Share

Omongan Serius

Penulis: Lystania
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-11 12:39:55

Malam minggu ini, Bagas meminta izin pada orang tua Dini untuk mengajak calon istrinya itu keluar. Datang di pukul lima sore, setelah berbincang sebentar dengan orang tua Dini di ruang tamu, mereka lantas pergi meninggalkan rumah saat jarum jam menunjuk ke angka sembilan. Mengenakan terusan di atas lutut berwarna maroon, dipadukan dengan sepatu teplek berwarna coklat, membuat tampilan Dini sangat manis malam ini. Mereka menuju salah satu tempat hangout yang selalu ramai di setiap malamnya. Meski merasa sedikit terganggu dengan bisingnya suara musik yang memenuhi ruangan, Dini berusaha tetap menikmati acara makan malam itu.

"Kamu masih mau di sini?" tanya Bagas saat melihat Dini menutup sendok dan garpunya di atas piring yang telah kosong. Dini menggeleng pelan.

"Oke. Kita keluar dari sini." Bagas bangkit berdiri diikuti Dini setelah selesai membayar tagihan makan mereka.

"Aku baru kali ini datang ke tempat itu dan ternyata tempat itu biasanya, beda sama yang orang bilang," ucap Dini setelah mereka berada di dalam mobil.

"Aku pikir, orang seumuran kamu suka hangout di tempat yang kayak gitu," ucap Bagas seraya tertawa kecil. Pria itu mengemudikan pelan mobilnya, di atas jalan ibukota yang sudah padat merayap sedari tadi.

"Tempatnya memang oke, tapi suasananya yang gak nyaman, terlalu berisik." Dini menggelengkan kepala sembari melirik jam di tangannya. Sudah pukul setengah delapan malam.

"Kenapa? Ini masih terlalu cepat untuk pulang. Masih sore. Kamu gak lihat matahari masih bersinar," ucap Bagas seraya melayangkan pandangan ke arah luar.

"Matahari?" ulang Dini bingung.

Mereka akhirnya memutuskan untuk tetap berada dalam mobil. Mengukur jalan, karena tak tahu harus kemana. Dengan kecepatan yang stabil, Bagas mengemudikan mobilnya.

"Jadi kamu gak keberatan dengan pernikahan ini?"

"Kan sudah aku bilang kemarin, aku gak ada alasan buat nolak. Kecuali tolakan itu datang dari kamu sendiri." Dini memandang pria berjambang yang malam ini mengenakan kaos berwarna hitam.

"Kemarin Mama sudah mulai menunjukkan beberapa model kebaya yang akan dipakainya saat acara pernikahan, bagaimana mungkin aku bisa menolak saat orang tua sudah mulai melakukan persiapan?" Bagas mengecilkan volume suara radio mobilnya.

"Saat kita telah benar-benar terikat dalam pernikahan, mungkin aku tidak bisa menjadi suami seutuhnya. Waktuku tak sepenuhnya akan ada di rumah."

Dini tersenyum. "Aku tahu. Aku juga tak menuntut banyak, hanya tiga permintaan."

"Tiga? Kenapa gak sepuluh sekalian?"

"Sebenarnya permintaan aku ada banyak, tapi tiga aja aku sangsi kamu bisa penuhi," ucap Dini. Bagas terdiam sejenak, kemudian meminta Dini menyebutkan tiga permintaannya. Dengan mantap ia menyebutkan tiga permintaan yang diharapkannya, dapat Bagas tepati selama pernikahan.

"Harus saling memberi kabar, tidak ada kekerasan dalam rumah tangga, baik perkataan dan tindakan. Lalu yang terakhir, saat kamu bertemu dengan lawan jenis-"

"Maksudnya apa permintaan kamu yang terakhir itu?" Potong Bagas sebelum Dini menyelesaikan omongannya.

"Kita kan menikah dengan situasi seperti ini, belum saling mengenal satu sama lain. Pernikahan bagi aku pribadi, itu ikatan yang sangat sakral. Saat yakin dengan pernikahan, aku gak akan menodai pernikahan itu dengan tidak menghargai pasangan. Kalau memang ditengah pernikahan kita ini, kamu ngerasa gak cocok dan menemukan orang lain di luar sana, aku mohon kamu gak ketemu secara diam-diam di belakang aku. Tapi itu bukan artinya kamu bisa bebas ketemu dengan orang lain itu di depan aku. Aku akan sangat berterima kasih kalau kamu menyudahi saja pernikahan ini."

