❤️🩹❤️🩹❤️🩹❤️🩹 terima kasih sudah membaca ya 🤗
Di dalam kamarnya yang hening, Kayden duduk di depan meja, menghadap ke laptopnya yang terbuka. Puluhan pesan dalam surat elektronik diterimanya dari Evan. Proposal, kontrak kerja, laporan-laporan yang harus dibacanya, semuanya tak ada yang bisa ia proses. Barisan angka itu yang ada menyakiti matanya. Tidak ada hal yang lebih ia inginkan daripada bertemu dengan Liora sekarang ini. Matanya terpejam sejenak, dari hujan yang tak reda sejak pagi, malam ini bertambah buruk karena disertai dengan angin kencang. Beberapa jam yang lalu, ia masih belum berada di dalam kamarnya. Di depan makam Nyonya Marry, ia seperti orang gila yang menanyakan di mana sekiranya Liora berada? Ia menyusuri jalan di sekitar lokasi pemakaman itu. Di pertokoan yang tak ditempati, di kedai yang menyajikan teh atau kopi, di toko bunga hingga ke taman kota. Dengan harapan ia bisa menemukan istrinya. Tapi tidak ada. Sama sekali! Payung hitam yang dibawanya ke sana ke mari untuknya berteduh dari hujan yang men
“Ya?!” Kedua alis lebat Kayden terangkat begitu mendengar tanya Nyonya Jessie. Wanita bergaun hitam itu sekilas menunjukkan senyumnya yang ganjil sebelum menggeleng, “Aku hanya bertanya, Kayden,” jawab beliau. “Mungkin dia tidak benar-benar meninggalkanmu?” “Saya harap juga begitu,” ungkapnya dalam pengharapan. “Tapi setelah semua usaha yang dilakukan oleh anak buah kami, hingga hari ini dia tidak ditemukan, Bu Jessie.” Kayden tertawa lirih, tetapi justru terdengar perih karena mereka tahu itu menyimpan luka yang tak terucap. “Semua dari kita percaya bahwa saat dua orang tidak pernah bertemu lagi, artinya takdir di antara mereka sudah habis. Dan saya tidak mau itu, saya tidak ingin berakhir seperti ini dengan Liora. Saya belum bisa menepati janji saya untuk memberinya hidup dalam keluarga yang kami mimpikan bersama.” Semua orang seperti menahan napas. Di dalam ruangan itu ... siapapun tahu bahwa Kayden bukanlah seorang pria yang banyak bicara. Ia terbiasa diam, menjadi pengamat,
Sebelum Leo memasang kuda-kuda, sebelum ia bangun dan memberikan perlawanan, Kayden sudah memberinya serangan susulan. Pemuda itu kembali terjerembab di halaman yang sebagiannya dipenuhi oleh genangan. Kecipak suara air terdengar saat Kayden mengayunkan kakinya, mendekat, memastikan suaranya bisa diterima oleh telinga Leo. “Tidak pernah ada pernikahan kedua antara aku dan Julia,” kata Kayden. “Dengan skandal itu, kamu salah satu yang diuntungkan. Kamu ikut terlibat juga?” “Omong kosong macam apa itu?!” Leo terengah-engah. “Akh—sial!” desisnya saat berusaha bangkit, meraba sudut bibirnya yang berdarah karena pukulan Kayden terlampau kuat. Bukankah Leo tahu ia akan kalah jika dihadapkan dengan pria itu? Mana mungkin ia lupa perseteruan mereka yang membuatnya babak belur di dalam ruang presdir? “Kalau kamu memang punya hati, setidaknya kamu memberi tahu orang di rumahku kalau Liora bersamamu. Tapi itu tidak kamu lakukan. Kenapa? Ingin menjadi pahlawan kesiangan?” Sepasang mata Leo
Kayden menyeret kakinya yang terasa berat, menghampiri ranjang yang dingin itu dan duduk di tepinya. Matanya terpejam, mendengar gemuruh suara hujan yang jatuh di atap atau yang menerpa ranting-ranting pepohonan. Pikirannya jauh berkelana, memikirkan kemungkinan yang paling buruk yang bisa terjadi pada Liora. Terdampar di tepi jalan, meringkuk kedinginan di emperan toko atau bahkan ... hidup menggelandang dan bekerja kasar hanya untuk mendapatkan beberapa sen agar bisa membeli setumpuk burger berukuran kecil—yang tak akan kenyang atau memberi kecukupan nutrisi untuk bayi yang ada di kandungannya. “Liora ....” sebut Kayden dengan bibirnya yang baru saja dilewati oleh sebulir air mata. Sekujur tubuhnya terasa remuk. Ia sudah hampir seminggu tidak bisa tidur dan terjaga dalam malam-malam yang menyiksanya akibat jarak. Penerbangan yang baru ditempuhnya itu pun juga terasa sangat panjang, menguras energi. Atau mungkin itu karena Kayden tahu apa yang ia inginkan tak akan ia lihat nanti
