Share

Bab Tiga

“Aditya, tungguin aku”. Seorang gadis kecil, dengan banyak plester menutupi tubuhnya tampak mengejar seorang bocah laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolahnya.  Bocah yang di panggil Aditya berhenti merespon gadis yang tengah mengejarnya.

“Cepetam Friska, kakak bisa telat berangkat les.” Segera ia menggandeng tangan gadis bernama Friska agar berjalan menyamai langkahnya. Friska hanya cengir-cengir, agak sedikit meringis manakala Aditya mempercepat langkahnya.

“ Nanti beliin aku ice cream ya?”

Aditya tiba-tiba menghentikan langjkahnya dan berjongkokdi hadapan Friska. “ Sudahku duga. Kamu benar-benar ceroboh Fris.” Ia mengambil plester disakunya, lalu memasangkannya ke lutut Friska yang lecet bekas terjatuh.

Darahnya masih agak basah, itu artinya ia jatuh belum terlalu lama. Aditya mendongak menatap Friska, agak sedikit jengkel melihat gadis itu masih cengar-cengir tak mempedulikan luka di kakinya. “ Ini sudah jatuh yang ke delapan kalinya dalam mingu ini Fris?”

“ Salah. Ini udah yang ke sepeluh kalinya.” Friska memamerkan sebuah plester baru di sikunya.

“ Kamu jatuh dimana lagi? Kok aku gak tau?”

“ Tentu saja Adit gak tau. Aku jatuh saat mengambil buku di kamarnya bang Tama. Ini juga bang Tama yang masangin. Plesternya bagus, bang Tama memang keren. Aku suka.”

Aditya tercenung melihat ekspresi Friska. Ia tampak bersemangat dengan matanya yang berbinar-binar. Sudah jadi rahasia umum kalau gadis kecil didepannya ini sangat menyukai kak Tama yang merupakan abang dari Ferdi, sahabat karibnya. Dia akan   berubah menjadi anak penurut jika berada di dekat Tama.

 “Saat aku dewasa nanti, aku akan menikah dengan bang Tama.” Mominya yang mendengar penuturan gadis kecilnya siang itu hanya tertawa terkekeh-kekeh. Ferdi malah tertawa mengejek. 

“ Mana mau kak Tama menikah dengan gadis berandalan seperti kamu.”

Friska yang kesal menimpuk Ferdi dengan bantal yang tengah dipangkunya.

“Sudah-sudah, gak usah bertengkar.”ujar om Pram melerai anak dan keponakannya. “Mending kamu tanya sama Tama, apa dia mau menikah dengan kamu?”

“Sudalah mas, jangan menyulut api seperti itu.” Ujar tante Yana. 

“Aku mau kok nikah sama Friska.” Perkataan Tama sukses membuat semua keluarga tercenung. Aditya memandang Tama dengan jengkel. Laki-laki ini bakalan merebut gadisku. “Loh, kenapa semuanya memandangiku dengan wajah seperti itu? Gak ada yang salahkan jika aku menikah dengan Friska?”

“Tentu saja salah sayang, kamukan sepupunya Friska.” Ibunya Aditya ikut bersuara.

“Besok, kalau aku sudah dewasa. Aku akan membatalkan diri menjadi sepupunya Friska, supaya aku bisa menikah dengannya,” ujar Tama.

Tak mengindahkan ocehan Tama, pertemuan siang itu membuat yang hadir tak hentinya memegang perut karena tertawa. Mereka hanya menganggab itu sebagai ucapan main-main dari seorang bocah laki-laki yang masih berumur sepuluh tahun. Sementara usia Friska belum genap berumur lima tahun. 

“Aditya, ayo cepatan. Kamu bisa telat.” Friska mengejutkan Aditya yang sedari tadi melamun, mengenang kejadian beberapa bulan lalu. 

                                                                 Ω

Aku mencoba membuka mataku yang terasa sangat berat, samar-samar aku mendengar suara Ferdi yang tengah mengobrol dengan seseorang yang suaranya tidak asing lagi bagiku, pemilik mata Elang.

“Lo udah bangun? Lo napa sih, baru juga hari pertama udah pingsan gimana mau sekolah di sini?. Untung saja tadi,-”

“Diam lo cerewet! bentakku kesal. “Bukannya kawatir malah di omelin lagi, udah kayak mak gua aja lo.”

 Ferdi terbahak-bahak mendengar ucapan gadis kecilnya, ya baginya Friska tetaplah seorang gadis kecil. Gadis yang dulu setiap harinya merengek-rengek minta ini dan itu kepadanya dan juga pada sahabat karibnya. Gadis nakal yang selalu terjatuh setiap saat. Sampai-sampai tubuhnya penuh dengan plaster. Dan Adytia akan denga senang hati menyediakan sekotak penuh plaster didalam tasnya atau sakunya. 