"Kamu tinggal bilang, jangan selingkuh aja harus mutar-mutar dulu," sahut Bagas sambil mengarahkan mobilnya, putar balik menuju arah rumah Dini.

Dini menjentikkan jarinya. "Betul. Ternyata kamu memperhatikan setiap omongan aku ya, buktinya kamu bisa ngambil kesimpulan."

"Aku tampung tiga permintaan kamu itu dan sebisa mungkin aku akan menepatinya."

"Kamu sendiri gak ada permintaan khusus, sebelum kita benar-benar menikah?" tanya Dini.

"Permintaan khusus?" Bagas menghela nafas. "Gak ada. Di awal pernikahan pasti kita akan merasa asing tinggal bersama, di apartemen."

"Apartemen?" Ulang Dini.

"Iya. Apartemen yang sudah Mama siapkan untuk kita setelah menikah nanti. Aku harap kita bisa saling menjaga privasi satu sama lain. Meski kita berbagi apartemen, sebaiknya kita tidak mencampuri kehidupan pribadi masing-masing. Menjalani hidup seperti biasa hingga waktu yang akan menunjukkan apakah pernikahan perjodohan ini membawa kebaikan bagi kita berdua, mungkin itu permintaan khusus dariku."

"Oke, masing-masing dari kita sudah tahu bagaimana kita menyikapi pernikahan perjodohan ini." Dini menatap Bagas yang ternyata tengah memandangnya.

"Kalau kamu sendiri, berharap apa sama pernikahan ini?" tanya Bagas. Ia melajukan mobilnya pelan setelah berhenti beberapa menit di lampu merah.

"Kalau pernikahan yang didasari dengan rasa saling cinta satu sama lain, pastilah harapanku banyak. Tapi dengan pernikahan perjodohan ini, harapanku ya itu tadi, kamu bisa memenuhi tiga permintaan yang aku sebutkan tadi."

"Oke. Jadi kita berdua sepakat dengan perjodohan ini kan?" Bagas kembali menatap Dini yang telah menganggukkan kepalanya beberapa kali.

Mengukur jalan hampir satu setengah jam, akhirnya mereka sampai juga di depan rumah Dini. Bagas memarkirkan mobilnya dan ikut turun bersama dengan Dini. Tampak Papa dan Mama tengah duduk di teras, sedang menunggu Dini pulang.

"Saya pamit pulang dulu ya Om, Tante." Bagas menyalami dan mencium tangan kedua orang tua Dini.

"Hati-hati di jalan ya," ucap Papa seraya melambaikan tangan.

Mereka bertiga masuk ke dalam rumah setelah Bagas pergi. Mama mengajak Dini duduk di ruang tengah sementara Papa mengambil remote tv dan mencari siaran berita nasional.

"Jadi tadi gimana? Kalian cocok?"

"Hmm, sejauh ini cocok-cocok aja, Ma. Omongan kita juga nyambung. Dia juga kelihatannya baik, gak macam-macam." Cerita Dini tentang pandangan terhadap Bagas.

"Syukur lah. Mama gak mau kamu terbebani dengan perjodohan ini."

"Nggak, Ma. Dini gak terbebani sama sekali. Dini malah senang, Mama sama Papa benar-benar memikirkan Dini, sampai mencarikan pasangan yang terbaik untuk Dini," ucap Dini. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia memang tak keberatan dengan permintaan orang tuanya ini. Apalagi setelah berbicara dengan calon jodohnya tadi, ia dapat mengambil kesimpulan bahwa pria itu orang baik. Meski terlalu cepat mengambil kesimpulan itu.

Papa dan Mama merapat lantas memeluk Dini. Ucapan yang bijaksana keluar dari mulut anak gadis yang telah dewasa kini.

***

Di kamarnya, Bagas baru saja membersihkan diri dan berganti pakaian tidur. Ia merebahkan diri dan membantali kepalanya dengan tangan kanannya yang terlipat. Memandang langit-langit kamar dengan cahaya redup di kamarnya. Ia mencoba menyakinkan diri bahwa keputusannya menerima perjodohan ini adalah benar. Karena sejak ia memutuskan untuk melupakan masa lalunya, seolah hasrat untuk memiliki pasangan telah memudar. Mungkin bila ia sebatang kara di dunia ini, ia bisa saja melajang seumur hidup, tapi ia masih memiliki orang tua. Meski tak pernah didesak untuk segera menikah, ia tahu bahwa orang tuanya sudah ingin melihatnya mempunyai pasangan hidup.

