakalannya atau ketomboiannya.” Adytia hanya mengangguk ragu.

Dia ingat betul, Friska gak bakalan mau makan nasi kalau gak sepiring sama dia. Pernah Adytia mengerjai Friska. Makan terlebih dahulu tak menunggu gadis itu. Friska mogok makan dan tak menegur Adytia selama seminggu.

Kalau mengingat masa kecilnya dengan Friska, ia akan tertawa sendiri. Betapa manjanya gadis itu kepadanya. Manja dan juga nakal, tak pernah mau nurut. Apapun keinginannya harus dipenuhi oleh Adytia. Kmana Adytia pergi, ia juga harus pergi. Bahkan kesekolah atau ketempat les. Jarak umur mereka  yang hanya tiga tahun membuat mereka dekat. 

                                                        Ω

“ Kenapa sih tu orang bisa berada di rumah gue?” Ia berkata seolah-olah rumah itu miliknya, mengabaikan Ferdi sebagai tuan rumah. “Kenapa juga abangnya bisa berteman dengan malaikat Elangnya?” Tanpa sadar Friska telah memakai “nya” untuk Rafka, seakan pemuda itu telah menjadi miliknya.

“Hoi, lo makan apa bengong?” Tiba-tiba saja suara abangnya memenuhi kamarnya. Spontan saja Friska kaget. Dia memandang abangnya dengan wajah ngeri seakan melihat hantu. Tentu saja, karena saking asik dengan pikirannya sendiri. Sehingga ia tidak menyadari kehadiran abangnya dan Rafka.” Lo kenapa sih suka kagetan gitu? Emangnya gue setan? Hati-hati ntar jantungan loh.”

Bukannya menjawab pertanyaan Ferdi, Friska malah asik memandangi Rafka yang tengah berdiri di depan dinding tempat foto-fotonya berada. Malaikat Elangnya tampak tersenyum. Kenapa dia tersenyum begitu liatin foto gue?. Merasa dicuekin. Ferdi menjitak kepala Friska, menyebabkan ia terpekik kaget untuk yang kesekian kalinya. Rafka mengalihkan pandangannya pada Friska dan Ferdi.

“LO...”teriaknya seraya melempar bantal kepada Ferdi. Kesal melihat abangnya, ia memilih melanjutkan makan yang tertunda akibat lamunan konyolnya. Benar-benar hari yang gila. Ferdi terbahak-bahak melihat tingkah Friska.  

“Lo liat sendiri Dit, dia gak berubah sama sekali. Masih sama kayak dulu.” Sama kayak dulu? Dit? Siapa sih yang di panggil Dit?. Seakan menjawab rasa penasaran yang bertumpuk-tumpuk di benaknya. Rafka ikut duduk di ranjang Friska.

“Ya benar, dia masih sama kayak dulu. Hanya saja sekarang dia jadi parno liat gue.”  He, apaan sih maksudnya? Emangnya gue pernah ketemu ya sama si malaikat Elang? Ia asik bertanya kepada dirinya sendiri, mencoba menerka-nerka jawabannya.

“Lo masih gak ingat siapa dia?” Ujar abangnya seraya merangkul Rafka. “Perasaan lo lengket banget sama ni anak waktu kecil dulu.”

“Waktu kecil dulu? Jangan-jangan,- Jangan-jangan lo anak tukang buah yang sering nimpukin gue waktu gue lewat di rumah lo ya?”tanya Friska.

Wajah Ferdi langsung berubah, dari awalnya sumringah menjadi jengkel. Dia kembali menjitak kepala Friska. Gadis itu kembali meringis. Dengan jengkel, dia membalas jitakan abangnya dan terjadilah perang jitak antara dua saudara sepupu itu tanpa mengindahkan Rafka yang juga terkena dampratan dari perang kecil mereka.

“ Sudah- sudah” Rafka melerai peperangan mereka. “ Iya, gue anak tukang buah yang sering nimpukin lu dulu.” Ujarnya pada Frsiska yang langsung tertawa terbahak-bahak. Ferdi heran melihat adiknya tertawa.

“ kok lo malah ketawa sih?”

“Hahahaha... gua gak nyangka aja, kok lo bisa sekeren ini ya? Perasaan gue dulu lo kucel banget.” Ferdi sudah akan menjitak kepala Friska lagi, tapi gadis itu berhasil mengelak. Ia malah mencubiti pipi Rafka dan tertawa-tawa. Seingat gue pipi lo tembem banget padahal badan lo kecil banget dan kucel. Rafka membiarkan saja. Ia tak menolak dengan sikap dan ucapan Friska. Gadis ini benar-benar melupakan aku.