Tapi, gadis ini akan sangat berbeda begitu berada di hadapan kakaknya, Tama. Ia akan berubah menjadi gadis penurut dan manis. Apapun yang dikatakan Tama pasti akan segera dikerjakannya. Dan Tama tidak akan membutuhkan waktu lama untuk menaklukkan keberingasan gadis nakal ini.

“Memangnya ada yang lucu? Ujar Friska cemberut. 

“Ya deh adik manis, sori-sori. Gua bakalan serius. Gua ngak habis pikir aja, kenapa lo bisa pingsan? belom juga 30 menit semenjak bel berbunyi. Hahahaha…katanya lo jagoan. Belum juga sehari udah keder aja,” ujarnya lagi. 

Friska yang kesal karena diledeki terus langsung bangun, gadis itu mengambil bantal yang tadi digunakannya untuk tidur dan langsung melempari abangnya.

“Ops….ada yang marah ni”

Friska acuh tak acuh. Tanpa meladeni lagi ejekan abangnya, gadis manis itu langsung beranjak meninggalkan ruangan UKS melewati malaikat bermata Elang. Ferdi langsung menyusul. 

                                                              Ω

Bego amat sih gua, umpat Friska pada dirinya sendiri sepanjang perjalanan pulang. Ia memilih untuk berjalan kaki ke rumahnya menghindari abangnya yang sepanjang siang tak berhenti meledeknya gara-gara kejadian pagi ini. Friska masih jengkel sama abang sepupunya. Kok bisa-bisanya gua pingsan hanya karena sebangku dengan malaikat Elang? di hari pertama sekolah lagi. Oh God, I think  I am mad. 

“Ti….t. Ti….t” suara klakson mobil mengejutkan Friska, spontan saja gadis tomboy itu terlompat ke pinggir dan “Byu…r”. Friska mendarat dengan indah di dalam selokan. “MOMI…, teriaknya histeris. Mobil segera berhenti dan pemiliknya langsung bergegas keluar, berlari ke selokan tempat Friska nangkring. 

“Sori Fris, gua ngak sengaja”. Suara ini sepertinya gue kenal deh, Friska menengadah. Tuh kan benar, siapa lagi kalau bukan malaikat Elangnya. Mau apa sih nih orang? Tanpa mengindahkan uluran tangannya Friska berdiri dan berjalan meninggalkannya.

“Fris, gue benar-benar minta maaf. Gua bakalan tanggungjawab,-“

Friska menatap geram kearah pemuda itu. “ Lo maunya apa sih? Perasaan gue, setiap lo ada didekat gue ada aja yang menimpa gue. Gue selalu aja sial. Gue jadi parno lihat lu tau ngak?.”

“Ya gue tau , gue minta maaf soal itu. Gue juga ngak sengaja, lu nya aja kali yang jalan sambil bengong tadi, perasaan gue biasa aja bunyiin klaksonnya.”

“Jadi lo mau nyalahin gue soal kejadian gue masuk got gara-gara klakson mobil lo itu?” Friska tak mau mengalah, meskipun ia juga yakin kalau cowok bermata Elangnya gak salah.

“Lah, trus siapa lagi yang mau disalahin? Kan gue udah minta maaf tadi. Lagian itu juga bukan kesalahan gue sepenuhnya kayaknya deh. Kalau aja lo tu jalan ngak sambil bengong gitu, lu juga gak bakalan nyemplung ke got.”

“Bodoh amat, pokoknya lo yang salah, bukan gue”. Friska meninggalkan Rafka yang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkahnya yang seratus persen kekanak-kanakan. 

“Benar-benar gadis keras kepala.” 

Friska bahkan tidak peduli dengan pandangan orang-orang yang di lewatinya yang heran melihat seluruh pakaiannya bergelimang lumpur dan mengeluarkan bau busuk. Ia sendiri bahkan tidak menyadari bau busuk yang bersumber dari tubuhnya sendiri. Keasikan mengomel membuatnya lupa. 

“FRISKA…” teriak Ferdi dari ambang pintu rumah. “Lo kok ngilang aja sih dari sekolah? Ngak bilang-bilang gue lagi. Lu masih marah ya sama gue? Lo kayak anak kecil aja deh. Lo-”. Ferdi tercenung sejenak melihat Friska. “Buset dah lo, kenapa nih pakaian lo, abis bajak sawah neng? Bau lagi, mandi sana gih.” Tanpa menjawab satu pun pertanyaan Ferdi, Friska meninggalkan abangnya yang cerewet itu

                                                               Ω

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status