'Jalani aja lah. Semuanya juga akan bisa karena terbiasa' batinnya. Ia meraih ponsel dari nakas sebelah kiri dan membuka sosial medianya. Ia lalu menekan gambar kaca pembesar pada instagramnya sehingga muncul beberapa gambar juga video. Saat jempol tangannya menekan satu postingan video, matanya terbuka lebar.

"Harusnya tadi ini juga dibahas dengan Dini," ucapnya sambil menikmati video berdurasi pendek berisikan adegan semi dewasa.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Awal Yang Baru

    Menuruti keinginan Dini yang meminta untuk lebih lama menginap di rumah Mama, Bagas harus rela bolak balik apartemen untuk mengambilkan keperluan istrinya itu. Kalau dihitung, ini sudah hampir dua minggu mereka menginap di rumah Mama. Dan selama itu juga Bagas harus terima kalau tempat tidurnya masih di lantai.“Hati-hati di jalan ya,” pesan Papa dan Mama mengantarkan mereka pergi bekerja.Mengemudikan mobil merah milik Dini, Bagas mengantarkan istrinya ke kantor terlebih dulu.“Mobil kamu mana?”“Masih di bengkel,” sahut Bagas.“Bengkel?”“Iya. Penyok gara-gara ditabrak truk dari belakang,” sahut Bagas.Dini syok mendengar ucapan Bagas namun berusaha untuk menutupinya. “Terus?”“Ya masih di perbaiki. Kalau sudah kembali seperti semula, mobil itu mau aku jual.”“Kenapa kamu jual?” tanya Dini dengan senyum sinis.“Kamu kan gak mau lagi pakai mobil itu. Jadi buat apa? Tunggu mobil itu laku baru aku beli mobil baru lagi. Sementara kita pakai mobi

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Foto Di Koran

    Papa dan Mama sedikit menaruh curiga pada Dini, pasalnya saat Mama masuk ke dalam kamar Dini, Mama melihat sobekan bungkus obat tergeletak di atas meja.“Din,” panggil Mama.“Eh, Mama ngapain di kamar?” tanya Dini sedikit gelagapan. Ia tak mengira Mama akan masuk ke dalam kamarnya.“Kamu sakit? Ini bungkus obat apa?” tanya Mama sambil menunjukkan bungkus obat yang ia pegang.“Oh itu obat sakit perut, Ma. Dini kebanyakan makan sambel,” jawab Dini asal dengan wajah meyakinkan sambil mengambil bungkusan obat itu dan membuangnya ke tempat sampah.“Yang bener? Jadi kamu ini kamu gak masuk kerja?” tanya Mama lagi.“Iya, Ma. Dini izin sakit beberapa hari,” sahut Dini kemudian mengajak Mama keluar dari kamarnya.“Ya sudah kalau gitu. Mama mau mandi dulu.”“Mau makan malam apa, Ma? Biar Dini masak,” ucap Dini sebelum Mama masuk ke dalam kamar.“Gak usah. Nanti Bagas yang bawain makanan,” sahut Mama.“Bagas?” ulang Dini bingung.“Iya. Bagas sua

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Berdebat Dengan Bagas

    Terbangunkan karena merasakan keram di kakinya, Bagas mendengar suara agak berisik dari arah dapur. Meregangkan otot-ototnya, Bagas perlahan berjalan menuju sumber suara. Tampak Dini tengah mempersiapkan sarapan pagi.“Selamat pagi, Sayang,” sapa Bagas memeluk Dini dari belakang.“Jangan dekat-dekat, Gas. Hubungan kita sedang tidak baik-baik saja,” kata Dini mengacungkan sebilah pisau dapur yang sedang ia pegang.“Kalau itu yang kamu mau, aku pasrah,” kata Bagas tak melepaskan pelukannya.“Aku gak main-main, Gas,” ucap Dini masih mengacungkan pisau ke hadapan Bagas.“Aku juga gak main-main, Din. kalau hal itu bisa menebus semua kesalahan aku, aku rela,” kata Bagas.Tak main-main, Dini benar menusukkan ujung pisau itu ke tangan Bagas hingga menyebabkan luka kecil dan berdarah.“Lepas atau ini akan tambah dalam,” kata Dini dalam hati sudah mulai khawatir dengan Bagas.Perlahan Bagas mengurai pelukannya dan Dini melepaskan pisau itu dan melemparkannya ke