‘Aku sudah merendahkan diriku dengan menjadi seorang pencuri hanya untuk membuat Kayden menjadi milikku,’ ucap Julia dalam hatinya. ‘Jadi jangan berani-berani kamu kembali, Liora Serenity!” Rahang kecilnya mengetat mengingat cukup sulitnya menyusun semua ini secara sempurna. Semuanya harus berjalan sesuai urutan, tidak boleh ada yang salah di setiap langkahnya. Tak boleh ada yang terlambat, atau bahkan ceroboh. Sejak skandal pernikahannya bersama dengan Kayden di sini terendus di kota, Julia memastikan bahwa Liora harus diserang secara mental. Lewat kematian ibunya, gadis itu jelas terpukul, hancur berantakan, hatinya tak akan lagi bisa disebut sebagai hati manusia yang utuh, melainkan seonggok hati yang luluh lantak. Semesta memberinya dukungan yang besar dengan mendatangkan badai di daratan Eropa dan juga pemadaman berskala besar yang membuat Jerman dan sekitarnya mengalami kelumpuhan. Dengan semua dukungan ini ... bukankah dunia telah membuka jalannya lebar-lebar untuknya bis
*** Beberapa hari sebelum Julia mencuri ponsel milik Kayden.*** .... Setelah mendapat kabar dari Nyonya Rose bahwa Kayden akan turut serta mengantar Tuan Owen ke Berlin untuk berobat, Julia dengan segera menyiapkan semuanya. Menguras sedikit uang memang, tetapi ini ia lakukan untuk bisa mengambil keuntungan yang lebih besar. Bersama sang Ibu—Nyonya May—Julia pun tiba di Berlin. Ia tak ingin membuang waktu, menunda bahkan memikirkan esok atau lusa. Ia hanya ingin segera bertemu dengan Kayden dan menjalankan semua rencananya. Di rumah sakit tempat Tuan Owen mendapatkan perawatan, Julia pergi ke sana dan bertemu dengan Kayden pada pagi hari itu. Perdebatan yang sedikit pelik terjadi. Antara dirinya, Kayden serta Nyonya Rose. Semua itu seperti tak akan berujung hingga Julia mengambil keputusan lain dengan menguji pria itu. Ia jatuh di koridor rumah sakit—berpura-pura tak sadarkan diri lebih tepatnya. Dengan tujuan agar Kayden menunjukkan perhatiannya, sehingga Julia bisa menilai d
Dari sudut mata Evan, ia bisa melihat wajah Kayden yang memerah. Matanya, telinganya ... seakan itu mewujudkan sepanas apa isi di dalam hatinya sekarang ini. Amarahnya meluap, “Bukankah aku sudah mengatakan padamu untuk mengawasi Liora?!” hardiknya pada Annie. “Bagaimana bisa dia lepas dari pengawasan kalian?!” “M-maaf, Tuan Kayden,” lirih Annie dari seberang panggilan. “Kami masih mencoba mencari Nona sekali lagi.” “Apa dia membawa pakaiannya?” “Tidak. Tidak ada satu pun yang dibawa oleh Nona. Bahkan ponselnya pun ditinggal di dalam kamar.” “Cari dia! Aku akan berusaha untuk pulang secepatnya, bawa dia kembali, Bu Annie!” “Baik,” jawab Annie dengan suara yang terdengar gemetar. Kayden tak berbicara setelah itu. Ia tampak memalingkan wajahnya, menjauh dari dekat Evan dan duduk di tepi ranjangnya yang berantakan. Napasnya terdorong berat saat Evan melanjutkan berbicara pada Annie sebelum panggilan mereka mati. Evan menatapnya cukup lama. Memilah, memilih kata, berhati-hati. Ka
Ponsel milik Evan seperti akan hancur digenggam tangan besar Kayden. Sepasang iris gelap pria itu mengarah pada layarnya yang menyala, dan menunjukkan dengan jelas sebagaimana yang dikatakan oleh Evan. Bahwa ada foto dirinya dan Julia yang bertemu di rumah sakit, serta sebuah outdoor venue di sebuah hotel yang tak ia ketahui di mana. Yang memang dirancang seolah acara itu hanya akan dihadiri oleh keluarga inti. Persepsi publik dengan adanya pernikahan Kayden dan Julia di sini diperkuat dengan bukti bahwa mereka memang berada di satu daratan yang sama, di Berlin. Belum lagi, semua orang tahu bahwa Julia adalah mantan pacarnya. Mereka bisa saja percaya bahwa Kayden di sini memang memiliki tujuan lain selain mengantar Tuan Owen berobat. Saat Kayden menggulir isi berita itu, harapannya akan keberpihakan publik terhadapnya pupus. Di sana menyebutkan bahwa Kayden menikahi Julia sebab nyawa gadis itu di ujung tanduk atas kanker yang dideritanya. Dan sebagai permintaan terakhir di akhir k
Dua belas jam yang rasanya hampir membuat Kayden gila. Badai yang menerjang Eropa sebelum peringatan keluar membuat semua orang kalang-kabut. Meski rumah sakit memiliki supply daya yang sangat baik, tetapi sebagian besar jaringan telekomunikasi terputus. Keinginannya untuk terbang meninggalkan Berlin dan kembali ke kota agar bisa membersamai Liora melewati harinya yang cukup berat kala kehilangan sang Ibu pupus. Semua penerbangan dibatalkan, sampai waktu yang tak bisa ditentukan. Meski dua belas jam dalam ‘kegelapan’ itu akhirnya berlalu, tapi Kayden masih belum bisa pergi dari Berlin. Ia menghubungi rumah untuk mengatakan hal itu sejak Liora tak menjawab panggilannya. Tetapi jawaban dari Annie yang ada membuat hatinya justru semakin tak karuan. ‘Nona Liora sangat terpukul, Tuan Kayden,’ ucap wanita kepercayaannya itu. ‘Saya tidak berani mengatakan banyak hal selain hanya menguatkannya sekarang ini. Mungkin nanti saya akan memberi tahu Nona dengan hati-hati apa yang membuat Anda