“Sudah-sudah. Lo gak kasian apa liat ni anak di cubitin terus?” Ferdi langsung menarik tangan Friska. Gadis itu tak berhenti tertawa sampai sakit perut. 

“Sori-sori, gue kaget aja bercampur geli. Gue gak nyangka aja bisa ketemu lo lagi dengan kondisi lo yang berubah total kayak gini. Lo gak operasi plastikkan?”

“Lo pikir gue seganteng itu ya sekarang? Tembakan pernyataan Rafka sukses membuat Friska merah padam dan langsung terdiam dan salah tingkah. Kali ini gantian Rafka dan Ferdi yang tertawa melihat Friska yang termakan umpannya sendiri.

Gadis itu hanya memberangut. Apanya yang lucu sih?

                                                                  Ω

“ Lo ingat gak saat lo nimpukin gue waktu acara tujuh belasan?”

Rafka memandangi Friska, mencoba mengais-ngais diantara tumpukan kenangan masa kecilnya. Kali aja gadis ini pernah bercerita padanya dulu. Ingatannya melayang ke masa 12 tahun lalu saat Friska mendatanginya dengan wajah belepotan lumpur dan kepala bengkak. Gadis kecil dihadapannya itu tertawa terkekeh-kekeh, memperlihatkan barisan giginya yang tidak rata.

“Kamu habis ngerjain Radit lagi?”. Friska mengangguk-angguk dengan wajah polos. Rafka hanya menggeleng melihat kelakuan bocah tomboy ini. Ia menarik tangan Friska, memaksanya duduk di pinggir lapangan tempat acara tujuh belasan diadakan dan memasang plester ke beberapa bagian tubuhnya yang terluka. Bahkan gadis kecil itu sama sekali tak menangis setelah mendapat beberapa luka yang cukup parah dan sebuah benjolan yang mencuat manis di keningnya.

“Kamu seharusnya melihat ekspresinya waktu aku nimpukin balik. Buah jeruk yang aku pegang tepat mengenai matanya. Ia langsung berlari pulang meraung-raung. Hahaha.”

“Kamu gak boleh tertawa seperti itu Fris. Jangan jadi gadis nakal, kamu itu perempuan. Jangan bertingkah seperti laki-laki terus. Kalo dia mengadu bagaimana?”

“Biarin aja. Toh ibunya juga gak bakalan mengubris. Anak tukang buah,-“

“Jangan sekali-kali memanggil dia dengan sebutan seperti itu. Tidak baik mencela pekerjaan orang tuanya.”

“Aku sama sekali tidak mencela pekerjaan orang tuanya. Aku Cuma memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Toh dia juga sering meledekku dengan sebutan anak profesor angkuh.”

“Nah, dari itu seharusnya kamu tau. Kanapa dia sampai memenggilmu dengan sebutan seperti itu. Dia tidak akan mengatakan kalau bukan karena kamu yang memulai. Kamu arus ingat-ingat kapan kamu membuatnya tersinggung, sehingga dia sering nimpukin kamu dan memanggil kamu seperti itu.”

“Iya ustad dokter. Sudah selesai ceramah dan ngobatinnya?” Bocah tomboy itu berdiri dan mencibir kearahnya.

“ Hei. Lo dengerin gue gak?” Friska menjawil lengan bajunya. Membawanya kembali kemasa sakarang. 

“oh, gue denger kok.”

“Trus kenapa gak jawab. Gue tadi minta maaf sama lo atas kelakuan kasar gue dulu. Ya, lo harus maklumlah sama anak-anak.”

“oh..eh.. ya, gue maafin. Asal,-“

“Asal apa?”

“Traktir gue makan dulu.”

“Dasar! Lo gak berubah ya. Masih sama kayak dulu, tukang makan.” Rafka hanya tersenyum. Tentu saja, gue masih gue yang dulu. Tak akan pernah berbah sama lo. Walaupun lo gak ngenalin gue.

“Eh, masih aja bengong. Lo gak dengerin gue lagi ya.”Friska merajuk, merasa tak di acuhkan oleh Radit.

“He.. gue minta maaf. Lo ngomong apa tadi?”

“ Gue bilang lo mau makan apa dan kita mau makan dimana?”

“Terserah lo aja.”

“Ye...mana gue tau. Gue udah lama gak di sini. Segala tentang kota ini telah berubah.”

“Kalo gitu ntar lo ikut gue. Gue tau tempat yang enak dan tempat itu sama sekalingak berubah. ” Friska memandang dengan pandangan bertanya-tanya. Dimanakah tempat itu gerangan berada? Sementara yang dipandang hanya diam dan malah memandang balik pada Ferdi.

                                                              Ω

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status