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Di Rumah Mertua

    Mengemasi barang-barangnya, Dini sudah diperbolehkan pulang sore ini. Ia menghubungi Mira hendak memberitahu kalau ia akan pulang ke rumah orang tuanya."Kamu sudah benar-benar sehat kan, Sayang? Mama gak bisa kesana sekarang, Papa kamu tiba-tiba aja gak enak badan," kata Mira asal. Ia sebenarnya bisa ke rumah sakit dari tadi, tapi Hendri melarang dengan alasan agar Bagas dan Dini bisa menyelesaikan masalahnya sendiri."Sudah enakan kok, Ma. Gapapa, Mama temenin Papa aja. Cepat sembuh ya buat Papa, Ma," kata Dini masih memberi perhatian padahal ia sendiri juga sedang tidak enak badan.“Iya, Sayang. Nanti Mama juga datang jengukin kamu,” kata Mira.“Iya, Ma. Dini tutup dulu ya,” ucap Dini mengakhiri panggilannya.“Kita pulang sekarang?” tanya Bagas yang juga sudah siap meninggalkan kamar rumah sakit.“Aku bisa pulang sendiri.”“Aku yang antar kamu, Din. Apa kata Mama nanti kalau kamu datang sendirian. Bawa barang banyak kayak gini lagi,” ucap Bagas.“Y

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Rumah Sakit

    Sepanjang malam Bagas menunggu di luar kamar karena Mira tak memperbolehkan ia masuk. Begitu melihat dokter dan beberapa perawat hendak masuk ke dalam, Bagas langsung beranjak dan mengikuti mereka masuk. Melihat itu, Mira tak mungkin langsung mengusir Bagas di depan dokter dan perawat.“Saya periksa dulu ya,” kata dokter itu ramah meminta izin untuk mengecek perut Dini.Meski sedikit tak enak, Dini tetap pasrah.“Masih ada keluhan?” tanya dokter itu lagi.“Gak ada sih, Dok,” sahut Dini dengan senyum tipis di bibirnya. Wajahnya sudah mulai cerah tidak pucat seperti kemarin.“Kalau gitu, nanti sore sudah bisa pulang ya,” ucap dokter itu sambil berjalan meninggalkan kamar Dini bersama satu perawat, sementara perawat yang lain memberikan obat untuk Dini.Begitu dokter dan perawat tadi telah keluar, Mira langsung berkacak pinggang menatap Bagas. Siap untuk menerkam anaknya itu.“Keluar,” kata Mira dengan jari telunjuk menunjuk ke arah pintu.“Ma,” lirih B

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Kehilangan Calon Buah Hati 2

    Seorang dokter lain yang melihat dokter yang menangani Dini tadi, menghampiri."Dok, pasien tadi siapa?""Dokter Wina," ucap dokter Ningsih, dokter yang menangani Dini tadi. "Pasien, ibu muda. Baru selesai kuret dan pengangkatan kista. Kenapa? Dokter Wina kenal?""Mirip sama menantu temen saya, Dok. Namanya siapa?""Andini Wijaya kalau gak salah. Dia kesini gak sama suaminya, diantar sama teman kerjanya. Saya duluan ya, Dok," ucap dokter Ningsih."Ia, Dok." Dokter Wina kemudian menghubungi Mira. Ia yakin benar kalau pasien yang dilihatnya sekilas tadi, adalah menantu dari Mira, teman arisannya.Alunan lagu legend yang dibawakan oleh penyanyi internasional kelas atas terdengar memenuhi setiap sudut ruangan kamar."Ma, ada telepon." Teriakan kecil Hendri yang tengah serius menatap layar ponselnya membuat Mira yang sedang berada di depan meja rias, sedikit terkejut."Angkat dong, Pa. Mama lagi tanggung nih," kata Mira dengan jari yang masih memoles cream malam ke wajahnya."Gak bisa, Ma.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status